You are on page 1of 11

KONSUMSI, TABUNGAN, DAN INVESTASI SYARIAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Mikro dan Makro Islam

oleh : Ansori Setiawan Ach. Zainol Arifin

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


JURUSAN SYARIAH PRODI PERBANKAN SYARIAH

APRIL 2012

BAB I PENDAHULUAN Sesuai kodratnya manusia tidak mungkin menghindarkan diri dari kegiatan konsumsi dan produksi. Demi eksistensi dan kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya. Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi. Mengelola berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan bervariasi seiring dengan dinamika peradaban. Seharusnya kita memahami berbagai aspek yang mengaitkan antara konsumsi dan produksi tersebut agar dapat tercipta tata hubungan, pemahaman, dan kinerja yang terbaik dalam kehidupan ekonomi manusia. Dengan demikian maka persoalan yang menjadi urgen adalah: Dalam masalah apa saja keterkaitan antara konsumsi dan produksi itu? Bagaimana Pandangan Islam tentang keterkaitan di antara keduanya? Serta apa akibatnya jika hubungan di antara konsumsi dan produksi itu tidak harmonis? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi perjalanan hidup manusia dalam berkonsumsi dan berproduksi. Hal ini tentu sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya. Pemahaman terhadap persoalan ini diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat, proporsional, berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT. Banyak aspek yang terkait antara produksi dan konsumsi yang perlu diperhatikan agar tujuan keduanya dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah. Islam sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus berkonsumsi dan berproduksi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan fatal bagi kehidupan manusia. Semoga tulisan sederhana ini mampu memberi tambahan pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Obyek Konsumsi Dalam percakapan sehari hari, istilah konsumsi selalu dihubungkan dengan kegiatan makan dan minum. Sebenarnya konsumsi bukanlah sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau pemakaian barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan kebutuhan seseorang. Dengan demikian konsumsi berarti kegiatan memuaskan kebutuhan1: 1. Sedang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konsumsi itu diartikan dengan: Pemakaian barang hasil produksi. Barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia 2. Dengan demikian, berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa yang menjadi obyek dari konsumsi adalah segala macam barang dan jasa yang dapat digunakan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia. Aktifitas konsumi sepertinya tidak memerlukan konsep-konsep yang rumit, sebab siapapun baik bayi yang baru lahir, maupun kakek yang sudah tua renta bisa melakukannya. Sebenarnya tidak semudah itu kita harus memandang permasalahan ini. Prinsip dan pola konsumsi ternyata juga memiliki peranan penting dalam membina kesejahteraan dan keteraturan dalam sebuah sistem kemasyarakatan. Praktek konsumsi juga sangat berkaitan dengan aspek-aspek yang lain, di antaranya adalah produksi dan juga distribusi2. Bahkan keduanya tidak bisa dipisahkan peranannya dalam

perekonomian. Lebih tegasnya lagi dapat kita katakan, bahwa disharmonisnya konsumsi dan produksi dapat mengakibatkan hancurnya sistem ekonomi dan kemasyarakatan. Karena itu harus diupayakan bagaimana konsumsi dan produksi itu dapat beriringan secara sinergis dalam mengantarkan manusia menuju kesejahteraan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.

1 2

Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997)50 Ibid hlm 55

B. Prinsip-Prinsip Konsumsi Dalam Islam Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat3. Dengan demikian dalam Islam konsumsi itu tidak dapat dipisahkan dari peran keimanan. Peranan keimanan menjadi tolok ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut sebagai bentuk upaya meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Keimanan memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus memotivasi pemanfaatan sumberdaya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral bertujuan untuk menjaga kepentingan diri agar tetap berada dalam batas-batas kepentingan sosial. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang bentuk-bentuk konsumsi halal dan haram, pelarangan terhadap israf, bermegah-megahan, bermewah-mewahan, pentingnya konsumsi sosial, serta aspek-aspek normatif lainnya. Sejalan dengan itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
3

Guritno Mangkusubroto dan Algifari, Teori Ekonomi Makro Edisi 2 (Yogyakarta:STIE YKPN, 1992)

hlm 34.

Selanjutnya secara lebih terperinci, menurut Abdul Mannan perintah Islam mengenai konsumsi setidaknya dikendalikan oleh lima prinsip yaitu4: 1. Prinsip keadilan. Mengandung arti bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum. Tidak membahaykan tubuh, moral dan spiritual manusia, serta tidak mengganggu hak milik dan rasa keadilan terhadap sesama. 2. Prinsip Kebersihan. Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia. 3. Prinsip Kesederhanaan. Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta. 4. Prinsip kemurahan hati. Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahanNya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. 5. Prinsip moralitas. Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk

Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Jalasutra), 2003 hlm 67.

menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia. Di samping itu, Islam juga memberikan prinsip-prinsip dasar bagi umatnya dalam hal memenuhi kebutuhan dirinya. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis sematamata dari pola konsumsi yang hanya mendasarkan kepada aspek keinginan diri terkait dengan hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang. Keinginan terkait dengan suka atau tidak suka seorang terhadap suatu barang, dan ini berarti bersifat subjektif. Misalnya, seorang yang berkeinginan membangun rumah dengan warna yang nyaman, ukuran yang sedang, interior yang rapi dan indah, ruangan yang longgar dan sebagainya. Kesemua keinginan tersebut belum tentu menambah fungsi suatu rumah, namun hanya memberikan kepuasan bagi pemilik rumah. Sedang kebutuhan adalah terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi secara sempurna. Dengan demikian kebutuhan seorang terhadap suatu barang lebih pada nilai manfaat, fungsional, objektif dan harus dipenuhi. Misalnya kebutuhan akan genteng, pintu, dan jendela merupakan kebutuhan tempat tinggal. Kebutuhan akan baju sebagai penutup aurat, sandal atau sepatu agar tidak kepanasan dan sebagainya.

C. Tabungan dalam Perspektif Syariah Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir.[1] Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir5. Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana
5

Iwans, Menggagas Konsep Produksi Islami (http://tribuanaekonomia.blogspot.com, 2007) hlm 61.

masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi. Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.6 Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat perhatian adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka tidak terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda. Perlindungan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda dengan warga muslim, tapi mereka juga dikenakan kewajiban membayar kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak individu) layaknya muslim membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu warga non-muslim juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga menabung akan juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga muslim dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga non-muslim akan dipaksa untuk masuk dalam mekanisme investasi yang sebenarnya yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di sektor riil7 Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama tabungan yang ditujukan untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk investasi. Tentu saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna luas yang dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam definisi investasi ini.

6 7

Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Jakarta : P3EI UII, 2008) hlm 21 Ibid hlm 25

D. Investasi dalam Perspektif Syariah Investasi pada dasarnya adalah bentuk aktif dari ekonomi syariah. Dalam Islam setiap harta ada zakatnya. Jika harta tersebut didiamkan, maka lambat laun akan termakan oleh zakatnya. Salah satu hikmah dari zakat ini adalah mendorong setiap muslim untuk menginvestasikan hartanya agar bertambah.8 Investasi mengenal harga. Harga adalah nilai jual atau beli dari sesuatu yang diperdagangkan. Selisih harga beli terhadap harga jual disebut profit margin. Harga terbentuk setelah terjadinya mekanisme pasar. Suatu pernyataan penting al-Ghozali sebagai ulama besar adalah keuntungan merupakan kompensasi dari kepayahan perjalanan, risiko bisnis dan ancaman keselamatan diri pengusaha. Sehingga sangat wajar seseorang memperoleh keuntungan yang merupakan kompensasi dari risiko yang ditanggungnya. Ibnu Taimiah berpendapat bahwa penawaran bisa datang dari produk domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan harapan dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga tergantung besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT. E. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam Dalam Investasi Prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syariah (pihak terkait) adalah: Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram. Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi. Keadilan pendistribusian kemakmuran. Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha. Tidak ada unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar

(ketidakjelasan/samar-samar).
8

Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006) hlm 66.

Berdasarkan keterangan di atas, maka kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum syariat yang berlaku. Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syariah tidak boleh disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Pembelian saham pabrik minuman keras, pembangunan penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan syariah berarti diharamkan. Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang didzalimi atau mendzalimi. Seperti gorengmenggoreng saham. Tidak ada unsur riba, tidak bersifat spekulatif atau judi dan semua transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider trading.

BAB III KESIMPULAN Secara lebih khusus aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam kegiatan konsumsi dan produksi adalah tentang motivasi, kuantitas, kualitas, dan tatacaranya. Semuanya itu harus selaras dan simultan diterapkan dalam praktek konsumsi dan produksi sesuai nilai-nilai Islam yang ada. Secara umum motivasi dan tujuan konsumsi dan produksi dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan secara wajar dan berkeadilan sebagai sarana ibadah kepada Allah. Orientasi yang harus dibangun dalam melakukan kegiatan konsumsi dan produksi adalah mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kegiatan konsumsi itu sendiri harus dalam ukuran-ukuran yang proporsional, dengan menghindari pemborosan, kemewahan, dll. Dengan demikian kegiatan produksipun otomatis harus dilakukan dalam jumlah, ukuran maupun proporsi yang sesuai dengan nilai konsumsi yang diperlukan. Proses konsumsi harus dilakukan dalam waktu dan dengan tata cara tertentu yang halal, bijaksana, ekonomis, serta relevan dengan misi atau tujuan pokoknya. Demikian pula dalam proses produksi, semua input harus dimanaj secara Islami. Barang yang dikonsums harus memenuhi kualitas tertentu baik dalam kaitannya dengan kehalalan, kesehatan, jenis, maupun karakteristiknya. Syarat-syarat kualitas tersebut tentu harus menjadi landasan bagi produsen dalam menentukan jenis barang yang akan diproduksinya. Produsen dilarang menyediakan barang atau jasa secara semena-mena tanpa memperhatikan kualitas ataupun kaidah sosial yang dipersyaratkan tentang barang tersebut. Pelanggaran terhadap keterkaitan dari aspek-aspek tersebut akan dapat menimbulkan halhal negatif bahkan fatal dalam kehidupan ekonomi, di antaranya: timbulnya banyak penyakit, kelaparan atau kemiskinan, terjadi atau bertambahnya pengangguran, rendanya kualitas sumberdaya manusia. Dapat juga berakibat terjadinya over produksi, cepat rusak atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas, bahkan dapat menimbulkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997) Guritno Mangkusubroto dan Algifari, Teori Ekonomi Makro Edisi 2 (Yogyakarta:STIE YKPN, 1992) Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Jalasutra), 2003 Iwans, Menggagas Konsep Produksi Islami (http://tribuanaekonomia.blogspot.com, 2007) Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Jakarta : P3EI UII, 2008) Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

You might also like