You are on page 1of 2

Berbagi Demi Kehidupan yang Lebih Baik Beda Belanja Barang dgn Belanja Modal September 15, 2008

tags: apbd, APBN, Bagan Akun Standar (BAS), belanja barang, belanja modal, korupsi, KPPN, PMK No.91/2007 by syukriy Pengantar. Perbedaan definisi dan pengertian antara belanja barang dan belanja modal dalam anggaran pemerintah (APBN dan APBD) bukanlah sesuatu yang sederhana dan dapat diabaikan begitu saja. Banyak penyimpangan anggaran terjadi karena kelonggaran dalam pengklasifikasian ini. Pemerintah Pusat selaku regulator, melalui Departemen Keuangan, kemudian menerbitkan aturan yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi aparatur pemerintah yang menjadi pelaksana di lapangan. Apakah aturan ini sudah cukup? Apakah memang pemahaman para stakeholder sudah seperti yang diharapkan? Berikut dua tulisan tentang belanja modal, yang salah satunya merupakan Editorial Media Indonesia tanggal 25 Agustus 2008. Beda Belanja Barang dgn Belanja Modal Bendahara Kementerian/Lembaga sering mengeluh karena SPM yang diajukan ke KPPN tidak bisa cair seluruhnya. Menurut bendahara, tagihan untuk honor tim tidak bisa dicairkan karena tidak sesuai akunnya. Honor tim pengadaan modal dalam DIPA masuk ke dalam belanja modal. Sementara menurut pihak KPPN honor tim harus masuk ke dalam belanja barang. Gara-gara perbedaan persepsi ini menyebabkan SPM tidak bisa cair. Sebenarnya dalam PMK No.91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) sudah didefinisikan perbedaan belanja barang dan belanja modal secara jelas. Belanja barang adalah pengeluran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan. Sedangkan definisi belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang dugunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Pangkal Perbedaan Dalam penyusunan perencanaan anggaran sudah mengacu pada BAS, sementara dalam pelaksanaan anggaran masih belum mengacu pada BAS. Inilah pokok awal terjadinya perbedaan persepsi. Demikian juga dalam penyusunan perencanaan anggaran berpedoman pada petunjuk penyusunan dan penelahaan RKA-KL yang mengatur penerapan konsep full costing dalam suatu kegiatan yaitu seluruh biaya yang menunjang dalam pencapaian output disesuaikan dengan jenis belanjanya. Ini sejalan dengan norma akuntansi yaitu azas full disclosure untuk masing-masing jenis belanja. Misalnya, belanja modal tanah menjadi belanja modal tanah, belanja modal pembebasan tanah, belanja modal pembayaran honor tim tanah, belanja modal pembuatan sertifikat tanah, belanja modal pengurukan dan pematangan tanah, belanja modal biaya pengukuran tanah, dan belanja modal perjalanan pengadaan tanah. Faktor lain berupa pemahaman pegawai tentang konsep BAS belum utuh, sementara sosialiasi BAS masih minim. Demikian pula masih banyak pegawai yang belum mengerti prinsip-prinsip akuntansi yang dipakai dalam BAS. Sehingga berdampak pada kesalahan dalam menterjemahkan dan menjelaskan kepada kementerian/lembaga.

Menyadari akan hal tersebut serta untuk memberikan kemudahan dalam mekanisme pelaksanaan APBN dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga, maka diterbitkan Perdirjen Perbendaharaan No. PER-33/PB/2008 tentang pedoman penggunaan AKUN pendapatan, belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal sesuai dengan BAS. Menurut Perdirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila: 1. 2. 3. pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas; pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah; perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual. Sayang tidak dijelaskan bagaimana cara mengetahui niat bukan untuk dijual atau untuk dijual. Demikian juga, apakah niatnya cukup dalam hati atau didokumentasikan?

Dalam petunjuk penyusunan dan penelahaan RKA-KL nilai kapitalisasi aset tetap diatas Rp300.000 per unit. Sedangkan batasan minimal kapitalisasi untuk gedung dan bangunan, dan jalan, irigasi dan jaringan sebesar Rp10.000.000. Sementara karakteristik aset lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dan nilainya relatif material. Belanja modal juga mensyaratkan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan.

Namun demikian perlu diperhatikan, karena ada beberapa belanja pemeliharaan yang memenuhi persyaratan sebagai belanja modal yaitu apabila (a) pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas, dan volume aset yang telah dimiliki dan (b) pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimum nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya. Untuk lebih jelas, Perdirjen Perbendaharaan tersebut dilengkapi dengan lampiran yang mencantumkan 23 contoh uraian transaksi belanja yang sering terjadi dan klasifikasinya, apakah termasuk belanja barang atau belanja modal. Contohnya overhaul kendaraan dinas termasuk klasifikasi belanja modal. Dengan penjelasan dan contoh, masihkah terjadi perbedaan persepsi? Sumber: Departemen Keuangan. Menggenjot Belanja Modal (Editorial Media Indonesia, 25 Agustus 2008) AKHIR pekan ini, seluruh kementerian dan lembaga harus sudah merampungkan perbaikan komposisi anggaran dalam RAPBN 2009. Itulah tenggat yang diberikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengumpulkan sejumlah menteri pekan lalu. Wakil Presiden meminta belanja modal dalam RAPBN ditingkatkan dan belanja barang dibatasi seminimal mungkin. Tujuannya menunjang pertumbuhan ekonomi yang dipatok 6,2% tahun depan. Menggenjot belanja modal adalah perkara sangat penting karena meningkatkan produktivitas perekonomian. Semakin banyak belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Sebaliknya, belanja barang tidak terlampau mampu menghela pertumbuhan ekonomi. Belanja barang bahkan menjadi wilayah empuk bagi bersemainya praktik korupsi melalui penggelembungan harga. Jelas bahwa untuk mencapai angka pertumbuhan di atas 6%, belanja modal harus lebih tinggi daripada belanja barang. Selisih di antara kedua belanja itu juga harus tecermin pada komposisi anggaran.

Namun, justru di situlah letak persoalan. Meskipun belanja modal pada 2009 lebih besar daripada belanja barang, selisih di antara keduanya tidak terlalu signifikan. Belanja modal dianggarkan sebesar Rp90,7 triliun, sedangkan belanja barang Rp76,4 triliun. Hanya berbeda Rp14,3 triliun. Bahkan, belanja modal kali ini lebih kecil daripada belanja modal di APBN 2008 yang mencapai Rp101 triliun. Selain itu, anggaran infrastruktur RAPBN 2009 hanya 3%. Terlampau minim untuk menggerakkan ekonomi dan memacu pertumbuhan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan mestinya anggaran infrastruktur mencapai 6% atau dua kali lipat dari yang dianggarkan. Permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar belanja modal dalam RAPBN digenjot untuk menunjang pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang tepat. Akan tetapi, semua itu belum cukup. Mengapa? Karena belanja modal besar-besaran tidak akan menolong jika tingkat penyerapan anggaran tidak maksimal. Itulah yang terjadi ketika sebagian besar pemerintah daerah tidak optimal membelanjakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mereka. Itu terlihat dari tingginya dana APBD 2007 yang tidak terserap, yakni mencapai Rp45 triliun. Besarnya dana yang tidak terserap itu mencapai 15% dari total APBD 2007 yang nilainya berkisar Rp300 triliun. Nilai Rp45 triliun ini hampir setara dengan besarnya pendapatan asli daerah (PAD) dari total seluruh APBD 2007. Ironisnya, dana itu dibiarkan menganggur dan disimpan di Sertifikat Bank Indonesia, hanya untuk dinikmati bunganya. Oleh karena itu, adalah bijaksana untuk mempertimbangkan ulang apakah pemerintah pusat masih perlu memberi kucuran dana alokasi buat pemerintah daerah yang malas berpikir dan enggan bekerja. Upaya menggenjot belanja modal jelas harus disertai dengan meningkatnya kemampuan pemerintah pusat dan daerah menyerap anggaran. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses tender untuk proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran belanja modal. Dengan begitu, proyek-proyek itu pun cepat bergulir dan roda ekonomi bergerak. Tentu, harus tetap diingatkan bahwa proses tender yang terburu-buru menyimpan potensi korupsi. Bisakah pemerintah mempercepat proses tender dengan tetap bersih? Itulah tantangannya.

You might also like