You are on page 1of 5

CSR & CSO Propoor

Inisiatif Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Eksplorasi Industri Pertambangan dan Migas Sudah menjadi rahasia umum bahwa penduduk di daerah eksplorasi industri pertambangan dan migas di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, hidup dalam kemiskinan. Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, tapi dari berbagai survei dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009 sekitar 17 persen, dan penduduk miskin yang tinggal di wilayah pertambahan mencapai lebih dari 25 persen. Bahkan, misalnya di Bojonegoro, tempat beroperasinya eksplorasi minyak oleh Exxon Mobil, angkanya bisa mencapai 75 persen.

Tingginya angka kemiskinan di wilayah kerja industri pertambangan dan migas itu merupakan sebuah ironi. Sebab, berbagai kebijakan dan progam telah diluncurkan oleh pemerintah pusat, daerah, dan perusahaan dengan program CSR (corporate social responsibility) serta organisasi masyarakat sipil (OMS). OMS, dalam hal ini LSM, mengambil bagian dalam agenda pemberdayaan masyarakat. Tidak kalah penting, daerah dan bahkan desa mendapatkan bagi hasil dari eksploirasi tambang dan migas sehingga bisa dipakai sebagai energi untuk mengusung progam penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu, pokok persoalan yang dihadapi semua stakeholders itu antara lain karena mereka kurang mengembangkan kerja kemitraan dan pengembangan metodologi aksi yang tepat di wilayah industri pertambangan dan migas.

Berpijak pada alasan pertama itu, dapat dirumuskan bahwa tingginya angka kemiskinan di tengah wilayah yang kaya sumberdaya alam bukan sebagai akibat dari rendahnya responsibilitas pemda, perusahaan dan LSM, tetapi karena kurangnya kerja kemitraan dalam rangka untuk mengembangkan program penanggulangan kemiskinan. Banyak bukti mengungkapkan bahwa beberapa program kemitraan yang dilakukan oleh pemda, perusahaan dan LSM dapat secara lebih efektif memecahkan masalah kemiskinan di daerah kerja industri pertambangan dan migas. Hal ini karena mereka secara bersama-sama saling percaya, berbagi peran dan mendayagunakan kekuatannya untuk mengusung program dengan pendekatan yang tepat guna, bukan sekadar menggelontorkan projek dan menibobokan kelompok miskin ke dalam ketergantungan. Namun demikian, agenda kerja kemitraan semacam itu masih belum menjadi mainstream dalam program penanggulagan kemiskinan di daerah industri pertambangan dan migas.

Kedua, selain belum terjalin kerja kemitraan, program penanggulangan kemiskinan kiranya masih miskin perpektif dan strategi sebagai suatu metodologi yang spesifik di daerah industri pertambangan dan migas. Kemiskinan penduduk di daerah industri tambang dan minyak kiranya menjadi semakin spesifik jika dilihat dari aspek geografi, kependudukan, ekonomi, sosial dan budaya. Jauh sebelum industri-industri raksasa itu masuk, penduduk lokal hidup dalam keterisolasian, dengan infrasturtur ekonomi yang buruk sehingga masuk akal jika mereka hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Dari segi populasi, jumlah penduduk lokal relatif kecil, kecuali di Jawa seperti di Bojonegoro, tetapi dari segi sumberdaya manusianya mereka adalah kaum yang tertinggal dari derap modernisasi. Sementara itu, sumberdaya yang melimpah hanya dipakai sebagai basis ekonomi subsisten yang rawan terhadap kerusakan ketika kemudian populasinya meningkat. Oleh karena itu juga, kemiskinan tidak serta merta terhapus oleh meluasnya pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan pengembangan infrastutur yang cepat sebagai konsekuensi dari keberadaan industri pertambangan dan migas.

Perubahan yang cepat tersebut seolah menjadi sebuah surga bagi pendatang, tetapi bukan bagi pendudk lokal. Kalaupun penduduk lokal bisa berpartisipasi, mereka tidak mampu secepat penduduk pendatang. Sementara itu, masuknya sektor ekonomi kapitalis itu tidak serta merta melebur sektor ekonomi subsisten yang menjadi ciri kas dari ekonomi penduduk lokal. Inisiatif pemberdayaan masyarakat untuk mengangkat penduduk lokal agar bisa masuk ke dalam sektor ekonomi kapitalis sudah dilakukan oleh pemda, perusahaan, dan para aktivis dan kelompok elit lokal. Tetapi, tampaknya, selalu ada kendala yang berasal dari faktor internal baik kultur maupun struktur kelas dan sosial dalam masyarakat. Inisiatif dari pemda dan perusahaan maupun LSM, misalnya, diwujudkan dalam program pro growth, projob atau pro poor sekalipun, tetapi pada waktu yang sama kemajuan hidup penduduk lokal tidak secepat pendatang, dan bahkan porgam itu bisa mengerem laju pertumbuhan penduduk miskin.

Kemitraan dan pengembangan metodologi aksi yang spesifik kiranya menjadi jalan keluar untuk mengikis kemiskinan di daerah industri tambang dan migas. Jalan keluar pertama itu bisa dirintis dengan mengembangkan kemitraan program penanggulangan kemiskinan seperti itu. Jalan keluar ini sejalan dengan pemikiran PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa melalui UNDEF (United Nation Democracy Fund) yang mendorong agar demokrasi bukan diartikan semata sebagai sistem yang mengatur pembagian kekuasan dan memperkuat civil society semata, tetapi mewujudkan suatu kerja-kerja yang secara langsung menyentuh masalah keadilan dan kemiskinan melalui terbangunnya kepercayaan dan kerjasama di berbagai ranah pemerintahan dan ekonomi. Dengan pemikiran seperti itu, maka UNDEF mendukung pemda, perusahaan dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk menginisiasi terwujudnya prakrasa kemitraan tersebut sehingga dapat menyumbangkan suatu best practices yang bisa dipromosikan di tingkat nasional.

Dengan dukungan UNDEF itu, IRE Yogyakarta merintis munculnya kerja kemitraan penanggulangan kemiskinan di daerah industri pertambangan dan migas, sehingga akan mengharumkan nama berbagai pihak yang terlibat, karena mampu membangun kepercayaan, kerjasama yang sinergis, dan menurunkan angka kemiskinan secara lebih maksimal. Rintisan itu telah dimulai dengan menyelenggarakan Need Assesement dan Lokakarya Daerah dengan tujuan menggali potensi prakarsa kemitraan. Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan menyelenggarakan Lokakarya Nasional dengan harapan bahwa ke depan dapat dikembangkan pola jejaring dan kemitraan antar para pemangku kepentingan seperti pemda, perusahan dan OMS, dan menemukan strategi penanggulangan kemiskinan yang spesifik di daerah pertambangan dan migas. Pasca lokakarya nasional, maka roadmap pengembangan kemitraan penanggulangan kemiskinan diharapkan semakin terarah karena lokakarya ini juga memberikan acuan tentang langkah-langkah strategis seperti penguatan para fasilitator pemberdayaan masyarakat dari kalangan OMS yang terpercaya untuk menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat.

Penguatan LSM lokal sebagai ujung tombak pemberdayaan masyarakat di daerah pertambangan dan migas sangat penting karena berberapa alasan. Pertama, dari segi jumlah, mereka relatif besar dan sebagian dari mereka memang berkepentingan untuk berperan sebagai pendamping masyarakat. Kedua, secara sosiologis mereka sebenarnya lebih potensial untuk menjalankan peran sebagai pendamping masyarakat karena mereka merupakan bagian dari komunitas dan memiliki jejaring yang kuat dengan community based organization seperti perkumpulan kewargaan yang menjadi representasi anggota masyarakat. Dengan demikian, mendayagunakan LSM lokal merupakan pilihan rasional dalam mewujudkan kerja-kerja kemitraan daripada memposisikan mereka sebagai saingan maupun ancaman. Masalah yang muncul dalam agenda kemitraan adalah kurangnya kepercayaan dari pihak pemda atau perusahaan terhadap kehadiran LSM yang rendah kapasitasnya dalam menyelenggarakan program pendampingan. Namun demikian, justru masalah ini akan tetap ada selama tidak ada kesempatan bagi LSM lokal untuk mengembangkan kapasitasnya sehingga terangkat kredibilitasnya. Oleh karena itu, roadmap pengembangan kemitraan akan melewati jalur yang tepat jika LSM lokal yang sudah memiliki kapasitas diberi kesempatan untuk memikul tanggungjawab melakukan kerja pendampingan di masyarakat.

Memberikan akses kepada LSM lokal, untuk mengambil peran pada penanggulangan kemiskinan, sebenarnya menempatkan mereka sesuai dengan misinya sebagai pendamping masyarakat. Masalahnya, selama ini LSM lokal justru sering berebut dana CSR atau recovery cost demi merebut semacam kue yang harus dikeluarkan perusahaan. Masalah itu muncul karena LSM pun sudah diposisikan sebagai pendamping projek fisik seperti pembangunan jalan, jembatan gedung TK atau balai pertemuan daripada sebagai pendamping masyarakat yang orientasinya adalah memanfaatkan dana CSR untuk meningkatkan kemandirian masyarakat. Terwujudnya kemandirian masyarakat memerlukan pendampingan yang intensif, bukan kucuran program CSR yang berorientasi pada penggelontoran projek-projek fisik. Program CSR hendaknya memberikan dukungan terhadap prakarasa warga untuk bekerja keras dengan memberikan sarana dalam mengembangkan keswadayaan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Prakarsa membangun kemitraan penanggulangan kemiskinan seperti terurai di atas akan berbuah kalau mampu menampilkan best practices, mendapat dukungan perusahaan, pemda, LSM dan publik dan memperoleh payung hukum. Oleh karena itu inisiatif IRE dengan dukungan UNDEF akan bergerak ke arah itu dan membuka kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menjamin keberlanjutan program.

Keberhasilan program bukan lagi pada inisiatif IRE tetapi pada responsivitas dan responsibilitas dari para pemangku kepentingan seperti pemda, perusahaan, OMS di daerah dan pemerintah, dalam hal ini terutama BPLP Migas sebagai institusi yang dapat mengarahkan semua pihak untuk membangun kemitraan dalam mewujudkan program CSR yang partisipatif.

Bambang Hudayana

Program CSR Perhutani Lakukan Pemberdayaan Hutan Pedesaan


2011-11-05 14:49:00

108CSR.com - Selain program penghijauan dengan penanaman pohon, program Corporate Sosial Responsibilty (CSR) perusahaan banyak diarahkan kepada pengelolaan hutan yang baik. Belum lama ini sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan penerapan sharing produksi kepada lembaga masyarakat desa hutan (LMDH), berhasil menurunkan tingkat kerusakan hutan dan kesejahteraan masyarakat desa hutan setempat. Bahkan program ini menjadi investasi yang sangat menguntukan bagi perusahaan. Secara perlahan, namun pasti pelepasan pengelolaan hutan kepada desa terus dilakukan oleh pemerintah,sebagai salah satu perusahan BUMN, Perum Perhutani yang ditugaskan untuk mengelola kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Pulau Jawa - Madura sendiri mengakui dengan adanya penerapan sharing produksi kepada lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dalam melaksanakan program CSR perusahaannya mampu mendorong kesejahteraan masyarakat desa setempat. Melalui PHBM Perhutani bekerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan bersama. Kegiatan telah berlangsung sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program program sosial perusahaan sejak dicanangkannya kebijakan Forest for People tahun 1978 di Indonesia. Tidak kurang dari 5.403 desa hutan di pulau Jawa dan Madura berada di sekitar kawasan hutan Perhutani. Sejak tahun 2005 sampai tahun 2010, Perhutani tercatat 5.054 desa hutan atau sekitar 94% dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura bekerjasama melalui program PHBM. Luas hutan yang dikerjasamakan menjadi hutan pangkuan desa mencapai 2.250.172 Ha melibatkan lebih kurang 5.456.986 KK tergabung dalam 5.237 Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan 746 Koperasi Desa Hutan. Program PHBM menurut masyarakat telah

memberikan manfaat berupa penyerapan tenaga kerja desa hutan mencapai 5 juta orang pertahun sampai tahun 2010. Memberi kesempatan berusaha di sektor industri (216 unit usaha), perdagangan (236 unit usaha), pertanian (1746 unit usaha), peternakan (308 unit usaha), perkebunan (404 unit usaha), perikanan (163 unit usaha), jasa (724 unit usaha). Bahkan bagi hasil dari produksi hutan berupa kayu dan non kayu. Realiasi nilai bagi hasil produksi dari tahun 2005 sampai dengan Agustus 2010 nilai bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang diterima LMDH adalah Rp. 160,279 milyar.Sedangkan pendapatan dari produksi tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang-kacangan kegiatan tumpangsari di lahan hutan mencapai Rp. 4.979.455.721,atau rata-rata Rp. 1 milyar per tahun. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi. Perum Perhutani mengarahkan masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, sepertii halnya budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Bahkan Perum Perhutani juga melakukan sinergi dengan mengandeng BUMN lainnya untuk menyelaraskan program CSR ini. Seperti melakukan kerjasama dengan PT ANTAM (persero) Tbk. Menurut Asisten Direktur RUPHR Perhutani, Suwarno, kerjasama ini juga merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU antara Menteri BUMN RI dan Menteri Kehutanan RI perihal Sinergi BUMN Percepatan Program Penanaman 1 (satu) Milyar Pohon, komitmen Perhutani untuk membantu Pemerintah menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26% sampai pada tahun 2020 serta komitmen Kementerian BUMN untuk membangun dan mengembangkan hutan rakyat seluas 2 (dua) juta hektar di Pulau Jawa sampai dengan tahun 2014. Dalam kerjasama ini, Perhutani dan ANTAM sepakat untuk mengembangkan Hutan Rakyat seluas 200 Ha di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Pandeglang. Pola kerjasamanya melibatkan three partied, terdiri dari Perum Perhutani, ANTAM dan dan KTHR. PT. ANTAM melalui program CSR-nya menyediakan biaya untuk pembuatan hutan rakyat, Perhutani, melalui Direktorat RUPHR bertindak sebagai perencana, pelaksana dan pembina teknis budidaya serta Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai pemilik lahan.

Hasil identifikasi desa yang berada di sekitar kawasan hutan, yaitu Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1305 desa terdapat di dalam kawasan, 7943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22709 berada di luar kawasan hutan. Bahkan program keberlanjutan yang membawa dampak positif ini bagi masyarakat dan perusahaan telah membawa, Perum Perhutani meraih peringkat III dari 48 perusahaan BUMN yang berpredikat "SANGAT BAGUS" dalam Infobank BUMN Awards 2011. Penghargaan itu diterima Direktur Umum & SDM Perum Perhutani, Achmad Fachrodji, di Ballrom Hotel Mulia Jakarta belum lama ini. (ard)

You might also like