You are on page 1of 8

APLIKASI IRT PADA KONVERSI NILAI UAN 2004

[Diposting: 18 Januari 2005|2746 Pembaca]

[Cetak Tulisan ini] APLIKASI IRT PADA KONVERSI NILAI UAN 2004 Daryono, Guru SMA 8 Tangerang

Abstrak Metode Item Response Theory (IRT) saat ini dianggap lebih mampu memberikan rasa keadilan (test fairness) pada peserta UAN karena tingkat kecermatannya sangat tinggi yang mampu memberikan penghargaan pada prestasi setiap individu siswa sesuai dengan tingkat kesulitan soal yang dihadapi. Keunggulan utama IRT adalah statistik soal seperti tingkat kesukaran soal, daya pembeda soal, dan sebagainya terletak dalam skala yang sama dengan kemampuan siswa yang diukur. Model IRT yang banyak digunakan adalah unidimensionality dan local independence. Unidimensionality ada tiga model yaitu : satu parameter model (Rasch model), dua parameter model, dan tiga parameter model. Dari ketiga model tersebut yang menjadi dasar Tabel Konversi adalah Rasch model, karena memiliki keunggulan di dalam menentukan tingkat kesukaran butir soal. Tingkat kesukaran butir soal tidak berubah sekalipun dijawab oleh kelompok berkemampuan tinggi atau kelompok berkemampuan rendah. Selain itu Tabel Konversi yang digunakan pada UAN sebenarnya merupakan salah satu penerapan sistem ujian pada norma kelompok (normreferenced measurement). Tujuan dari adanya Tabel Konversi adalah membuat skala yang sama untuk membuat perbandingan atau pemetaan kualitas pencapaian (educational attainment) antardaerah di negara kita. Jadi Tabel Konversi bukan untuk menolong siswa yang kurang siap mengikuti UAN. Pendahuluan. Evaluasi dalam sistem pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting untuk dilakukan dalam periode-periode tertentu dengan tujuan untuk memonitor kualitas pendidikandan dan membantu kegiatan belajar mengajar dikelas. Dalam berbagai referensi akademik ujian (examination) berbeda dengan evaluasi (evaluation). Ujian digunakan untuk mengetahui sejauh mana seseorang mencapai standar mutu yang ditentukan, sedangkan evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana proses pencapaian tujuan telah dilaksanakan. Ujian lebih berkaitan dengan kinerja individu (individual performance), sedangkan evaluasi berkaitan dengan kinerja lembaga (institusional performance). Ujian bisa dilakukan siapa saja, baik yang terkait maupun tidak terkait proses pembelajaran, sedangkan evaluasi hanya dilaksanakan oleh pihak yang terkait proses pembelajaran. Dengan kata lain, ujian bisa dilakukan pihak eksternal, sedangkan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak internal. Maka UAN yang dilaksanakan Depdiknas berbeda dengan ebtanas. UAN adalah ujian, sedangkan ebtanas adalah evaluasi. Resistensi sekelompok masyarakat pada UAN yang memberikan landasan

argumentasinya pada Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi : Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, menunjukkan kelompok masyarakat itu tidak memahami bahwa UAN adalah salah satu bentuk ujian bukan evaluasi. Secara yuridis penyelenggaraan UAN oleh Depdiknas, didukung Pasal 35 UU Sisdiknas tentang pentingnya standar nasional pendidikan. Masalahnya apakah sudah tepat Depdiknas memasang angka 4,01 sebagai kriteria kelulusan?. Batas kelulusan harus menunjukkan seberapa jauh nilai UAN yang dicapai siswa terhadap kriteria standar kelulusan yang ditetapkan secara nasional. Untuk menghindari insiden diskriminasi terhadap provinsi tertentu, perlu digunakan satu standar kelulusan dengan perangkat tes yang mempunyi tingkat kesulitan sama untuk seluruh wilayah. Ujian sekolah juga berfungsi mengendalikan mutu pendidikan. Hal ini sangat penting di era desentralisasi, sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Artinya makin tinggi rata-rata nilai ujian, makin tinggi mutu pendidikan. Masalahnya, tinggi rendahnya diukur dengan apa, dari mana, dan seberapa sering?. Sejalan dengan wewenangnya dalam pengendalian mutu (quality control), pemerintah melaksanakan jenis ujian seperti ini sebagai bahan pemetaan, kemudian melakukan upaya-upaya sistematis dalam memperbaiki sekolah dan proses pembelajaran untuk mencapai keunggulan. Fungsi ujian sekolah lainnya adalah penjaminan mutu pendidikan. Hasil ujian harus dapat digunakan sebagai umpan balik (feedback) perbaikan proses pendidikan. Ujian siswa juga mengukur data sekolah, data siswa, serta latar belakangnya untuk dianalisis pengaruhnya terhadap tinggi rendahnya nilai ujian seorang siswa. Sesuai fungsinya dalam penjaminan mutu, ujian dapat dilakukan oleh lembaga independen dalam rangka memberi umpan balik berupa saran-saran, untuk mengelola pendidikan di tiap daerah menyangkut faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki agar mutu pendidikan meningkat. Berangkat dari paradigma di atas, pada makalah ini bertujuan untuk sebuah pemikiran dasar tentang apa dan bagaimana konsep IRT itu apabila diaplikasikan pada konversi nilai UAN yang pada gilirannya dapat memberikan pemetaan mutu pendidikan. Sehingga dengan menggunakan hasil UAN dapat dimonitor kapasitas guru-guru, fasilitas pendidikan dan proses pembelajaran. Teori Tes Klasik ( Classical Test Theory). Teori tes klasik disebut demikian, karena unsur-unsur teori tes itu sudah dikembangkan dan diaplikasikan sejak lama, namun tetap bertahan, terutama kalau dilihat dari arah penerapannya di bberbagai bidang kehidupan. Inti dari teori tes klasik berupa asumsi-asumsi yang dirumuskan secara matematis. Asumsi 1: Skor perolehan terdiri dari skor murni dan skor kesalahan pengukuran. Jadi skor yang diperoleh dari sesuatu pengukuran pada umumnya tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Skor perolehan pada umumnya meleset dari menampilkan secara tepat besaran atribut yang diukur. Asumsi 2 : Nilai harapan skor perolehan sama dengan skor murni. Skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoritis sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang terhadap seseorang dengan menggunakan alat ukur yang sama. Syarat pokok dalam pengukuran ulang itu adalah hasil pengukuran yang satu harus bebas dari hasil pengukuran yang lain. Asumsi 3 : Skor murni dan skor kesalahan yang dicapai oleh suatu populasi subyek pada suatu tes tidak berkorelasi satu sama lain. Jadi tidak ada hubungan sistematik antara skor murni dan skor kesalahan. Asumsi 4 : Skor-skor kesalahan pada dua tes (yang dimaksud untuk mengukur hal yang sama ) tidak saling berkorelasi. Asumsi 5 : Jika ada

dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur atribut yang sama, maka skor-skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor-skor murni pada tes kedua. Dari kelima asumsi tersebut maka dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan berikut : Kesimpulan 1. Nilai harapan skor-skor kesalahan seseorang subyek sama dengan nol. Jika seorang dites dengan suatu tes yang sama berulang-ulang maka rata-rata skor-skor kesalahannya sama dengan nol. Kesimpulan 2. Nilai harapan hasil skor-skor kesalahan dan skor-skor murni sama dengan nol. Kesimpulan 3. varians skor-skor perolehan sama dengan varians skor-skor murni ditambah varians skor-skor kesalahan. Kesimpulan 4. Kuadrat korelasi antara skorskor perolehan dan skor-skor murni sama dengan nisbah antara varians skor-skor murni dan varians skor-skor perolehan. Kesimpulan ini kemudian sangat penting dalam hubungannya dengan reliabilitas tes. Kesimpulan 5. Kuadrat korelasi antara skor-skor perolehan dengan skor-skor murni sama dengan satu dikurangi nisbah antara varians skorskor kesalahan dengan varians skor-skor perolehan1[1] Dapat dikatakan bahwa kelemahan utama teori tes klasik adalah bahwa alat ukur yang disusun berdasarkan tes klasik itu terikat kepada sampel (sample bound). Butir-butir soal yang dirakit menjadi suatu perangkat alat ukur atau tes hanyalah sampel dari populasi butir soal yang sangat besar jumlahnya. Demikian pula kelompok subyek yang dikenai tes guna menyusun tes tersebut juga hanya sampel dari populasi subyek yang sangat besar jumlahnya. Karena itu jika seperangkat tes diberikan kepada kelompok subyek yang rendah kemampuannya akan merupakan tes yang sukar, dan apabila diberikan kelompok subyek yang tinggi kemampuannya akan merupakan tes yang mudah2[2]. Demikian pula kalau dilihat dari arah subyek. Sekelompok subyek akan terlihat mempunyai kemampuan tinggi kalau mereka mengerjakan tes yang mudah, dan akan terlihat berkemampuan rendah apabila mereka mengerjakan tes yang sulit. Hal-hal seperti di atas akan menimbulkan kesukaran-kesukaran, terutama dalam kehidupan praktis. Secara konsep dalam teori tes klasik tidak ada hubungan antara tingkat kesukaran soal dengan kemampuan siswa. Selain itu dalam teori tes klasik juga sulit untuk menyeleksi soal-soal yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuan siswa yang akan diukur. Sehingga apabila soalsoal diseleksi untuk merakit sebuah perangkat tes berdasarkan tingkat kesukaran soalsoalnya untuk mengikuti standar kelulusan yang ditetapkan, bila menggunakan teori tes klasik tidak menjamin akan memperoleh keputusan yang terbaik bagi validitas pengambilan keputusan (validity of classifactory decisions). Sebagai ilustrasi bahwa dalam teori tes klasik tingkat kesukaran soal-soal memang sulit untuk mengestimasi kemampuan siswa akan dijelaskan sebagai berikut 3[3]: misalkan suatu soal diberikan kepada kelompok orang-orang yang pandai, maka berdasarkan teori tes klasik, tingkat kesukaran soal tersebut akan terlihat mudah, karena sebagian besar akan menjawab dengan benar. Tetapi kalau soal-soal tersebut diberikan kepada orang-orang yang kurang pandai, maka soal tersebut akan terlihat sukar, karena kemungkinan sebagian besar orang-orang dalam kelompok tersebut tidak dapat menjawab dengan benar. Jadi dalam teori tes klasik tingkat kesukaran soal tidak tetap tergantung kepada tingkat kemampuan sampel siswa yang menempuh tes tersebut. Walaupun banyak kelemahan, namun dalam kenyataannya teori ini masih bertahan 1 2 3

sebagai dasar pengembangan tes di mana-mana. Berbagai tes yang dikeluarkan lembagalembaga testing yang terkenal seperti, ETS (Educational Testing Service), ACT (American College Testing Program), NFER (National Foundations for Educational Research), ACER (Australian Foundations for Educational Research), masih memakai teori tes klasik. Demikian juga beberapa tes yang digunakan di Indonesia, seperti Tes Potensi Akademik (TPA), Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Akhir Semester (UAS), dan lain sebagainya. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan oleh para ahli adalah upaya untuk membebaskan alat ukur tersebut dari keterikatannya kepada sample, seperti diketahui alat-alat ukur fisik, misalnya alat ukur panjang, alat ukur berat, semuanya tidak terikat kepada sampel. Teori Tes Modern Teori tes modern mendasarkan diri pada sifat-sifat atau kemampuan yang laten, dan mendasari kinerja (performance) atau respons subyek terhadap butir soal tertentu. Oleh karena itu teori ini menggunakan model sifat laten (latent traits model). Nama yang lebih populer adalah teori respons butir atau Item Respon Teori (IRT). Konsep IRT sangat berguna untuk memecahkan masalah-masalah dalam penyeleksian soal-soal untuk mendesain suatu perangkat tes tertentu. Konsep IRT berlandaskan dua postulat, yaitu4[4] : 1. Kinerja (performance) seorang subyek pada suatu butir soal dapat diprediksikan atau dijelaskan dari suatu perangkat faktor-faktor yang disebut sifat-sifat, atau sifatsifat laten, atau kemampuan (ability). 2. Hubungan kinerja subyek pada suatu butir soal dan perangkat sifat-sifat yang mendasari kinerja dapat dideskripsikan dengan fungsi meningkat secara monoton yang disebut fungsi karakteristik butir soal (Item Characteristic Function) atau kurva karakteristik butir soal = KKS (Item Characteristic Curve = ICC). Fungsi ini menyatakan bahwa apabila taraf sifat (kemampuan) meningkat, maka probabilitas suatu respons yang benar terhadap suatu butir soal juga naik. Ada banyak model respon butir soal yang dapat disusun, tergantung bentuk matematis fungsi karakteristik butir soal dan atau banyaknya parameter yang terlibat dalam model itu. Semua model ICC berisi satu parameter atau lebih yang mendeskripsikan butir soal dan satu atau lebih yang mendeskripsikan subyek. Langkah pertama dalam setiap aplikasi ICC adalah mengestimasi parameter-parameter itu. Suatu hal yang perlu diingat adalah bahwa perbedaan dengan teori skor murni klasik model-model butir soal itu dapat palsu. Artinya suatu model respons butir soal dapat sesuai atau cocok dengan suatu perangkat tes data tertentu, dapat pula tidak, jadi model itu mungkin tidak secara baik meramalkan atau menjelaskan data tersebut5[5]. Oleh karena itu setiap dalam setiap penerapan IRT adalah esensial untuk menguji keseuaian modelnya dengan datanya. Model matematis yang digunakan IRT menyatakan bahwa probabilitas subyek menjawab benar terhadap butir soal tertentu tergantung kepada kemampuan subyek dan karakteristik butir soal yang bersangkutan. Model-model IRT meliputi seperangkat asumsiasumsi yang dikenai model itu. Walaupun keberlakuan asumsi-asumsi itu tidak dapat ditentukan secara langsung, namun sementara bukti tidak langsung dapat dikumpulkan dan dinilai, dan keseuaian model dengan data juga dapat dinilai. Suatu asumsi umum yang digunakan secara luas dalam model-model IRT adalah bahwa hanya satu kemampuan yang 4 5

diukur oleh butir-butir soal yang merupakan seperangkat tes. Hal ini disebut asumsi unidimensionalitas (unidimensionality). Suatu konsep lain yang langsung berkaitan dengan unidimensionalitas adalah ketidak-tergantungan lokal (local independence). Asumsi lain yang dibuat dalam semua model IRT adalah bahwa fungsi karakteristik butir soal tertentu merefleksikan hubungan sebenarnya (true relationship) antara variabelvariabel yang tidak dapat diobservasi yaitu kemampuan dengan variabel-variebel yang dapat diobservasi, yaitu respons terhadap butir soal. Asumsi juga dapat mengenai karakteristik butir soal yang relevan bagi kinerja subyek pada suatu butir soal. Suatu fungsi karakteristik butir soal atau kurva karakteristik butir soal adalah suatu rumusan matematik yang menghubungkan probabilitas keberhasilan (yaitu menjawab dengan benar) pada suatu butir soal dengan kemampuan yang diukur dengan tes itu dan karakteristik butir soal bersangkutan. Walaupun secara teori dapat disusun model-model IRT yang sangat besar jumlahnya, namun dalam praktek hanya tiga model yang populer, yaitu (a) model logistik satu parameter, (b) model logistik dua parameter, (c) model logistik tiga parameter6[6]. Ada tiga hal yang bisa digunakan untuk mempertimbangkan model mana yang akan digunakan apakah satu parameter model, dua parameter model, atau tiga parameter model tergantung dari (1) banyaknya sampel peserta tes, (2) keadaan distribusi sampel dari peserta ujian, (3) kemampuan program komputer untuk mengestimasi parameter IRT. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak parameter yang digunakan semakin banyak pula sampel peserta ujian yang diperlukan untuk mengestimasi parameter-parameter tersebut. Jadi sampel peserta ujian yang diperlukan untuk mengestimasi tiga parameter model lebih banyak daripada untuk mengestimasi satu parameter model. Dari ketiga model tersebut, model satu parameter atau Rasch model sekarang ini adalah yang paling banyak digunakan. Rasch Model dan Konversi Skor UAN Dalam konteks ujian akhir nasional (UAN), yang diukur adalah prestasi atau kemampuan akademik peserta didik untuk menentukan layak-tidaknya meraih predikat lulus dari satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Pemerintah menyadari bahwa tingkat intelektualitas di tiap daerah di negara kita berbeda. Oleh karena itu, untuk menguji tingkat intelektualitasnya memerlukan adanya alat ukur yang berbeda dengan skala yang sama. Hal ini sama saja seperti kita ingin menimbang 1 kg kentang dan 1 kg emas. Maka kita harus menggunakan timbangan yang berbeda tetapi dengan skala yang tetap sama. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan akademik siswasiswa Jakarta atau di kota-kota besar lainnya tentunya tidak adil jika alat serupa dipergunakan untuk melakukan hal serupa terhadap anak-anak di wilayah pelosok atau kepulauan. Mengingat ujian diadakan secara nasional maka dilakukan pembedaan tingkat kesulitan soal, namun tetap menggunakan standar-standar penilaian nasional. Standar yang dimaksud adalah patokan nilai 4,01. Mengingat pentingnya Uan sebagai kegiatan penilaian prestasi belajar akhir jenjang pendidikan, obyektivitas dan perbandingannya nilai UAN, baik antardaerah dan antarsekolah pada waktu yang sama sangat diperlukan. Untuk itu, setiap skor yang diperoleh siswa dari hasil UAN harus dapat dikonversikan ke dalam suatu skala baku yang bersifat nasional. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan tabel konversi yang disusun berdasarkan bobot butir soal yang dikembangkan melalui bank soal dan telah dikalibrasi secara nasional. Keuntungan dari cara tersebut adalah terbentuknya skala baku nasional 6

untuk semua paket tes yang digunakan dalam UAN melalui proses penyetaraan antarpaket tes. Skala baku nasional memungkinkan dilakukannya analisis perbandingan mutu antar sekolah dan antar daerah. Selain itu akan memungkinkan pula dilakukannya pemantauan mutu pendidikan secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Konversi dianggap memudahkan dalam menafsirkan hasil UAN. Dengan penafsiran tersebut, nilai UAN dapat memberikan informasi tentang materi apa yang dikuasai dan yang tidak dikuasai sesuai kompetensi dan tujuan pembelajaran setiap bidang sesuai kurikulum yang berlaku. Pertimbangan perlunya tabel konversi antara lain selama ini penilaian dengan menggunakan skor mentah (jumlah jawaban benar) dan skor relatif (jumlah jawaban benar dibagi jumlah soal dikalikan 10) memiliki beberapa kelemahan, misalnya tiap soal dianggap mempunyai tingkat bobot yang sama. Dua atau lebih paket tes pararel yang terdiri dari butir soal berbeda dianggap memiliki rata-rata tingkat kesukaran sama. Sementara skor mentah dan skor relatif hanya bersifat ordinal atau berfungsi mengurutkan kedudukan siswa dari skor tertinggi ke terendah, sehingga tidak memenuhi kaidah pengukuran yang baik. Sebaiknya skala pengukuran bersifat kontinum dalam skala interval atau rasio yang dapat digunakan untuk perhitungan statistik. Selisih nilai mentah atau skor relatif tidak menggambarkan selisih kemampuan sebenarnya. Tabel Konversi di dapat sebagai hasil kegiatan transfer skor mentah (raw score) menjadi skor yang memiliki skala sama. Misalnya bila ada dua orang siswa yang berhasil menyelesaikan 30 soal Matematika dengan benar, tidak harus diberi angka yang sama dengan menggunakan raw score sebagaimana yang diusulkan oleh pendapat yang kontra terhadap Tabel Konversi. Karena bisa jadi siswa A berhasil menyelesaikan soal-soal yang mudah dengan bobot yang rendah. Sebaliknya siswa B berhasil menjawab dengan benar soal-soal yang sukar dan mudah sehingga skor akhir yang diperoleh siswa B setelah dkonversi akan lebih tinggi dari siswa A. Jadi bisa diartikan bahwa penerapan konversi ini tidak ada pihak yang dirugikan. Semua siswa diasumsikan mengerjakan soal yang sama walaupun dalam prakteknya paket-paket soal memiliki derajat kesulitan yang berbeda. Sistem konversi yang digunakan di Indonesia berasal dari Amerika. Dan di negara asalnya sistem ini tidak pernah dikritik karena sudah menerapkan azas keadilan. Bagi pihak yang kontra, mereka menganggap tabel konversi mempunyai dampak sebagai berikut 7[7] : 1. Depdiknas berada di barisan paling depan dalam pemerkosaan arti nilai ujian. Nilai ujian bukan lagi merupakan cermin kemampuan atau kompetensi siswa, tetapi hanyalah sebagai alat permainan untuk menentukan kelulusan siswa. 2. Depdiknas secara sistematis mengkhianati tujuan dan fungsi ujian nasional yang mereka tetapkan sendiri. Dengan dalih meningkatkan motivasi siswa belajar dan meningkatkan mutu lulusan dengan menetapkan minimal nilai lulus 4,01. 3. Siswa kurang mampu dianugerahi penghargaan besar-besaran hanya demi mencapai target. 4. Peluang lulusan SMA/MA untuk mengikuti berbagai tes atau seleksi di berbagai instansi kedinasan menjadi sirna. Hampir semua instansi mengharuskan minimal nilai rata-rata tertentu, misalnya STAN, ATT Telkom, Akademi Militer. 5. Depdiknas dengan sengaja merusak citra sekolah-sekolah favorit atau unggul. Selama ini masyarakat menggunakan rata-rata NUN sebagai salah satu ukuran keberhasilan sekolah. Dengan tabel konversi ini, rata-rata NUN sekolah unggul turun drastis. 7

6. Guru dikecewakan oleh Depdiknas. Siswa dan orang tua siswa hanya mengetahui bahwa nilai tidak baik. Berarti gurunya tidak bisa mengajar. Bagaimana kita menjelaskan semua ini kepada masyarakat?. Dipihak lain Depdiknas menjelaskan keuntungan penggunaan Tebel Konversi berikut : 1. Terbentuknya skala baku nasional untuk semua paket tes yang digunakan dalam UAN melalui proses penyetaraan antarpaket tes. 2. Menjaga keadilan bagi siswa. Karena paket-paket tes yang digunakandalam UAN disetarakan dan disatuskalakan ke dalam nilai (skala) baku nasional, skor mentah (jumlah butir soal yang dijawab benar) siswa yang memperoleh paket-paket tes yang berbeda tingkat kesukarannya, telah dilakukan penyesuaian sehingga tabel konversi untuk masing-masing paket tes adalah setara. 3. Meningkatkan kecermatan dalam penggunaan data hasil UAN untuk kepentingan perencanaan di tingkat makro. Skala baku nasional memungkinkan dilakukan analisis perbandingan kemampuan (mutu outcome) antarsekolah, antardaerah, maupun antarwilayah, di mana paket tes yang digunakan berbeda. 4. Memungkinkan dilakukannya pemantauan mutu pendidikan dari tahun ke tahun. Informasi hasil UAN antartahun, antarsekolah, dan antarwilayah dapat diperbandingkan sehingga dapat digunakan dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan itu sendiri dan sekaligus merumuskan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Terlepas dari paradigma tersebut mari kita kaji secara ilmiah konversi nilai tersebut. Telah disebutkan bahwa ada tiga model dalam unidimensional IRT dengan asumsi sebagai berikut : 1. Pada waktu pelaksanaan tes, waktu yang tersedia untuk mengerjakan tes cukup. Artinya peserta tes harus disediakan waktu yang cukup untuk menyelesaikan soalsoal dalam tes, karena tes yang digunakan sifatnya power test bukan speeded test. Ada tiga cara untuk mengecek asumsi ini, yaitu : (a) variance dari banyaknya soal yang tidak dikerjakan oleh peserta tes dibandingkan dengan variance banyaknya soal yang dijawab salah oleh peserta tes, dan apabilka asumsi ini dipenuhi maka rasionya mendekati nol, (b) total skor hasil dari waktu yang telah dibatasi dibandingkan dengan total skor hasil dari waktu yang tidak dibatasi, dan apabila angkanya jauh berbeda, maka bisa dicurigai adanya speeded test, (c) dilihat pertama-tama banyaknya soal yang dapat diselesaikan oleh 80 % peserta tes, juga persentase dari jumlah peserta tes yang dapat mengerjakan semua soal, dan persentase dari peserta tes yang dapat mengerjakan 75 % dari soal-soal dalam tes, apabila hampir semua peserta tes gagal untuk menyelesaikan semua soal-soal dalam tes, maka speeded tes juga dapat dicurigai. 2. Untuk satu-parameter (Rasch model) dan dua-parameter model adalah faktor menebak atau guessing sangat minim atau kemungkinan menebak sedikit sekali. Salah satu cara mengeceknya adalah dengan melihat skor kelompok peserta tes kemampuan bawah pada soal-soal yang paling sukar, dan apabila skornya nol, maka kita tidak kuatir adanya guessing atau faktor menebak. 3. Asumsi terakhir hanya berlaku pada satu parameter IRT model, yaitu kesamaan pada semua daya pembeda soal (item discrimination). Salah satu cara untuk mengeceknya adalah dengan menggunakan analisis soal klasik (classical item analysis), bila distribusi biserial hampir homogen , maka asumsi ini terpenuhi. Dari ketiga model dan asumsi dari IRT tersebut, hanya Rasch model yang menjadi

8 9

You might also like