You are on page 1of 10

PERISTIWA SOSIAL: AGRESI

Seorang Siswa Bacok Adik Kelas


TEMPO.CO, Jember - Siswa kelas 3 sekolah menengah kejuruan Yapeni, AF, 17 tahun, terlibat perkelahian dengan adik kelasnya, EA, 16 tahun, Senin, 5 Maret 2012. AF melakukan pembacokan dengan celurit yang dibawanya yang mengakibatkan EA mengalami luka parah, tulang bahu kanannya patah. Sejumlah saksi mata menjelaskan, pembacokan terjadi di lokasi parkir sekolah yang terletak di Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, Jawa Timur tersebut. Saat itu AF yang baru saja memarkir sepeda motornya terlibat cekcok dengan EA. Keduanya sebelumnya terlihat saling dorong. "Tiba-tiba AF mengeluarkan celurit dan membacok. Setelah itu dia kabur dengan sepeda motornya," kata salah seorang siswa yang menyaksikan peristiwa tersebut, Yuliatin. Yuliatin dan kawan-kawannya tidak mengetahui sebab musabab perkelahian antara AF dan EA. Para siswa juga tidak bisa mendengarkan secara jelas apa yang menjadi bahan percekcokkan keduanya. Yuliatin dan para siswa yang menyaksikan perkelahian itu terkejut ketika AF mengeluarkan celurit dari dalam tasnya dan menyabetkannya ke arah EA. Kepala Seksi Humas Kepolisian Sektor Patrang, Ajun Inspektur Satu Bejuel, menjelaskan sejumlah siswa yang menyaksikan peristiwa tersebut masih dimintai keterangan. Adapun EA belum bisa dimintai keterangan karena masih dirawat dan tadi baru menjalani operasi. "Pelaku masih dalam pengejaran, ujarnya. Polisi pun belum mengetahui motif perkelahian yang berujung pembacokan tersebut. Polisi menduga keduanya memendam rasa dendam meski keduanya sama-sama berasal dari Kecamatan Panti. AF berasal dari Desa Kemiri, sedangkan EA dari Desa Suci.

TINJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL MENGENAI AGRESI AGRESI A) Definisi Agresi adalah perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek sasaran agresi. Sebuah perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi jika terdapat niat dan harapan untuk menyakiti atau merusak objek agresi serta adanya keinginan objek agresi untuk menghindari agresi yang ditujukan kepadanya. Agresi seringkali berhubungan erat dengan marah. Ketika seseorang marah, biasanya ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Menurut Buss (dalam Pas) perilaku agresi bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif, langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresi langsung berarti melakukan kontak langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresi tidak langsung dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.

Bentuk Agresi Fisik, aktif, langsung Fisik, aktif, tak langsung Fisik, pasif, langsung

Contoh Menikam, memukul, atau menembak orang lain Membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh. Secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan atau tindakan yang diinginkan (seperti aksi duduk dalam demonstrasi) Menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya Menghina orang lain

Fisik, pasif, tak langsung Verbal, aktif, langsung

Verbal, aktif, tak langsung Verbal, pasif, langsung Verbal, pasif, tak langsung

Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang orang lain Menolak berbicara kepada orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll Tidak mau membuat komentar verbal (misal: menolak berbicara ke orang yang menyerang dirinya bila dia dikritik secara tidak fair)

Bentuk kekerasan oleh Purniati (1999) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: tindakan kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk melukai dan menyiksa, menganiaya orang seperti mendorong, memukul, menampar, meninju dan membakar. Kedua, tindakan kekerasan non fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk merendahkan citra atau kepercayaan diri seseorang misalnya berkata kasar, membodohkan atau memaksa seseorang melakukan perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki. Ketiga, tindakan kekerasan psikologis adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban secara kejiwaan.

B. Penyebab Perilaku Agresi 1. Faktor Biologis Beberapa faktor biologis yang bisa mempengaruhi perilaku agresi adalah gen, aktivitas otak, hormon, dan abnormalitas. Penelitian menunjukkan bahwa gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Penelitian yang dilakukan pada binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. Marah juga bisa dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara

kenikmatan dan kekejaman. Orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi dibanding orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai. Menurut perspektif biologis, perilaku agresi disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron, 17-estradiol dan estrone. Dalam suatu eksperimen, ilmuwan menyuntikkan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain. Tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Peningkatan hormon testosteron saja ternyata tidak mampu memunculkan perilaku agresi secara langsung. Hormon testosteron dalam hal mi bertindak sebagai anteseden, sehingga perlu ada pemicu dari luar. Hasil penelitian mengenai peningkatan hormon testosteron terhadap meningkatnya perilaku agresi ini tidak konsisten. Pada anak laki-laki memang meningkat perilaku agresinya, hal ini tidak ditemukan pada anak perempuan. Perilaku agresi juga disebabkan adanya abnormalitas. Pada tahun 1996, otopsi terhadap Vharles Whitman, seorang pembunuh berdarah dingin, yang telah membunuh 16 orang dan telah melukai 12 orang menunjukkan bahwa ada kerusakan jaringan di otaknya. Berdasarkan peristiwa tersebut mulai timbul pertanyaan apakah ada kaitan antara kerusakan jaringan otak dengan perilaku agresi? Abnormalitas yang lain adalah kromosom supermale atau XYY. Kromosom ini 15-20 kali lebih sering ditemukan pada populasi narapidana daripada populasi non narapidana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Price dan Whitemore yang dikutip Pearlman dan Cozby (dalam Soedardjo dan Helmi) menyatakan bahwa 1 dari 1000 orang yang ditemukan mempunyai kromosom supermale atau XYY. Hasil penelitian Worchel dan Cooper (1986) juga memperkuat penelitian yang terdahulu bahwa 2-3,6% narapidana mempunyai kromosom XYY. 2. Kesenjangan Generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk kegagalan hubungan komunikasi. Hal ini diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. 3. Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan seperti kemiskinan, anonimitas dan suhu udara yang terlalu panas juga berperan dalam pembentukan perilaku agresi. Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif seperti di kota-kota besar yang menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain. Aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan seringkali terjadi pada cuaca yang terik dan panas, tapi bila musim hujan relatif jarang terjadi peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan US Riot Commission pada tahun 1968 bahwa ketika musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya. 4. Proses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama yang dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. 5. Insting Menurut Sigmund Freud, setiap orang mempunyai insting bawaan untuk berperilaku agresi. Agresi merupakan derivasi insting mati (thanatos) yang harus disalurkan untuk menyeimbangkannya dengan insting hidup (eros). Eros dan thanatos ini harus diseimbangkan untuk menstabilkan mental.

6. Frustrasi Frustrasi adalah terhalangnya seseorang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Teori hipotesis frustrasi-agresi dipelopori oleh lima orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939. Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frustrasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada tahun 1941, Miller menyatakan bahwa frustrasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi, perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson, Kulik dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi) menyatakan bahwa frustrasi yang muncul akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang disebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu (uncertaint) akan memicu perilaku agresi lebih besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu. 7. Peran Belajar Model Kekerasan Bandura, Baron, dan Berkowitz menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial. Belajar sosial adalah belajar melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Hal ini bertentangan dengan pendapat Sigmund Freud yang menyatakan bahwa sejak lahir setiap individu telah mempunyai insting agresi. Dalam kasus Harris dan Klebold, perilaku agresi mereka sangat mungkin karena proses belajar sosial. Teman-temannya menyatakan bahwa kedua anak itu biasa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage. Sementara itu, Mubashar Ali (9), seorang bocah dari Multan, Pakistan baru-baru ini meninggal gara-gara meniru adegan eksekusi mati Saddam Husein yang diambil secara diam-diam dan disiarkan oleh TV di negaranya (Jawa Pos edisi 2 Januari 2007 halaman 6). Ini merupakan contoh konkret bagaimana sebuah perilaku dipelajari dari lingkungan sosial. Di Indonesia sendiri beberapa waktu lalu ada acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan

tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (dalam Mutadin) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. 8. Penilaian Kognitif Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh individu. Sebagai contoh, frustrasi dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi jika frustrasi itu diinterpretasi oleh individu sebagai gangguan terhadap aktivitas yang ingin dicapainya. 9. Kompetisi Sosial Menurut perspektif sosiobiologi, perilaku agresi berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Dalam hal ini satu macam sumber daya yang dipandang terbatas, diperebutkan oleh dua belah pihak. Perilaku agresi menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya. Dalam pandangan ini manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ada ancaman dari pihak luar (Dunkin dalam Soedardjo dan Helmi). Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Pada kasus Harris dan Klebold di atas, penulis menarik kesimpulan terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan Harris dan Klebold melakukan tindakan agresi berupa penembakan, yaitu: 1. Frustrasi Dalam hal ini, frustrasi Harris adalah keinginannya untuk masuk Korps Marinir terhalang karena dugaan pemakaian obat anti-depresan Luvox. 2. Belajar sosial

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Harris dan Klebold biasa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan. Dalam video game, nilai yang tinggi justru diperoleh lewat sikap yang agresif dan penggunaan kekerasan secara sistematis. Dengan cara ini, pemain video game merasa bahwa kekerasan memperoleh ganjaran (reward) dan kekerasan yang lebih tinggi akan memperoleh imbalan yang tinggi pula. 3. Penilaian kognitif Para siswa disalahkan karena mengejek dan tidak menerima mereka yang berbeda, sementara orang tua dan para guru disalahkan karena mendidik mereka jadi kambing. Harris dan Klebold menginterpretasikan sikap para siswa, orang tua, dan guru sebagai suatu gangguan terhadap aktivitas yang ingin mereka capai. C. Pemecahan Masalah Kasus Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah: 1. Hukuman Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul. 2. Katarsis Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne

(dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton. Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah.

ANALISIS Perlakuan AF terhadap EA termasuk perilaku agresi karena nampak AF yang sudah memiliki niat dan harapan untuk menyakiti atau merusak EA dan akhirnya AF melukai EA hingga mengalami luka parah yaitu tulang bahu kanannya patah. Perilaku agresi yang dilakukan AF berbentuk verbal, aktif, langsung dan fisik, aktif, langsung. Verbal, aktif, langsung terlihat dari AF yang sempat cekcok dan melakukan aksi dorong-mendorong dengan EA. Perlakuan agresi fisik, aktif, langsung terlihat dari perlakuan AF yaitu membacok AE dengan celuritnya. Berdasarkan teori dan dikaitkan dengan peristiwa tersebut, dapat sedikit disimpulkan penyebab perilaku agresi AF adalah: 1) Faktor biologis Terbukti melalui penelitian, laki-laki memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi dikarenakan memiliki hormone testoteron. 2) Proses pendisiplinan yang keliru Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan pola asuh orang tua AF yang otoriter dan keras, yang melibatkan hukuman-hukuman fisik. Hal ini membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. 3) Insting Dikarenakan menurut Freud, setiap manusia memiliki insting untuk berperilaku agresi. Yang dimana agresi merupakan insting mati (thanatos) yang harus disalurkan untuk menyeimbangkannya dengan insting hidup (eros). Eros dan thanatos ini harus diseimbangkan untuk menstabilkan mental.

4) Frustrasi Menurut hasil penelitian Miller, frustrasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi, perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Mungkin AF mengalami frustrasi, yang dimana AF memiliki suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu yang terhalangi oleh EA. 5) Hasil proses belajar sosial
Perkembangan teknologi informasi dan media massa saat ini telah memasuki era tanpa batas (borderless). Setiap orang termasuk anak-anak dapat mengakses informasi melalui beragam bentuk media, termasuk televisi. Sears (1991) menyatakan bahwa meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam film maupun televisi melahirkan kekhawatiran akan timbulnya pengaruh negatif bagi penonton, terutama anak-anak.

6) Penilaian kognitif Perilaku agresi sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh diri AF. Hal ini juga berkenaan dengan frustrasi. Frustrasi dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi jika frustrasi itu diinterpretasi oleh individu sebagai gangguan terhadap aktivitas yang ingin dicapainya. 7) Kompetisi sosial
Menurut Adam ( dalam Martani & Adiyanti, 1991) kompetensi sosial mempunyai hubungan yang erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas interaksi antar pribadi. Dalam hal ini AF dan EA tidak dapat melakukan penyesuaian sosial dan interaksi antar pribadi dengan baik.

DAFTAR RUJUKAN http://unikunik.wordpress.com/2009/05/03/tinjauan-psikologi-sosial-terhadap-perilaku-agresi/ http://psikologi-unissula.com/article/3189/hubungan-kekerasan-orang-tua-terhadap-anakdengan-perilaku-agresif-pada-siswa---smp-negeri-2-ungaran.html http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/180388167/Seorang-Siswa-Bacok-Adik-Kelas

You might also like