You are on page 1of 9

Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB...

36

Masih Perlukah Pengajuan Banding dengan Pembayaran 50%? .. 50

n oneSlan ax eVlew
TAX FOCUS
Faktur Pajak dalam UU PPN Baru Menanti Kejelasan Saat Pembuatan Faktur Pajak 12

TAX PAYER PROFILE


Putra Priyadi: Tolong Ringankan Pajak Bagi Pengusaha Muda 20

MY TAX ADVISOR
Fasilitas PPh untuk UMKM 22

TAX COURT
Pencatatan Tidak Benar, Timbul Sengketa

46

ISSN 1829-5096

111111111111111111111111
771829 509609

Indonesian Tax Review


EDITAXORIAL
Eksternalitas Retroaktif Biaya Promosi...1

TAX MAIL ...4 TAX FOCUS


Faktur Pajak dalam UU PPN Baru...6 Menanti Kejelasan Saat Pembuatan Faktur Pajak...12

TAXPAYER PROFILE
Putra Priyadi: Tolong Ringankan Pajak Bagi Pengusaha Muda ...20

MY TAX ADVISOR

36

The Untaxable

Fasilitas PPh untuk UMKM 22 Pajaknya Si Penulis Cerpen 24

Peluang dan Tantangan Pengallhan PSB P2 dan BPHTB


Seiring berlakunya UU PDRDyang baru, maka PBBkhusus sektor perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tentunya pemerintah daerah harus segera bersiap diri agar dapat menerapkannya dengan baik. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menjabarkan berbagai peluang dan tantangan yang harus dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, sebagai bahan rujukan sebelum tenggang waktu persiapan berakhir.

ONCE UPON A TAX IN TWO WEEKS ...26 INTAXMEZO


Indomie- Telor-Kornet ...27

TAX UNTAXABLE
Penerapan Transfer Pricing di Indonesia ..28 Peluang dan Tantangan Pengalihan PBBP2 dan BPHTB ...36

TAX FOR IDIOTS


Gengsi Pakai'SS:..44

TAX COURT
Pencatatan Tidak Benar,Timbul Sengketa ...46

TAX BUG
Masih Perlukah Pengajuan Banding dengan Pembayaran 50%?...50

LOOK WHO'S TAXING


Hussein Kartasasmita: Membatasi Usia Konsultan Pajak,Sama Saja Melanggar HAM...62

TAX COLUMN
Solihin Makmur Alam: Efektivitas Tax Holiday Bagi Penanaman Modal Asing Langsung ...68

SO Tax Bug
Masih Perlukah PengaJuan Banding dengan Pembayaran 50%7
Ketika sebuah aturan bertabrakan dengan aturan lainnya, sudah pasti akan menimbulkan masalah dalam praktiknya di lapangan. Korbannya yang jelas adalah Wajib Pajak. Hal ini terjadi dalam kasus pengajuan banding ke Pengadilan Pajak. Selama ini Wajib Pajak bimbang saat ingin memenuhi persyaratan banding karena ada pertentangan antara UU Pengadilan Pajak dengan UU KUP.Untuk itu ketentuan mana yang harus diikuti oleh Wajib Pajak?

EXECUTAX SUMMARY ...70 TAX BLITZ


Anwar Fuady: Kesadaran Membayar Pajak Sudah Lebih Baik...78

CAFETAXRIA
Zakat Vs 5PT 1770 55...79

Peluang dan Tantangan

Penualiban PBB P2 danBPHTB


Oleh:

Heru Supriyanto
Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Departemen Keuangan

iring berlakunya UU PDRD g baru, maka PBBkhusus tor perdesaan dan perkotaan an BPHTBdialihkan menjadi ajak daerah. Tentunya merintah daerah harus ra bersiap diri agar dapat erapkannya dengan baik. elalui tulisan ini, penulis encoba menjabarkan berbagai .Iuangdan tantangan yang arus dihadapi oleh aparatur merintah daerah, sebagai han rUjukan sebelum ggang waktu persiapan akhir.

edioSeptember 2009 lalu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 ten tang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD),yang secara resmi berlaku pada tanggal 1Januari 2010. Kehadiran UU PDRD terse but akan menggantikan UU PDRD yang lama, yaitu UU Nomor 18 Tahun 1997. Penggantian UU ini dipicu karena adanya sejumlah perubahan yang fundamental dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Salah satunya adalah dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) khusus sektor perdesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)menjadi pajak daerah. Sebagai informasi, selama ini PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat. Lebih lanjut, dalam UU PDRD yang baru PBBPerdesaan dan Perkotaan (PBB P2) termaktub dalam Bab II Bagian Keenam Belas.Menyusul, BPHTBdiatur dalam Bagian Ketujuh Belas pada bab yang sarna.

Latar Belakang Pengalihan Seperti disinggung di awal, UU Nomor 12Tahun 1994 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1985tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, telah menetapkan bahwa PBB dan BPHTBtergolong sebagai pajak pusat.

.,,bukanlah hal mudah dalam memprediksi/menargetkan kabupaten/kota, berapa sifat pajak yang akan diperoleh sebuah mengingat Objek BPHTB yang spesifik, tergantung pada volume transaksi perolehan hak atas tanah yang sangat sulit untuk diprediksi setiap tahunnya.
Walaupun berstatus sebagai pajak pusat, penerimaan pajak tersebut secaramayoritas diserahkankembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini sebenarnya lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota (pemerintah daerah). Tentu karena pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi untuk memungut pajak tersebut. Pemerintah daerah tinggal menerima dana bagi hasilnya dari pemerintah pusat. Singkat kata, sebagian besar dari mereka tidak ingin menerima pengalihan ini. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah mengapa pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBBP2 dan BPHTBmenjadi pajak daerah? Menurut penulis, jawabannya adalah karena adanya beberapa kenyataan, antara lain: a. Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah. b. Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya,

sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalamAPBN. c. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang merupakan peleburan dari KPp,Kantor Pelayanan PBB(KPPBB),Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika diamati, keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan dan tidak diimbangi dengan jumlah penerimaannya, memang bisa dirasakan mengganggu konsentrasi Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan KPP Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan PBB menjadi lebih efisien. Memang, bukanlah hal mudah dalam memprediksi/ menargetkan berapa pajak yang akan diperoleh sebuah kabupaten/kota, mengingat sifat Objek BPHTB yang spesifik, tergantung pada volume transaksi perolehan hak atas tanah yang sangat sulit untuk diprediksi setiap tahunnya. Penerimaan daerah kabupaten/kota bisa mengalami peningkatan/penurunan akibat adanya pengalihan PBB P2 dan BPHTB.Peningkatan ini terjadi karena: a. Penerimaan PBBP2 dan BPHTB akan sepenuhnya menjadi bagian kabupaten/kota; b. Dihapuskannya pengenaan BPHTB untuk waris, hibah wasiat dan hak pengelolaan (UU PDRD) akan menghapus PP Nomor 111Tahun 2000 dan PP Nomor 112Tahun 2000). Sebaliknya, penurunan penerimaan dapat saja terjadi akibat: a. NJOPTKP sekurang-kurangnya RplO juta b. NPOPTKPsekurang-kurangnya Rp60 juta, sedangkan untuk hibah wasiat satu derajat dan waris diberikan NPOPTKP sekurang-kurangnya Rp300 juta. NJOP Tak Ada, BPHTB Tak Bisa Dipungut Jika menyitir bunyi Pasal185 UU PDRD,maka sejak 1 Januari 2010 pemerintah kabupaten/kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB.Namun, pemerintah pusat tentu menyadari bahwa tidak semua daerah siap dengan perubahan ini. Diperlukan persiapan-persiapan yang matang sampai

pemerintah daerah benar-benar siap untuk menerapkan kebijakan pengalihan ini. Terkait masa persiapan ini, pemerintah mendelegasikan Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur tahapan pengalihan PBBP2 dan BPHTB.Selain itu, pemerintah juga memberikan tenggang waktu kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan segal a kelengkapan guna mendukung kebijakan bam terse but. Seperti yang diatur dalam Pasal 182 UU PDRD, pemerintah memberikan tenggang waktu sampai dengan 31Desember 2013.Artinya, suka atau tidak suka, pemerintah daerah hams menerima pengalihan PBBP2 beserta selumh aspeknya, mulai dari pengiriman Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sampai dengan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Temtang (SPPT), pemenuhan hak Wajib Pajak sampai dengan sengketa dengan Wajib Pajak di Pengadilan Pajak, Jakarta. Sedangkan, BPHTB dialihkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU PDRD, yakni pada 31 Desember 2010. Yang patut disayangkan, sampai dengan saat tulisan ini ditumnkan, peraturan pelaksana yang akan mengatur lebih lanjut ten tang tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sesuai dengan Pasal 182 tersebut, belum juga diterbitkan. Padahal, bagi pemerintah kabupaten/kota yang sudah matang tingkat persiapannya, mungkin saja ingin secepatnya menerima pengalihan pajak terse but. Peraturan tersebut tentu akan menjadi trigger (pemicu) bagi pemerintah kabupaten/kota untuk segera menerima pengalihan pajak tersebut. Sedang, bagi pihak (pemerintah daerah, red) yang belum siap, ada baiknya segera mempersiapkan perangkatnya dan bila perlu dapat melakukan kegiatan pengamatan (studi banding) terhadap kabupaten/kota yang telah mengambil alih terlebih dulu. Semen tara itu, bagi kabupaten/kota yang mungkin merasa potensi PBB P2 kurang memadai sehingga memutuskan untuk tidak memungut, maka PBB P2 masih akan menjadi pajak pusat sampai dengan 31 Desember 2013. Namun demikian, keputusan ini akan membawa konsekuensi serius pacta BPHTB. Mengapa? Sebab, sesudah tanggal tersebut, maka UU PBByang mengatur ten tang PBBP2 tidak berlaku lagi, sehingga NilaiJual Objek Pajak (NJOP)PBBP2 juga

tidak ada lagLJika NJOP tidak ada, maka harga transaksi dan nilai pasar tidak dapat dibandingkan dengan NJOP' Jika tidak bisa dibandingkan, maka BPHTBtidak dapat dipungut! Selain itu, kebijakan NJOPTKP minimal RplO juta dan NPOPTKP minimal Rp60 juta dan Rp300 juta akan menyebabkan hilangnya potensi pajak. Apabila pemungutan PBBP2 dirasakan tidak menguntungkan, maka UU PDRD yang bam memperbolehkan Pemda untuk tidak melakukan pemungutan PBB P2 (sudah dijelaskan di atas).Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk tidak memungut PBB,ada baiknya jika terlebih dulu dibuat simulasi penerimaan PBB P2 dan BPHTB dengan menggunakan data yang selama ini sudah ada pada KPPPratama.

Hal yang Daerah?

Perlu

diketahui

Pemerintah

Dalam rangka menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB,maka ada banyak hal yang hams diketahui dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal-hal yang hams diketahui dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang secara garis besar, dapat penulis kelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:
a. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Mengatur pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak mempakan salah satu tugas yang hams dilakukan pemerintah. Untuk itu pemerintah hams bempaya untuk menyusun agar prosedur pemungutan pajak menjadi efektif. Salah satu rekomendasi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1997 agar Indonesia keluar dari krisis ekonomi adalah dibentuknya kantor pajak bam, yaitu LTO(large tax payer office/Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar). Dari sinilah berkembang ke arah yang lebih luas lagi, yaitu reformasi birokrasi di tubuh Departemen Keuangan (Depkeu). Salah satu hasil nyata dari reformasi birokrasi terse but khususnya di kubu Ditjen Pajak adalah terbentuknya KPP Pratama. Selain berhasil menerapkan administrasi modern, KPP Pratama juga telah mengubah paradigma lama menjadi paradigma bamPetugas pajak takutmelanggar peraturan sehingga korupsi dapat diminimalkan dan pelayanan kepada Wajib Pajak semakin baik. Hal

ini berarti, pelayanan kepada masyarakat menjadi prioritas utama Sebagaicontoh, permohonan tentang penerbitan SPPT bam kini dijanjikan selesai dalam waktu 1(satu)hari kerja dengan catatan seluruh berkas adalah lengkap dengan syarat tidak membutuhkan inspeksi ke alamat objek pajak. Dengan adanya pengalihan PBBP2 dan BPHTB menjadi pajak daerah, sarna saja artinya dengan memindahkan birokrasi. Pertanyaannya,mampukah kabupaten/kota memberikan pelayanan prima pacta WajibPajak sebagaimana layanan yang telah diberikan oleh KPPPratama? Menjawab hal tersebut, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah. Semestinya, pemerintah daerah minimal bisa mengimbangi performa dari KPP Pratama. Artinya, pemerintah daerah hams mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat (Wajib Pajak PBBdan BPHTB)sebagaimana yang telah diberikan oleh KPPPratama.

Satu hal lagi, sistem administrasi modern perpajakan yang diterapkan oleh Ditjen Pajak, telah memaksa Ditjen Pajak untuk menciptakan aturan/SOP (standard operating procedure) bam ataupun menyempurnakan SOP yang telah ada. Semoga pemerintah kabupaten/kota juga mampu menciptakan SOP dengan kualitas minimal sarna dengan yang sebelumnya.
b. Administrasi PBB P2 dan Pengelolaan BPHTB

Sebelum menerima kebijakan pengalihan ini, sebaiknya pemerintah kabupaten/kota melakukan sosialisasiterlebih dulu Tidak hanya mengenai alamat kantor yang bam, peluang dikenakannya BPHTB lebih tinggi untuk waris, hibah wasiat dan lain-lain, tapi juga perlu diimbangi sosialisasi tentang Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Di mana dalam ketentuannya ditetapkan minimal Rp60 juta per WajibPajak dan Rp300 juta untuk hibah wasiat satu derajat dan waris. Lebih penting lagi, perlu ditekankan bahwa semua pelayanan yang diberikan tidak dipungut biaya alias gratis. Dalam proses administrasi dan pengelolaan PBB P2 ini tentu diperlukan sumber daya manusia (SDM)yang mumpuni. Salah satunya dibutuhkan SDM untuk penilai (appraiser IvaI uer) dan opera tor console. Profesi Penilai dibutuhkan untuk menghitung NJOP khususnya objek khusus dan objek non standar contohnya, pelabuhan udara, pelabuhan laut, jalan tol, kampus, mmah sakit, hotel, restoran,lapangan golf, gedung bioskop, apartemen, pusat perbelanjaan/ mall, SPBU, menara seluler, toko, mko, pabrik, bendungan PLTA, embangkit listrik p tenaga panas bumi/PLTP, tambak ikan, areal pembudidayaan ikan/ kerang mutiara, areal penangkapan ikan di laut, pemmahan, pertanian dan lain-lain. Penilaian properti yang dilakukan oleh tenaga penilai tidak semata

ditujukan untuk menentukan NJOP'tetapi dapat juga untuk tujuan yang lain, misalnya menilai aset daerah, pembebasan tanah yang adil, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, perbankan, asuransi, tukar guling, pembebasan lahan dan lainlain. Selain melakukan kegiatan penilaian, seorang penilai harus mampu melakukan pemetaan, dari tingkat konvensional sampai dengan pembuatan peta digital. Namun sayang sekali, sampai hari ini, satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal untuk mencetak penilai adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Gadjah Mada pada Program Pasca Sarjana
(S-2).

c. Pemahaman Metode Penilaian Objek PBB

Lebih lanjut, proses pendistribusian SPPTkepada Wajib Pajak sering melibatkan peran serta aparat mulai dari RT, RW, kepala desa dan camat. Oleh karena itu, jerih payah mereka hendaknya dihargai sewajarnya. Diharapkan jangan berlebihan dalam memberikan punishment terhadap mereka. Jerih payah para pejabat seperti notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat lelang, badan pertanahan dan pejabat di pengadilan juga semestinya jangan dilupakan. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24 UU BPHTBataupun Pasal 91 UU PDRD. Tidak hanya SDM, perangkat lain yang juga diperlukan dalam pengalihan PBB P2 dan BPHTB adalah Kantor Pelayanan PBB (KP PBB).Bila dulu, nama KPPBBadalah sesuai dengan nama kabupaten ataupun kota, misalnya KP PBBKota X. Kemudian, jika terpaksa dilakukan pemekaran kantor, maka dibentuklah KPPBBKota X Satu, KPPBBKota X Dua, KPPBBKota X Tiga dan seterusnya. Sekarang,nama KPPPratama tidaklagi berdasarkan nama kabupaten ataupun kota, tetapi cenderung kepada nama kecamatan, bahkan nama kelurahan. Artinya, dalam pendirian/pembentukan kantorkantor baru, maka pemerintah kabupaten/kota pun sebaiknya mengadopsi KPPPratama, terutama untuk kota besar semacam Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Palembang dan kota lainnya. Hal ini ditujukan untuk memperluas cakupan pelayanan dan cakupan penggalian potensi, tentunya dengan mempertimbangkan biaya yang harus disediakan.

Dalam menilai Objek PBB, digunakan 2 (dua) metode penilaian, antara lain: a. Penilaian Individual Adalah suatu cara penilaian terhadap Objek PBB dengan cara memperhitungkan semua karakteristik dari setiap Objek PBB. Kegiatan penilaian individu diterapkan untuk objek pajak non standar, objek pajak khusus maupun objek pajak yang bernilai tinggi (NJOP-nya lebih dari Rp1 miliar). b. Penilaian Massal Dibutuhkan cara yang cepat untuk menilai Objek PBB yang berjumlah ribuan bahkan jutaan. Caranya adalah dengan menggunakan penilaian massal, yaitu suatu metode penilaian yang sistema tis untuk sejumlah objek pajak yang dilakukan pada saat tertentu secara bersamaan dengan menggunakan suatu prosedur standar, yang biasanya disebut dengan Computer Assisted Valuation (CAV).
d. Pemahaman BPHTB tentang Karakter PBB P2 dan

Sebagailangkah awal untuk menerima pengalihan PBBP2 dan BPHTB,sudah seharusnya para pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mengetahui perbedaan antara bea dan pajak, serta perbedaan antara bumi dan hak atas tanah. Tidak sedikit pula masyarakat yang belum mengerti mengapa dinamakan PBBbukannya Bea Bumi dan Bangunan (BBB)ataupun Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB).Juga,mengapa dinamakan BPHTB,bukannya PajakPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPHTB) ataupun BeaPerolehan Bumi dan Bangunan (BPBB). Walaupun UU BPHTB sudah berumur hampir 12 tahun, tidak sedikit petugas pajak yang salah memahami dan menerapkannya. Misalnya tidak memahami apa yang menjadi objek, tidak memahami NPOPTKp,tidak memahami filosofi waris sehingga dikenakan BPHTB yang memberatkan Wajib Pajak, tidak mengetahui hakikat Surat Tagihan BPHTB(STB),Surat Ketetapan BPHTBKurang Bayar (SKBKB) an Surat Keterangan BPHTBKurang Bayar d Tambahan (SKBKBT). Akibatnya sering terjadi salah penerapan undang-undang.

Ada juga isi dari UU PDRD yang harusnya dijelaskan secara panjang lebar, tetapi dijelaskan hanya dengan dua kata yaitu cukup jelas. Oleh karena itu, untuk memahami secara benar UU PDRDkhususnya bagian Ketujuh Belas,maka hams dilakukan penafsiran secara historis (merujuk kembali kepada UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000). Satu lagi, pada Pasal2 UU BPHTB(ataupun Pasal 8S ayat (2) UU PDRD)penulis menyebutnya sebagai .objek eksplisit. Objek ini sangatlah jelas.Sebaliknya, objek implisit (Pasal8S ayat (4) humf d UU PDRD) masih remang-remang. Objek implisit akan menjadi terang benderang manakala peraturan yang menjelaskannya ada dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Tetapi sayang, sampai hari ini pun peraturan penjelas terse but tidak pernah ada. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sarna dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)untuk menjelaskannya, mengingat BPHTB sering menyerempet kepada ranahBPN. Peraturan yang kurang jelas,akan menimbulkan salah persepsi yang dapat memicu munculnya sengketa. Contohnya PBB sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan (PBBP3) misalnya perkebunan dengan luas sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar dalam hal tertentu bisa dituntut sebagai PBBP2. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang sarna antara Ditjen Pajak dengan pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan objek apa saja yang tergolong PBBP2 atau PBBP3. Contoh lainnya adalah kuburan komersil, sekolah swasta komersil atas nama yayasan, mmah sakit komersil atas nama Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (lPSM).Dikenakan atau tidaknya objek terse but, tampaknya pemerintah kabupaten/kota perlu memahami peraturan dengan baik dan benar. Pemahaman peraturan PBBP2 dan BPHTBlainnya adalah seputar pemahaman aturan sengketa pajak. Pada dasarnya, dalam keberatan pajak terkandung sebuah sengketa, tepatnya adalah sengketa antara Wajib Pajak dengan Dirjen Pajak. Dengan demikian, pengalihan PBBP2 dan BPHTBbetakibat juga pada pemindahan sengketa pajak ke kabupaten/kota.

...pengalihan PBBP2 don BPHTB ini seharusnya mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi masuknya arus modal ke kabupaten/kota. Contohnya, keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) untuk hak atas tanah akan berakibat pada makin tingginya BPHTB yang harus dibayar oleh pemegang hak atas tanah tersebut.
Tidak tertutup kemungkinan, sengketa tersebut akan terbawa ke Pengadilan Pajak. Pengalihan PBB P2 dan BPHTB hams tetap memerhatikan proses keberatan yang lama prosesnya sampai 12 bulan, pembetulan yang jangka waktunya sampai dengan daluarsa, dan lain-lain. Sementara itu, pengalihan PBB P2 dan BPHTB tentunya dialihkan juga tentang data Objek dan Subjek PBB P2 dan BPHTB. Hal ini tentu akan memudahkan dalam proses penindakan terhadap daluarsa penetapan, penagihan dan pidana. Contoh yang paling sederhana adalah jangan sampai terjadi pembayaran ganda, misalnya Wajib Pajak yang sudah membayar PBB, akan dipaksa membayar lagi manakala ia tidak bisa menunjukkan bukti pembayarannya (Surat Tanda Terima Setoran). Lebih lanjut, pengalihan PBBP2 dan BPHTBini seharusnya mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi masuknya ams modal ke kabupaten/ kota. Contohnya, keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH)untuk hak atas tanah akan berakibat pada makin tingginya BPHTB yang hams dibayar oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Mengapa? Karena NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak) pemberian hak bam adalah nilai pasar, jika tidak diketahui maka NPOP adalah NJOP PBB. Artinya semakin lama, maka NJOP makin tinggi. Solusinya adalah perlu koordinasi yang lebih baik lagi dengan BPN sebagai pihak yang menerbitkan SKPH. Pemahaman seputar produk/keluaran PBBjuga sepatutnya menjadi perhatian. Pasalnya, prod uk/

keluaran PBB,rnisalnya Surat Pernberitahuan Pajak Terutang (SPPT)sering dianggap rnasyarakat sebagai bukti pernilikan hak atas tanah. Padahal SPPTadalah surat yang digunakan untuk rnernberitahukan besarnya PBB P2 yang terutang kepada Wajib Pajak. Anggapan ini sernakin dipertegas oleh BPN yang rnasih rnensyaratkan SPPT sebagai salah satu bagian dalarn proses pendaftaran tanah. Untuk rnengantisipasi kejadian terse but, ada baiknya jika SPPTnihil tetap diterbitkan. Selain itu, sebagian besar rnasyarakat juga enggan untuk rnengetahui BPHTB,sehingga segala rnacarn urusan BPHTB diserahkan kepada para pejabat sebagairnana diatur dalarn Pasal 24 UU BPHTB (Pasal 91 UU Nornor 28 Tahun 2009). Lebih jauh lagi adalah bahwa rnasyarakat tidak tahu bahwa sebetulnya ada kondisi-kondisi tertentu (rnisalnya pengurangan) yang telah diatur dalarn undangun dang dan peraturan Menteri Keuangan, yang dapat rnenyebabkan berkurangnya pernbayaran BPHTBdan ini adalah legal/sah.
e. Hal Krusial Lainnya

perlu dikenakan PBB.Hal ini sernata-rnata ditujukan untuk rnengetahui nilai asetnya sebagai bagian awal dari Manajernen Aset Daerah yang lebih luas lagi. Mernang, peraturan rnernbolehkan kegiatan pendataan Objek dan Subjek PBB dilakukan oleh pihak ketiga (swasta). Tetapi sayang, rnutu/kualitas produk/output yang dihasilkan pihak ketiga tidak lebih baik dari produk/outputyang dihasilkan oleh fungsional penilai PBB.Oleh karena itu, prinsip hatihati dan waspada harus selalu dikedepankan agar kesalahan yang selarna ini terjadi tidak akan terulang kernbali. Tentu pernerintah kabupaten/kota pasti rnarnpu rnernaksa pihak broker properti untuk rnelaporkan data-data terse but. Hal ini pun dapat diberlakukan kepada pengernbang properti. Bahasan selanjutnya adalah selarna ini NJOP selalu digunakan untuk kepentingan PBB. Narnun, bukan tidak rnungkin jika NJOP tidak hanya digunakan untuk kepentingan PBB,tetapi juga dapat digunakan untuk segala tujuan. Alangkah baiknya jika NJOP bisa rnenjadi single value for multi purpose (SVMP). ontoh sederhana C adalah jika untuk kepentingan PBB, rnasyarakat rnenginginkan NJOP yang rendah, tetapi rnanakala ditujukan untuk tujuan ganti rugi, rnaka rnasyarakat tidak rnau rnenggunakan NJOP karena dianggap terlalu rendah nilainya.

Dewasa ini, Ditjen Pajak sudah rnerintis jalan untuk rnernpublikasikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)burni rnelalui internet. Harapan dari publikasi NJOP burni adalah agar tercipta transparansi pernbentukan NJOP serta rneningkatkan peranan rnasyarakat dalarn pernbentukan NJ0P. Dalarn hal ini, Ditjen Pajak rnernerlukan kerja sarna dengan berbagai instansi baik pernerintah ataupun swasta. Misalnya, agar dapat tercipta NJOP yang rnendekati nilai pasar, rnaka perlu kerja sarna dengan pihak broker properti. Mengingat sarnpai hari ini tidak ada kewajiban bagi broker properti untuk rnelaporkan data listing dan data transaksi usahanya. Berbeda dengan notaris/PPAT yang selalu rnernberikan laporan setiap bulannya. Contoh lain adalah koordinasi dengan pernerintah kabupaten/kota yang wilayahnya berbatasan satu dengan yang lain sehingga NJOP burni di daerah yang saling berbatasan adalah sarna, tentunya dengan syarat rnernpunyai sifat fisik, fasilitas, aksesibilitas yang sarna/serupa. SPPT PBB atas objek yang digunakan untuk penyelenggaraan pernerintahan seharusnya diterbitkan, dan tidak

Penutup
Bagairnanapun juga,langkah terbaik yang seharusnya diternpuh para pernerintah daerah dalarn rnenyikapi kebijakan baru ini adalah segera rnernbenahi dan rnelengkapi segala kekurangan yang ada. Seyogyanya, segala harnbatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan rnenjadi peluang

You might also like