You are on page 1of 8

I Made Suatra Aliran Pendidikan Progesivisme Menurut Redja Mudyaharjo, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan

pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Aliran progresivisme merupakan suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini. Biasanya aliran progresivisme ini di hubungkan dengan pandangan hidup liberal the liberal road to culture. Maksudnya adalah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curios (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka). Progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian dan pennyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan. Progresivisme dalam pendidikan adalan bagian dari gerakan revormasi umum social-politik yang menandai kehidupan Amerika. Progresivisme sebagai sebuah teori muncul sebagai bentuk reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan), dan suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa prinsip. Adapun prinsipnya yaitu: 1. Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak. 2. Subjek didik adalah aktif, bukan pasif. 3. Perfan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, atau pengarah. 4. Sekolah adalah masyarakat kecil dari masyarakat besar. 5. Sekolah harus kooperatif dan demokratif 1

6. Aktivitas lebih focus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.

Berangkat dari prinsip-prinsip di atas, berikut adalah pandangan progresivisme mengenai pendidikan dan elemen-elemennya. 1. Pendidikan Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan di kembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pregmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan tenaga-tenaga itu harus diabdikan pada masyarakat atau kehidupan social, jadi mempunyai tujuan social. Maka pendidikan adalah proses social dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Tujuan umum pendidikan adalah masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi seperti IPA, Sejarah, Ketrampilan,serta hal-hal lain yang berguna atau dirasakan langsung oleh masyarakat. Metode scientific lebih dipentingakan dari pada memorisasi. Praktek kerja di laboratorium, bengkel, kebun, atau sawah merupakan bagian yang di anjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing (belajar sambil bekerja, terintegrasi dalam unit).

2. Kurikulum Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan disekolah, tetapi sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas, oleh karenannya banyak pakar memaknai kurikulum dengan titik tekan yang berbeda. Ambil contoh Hirtsdan petters menekankan pada aspek fungsional yakni kurikulum diposisikan sebagai

rambu-rambu yang menjadi acuan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan musgave menekankan pada ruang lingkup pengalaman belajar yang meliputipengalaman di luar amupun di dalam sekolah.pendapat musgave ini seirama dengan pendapat romine Stephen yang mengatakan bahwa kurikulum menyakup segala materi pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik, dimana ia berada dalam control lembaga pendidikan, baik yang terjadi di luar maupun yang di dalam kelas. Dengan dua ragam penekanan arti kurikulum di atas dapat di pahami bahwa karena kurikulum berfungsi sebagai rambu-rambu dalm proses pembelajaran, kurikulum harus bersifat luwes sesusai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu kurikulum harus harus disusun berdasarkan realitas kehidupan dan pengalaman sehari-hari peserta didik, di sesuaikan dengan minat peserta didik, bukan atas dasar selera guru. Progresivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan ingin mengembangkan child centered curriculum, artinya pendidikan diorientasikan peda pengembangan individu anak didik, memberikan mereka kebebasan berkreasi, beraktivitas, dan berkembang sebagai pribadi mandiri dengan jalan member penghayatanpenghayatan emosional, intelektual, dan social ynag seluas dan sekaya mungkin. Menurut William H. Kilpatrick, kurikulum yang baik didasarkan pada tiga prinsip: pertama, peningkatan kualitas hidup anak sebaik-baiknya menurut tingkat perkembangan. Kedua, menjadikan kehidupan actual kea rah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatifitas kehidupan yang merupakan tolok ukur utama bagi keberhasilan sekolah, hingga anak didik berkembang dalam kemampuannya yang actual, secara aktif memikirkan hal-hal baru untuk dipraktikkan dalam bertindak secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang. Dari berbagai pandangan tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa sesungguhnya kkurikulum pendidikan progresivisme menekankan pada how to think dan how to do, bukan what to think dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode daripada materi. Tujuannya adalah

memberikan

individu

kemampuan

yang

memungkinkannya

uuntuk

berinteraksi denegan lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi kurikulum yang disusun berlandaskan filosofis progresivisme, akan dapt menyesuaikan situasi dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta familiar terhadap masa kini. Progresifisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk memahami masa kini dan masa kini sebagai landasan bagi masa yang akan datang.

3. Pendidik Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing karena guru mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak di bidang anak didik maka secara otomatis semestinya ia akan menjadi penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik atau murid bagaimana mereka harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang berubah. Menurut John Dewey, guru harus mengetahui ke arah mana anak akan berkembang, karena anak hidup dalam lingkungan yang senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih berganti dan sustainable (berkelanjutan). Prinsip keberlanjutan dalam penerapannya berarti bahwa masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan. Guru harus mampu menciptakan suasana kondusif di kelas dengan cara membangungun kesadaran bersama setiap individu di kelas tersebut akan tujuan bersama sesuai dengan tanggungjawab masing-masing dalam konteks pembelajaran di kelas, serta konsisten pada tujuan tersebut. Dengan argumentasi di atas, sesungguhnya Dewey telah meletakkan amanat dan tanggungjawab yang berat kepada guru. Karena alasan inilah ia tergelincir dalam pernyataan hiperbolanya dengan menggunakan bahasa Injil-

Sosial dengan mengatakan bahwa guru sebagai penjaga pintu kerajaan Allah yang sesungguhnya. Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai pembimbing aktivitas anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi lebih penting dari pada hanya memberi informasi. Pendidik atau guru dan anak didik atau murid bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki. Dengan demikian dalam teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten (istiqamah), luwes, dan cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan mengevaluasi kepampuan-

kemampuannya dalam tataran praktis dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi pembelajaran ke depan. Dengan kata lain guru harus mempunyai kreatifitas dalam mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan berkembang dan berfariasi sebanyak fariasi peserta didik yang ia hadapi.

4. Pesrta Didik Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam melakukan pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan. Anak didik adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain karena peserta didik mempunyai potensi kecerdasan yang merupakan salah satu kelebihannya. Oleh karenanya setiap

murid mempunyai potensi kemampuan sebagai bekal untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahannya. Tugas guru adalah

meningkatkan kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir oleh setiap murid menjadi kecerdasan realitas dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di lingkungannya. Secara institusional sekolah harus memelihara dan manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para murid, sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan kesalahan yang dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya menunggu seorang guru mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak boleh ibarat botol kosong yang akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika demikian yang terjadi maka proses belajar mengajar hanyalah berwujud transfer of knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini tidak akan mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.

5. Teknik dan Proses Belajar Sebagaimana dikutip oleh Slamet Yahya, John Dewey sebagai tokoh sentral dalam pembahasan ini, membagi perkembangan anak menjadi tiga fase. Pertama, fase bermain, yaitu pada anak usia empat samapai delapan tahun. Pada fase ini ditandai dengan hubungan personal dan sosial secara langsung. Anak mulai berkembang dari interaksi dengan lingkungan rumah tangga menjadi kehidupan sosial di sekitarnya. Kedua, ketika anak berumur delapan tahun sampai dua belas tahun. Fase ini ditandai dengan respon dan perhatian sepontan terhadap sesuatu. Pada usia ini anak bersikap kritis, banyak menanyakan hal-hal disekitarnya, mereka sudah mulai bisa diajari keterampilan dasar, karena perkembangan inderanya sudah berfungsi secara permanent. Fase ketiga, ketika anak berusia dua belas ke atas, pada periode ini ditandai dengan adanya perhatian reflektif terhadap sesuatu, anak sudah

mulai bisa bereksperimen mencari masalah, mengidentifikasi dan sekaligus mencoba mencari solusinya. Dari paparan fase di atas dapat dipahami bahwa pada fase pertama anak belum memiliki kemampuan untuk menghubungkan pengalaman aktif dengan pengalaman pasif, keduanya masing-masing dipahami secara terpisah satu sama lain, sehingga pada fase ini anak belum bisa mengambil pelajaran langsung tanpa arahan dari orang dewasa. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya anak cenderung memberikan respon spontan tanpa melibatkan pertimbangan rasio, khususnya pada usia empat sampai lima tahun. Oleh sebab itu sangat diperlukan perhatian khusus dari orang dewasa dalam memberikan stimulus yang tepat. Pengalaman belajar yang diberikan pada usia ini biasanya berbentuk permainan yang dapat merangsang kreatifitas anak didik. Pada usia delapan sampai dua belas tahun pola berpikir anak mulai berkembang. Pada fase ini pendidik hendaknya mengarahkan mereka dalam usaha mengaplikasikan daya tersebut ke dalam pengalaman, perlu mengenalkan mereka langkah-langkah dalam proses berpikir. Permasalahan yang diberikan kepada anak usia tersebut harus berangkat dari yang konkrit dalam ranah kehidupan sehari-hari, karena pola pikir mereka pada usia ini belum bisa menangkap hal-hal yang abstrak. Pada fase usia dua belas tahun ke atas hingga usia dewasa daya pikir anak bisa diterapkan dalam penyelasaian masalah yang lebih kompleks dengan melakukan keterampilan tertentu misalnya perbengkelan,

pertukangan, dan sebagainya. Bahkan karena pada periode ini kemampuan reflektif anak mulai meningkat, maka langkah-langkah tersebut dapat ditemukan dalam solusi alternatif terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian yang terpenting menurut teori pendidikan

progresivisme adalah mengajarkan cara belajar yang tepat, sehingga seorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri, baik di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan pendidikan formal. Dengan cara demikian sekolah akan melahirkan individu-individu

yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada akhirnya dapat melakukan transformasi budaya positif kearah yang lebih baik dari masyarakat yang progresif.

You might also like