You are on page 1of 16

PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DI JEMBER PADA ERA GLOBALISASI

Disusun Oleh:

Glesandi Pramono

(080810391046)

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2011

ABSTRAK

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Pesatnya pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Beberapa kalangan memandang bahwa makin meluasnya pendirian pasar modern di Indonesia, makin baik bagi pertumbuhan ekonomi serta iklim persaingan usaha. Sementara itu, kalangan lain berpendapat bahwa di era globalisasi pasar tradisional telah menjadi korban dari kompetisi sengit antara sesama pasar modern, baik lokal maupun asing. Meskipun demikian, argumen yang mengatakan bahwa kehadiran pasar modern merupakan penyebab utama tersingkirnya pasar tradisional tidak seluruhnya benar. Menyadari pentingnya fungsi Pasar Tradisional yang strategis dalam rangka peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, maka perlu diupayakan pemberdayaan Pasar Tradisional sehingga menjadi tempat yang layak dan menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi bagi setiap kalangan. Hampir seluruh pasar tradisional di Jember masih bergelut dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional. Keadaan ini secara tidak langsung menguntungkan pasar modern. Temuan dari metode kualitatif menunjukkan bahwa penyebab utama kalah bersaingnya pasar tradisional dengan supermarket adalah lemahnya manajemen dan buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan semata-mata karena keberadaan supermarket. Pasar tradisional belum dapat dibebaskan dari citra negatif sebagai tempat yang kumuh, semrawut, becek, kotor, kriminal tinggi, tidak nyaman, dan minimnya fasilitas yang ada, sehingga untuk menghindari tenggelamnya pasar tradisional akibat kehadiran pasar modern, diperlukan pendekatan yang terpadu terhadap permasalahan di atas. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemda dan lembaga keuangan setempat memerhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kata kunci: Pasar Tradisional, Pasar Modern, kondisi Pasar, evaluasi dampak

Pendahuluan Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. Akhir-akhir ini dampak kehadiran supermarket (termasuk hypermarket) terhadap keberadaan pasar tradisional menjadi topik yang menyulut perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Liberalisasi sektor perdagangan eceran pada 1998 telah mendorong munculnya berbagai supermarket asing di Indonesia. Dengan semakin menjamurnya supermarket asing ke berbagai kota, timbul pendapat dari beberapa kalangan bahwa di era globalisasi pasar tradisional menjadi korban

utama persaingan antara pasar tradisional dan modern. Bahkan ada pihak-pihak yang menganggap perlu adanya pembatasan keberadaan supermarket, terutama di lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional, agar tidak merebut konsumen pasar tradisional. Pesatnya pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern dikelola secara profesional dengan fasilitas yang serba lengkap, di sisi lain, pasar tradisional masih berkutat dengan permasalahan klasik seputar pengelolaan yang kurang profesional dan ketidaknyamanan berbelanja. Pasar modern dan tradisional bersaing dalam pasar yang sama, yaitu pasar ritel. Hampir semua produk yang dijual di pasar tradisional seluruhnya dapat ditemui di pasar modern, khususnya hipermarket. Semenjak kehadiran hipermarket di daerah perkotaan Indonesia, pasar tradisional di disinyalir merasakan penurunan pendapatan dan keuntungan yang drastis. Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah; apakah benar supermarket merupakan sebab utama menurunnya kinerja pasar tradisional di tengah-tengah era globalisasi ini? Dalam artikel ini akan disajikan pembahasan komprehensif mengenai permasalahan pasar tradisional berkaitan dengan kehadiran supermarket dan akan ditampilkan beberapa kasus menyangkut persoalan yang dihadapi para pedagang pasar tradisional di perkotaan. Diharapkan bahwa apa yang disajikan di sini dapat menjadi masukan bagi formulasi kebijakan yang akan memperkuat kapasitas pasar tradisional dalam arus globalisasi pasar.

Pasar Tradisional vs Pasar Modern Pricewaterhouse Coopers (2005) memprediksi bahwa penjualan

supermarket akan meningkat sebesar 50% dari periode 2004 hingga 2007, sedangkan penjualan hipermarket akan meningkat sebesar 70% untuk periode yang sama. Salah satu penyebab meningkatnya jumlah dan penjualan pasar modern adalah urbanisasi yang mendorong percepatan pertumbuhan penduduk di perkotaan serta meningkatnya pendapatan per kapita. Dari 1998 hingga 2003,

hipermarket di seluruh Indonesia tumbuh 27% per tahun, dari delapan menjadi 49 gerai. Meskipun demikian, pertumbuhan hipermarket terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek dengan proporsi 58% dari keseluruhan hipermarket. Pedagang tradisional yang terkena imbas langsung dari keberadaan supermarket atau hipermarket adalah pedagang yang menjual produk yang sama dengan yang dijual di kedua tempat tersebut. Meskipun demikian, pedagang yang menjual makanan segar (daging, ayam, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainlain) masih bisa bersaing dengan supermarket dan hipermarket mengingat banyak pembeli masih memilih untuk pergi ke pasar tradisional untuk membeli produk tersebut. Keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah bahwa mereka dapat menjual produk yang relatif sama dengan harga yang lebih murah, ditambah dengan kenyamanan berbelanja dan beragam pilihan cara pembayaran. Supermarket dan hipermarket juga menjalin kerja sama dengan pemasok besar dan biasanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mereka dapat melakukan efisiensi dengan memanfaatkan skala ekonomi yang besar. Supermarket melakukan beberapa strategi harga dan nonharga, untuk menarik pembeli. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, mereka melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan diskriminasi harga antarwaktu (inter-temporal price discrimination). Misalnya memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan strategi nonharga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama, khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan), dan parkir gratis. Beberapa kalangan memandang bahwa makin meluas pendirian pasar modern di Indonesia, makin baik bagi pertumbuhan ekonomi serta iklim persaingan usaha. Sementara itu, kalangan lain berpendapat bahwa di era globalisasi pasar tradisional telah menjadi korban dari kompetisi sengit antara sesama pasar modern, baik lokal maupun asing. Pasar tradisional kehilangan pelanggan akibat praktik usaha yang dilakukan oleh supermarket

Kondisi Pasar Tradisional di Jember Sejumlah pasar tradisional di Jember kian memprihatinkan, selain banyak kondisi pasar yang tidak terurus, jumlah pembeli yang berkunjung ke pasar tradisional terus menurun. Akibatnya, jumlah pedagang di pasar tradisional terus berkurang. Selain kondisi saluran air yang mapet dan bau, kurangnya lahan juga menjadi masalah utama. Banyak kondisi fisik pasar tradisional rusak dan nyaris ambruk. Kondisi banyaknya pasar tradisonal yang masih becek, kotor dan kumuh itu tetap membutuhkan sentuhan dari Pemerintah Pusat terkait anggaran. Tidak sedikit pasar pasar tradisonal di Kecamatan Jember sudah tidak mempunyai akses sarana jalan akibat rusak dan belum diaspal serta dipaving. Bahkan beberapa diantaranya sadah tidak tertata rapi dan terkesan amburadul. Adapun dari data Dinas Pasar Jember diperoleh, terdapat beberapa pasar tradisional yang saat ini kondisinya kian meredup. Diantaranya adalah, pasar Tegalboto, pasar Tegalbesar, pasar Sukorejo dan pasar Menampu Kecamatan Gumukmas. Masalah pembuangan atau limbah yang paling banyak mendapat sorotan adalah limbah pasar sayur, ikan dan daging, terlebih pada pasar sayur. Limbah tersebut hampir bisa dikatakan sangat banyak dan berlebih karena sifat dari sayur adalah meruah, memakan tempat. Sayur, buah dan komoditas semacamnya adalah barang yang mudah busuk atau kadaluarsa, sehingga limbah yang dibuang pun bisa menjadi busuk ditempat jika penanganan lambat. Dari informasi yang dihimpun, 80 persen pasar tradisional tidak lagi menampakkan aktivitasnya. Bahkan beberapa diantaranya hanya dihuni dua pedagang dari puluhan kios yang dibangun. Minimnya pembeli hingga hengkangnya para pedagang menyebabkan bangunan tak berfungsi dan rusak dimakan usia. Hampir separuh di setiap pasar ini yang ditinggalkan oleh pedagangnya, wajar jika banyak kios yang mangkrak. Selain itu dari temuan yang ada oleh dinas pasar di pasar milik Pemkab tersebut ternyata terdapat penurunan jumlah pedagang yang menempati areal pasar tersebut, salah satunya adalah Pasar Tegalbesar pedagang yang aktif hanya 47 orang dari jumlah sebelumnya yang mencapai 200 orang pedagang. Sementara di Pasar Sukorejo, dari 60 kios hanya 20 kios saja yang digunakan pedagang

berjualan bahan kebutuhan pokok sehari, jumlah ini terus menyusut setiap bulannya seiring tumbuhnya pasar modern dengan sistem waralaba yang masuk ke daerah-daerah terpencil. Hal yang sama juga terjadi di Pasar Pasar Patrang, Pasar Menampu dan Pasar Burung Gebang yang mengalami nasib sama mengalami penurunan jumlah pedagang, sehingga dinas pasar dengan sepinya pasar tersebut menilai tidak layak untuk disebut untit pasar dari aspek kelembagaan yang dipimpin oleh seorang mantra pasar. Dari total 31 pasar tradisional yang ada di kota tembakau ini, 7 diantaranya masih ramai dikunjungi masyarakat, selebihnya kian hari kian surut, bahkan nyaris tutup seperti di Pasar Tegalboto yang memiliki 30 kios untuk ditempati pedagang. Namun kenyataannya hanya dua kios saja yang berfungsi, selebihnya tutup bahkan rusak. Bahkan Pasar Tanjung sebagai pasar induk juga memiliki kesan becek, kumuh, bau tidak sedap serta sesak karena losnya berdesak-desakan, tidak lagi dirasakan oleh konsumen. Tidak adanya fasilitas bongkar muat barang pada Pasar Tanjung membuat lalu lintas menjadi macet. Faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan jaminan yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi, tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Sriboonchitta 2006).

Dampak Pasar Modern terhadap Pasar Tradisional di Jember Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas). Pasar modern antara lain mall, supermarket, departement store, shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya. Barang yang

dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barangbarang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian terlebih dahulu secara ketat sehingga barang yang rijek/tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan ditolak. Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti (tercantum harga sebelum dan setelah dikenakan pajak). Di kota-kota besar, keberadaan Pasar Tradisional semakin terpinggirkan oleh hadirnya Pusat Perbelanjaan Modern. Sedangkan di kota kecil atau kecamatan misalnya, khususnya di Jember, keberadaan Pasar Tradisional itu kini juga tersaingi oleh cabang-cabang Toko Serba Ada-Toserba yang

perkembangannya berlangsung begitu cepat. Kebanyakan Pasar Tradisional memang tidaklah dirancang dengan desain khusus. Persoalan investasi atau modal adalah penyebab utamanya. Namun perlu diingat bahwa di Pasar Tradisional, jumlah yang berdagang memang bisa lebih banyak. Pedagang kecil dan petani dapat mengakses Pasar Tradisional itu secara lebih mudah. Ini tentu mempunyai dampak pada distribusi hasil bumi dan upaya perdagangan serta pemerataan, khususnya bagi mereka yang bermodal kecil. Beberapa penelitian mengenai dampak supermarket yang pernah dilakukan di negara berkembang, di antaranya oleh Reardon dan Berdegu (2002), Reardon et al (2003), Traill (2006), dan Reardon dan Hopkins (2006), menemukan adanya dampak negatif terhadap pedagang ritel tradisional dengan menjamurnya supermarket. Pedagang yang terlebih dahulu bangkrut biasanya adalah pedagang yang menjual aneka barang, makanan olahan, dan produkproduk olahan susu, diikuti oleh toko-toko yang menjual bahan makanan segar dan pasar tradisional. Mereka hanya dapat bertahan selama beberapa tahun. Setelah itu, tinggal pedagang yang berdagang produk-produk spesifik atau mereka yang berdagang di daerah yang dilindungi dari keberadaan supermarket saja yang dapat tetap bertahan.

Meskipun demikian, argumen yang mengatakan bahwa kehadiran pasar modern merupakan penyebab utama tersingkirnya pasar tradisional tidak seluruhnya benar. Hampir seluruh pasar tradisional di Jember masih bergelut dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional. Keadaan ini secara tidak langsung menguntungkan pasar modern. Temuan dari metode kualitatif menunjukkan bahwa penyebab utama kalah bersaingnya pasar tradisional dengan supermarket adalah lemahnya manajemen dan buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan semata-mata karena keberadaan supermarket. Supermarket sebenarnya mengambil keuntungan dari kondisi buruk yang ada di pasar tradisional. Pedagang, kepala pasar, dan semua pemangku kepentingan di pasar tradisional mengatakan bahwa langkah utama yang harus dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pasar tradisional adalah dengan memperbaiki sarana dan prasarana pasar tradisional, mengatasi masalah PKL di sekitar pasar, dan memperbaiki sistem manajemen, baik di dinas perpasaran maupun di pasar tradisional itu sendiri. Meskipun dengan kondisi yang tidak menguntungkan, tetap ditemukan adanya pasar tradisional yang mampu bertahan karena dikelola dengan baik dan memperhatikan seluruh aspek seperti kebersihan, kenyamanan, dan keamanan dalam berbelanja. Kelebihan pasar tradisional adalah kekhasannya yang tidak dimiliki oleh pasar modern, seperti jual-beli dengan tawar-menawar harga dan suasana yang memungkinkan penjual dan pembeli menjalin kedekatan. Konsumen yang berpendapatan tinggi dan menengah atas akan lebih menyukai tempat transaksi atau pasar yang lebih mewah, aman, luas, bersih, barang tertata rapi disertai dengan petunjuk yang jelas, ada pelayanan yang profesional, menyediakan semua yang dibutuhkan dan mekanisme pembayaran yang canggih (bisa non-cash). Tempat ini biasanya disebut dengan pasar modern. Sebaliknya, bagi golongan penduduk yang berpendapatan rendah dan

menengah bawah umumnya lebih menyukai melakukan transaksi atau berbelanja ditempat yang lebih ramai, banyak tersedia pilihan barang kebutuhan, bisa ditawar karena penjual dan pembeli bertemu secara langsung, harga terjangkau, pembayaran dengan cash, tersedia fasilitas angkutan umum, Tempat ini umum disebut dengan pasar tradisional. Pasar modern dan pasar tradisional sudah dibedakan dengan sangat tegas oleh para pembeli atau konsumen sendiri. Ini juga menunjukan bahwa kedua pasar itu tidak akan saling memangsa, justeru bisa saling melengkapi kebutuhan konsumen. Bila ditemukan ada pasar tradisional yang mati karena ditinggalkan oleh konsumennya, menurut buku ini, karena pasar tradisional belum dapat dibebaskan dari citra negatif sebagai tempat yang kumuh, semrawut, becek, kotor, kriminal tinggi, tidak nyaman, fasilitas minim (tempat parkir terbatas, toilet tidak terawat, tempat sampah yang bau, instalasi listrik yang buruk, gampang memicu kebakaran, dan lorong yang sempit). Kemudian, pasar tradisional masih dipenuhi oleh para pedagang informal yang sulit diatur dan mengatur diri. Pengelola pasar masih mengalami kesulitan untuk melakukan penataan yang lebih tertib terhadap mereka. Kondisi ini membuat pasar tradisional tidak nyaman untuk dikunjungi. Karena itu, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, citra pasar tradisional yang kurang baik tersebut sudah semestinya mendapat perhatian yang cukup besar karena didalamnya terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Permasalahan yang dihadapi Pasar Tradisional di Jember Untuk saat ini, yang perlu menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana agar pasar tradisional bisa dibuat menjadi lebih layak sebagai tempat transaksi tanpa harus secara drastis mengubah citranya atau khasnya sebagai pasar tradisional. Pasar tradisional belum dapat dibebaskan dari citra negatif sebagai tempat yang kumuh, semrawut, becek, kotor, kriminal tinggi, tidak nyaman, dan minimnya fasilitas yang ada. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pasar tradisional adalah:

Pedagang di Pasar Tradisional 1. Jumlah pedagang yang semakin meningkat Jumlah pedagang yang ingin berjualan di pasar tradisional dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Hal ini berdampak pada kebutuhan tempat yang juga semakin meningkat. Jika tempat tidak tersedia, maka timbul pemaksaan dan mengabaikan tata ruang pasar. 2. Kesadaran yang rendah terhadap kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban Para pedagang yang umumnya berpendidikan rendah, tidak memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlunya kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban. Kondisi ini dibiarkan oleh para pengelola pasar tanpa ada keinginan untuk melakukan proses edukasi atau pelatihan secara berkala terhadap pada pedagang. 3. Pemahaman yang rendah terhadap perilaku konsumen Selera konsumen selalu berubah-ubah, tetapi para produsen dan pedagang tidak bisa mengikutinya karena terbatasnya pengetahuan dan informasi. Mereka pada umumnya berkembang secara alamiah. Pengelolaan dan Manajemen Pasar 1. Visi dan misi tidak jelas Pihak pengelola pasar (Dinas Pasar di tingkat kebijakan dan Perusahaan Daerah di tingkat manajemen) belum memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan bentuk pasar tradisional yang akan dikembangkan ke depan. 2. Pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara efektif Tugas pokok pengelola pasar adalah melakukan pembinaan terhadap pedagang, menciptakan kondisi pasar yang kondusif dan layak untuk berusaha serta mengupayakan kelancaran distribusi barang sehingga tercipta kestabilan harga barang, terutama kebutuhan pokok masyarakat. Saat ini, pengelola pasar baik Dinas Pasar maupun Perusahaan Daerah yang menangani manajemen pasar belum memahami tugas dan fungsinya sebagai pengelola. Orientasi pemerintah daerah masih lebih cenderung

pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah daripada peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 3. Kurang perhatian terhadap pemeliharaan sarana fisik Umur ekonomis bangunan pasar dapat menjadi pendek, apabila tidak dilakukan pemeliharaan yang tepat dan berkala. Dampaknya, sarana pasar yang seharusnya diperuntukkan untuk bisa bertahan lebih dari 25 tahun menjadi tidak terwujud. Dengan mudah, pasar yang baru dibangun, kembali menjadi kumuh dalam waktu singkat. 4. Pedagang kaki lima yang tidak tertib karena tidak mendapatkan tempat yang layak Pedagang kaki lima memerlukan tempat untuk menjajakan dagangannya. Mereka selalu mencari tempat yang ramai dikunjungi pembeli. Sayangnya, belum ada solusi yang memadai untuk mereka. Cenderung dibiarkan saja, sehingga mereka menempati pinggiran jalan untuk menjual. Akibatnya, terjadi kemacetan lalu lintas angkutan barang dan mengganggu kenyamanan pembeli. 5. Tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual dan standardisasi ukuran dan timbangan Karena sifatnya terbuka, maka sangat sulit dilakukan pengawasan terhadap barang yang dijual di pasar tradisional. Begitu pula dengan standardisasi ukuran dan timbangan barang yang seringkali tidak dilakukan dengan benar oleh pedagang. Pengelola pasar belum melakukan koordinasi dengan pihak yang berkompeten untuk melaksanakan pengawasan secara rutin demi melindungi kepentingan konsumen. 6. Masalah fasilitas umum Kelemahan mendasar lainnya dari pasar tradisional adalah kurang tersedianya fasilitas umum yang memadai. Tempat parkir yang sempit, toilet yang kotor dan kadang tidak berfungsi dengan baik, tempat pembuangan sampah sementara yang menggunung dan menimbulkan bau menyengat, koridor atau lorong yang sempit adalah merupakan

pemandangan umum yang diketemukan di hampir semua pasar tradisional di Jember. 7. Penataan los/kios/lapak yang tidak beraturan Kesemrawutan pasar tradisional juga disebabkan oleh karena tidak adanya kemampuan dan ketegasan oleh manajemen pasar dalam mengatur kios dan lapak secara baik dan rapi. Pengelola cenderung bersikap masa bodoh dan tidak bisa bertindak tegas dalam menertibkan serta mengenakan sanksi terhadap para pelanggar yang menggunakan ruangan yang bukan peruntukannya.

Kesimpulan Menyadari pentingnya fungsi Pasar Tradisional yang strategis dalam rangka peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, maka perlu diupayakan pemberdayaan Pasar Tradisional sehingga menjadi tempat yang layak dan menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi bagi setiap kalangan. Modernisasi bukan satu-satunya solusi, tetapi bisa dilakukan peningkatan fungsi dan daya tarik Pasar Tradisional dalam bentuk lain dengan menciptakan sesuatu yang khas dan keunikan namun tingkat kenyamanan, keamanan, kebersihan, ketertiban menjadi terpelihara dengan baik dan tidak kalah dengan apa yang terdapat di pasar modern. Seiring dengan meningkatnya persaingan di bisnis ritel, ada beberapa hal yang harus menjadi landasan bagi pembuat kebijakan untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional. Untuk menghindari tenggelamnya pasar tradisional akibat kehadiran pasar modern, diperlukan pendekatan yang terpadu terhadap permasalahan di atas, yaitu: 1. Menghilangkan image bahwa Pasar Tradisional adalah tempat yang kumuh, becek, tidak aman/tertib dan banyaknya pungutan liar. 2. Menumbuhkan budaya kepada para pedagang, pengelola pasar dan pembeli untuk dapat menciptakan suasana pasar yang bersih, nyaman, aman dan tertib serta lebih menarik.

3. Manajemen pasar yang profesional dengan visi dan misi yang jelas demi meningkatkan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemda dan lembaga keuangan setempat memerhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga. Untuk menyikapi kondisi tersebut pemerintah diharuskan melakukan beberapa langkah yang akan ditempuh salah satunya efiensi pengelolaan pasar. Dengan pendekatan analis beban kerja maka akan diketahui jumlah pengelola pasar, mulai dari mantri pasar, juru pungut restribusi, petugas kebersihan, maupun petugas keamanannya, dengan mengetahui jumlah pengelola pasar diharapkan dapat diketahui kebutuhan pegawai di pasar tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan dinas pasar harus melakukan pengurangan jumlah mantra pasar dan penggabungan pasar yang ada, hal ini sebagai solusi untuk mengatasi sepinya pasar milik Pemkab. Melihat kondisi pasar khususnya milik Pemkab yang sepi karena banyak ditinggal oleh para pedagang, maka dinas pasar harus melakukan penggabungan pasar dan pengurangan jumlah mantri pasar. Bisa jadi dengan penggabungan pasar yang akan dilakukan dinas pasar tersebut seorang mantra pasar bisa membawahi 2 sampai 3 pasar, penggabungan pasar tersebut tidak dilakukan serta merta begutu saja tapi melihat letak pasar tersebut berdekatan atau tidak. Dengan penggabungan pasar yang tidak perlu memindahkan lokasi pasar tersebut, bisa mengatasi permasalahan yang ada di pasar milik Pemkab selama ini untuk mendongkrak perolehan PAD dan dapat lebih mengoptimalkan kinerja karyawan yang ada.

Daftar Pustaka

Akhmadi, Adri Poesoro, Daniel Suryadarma, Meuthia Rosfadhila, dan Sri Budiyati. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. SMERU. November 2007. Budiono, Kabul. 2011. Pasar Tradisional yang Semakin Terpinggirkan. http://www2.rri.co.id/index.php/komentar-lain/2942-pasartradisionalyangmakin-terpinggirkan. 01 March 2011. Daffa, Dela. 2011. 80 Persen Pasar Tradisional di Jember Mati Suri. Detik Surabaya. September 2011. Pangestu, Mari Elka. 2004. Pasar Tradisional yang Modern: Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Pasar Tradisional. http://www.usdrp-

indonesia.org/files/downloadCategory/72.pdf. Poesoro, Adri. 2007. Pasar Tradisional Di Era Persaingan Global (Traditional Markets In The Era Of Global Competition). SMERU. April 2007 Pricewaterhouse Coopers. 2005. Global Retail and Consumer Study From Beijing to Budapest. Kajian Ritel dan Konsumen dari Beijing sampai Budapest].http://www.pwc.com/gx/eng/about/ind/retail/growth/indonesia. pdf. Putranto, Heru. 2011. Pasar Tradisional ditinggalkan Konsumen. EKONOMI BISNIS. Radar Jember. Januari 2011. Hal 38.

Putranto, Heru. 2011. Pasar Tradisional Saatnya direvitalisasi. EKONOMI BISNIS. Radar Jember. Januari 2011. Hal 38. Susilo, Agus dan Taufik. 2010. Dampak Keberadaan Pasar Modern Terhadap Usaha Ritel Koperasi Waserda Dan Pasar Tradisional.

http://www.umk.ac.id/jurnal/jurnal/2010/sosbud%20desember%202010/D AMPAK%20KEBERADAAN%20PASAR%20MODERN.pdf.

You might also like