You are on page 1of 14

BAB I PENDAHULUAN

MEWASPADAI PORNOGRAFI ! Globalisasi bagai dua mata pisau yang sama-sama tajamnya. Pada satu sisi globalisasi telah menyatukan umat manusia begitu dekat, karena dunia bagai tanpa sekat. Ilmu pengetahuan dan teknologi membuat waktu dan tempat menjadi sangat relatif. Kebudayaan suatu negara kini dengan cepat menjadi kebudayaan suatu masyarakat di tempat lainnya. Globalisasi juga telah menciptakan sejumlah kemudahan yang tidak diperoleh pada masa lalu baik dalam bidang komunikasi, perdagangan, pendidikan, termasuk juga dinamika politik suatu negara. Pada sisi lain globalisasi telah melahirkan ekses yang tidak diharapkan, karena dalam proses globalisasi tidak ada seleksi materi, sehingga dalam globalisasi tersebut terbawa pula kebudayaan dan nilai-nilai asing yang tidak cocok bahkan mungkin bertentangan dengan kebudayaan nasional. Tidak jarang nilai-nilai yang tidak diharapkan tersebut melahirkan benturan kebudayaan sehingga mempengaruhi situasi sosial politik suatu masyarakat negara. Secara singkat dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan suatu kesempatan tetapi juga merupakan ancaman. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak lepas dari fenomena tersebut. Salah satu ekses globalisasi yang sangat terasa adalah fenomena pornografi yang akhir-akhir ini menyerbu kencang bagai badai besar tak terhindarkan. Istilah badai digunakan karena menerpa dengan cepat dan mengambil korban tidak pandang bulu apakah manusia dewasa, orang tua, bahkan terutama anak-anak yang berusia amat belia. Pornografi menjadi masalah bagi bangsa Indonesia karena beberapa hal yang sangat mendasar. Pertama, pornografi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara, utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semua agama dan manusia yang mereferensikan kehidupannya pada nilai-nilai Ke-Tunanan pasti akan menentang pornografi, karena nilai-nilai Pancasila dan Agama meletakkan aspek moral etika pada tataran yang paling tinggi sementara pornografi menafikkan aspek moral dan kesusilaan. Kedua, pornografi merupakan wilayah hitam suatu masyarakat khususnya bagi anak-anak karena anak dalam posisi organ tubuh yang masih dalam masa pertumbuhan dipaksa secara hormonal dan mental untuk menginternalisasi materi pornografi sehingga kehadirannya menjadi racun yang mengganggu otak anak-anak. Sifat adiktif pornografi menjadikan para konsumen sulit melepaskan diri dari hal tersebut, akibatnya akan mengurangi waktu dan perhatian hal-hal yang produktif. Ketiga, pornografi menjadi pemicu tindak kriminal seperti perkosaan, pelecehan seksual, perselingkuhan, hamil di luar nikah, dan sebagainya. Keempat, pornografi merupakan

pemborosan karena banyak uang terbuang untuk sia-sia apakah melalui media cetak, tulisan, gambar, transfer gambar lewat telpon, download lewat internet, dan sebagainya. Dari uraian tersebut siapapun yang meletakkan Pancasila sebagai sumber nilai kehidupan bersama akan mengatakan bahwa pornografi adalah sebuah kejahatan dan perusak nilai-nilai moral. Bila dibiarkan akan merongrong nilai-nilai Pancasila. Untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila, kita harus waspada terhadap serbuan pornografi tersebut. Ada dugaan, serangan pornografi sengaja dilakukan oleh para pelaku-pelakunya bukan semata-mata motif uang tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah proyek penghancuran generasi muda suatu negara agar negara tersebut memiliki generasi muda yang kualitasnya rendah sehingga mudah untuk tetap dijajah dari segi ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan bidang-bidang lainnya, termasuk nilai-nilai moralnya. Dan negeri tersebut salah satunya adalah Indonesia yang berdasarkan filsafat Pancasila. Dari kajian literer dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa penyebab utama serbuan badai pornografi adalah kebebasan media massa baik cetak, elektronik, maupun internet yang tanpa batas. Kebebasan pers memang diakui sebagai salah satu unsur penting dalam demokratisasi. Tetapi rupanya dalam proses demokrasi tersebut ada penumpang gelap bernama pornografi. Kondisi tersebut dipicu dengan perkembangan alat komunikasi bernama hand phone yang dengan fasilitas blue tooth dan multi media communication (MMC) telah menjadi sarana peredaran pornografi.

BAB II PEMBAHASAN

Secara estimologi pornografi berasal dari kata bahasa Yunani yaitu porne dan graphos. Porne berarti wanita jalang atau pelacur, sedangkan graphos atau graphein berarti gambar atau tulisan. Secara definitif sampai hari ini belum ada kesepakatan. Perbedaan definisi antara satu ahli dengan ahli lainnya menimbulkan pro kontra, lebih-lebih menjelang pembahasan Rancangan Undang Undang Pornografi dan Porno Aksi tahun 2006 yang lalu. Dr. Mustopo mendifiniskan bahwa pornografi adalah segala karya manusia berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, foto-foto, barang cetakan lainnya serta pahatan yang melanggar norma-norma kesusilaan, kesopanan, agama, yang mempunyai daya rangsang seksual dan tidak sesuai dengan kematangan seks pada kelompok manusia tertentu, dan dapat merusak normanorma kesusilaan masyarakat, dengan dalih apapun yang bertujuan untuk disebarluaskan. Sasterawan HB Yassin mendifinisikan pornografi adalah tulisan-tulisan yang sifatnya merangsang atau gambar-gambar wanita telanjang yang dianggap kotor karena dapat menimbulkan nafsu seks atau perbuatan amoral. Sementara itu Prof. Oemar Senoadji,SH menjelaskan bahwa pornografi diterima oleh masyarakat sebagai suatu indikasi pelanggaran kesusilaan, atau cabul yang menimbulkan pikiran-pikiran tentang gambar-gambar yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan seks yang prevers. Uraian lebih rinci disampaikan oleh Dr. Tjipta Lesmana, yang menurutnya pornografi memiliki tiga cirri: 1. merendahkan atau menurunkan secara moral, atau merendahkan nilai-nilai moral (to deprave, to corrupt). 2. meracuni pikiran, mengeruhkan pikiran ke obyek-obyek yang buruk, kotor, dan amoral (to corrupt to mind ). Ketiga, bertentangan atau tidak sesuai dengan moral yang berlaku dalam masyarakat (immoral influence). Dari berbagai definisi di atas penulis mengambil satu simpul pengertian bahwa pornografi adalah eksploitasi aurat manusia untuk merangsang birahi baik melalui gambar, tulisan, foto, maupun peragaan lainnya. Dengan definisi ini secara implisit terkandung pula pengertian bahwa pornografi memiliki nilai-nilai yang rendah dan melanggar norma tata susila sehingga merendahkan martabat manusia.

Di masa lalu pornografi hanya terekspresikan melalui lukisan dan gambar-gambar yang sangat terbatas jumlah dan jenisnya. Tetapi pada masa sekarang pornografi sangat beragam jenisnya utamanya dipicu dengan penemuan-penemuan teknologi informasi dan elektonik seperti televisi, vcd/dvd, internet, dan hand phon. Teknologi telah membuat produksi media menjadi mudah, murah, dan personal. Media-media tersebut telah tampil menjadi agen pornografi yang sangat ekplosif dan agresif mencari mangsa, khususnya kalangan anak-anak. Anak-anak hari ini dengan begitu mudah dan murah, dengan uang Rp 3000,00 bisa mengakses materi pornografi di internet. Sungguh sangat mengagetkan bahwa satu kenyataan jumlah situs pornografi di internet saat ini menurut laporan American Demographic Magazine mencapai 4,2 situs, 100.000 di antaranya menawarkan pornografi anak, dengan 89 % berupa kekerasan seksual remaja di chat room. Beberapa contoh pornografi yang banyak beredar di masyarakat; 1. Lagu-lagu berlirik mesum atau lagu-lagu yang mengandung bunyi-bunyian atau suara yang dapat dikonotasikan dengan kegiatan seksual, misalnya lagu-lagu campursari dalam bahasa Jawa; Cucak Rowo, Mendem Wedoan, Sun Sing Suwe, Teman Tapi Mesra (TTM), dan sebagainya. 2. Cerita pengalaman seksual di radio, telepon, televisi, maupun surat kabar baik cerita mandiri maupun berbentuk pertanyaan pada rubrik Konsultasi Seks yang menguraikan secara rinci tentang organ-organ genital dan aktivitas seksual. Hal serupa juga sering kita temui pada tulisan yang berkedok pada Pendidikan Seksual tetapi isinya tidak lebih dari sosialisasi dini bagi anak-anak untuk mengenal seluk beluk seksualitas. 3. Jasa layanan pembicaraan tentang seks melalui telepon (party line). Di sini seseorang akan berbicara dengan pekerja seks (kebanyakan perempuan) tentang hal-hal yang porno. Operator memperoleh keuntungan dari pulsa premium yang digunakan oleh pelanggan. Semakin lama pelanggan berbicara, semakin banyak keuntungan yang diraih. Ada juga yang menggunakan mesin otomatis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelanggan. 4. Film atau sinetron yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis-artis dengan pakaian minim atau seolah-olah tidak berpakaian untuk menunjukkan lekuk tubuh atau bagian-bagian aurat hingga merangsang birahi penonton. Beberapa film yang banyak diadukan masyarakat sebagai tontonan yang tidak layak untuk anak antara lain; Baywatch, Sims, Final Destinations, Funtastic4, Taxi, X-Man, Sinchan, Chaky, Playboy, Rave, American Pie, Eyes Princess, Mahasiswa Telkom, Serial James Bond, C and RC, Harold and Kuman, Winning London, Pearl Harbour, Titanic, Deep Blue Sea, Shark Attack, Sex is Fun, Animal Human, Amandas, Animal Instinc, Love Actually, Serial Warkop, Virgin, Akibat Pergaulan Bebas, Quicky Express, serta sejumlah judul sinetron produk lokal lainnya. 5. Gambar-gambar aktivitas seksual tanpa cerita yang sengaja dibuat khusus untuk membuat materi pornografi. Materi inilah yang disebarkan melalui media vcd/dvd yang dengan uang Rp 2500, sudah bisa diperoleh dari penjual VCD/DVD di kawasan Mangga Dua,

Blok M, Senen, Roxy, dan sebagainya. Materi pornografi pada VCD/DVD kebanyakan sema sekali tidak ada cerita atau nilai seni apapun kecuali adegan seks semata, yang biasa disebut blue film kategori XX atau XXX. 6. Pornografi Internet. Menurut riset Top Ten Review 2006, rata-rata anak berkenalan dengan internet pornografi di usia 11 tahun. Konsumen pornografi di internet terbesar juga anak-anak usia 12-17 tahun, 90 % di antaranya mengaku sedang mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Sebagian besar anak mengaku pertama kali mengakses situs porno secara tidak sengaja ketika sedang mencari suatu data yang diminta guru. Misalkan anak disuruh mencari nama binatang S, begitu huruf S diklik maka yang muncul adalah gambar-gambar yang tidak pantas disaksikan oleh anak-anak. Di Indonesia, situs porno komersial pertama dimulai tahun 2000, yang bernama www.exoticazza.com. Meskipun servernya ada di Amerika, tetapi bebas diakses di Indonesia, termasuk model-model pelaku pornografi adalah sebagian orang Indonesia. Setelah itu, dengan cepat situs porno yang masuk ke Indonesia meningkat tajam mencapai angka 4,2 juta, 100 ribu di antaranya situs produk lokal, dan 89 % mengekspolitasi anak dalam materi pornografi. Ketua Masyarakat Telematika Indonesia Maswigrantoro Rushadi mempersilahkan kepada mereka yang akan melakukan riset untuk membuktikan di www.videokita.net atau www.17tahun2.com. Dari kedua situs ini saja akan dengan mudahnya berselancar ke berbagai situs porno di Indonesia.[9]

7. Adegan atau aktivitas seks yang direkam lewat kamera hand phon atau handycam seperti pada kasus aktivis politik ME dengan politisi YZ, atau Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan, atau kasus Bandung Lautan Api yang beredar luas dari tangan ke tangan lain melalui fasilitas blue tooth dan multi media communication (MMC). Materi pornografi di HP selain karena transfer, merekam sendiri dengan model diri sendiri dan pasangannya, atau dengan cara mengintip orang lain karena semakin lama alat rekam menjadi semakin kecil dan mudah sehingga banyak orang tidak tahu bahwa apa yang dilalukan sedang direkam oleh seseorang melalui alat yang disembunyikan di suatu tempat. 8. Iklan-iklan kencan dengan wanita pelacur (seks komersial) di media massa kuning seperti; Pos Metro, Lampu Merah, Sentana, dan sebagainya. 9. Komik atau novel fiksi yang menggambarkan ilustrasi dan cerita seks baik melalui gambar maupun kalimat-kalimat pada novel atau komik tersebut. Kadang-kadang adegan

porno terdapat pada komik yang selama ini kita anggap sopan seperti Sinchan, ternyata berisi adegan atau kalimat-kalimat yang berkonotasi seks. 10. Fotografi yang dengan sengaja mengeksploitasi fantasi seksual dengan alasan seni seperti pada kasus foto Sophia Latjuba di Majalah Matra beberapa tahun yang lalu sehingga sampai dibawa ke pengadilan. Siapa sajakah pelaku badai pornografi? Menurut Taufik Ismail, yang mengistilahkan badai pornografi sebagai Gerakan Syahwat Merdeka ada 10 komponen yang berperan. Pertama, adalah praktisi sehari-hari yang dalam kehidupannya menganut Seks bebas dilakukan baik dengan suka sama suka ataupun dengan imbalan uang (komersial). Kedua, penerbit majalah dan penerbit mesum yang telah menikmati hadirnya era kebebasan pers, di mana pers hadir tanpa perlu surat ijin penerbitan dari pemerintah. Ketiga, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat; Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan ayah paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial, dan sebagainya, ditayangkan pada prime time, bila pemainnya bintang terkenal. Para siswa berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Keempat, pengelola situs-situs porno di internet yang jumlahnya begitu mudah diakses. Dengan empat kali klik di computer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya dapat diakses tanpa biaya. Demikian juga dengan ceritacerita porno yang dibuat memang sengaja untuk menyebarkan pornografi. Kelima, produsen pengganda dan pembajak vcd/dvd termasuk jaringan dan pengecernya. Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari luar kelihatannya biasa-biasa saja, tetapi di dalamnya banyak gambar cabul. Ketujuh, penulis, penerbit buku. Di Indonesia penulis yang sibuk dengan wilayah selangkang dan sekitarnya adalah perempuankata Taufik Ismail.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Yayasan Buah Hati menunjukkan bahwa media pornografi yang diakses siswa DD kelas 4,5,6 sepanjang tahun 2007 adalah sebagai berikut : (1) games 21 %; (2) komik 17 %; (3) film/TV 15 %; (4) situs internet 13 %; (5); VCD/DVD 11 %; (6); hand phone 10 %; (7); majalah 9 %; (8) koran 2 %; (9) novel 2 %. Di samping berbagai media tersebut di atas, salah satu agen pornografi yang tidak bisa dilupakan adalah dunia pariwisata. Demi devisa negara wisatawan masuk ke Indonesia, yang bersamaan dengan itu bukan hanya manusia dan dollarnya saja yang masuk tetapi budaya dan attitude (tingkah laku) mereka, utamanya menyangkut seks bebas dan seks menyimpang. Hal ini diakui sendiri oleh Dirjen Pengembangan Distribusi Pariwisata Suhardjo Parikesit bahwa semua pihak perlu meningkatkan kewaspadaan menyusul laporan dari riset yang dilakukan oleh UNICEF yang menyebutkan ada 40.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA). Anak-anak korban ESKA terjebak dalam tiga jurang kebiadaban yang

meliputi; prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak. Keberadaan ESKA tersebut tidak lain untuk memenuhi industri pariwisata yang selama ini selalu diidentikkan dengan sun, sea, and sex. Data lain di KPAI menyebutkan bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi pencabulan anak sebanyak 50 kasus yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara, beberapa di antaranya kasus pedofilia (seks dengan sasaran anak laki-laki untuk disodomi) . Nama-nama wisatawan pedopil yang akhirnya masuk bui antara lain; Donald John, Storen, Robert Dunn, William Stuart Brown, dan Peter Smith. Mereka gentayangan memangsa anak-anak di berbagai kota seperti Mataram, Bali, Bogor, Padang, dan Jakarta. Apa bahaya pornografi? Seperti selintas penulis kemukakan di atas, pornografi menimbulkan bahaya yang sangat mengerikan. Pertama, pornografi telah meningkatkan eskalasi kriminalitas. Seperti pernah dikatakan oleh Dr Mary Anne Layden dari University of Pennsylvania;Saya telah memberikan perlakuan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Saya belum pernah menangani satu kasus pun yang tidak diakibatkan oleh pornografi. Itulah mengapa kita melihat angka-angka efek perilaku seks bebas yang mengerikan. Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Chofifah Indar Parawansa mengemukakan bahwa setiap tahun tercatat ada 3,3 juta kasus aborsi di Indonesia. Sementara itu berdasarkan cacatan Harian Kompas tanggal 7 Oktober 2003, kasus pemerkosaan yang dilaporkan kepada Polres Jakarta Timur meningkat 300% dalam kurun 2002-2003. Dalam kurun yang sama kasus pencabulan anak telah meningkat menjadi 200 persen. Data dari LPA Tangerang: menunjukkan kasus tindak kejahatan seksual menduduki tempat kedua terbanyak yang dilakukan anak & remaja setelah narkoba. Menurut pengakuan mereka, kejahatan tersebut umumnya dilakukan setelah terangsang akibat menonton VCD porno. Data dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (sebagaimana dikutip Kabareskrim Polri Makbul Padmanegara) bahwa 75% pelaku perkosaan mengakui perbuatannya dilakukan setelah menonton film porno. Bahaya kedua adalah resiko psikologis dan ancaman terhadap pendidikan generasi muda. Dr Layden sebagaimana dikutip oleh Tatty Elmir mengatakan bahwa gambar porno adalah masalah utama pada kesehatan jiwa saat ini. Pornografi tidak hanya memicu ketagihan serius, namun juga membentuk pergeseran emosi dan perilaku sosial masyarakat. Menurut VB Cline, seorang resercer masalah psikososial dan pornografi mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual para konsumer pornografi; (1) adiksi (ketagihan); (2) eskalasi peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku sek menyimpang;

(3) Desensitisasi, yaitu semakin berkurangnya sensitifitas seksual. Di samping itu juga pelaku semakin massif dan tidak peduli dengan kejahatan seksual. Sesuatu yang dulu tabu dan aib akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.; (4) acting out, yaitu pecandu pornografi mulai mempraktekkan apa yang dilihat ke dalam perilaku seks bebas sehar-hari. Pendapat ini relevan dengan apa yang dikatakan oleh psikolog Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati, bahwa setelah mengkonsumsi pornografi anak-anak dan remaja secara perlahan akan terbangun perpustakaan porno di otaknya atau mental model. Bahaya ketiga, dari aspek kesehatan, pornografi telah meningkatkan resiko terkena penyakit kelamin. Menurut dr. Inong Irara, seorang dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, penyakit menular seks adalah salah satu produk akhir dari pornografi. Sejumlah jenis penyakit kelamin telah menghadangnya seperti infeksi alat kelamin luar dan dalam, komplikasi wanita pada radang panggul, kemandulan, hamil di luar kandungan, sedngkan pada laki-laki akan terjadi kemandulan; penyakit kelamin dalam kronis; kanker kelamin (jengger ayam); menulari bayi dalam kandungan hingga lahir cacat; serta HIV/ AIDS (Human immunodeficiency Virus/ Accquired Immune Dificiency Syndrome). Bahaya keempat secara nasional kita akan menghadapi masa depan yang tanpa harapan (hopless). Mengapa, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah anak Indonesia mencapai 30 % dari seluruh jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 80 juta. Penelitian BKKBN tahun 2002 di 6 kota di Indonesia, 39,65 % remaja pernah berhubungan seks sebelum menikah. Untuk disadari, bahwa 30 % anak-anak hari ini adalah 100 % pemilik Indonesia. Apa yang bisa diharapkan dari generasi muda yang di otaknya berisi perpustakaan porno, mental model porno yang menafikkan aspek-aspek etika, tata krama dan nilai-nilai moral yang bersumberkan pada Pancasila?

Dalam konteks ideologi negara, fenomena badai pornografi sangat membahayakan bagi pelestarian nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa Pancasila adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Ketuhanan yang berbudaya dan berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Nilai kemanusiaan yang universal (humanity), menghormati sesama bangsa di antara bangsa-bangsa, nilai keadilan yang beradab, nilai kebangsaan semua buat semua, semua buat satu dan satu buat semua. Pada perspektif lain Pancasila kita melihat dari tiga dimensi dalam menghadapi tantangan kehidupan yang ada.

1. dimensi teleologis yang menunjukkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan yaitu mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945. Hidup bukan bergantung nasib tetapi tergantung pada Rahmat Tuhan YME dan usaha manusia. 2. dimensi etis, dimana ciri ini menunjukkan bahwa dalam Pancasila, martabat manusia memiliki kedudukan yang sentral. Seluruh proses pembangunan diarahkan untuk mengangkat derajat manusia melalui penciptaan untuk kehidupan yang manusiawi. Ini berarti bahwa pembangunan yang manusiawi harus mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya. Di lain pihak, manusia pun dituntut untuk bertanggungjawab atas usaha dan pilihan yang ditentukan. Dimensi etis menuntut pembangunan yang bertanggungjawab. 3. dimensi integral-integratif, yaitu menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya. Manusia adalah pribadi, namun juga relasi. Oleh karena itu manusia harus dilihat dalam keseluruhan sistem yang meliputi masyarakat, dunia, dan lingkungannya. Pembangunan diarahkan bukan saja kepada peningkatan kualitas manusia, melainkan juga peningkatan kualitas lingkungan sosialnya. Dengan perspektif tersebut maka dari sisi mana pun, fenomena badai pornografi tidak bisa diterima dalam masyarakat Indonesia. Sebabnya jelas, Pancasila sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika, tata karma, budi pekerti luhur dan kemuliaan ajaran agama. Sementara itu pornografi bertentangan dengan nilai-nilai moral etika maupun moral agama. Maka menjadi jelas bahwa fenomena badai pornografi harus diperangi karena bertentangan dengan Pancasila. Yang lebih mengerikan, sasaran pornografi sebagaimana diuraikan di atas mengambil segmen anak-anak dan generasi muda. Apa yang akan terjadi dengan bangsa ini apabila mental model dan otak generasi muda telah teracuni oleh materi pornografi, di mana dalam perilaku tersebut tidak ada lagi penghargaan nilai-nilai manusia dan lingkungannya, sebaliknya justru merendahkan harkat dan martabat manusia? Penyebaran badai pornografi akan meruntuhkan apreasiasi terhadap pancasila, dan pada saatnya orang akan mencari ideologi alternatif yang bisa melawan secara radikal terhadap fenomena pornografi. Lebih dari itu, Pancasila menjadi tidak bermakna, dan pada saatnya orang akan mempertanyakan tentang apa arti eksistensi Pancasila bila melawan fenomena yang meruntuhkan moral bangsa pun tidak mampu mengatasinya? Itulah maka waspada terhadap pornografi sebuah keharusan dalam rangka melestarikan nilai-nilai Pancasila. Bagaimana caranya? 1. kita harus kembali menggalakkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber moral bangsa Indonesia. Masyarakat harus sungguh-sunggut diberdayakan untuk melek-ideologi, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang harus dipertahankan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dalam menghadapi globalisasi yang

2.

3.

4.

5.

hadir dengan dua mata pedangnya. Aspek moral Pancasila mengajarkan, adalah kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk berusaha memperbaiki kehidupan bersama berdasarkan kelima sila sebagai nilai susila dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing. pemerintah harus menjadikan pornografi sebagai musuh bersama dan tidak ada kompromi. Dari Presiden hingga aparat paling bawah, tokoh masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat harus disdarkan bahwa anak-anak kita sungguh-sungguh dalam ancaman degradasi moral karena serbuan pornografi. harus dilakukan penegakkan hukum yang sungguh-sungguh. Apabila perangkat hukum yang ada belum mampu melindungi generasi muda dari serbuan pornografi, maka menjadi mendesak keberadaan Undang-Undang Pornografi. Di seluruh dunia, hanya ada dua negara yang tidak memiliki undang- undang pornografi, yaitu Rusia dan Indonesia. Amerika sebagai negara penganut liberalisme sekali pun, memiliki undang-undnang pornografi. KUHP pasal 281 sampai 283 memang mengatur ikhwal pornografi, tetapi sungguh tidak membuat pelakunya jera karena dari pelnggaran yang dilakukan sesorang di dalam pornografi hanya dikenakan hukuman maksimal sangat rendah sehingga tidak membuat pelaku jera. Pasal 283 KUHP misalnya menyebutkan; Barangsiapa menawarkan, mempertunjukkan kepada orang yang diketahui belum berusia 17 tahun gambar yang merangsang kesopanan, dihukum sebanyak-banyaknya 9 bulan dan denda Rp.9000,00. Adakah dengan hukuman seringan itu bisa membuat pelaku jera? dengan kewenangn yang ada aparat kepolisian dan lembaga lain yang berwenang untuk menertibkan peredaran materi pornografi. Operasi vcd/dvd porno, hape berfitur porno, buku, majalah dan koran porno harus terus menerus dilakukan sampai masyarakat benarbenar aman bahwa mereka tidak akan menemukan benda-benda tersebut di tempat yang sangat bebas. pemerintah harus segera merealisasikan pemblokiran terhadap semua situs porno di internet. Diintrodusirnya Undang-Undnang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE) yang memberikan peluang bagi pemerintah untuk memblokir situs-situs porno harus dimaksimalkan pemanfaatannya.

Tetapi harus diingat bahwa teknologi internet semakin hari semakin canggih sehingga sangat mungkin teknis pemblokiran akan menghadapi kendala, karena langkah ini akan menimbulkan kerugian bagi para agen pornografi yang selama ini mengeruk keuntungan dari bisnis yang bertentangan dengan Pancasila ini.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut; Globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh umat manusia di dunia saat ini, yang kehadirannya bisa menjadi sebuah peluang, tetapi pada sisi lain ia juga merupakan ancaman. Peluang karena sejumlah kemudahan yang diperoleh manusia dari kemajuan ilmu dan teknologi, sedangkan ancaman karena bersamaan dengan itu hadir pula nilainilai negatif, kebudayaan dan perilaku dari luar yang bisa merusak tata nilai bangsa Indonesia. Salah satu nilai negatif tersebut adalah fenomena badai pornografi yang masuk ke Indonesia sejak tahun 2000 an. Badai Pornografi ini sudah sangat serius karena aksesnya sangat mudah, jenisnya beraneka macam, agennya bertebaran di mana-mana, dan yang paling membahayakan karena dikonsumsi oleh anak-anak/generasi muda. Pornografi dengan tingkat bahayanya yang meningkatkan eskalasi kriminalitas, tingkat kesehatan, kondisi mental, dan rusaknya tata nilai masyarakat, dalam jangka jauh bukan hanya menghancurkan individu korban pornografi, tetapi juga bangsa dan negara karena berisi warga negara dengan kualitas kehidupan yang rendah. Perlu waspada atas gerakan dan fenomena badai pornografi karena bisa mengancam eksistensi dan kelestarian Pancasila, utamanya menyangkut nilai-nilai moral yang terkandung dalam ideologi negara tersebut. Fenomena pornografi bisa dikatakan sebagai upaya merongrong nilai-nilai luhur Pancasila. Perlu langkah-langkah konkret untuk memerangi pornografi dengan melibatkan semua jajaran pemerintah, tokoh masyarakat, dunia usaha, media massa, dan terutama para orang tua. Rekomendasi Nilai-nilai moral Pancasila harus dimankan dan dilestarikan melalui sosialisasi yang lebih intens agar generasi muda tetap memiliki pegangan moral dalam menghadapi globalisasi. Sosialisasi tersebut bisa dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun forum-forum lain yang relevan tanpa menjadi sebuah indoktrinasi. Perlu langkah-langkah konkret untuk memerangi pornografi dengan melibatkan semua jajaran pemerintah, tokoh masyarakat, dunia usaha, media massa, dan terutama para orang tua.

Agar perang melawan pornografi efektif, secara bersamaan harus dilakukan penegakkan hukum yang memadai. Dalam rangka memberikan payung hukum yang memadai bagi perangkat penegak hukum maka segara direalisasikan kehadiran Undang-Undang Pornografi. Karena dominannya materi pornografi dalam media internet, maka pemerintah segara melakukan blokir pada situs-situs porno di internet sebelum jatuh korban lebih banyak lagi khususnya pada anak-anak dan generasi muda.

DAFTAR PUSTAKA

- A. Hamzah; Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Perbandingan, Bina Mulia,

Jakarta, 1987.

- Alvin Toffler; The Third Wave, Ikon, Jakarta, 2002.

- Azimah Subagijo; Pornografi, Dilarang Tapi Dicari, Gema Insani, Jakarta, 2008.

- Bidang Studi/Materi Pokok Ideologi, Modul 1, Pancasila dan Perkembangannya,

Lemhannas, Jakarta, 2008.

- Buku Petunjuk Tentang Pendidikan dan Beberapa Bentuk Tulisan, Lemhannas RI,

Jakarta, 2008.

- Bur Rasuanto; Kompas, 11 Agustus, 1999.

- Hassan Sadlii; Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Indonesia Baru, Jakarta, 1994.

- Zaetunah Subhan; Pornografi dan Premanisme,Al-Kahfi, Jakarta, 2005.

- RUU Pornografi dan Porno Aksi, DPR RI, Jakarta, 2006.

- Tjipta Lesmana; Pornografi dalam Media Massa, Puspa Swara, Jakarta, 1995.

- Wina Armada; Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta, 1987.

- Bahan Sosialisasi Pornografi, Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA),

Jakarta, 2007.

- Majalah-majalah dan Surat Kabar.

- Internet / Wessite KPAI: www.kpai.go.id.

- Internet, blog: Wiwit Wirasati, 2006.

You might also like