You are on page 1of 10

Analisa kasus pidana yang terkait pasal 55 KUHP dan 56 KUHP

Perkara Pidana No.1426/Pid.B/2003/PN.PST a.n. Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Tempo Penasihat Hukum; Todung Mulya Lbs, Darwin Aritonang, Yogi S.M, dkk Kasus Posisi: Pada tanggal 10 Maret 2003, Tomy Winata telah mengadukan pimpinan redaksi atau penanggung jawab Majalah TEMPO dengan dugaan telah melakukan tindak pidana fitnah dan atau pencemaran nama baik kepada Polda Metro jaya. Tindak pidana yang dipersangkakan dalam laporan polisi tersebut adalah fitnah dan atau pencemaran nama baik sesuai dengan Pasal 310 KUHP dan 311 KUHP.Tomy Winata yang mendalilkan dirinya sebagai pihak yang menjadi korban dalam pemberitaan majalah berita mingguan TEMPO edisi tanggal 3-9 Maret 2003 khususnya pada berita dengan judul Ada Tomy di Tenabang?. Kemudian, pada tanggal 11 Maret 2003 sekitar jam 10.00 WIB, Tomy Winata diperiksa sebagai saksi pelapor/pengadu. Keterangan Tomy tersebut secara singkat adalah: Bahwa ada kalimat-kalimat dalam berita tersebut yang mengakibatkan saksi merasa difitnah dan nama baiknya dicemarkan, antara lain:

a) Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar. Proposal sudah diajukan sebelum kebakaran. Sehingga kalimat tersebut saksi merasa dituduh bahwa saksi sudah mengajukan proposal sebelum terjadinya kebakaran, padahal saksi tidak pernah mengajukan proposal. b) Dari musibah kebakaran, Rabu dua pekan lalu Suwarti dan rekan-rekannya mungkin menangguk lebih banyak penghasilan ketimbang sebelumnya, tapi juga: Pemulung BesarTomy Winata nantinya. Pengusaha dari Grup Artha Graha ini, kata seorang arsitekk kepada Tempo. Dalam kalimat ini Tempo telah menuduh saksi bahwa saksi disamakan dengan pemulung, yang seolah-olah bahwa akibat dari kejadian kebakaran di Pasar Tanah Abang saksi akan mendapatkan suatu keuntungan. c) Disitu, kios-kios bikinan Tomy rencananya akan dijual Rp. 175 juta per meter persegi dan baru diserahkan ke Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, sedangkan saksi tidak pernah mengajukanproposal apalagi membikin kios di Tanah Abang sehingga dengan menentukan harga Rp. 175 juta permeter persegi ini jelas tidak benar. d) Anda orang keenam yang telepon. Saya belum pernah bicara dengan siapapun, baik sipil, swasta, maupun pemerintah, katanya, geram. Saya ini nggak makan nangkanya (tapi) dikasih getahnya, kalau (mereka) berani ketemu muka saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti atau data-data yang mengatakan saya deal duluan, saya kasih harta saya separuhnya. Sedangkan saksi tidak pernah mengubungi dan tidak pernah ditelpon oleh majalah Tempo. Akibat pemberitaan tersebut, saksi sebagai pengusaha merasa dicemarkan nama baiknya dan saksi merasa difitnah karena setelah terbitnya pemberitaan tersebut, banyak telepon atauorang yang menemui saksi menanyakan tentang kebenaran berita tersebut, sehingga usaha saksi menjadi terganggu. Selain itu, saksi telah mendapat informasi bahwa ada sekelompok orang yang mengaku dari pedagang Pasar Tanah Abang mengancam akan membunuh saksi sehingga berakibat keselamatan saksi menjadi terancam dan perasaan saksi menjadi resah. Kasus ini menempatkan Bambang Harymurti, T. Iskandar Ali, dan Ahmad Taufik sebagai terdakwa. Namun dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum telah melakukan pemisahan surat

dakwaan (splitzing) antara Bambang Harymurti(pemimpin redaksi) dengan T. Iskandar Ali(editor) dan Ahmad Taufik(penulis). Namun terdapat kejanggalan dalam proses pembuatan dakwaan ini. Surat dakwaan bagi ketiga terdakwa dilakukan secara terpisah (splitzing), walaupun dalam praktik hal tersebut dapat saja dilakukan. Tujuan pemisahan surat dakwaan adalah untuk mendapatkan lebih banyak alat bukti. Dalam kasus ini alat buktiyang dapat diajukan cukup banyak, sehingga splitzing tidak perlu dan dinilai berlebihan. Untuk membuat penuntutan secara splitzing harus mengikuti aturan yang telah ditentukan dalam KUHAP. Pasal 142 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing masing terdakwa secara terpisah. Ketentuan tersebut menyebutkan kriteria pemisahan perkara dengan mengacu pada Pasal 141 KUHAPyang berbunyi Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuat dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Perkara ini secara jelas telah menempatkan para terdakwa sebagai pelaku atas tindak pidana yang masih memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, sebenarnya tidak ada alasan bagi jaksa untuk memisahkan perkara ini. Dakwaan JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat Dakwaan No. Reg. Perk. : PDM1069/JKTPS/07/2003, tanggal 21 Juli 2003 telah mendakwa Bambang Harymurti dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Redaksi MajalahTempo, sehubungan dengan Artikel yang diterbitkan oleh Majalah Tempo, dalam Edisi 3/9 Maret 2003 dengan judul : "Ada Tomy Di Tenabang?", dengan dakwaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal XIV ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1, Tahun 1946, Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 311 (1) Pidana, Pasal 310 (1) KUH Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana Kesatu Primair : menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, telah menyiarkan berita, dalam Majalah Mingguan Tempo edisi tanggal 3/9 Maret 2003dst dengan judul Ada Tommy Di Tenabang, dst Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal XIV ayat (1) UndangUndang no.1 Tahun 1946 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair : menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, telah menyiarkan berita, dalam Majalah Mingguan Tempo edisi tanggal 3/9 Maret 2003dst dengan judul Ada Tommy Di Tenabang, dst Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal XIV ayat (2) UndangUndang no.1 Tahun 1946 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua

Primair : sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang, supaya hal itu diketahui umum, dengan melakukan kejahatan pencemaran yang telah diberikan kesempatan dibuktikan, tidak dapat membuktikan, dst Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 311 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair : sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang, supaya hal itu diketahui umum, dst Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penggunaan Pasal 55 KUHP Surat dakwaan yang disusun untuk Bambang Harymurti maupun T. Iskandar Ali dan Ahmad Taufik telah mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP menyatakan bahwa dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: Ke-1 merekayang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut melakukan perbuatan;. Dalam dakwaan tersebut tidak disebutkan secara cermat dalam posisi apa para terdakwa tersebut, apakah sebagaiyang melakukan, menyuruh lakukan atau yang turut serta melakukan. Penjelasan peran yang diambil oleh para terdakwa tentunya akan membuat terang dan jelas dakwaan atas para Terdakwa. Mengenai Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal tersebut berbunyi: (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu; Mengenai Dakwaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. JPU menjelaskan dengan cara-cara sbb: Bahwa berdasarkan keterangan saksi Ahmad Taufik, saksi pernah menulis kebakaran tentang Pasar Tanah Abang tanggal 19 Februari 2003 dalam rubrik Nasional Majalah Tempo karena pasar Tanah Abang adalah pasar yang beromzet besar. Kemudian diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Terdakwa Bambang Harymurti, saksi Ahmad Taufik, saksi Raden Wahyu Muryadi bertempat di kantor majalah Tempo jalan Proklamasi No. 72 Menteng Jakarta Pusat. Pada rapat itu saksi mengusulkan untuk menindaklanjuti berita tentang kebakaran Pasar Tanah Abang kemudian usul saksi disetujui oleh peserta rapat termasuk terdakwa. Selanjutnya saksi Ahmad Taufik ditugaskan oleh saksi Raden Wahyu Muryadi untuk mencari sumber berita yang akan diwawancarai. Ahmad Taufik kemudian menugaskan reporter Bernarda Rurit untuk mewawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan untuk mewawancarai H.P. Lumbun selaku Walikota Jakarta Pusat dan saksi Cahyo Junaedi mewawancarai Dani Anwar dan M. Yusup karena dianggap kedua orang tersebut banyak mengetahui permasalahan pasar Tanah Abang. Dari hasil wawancara tersebut, kedua tokoh belum tahu tentang Tomy Winata mengajukan proposal untuk renovasi pasar Tanah Abang. Bahwa naskah tulisan Ahmad Taufik tersebut diedit oleh T. Iskandar Ali, dengan merlakukan perubahan dari judul ada Tomy di Tanah Abang menjadi Ada Tomy di Tenabang?. Dalam paragraf kedua menambah kata Pemulung Besar pada nama Tomy Winata, padahal saksi Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali mengetahui bahwa Tomy Winata adalah seorang pengusaha. Kemudian hasil edit tersebut diserahkan ke redaktur bahasa untuk diperiksa tata bahasanya selanjutnya dilakukan rapat dam untuk menentukan penerbitan berita tersebut. Bahwa terdakwa Bambang Harymurti di depan persidangan menerangkan selaku Pemimpin

Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di seluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pada rapat dami tersebut terdakwa Bambang Harymurti menyetujui tulisan Ahmad Taufik yang sudah diedit oleh T. Iskandar Ali tanpa meneliti kebenaran naskah berita tersebut. Hal tersebut menurut ahli Dr. Rudy Satriyo, SH.MH sudah ada unsur kesengajaan. Bahwa karena adanya persetujuan dari Terdakwa Bambang Harymurti, maka berita dengan judul Ada Tomy di Tenabang? dengan foto Tomy Winata dimuat dan dicetak dalam Majalah Berita Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 kemudian dijual kepada umum. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, diterbitkannya tulisan dengan judul Ada Tomy di Tenabang? dalam Majalah Berita Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 halaman 30-31 karena adanya perbuatan kerjasama yang nyata antara Terdakwa Bambang Harymurti dengan saksi Ahmad Taufik dan saksi T. Iskandar Ali (keduanya sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri). Dengan demikian, JPU menyatakan unsur bersama-sama telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Disini JPU melupakan beberapa hal dalam pembuktian unsur ini, yaitu termasuk dalam menentukan termasuk dalam kategori pelaku manakah terdakwa Bambang Harymurti? Apakah sebagai mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), mereka yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), mereka yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen)? Terhadap Unsur Dilakukan secara bersama-sama (pasal 55 ayat (1) KUHP) Majelis Hakim dalam berkesimpulan bahwa unsur ini telah terpenuhi, dengan pertimbangan bahwa: - Bahwa selaku Pemimpin Redaksi dalam menjalankan tugasnya, terdakwa dibantu oleh beberapa tenaga teknis maupun tenaga administrasi perusahaan pers, diantaranya dewan redaksi, jurnalis (wartawan), editor, divisi-divisi (iklan, pemasaran, keuangan) sampai pada tingkat loper; - Bahwa satu minggu sebelum terbit majalah Tempo Edisi 3-9 maret 2003, diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Terdakwa Bambang Harymurti, saksi Ahmad Taufik, saksi Raden Wahyu Muriadi bertempat di Kantor Majalah Tempo Jalan Proklamasi No. 72 Menteng Jakarta Pusat, pada rapat itu saksi Ahmad Taufik mengusulkan untuk menindaklanjuti berita tentang kebakaran Pasar Tanah Abang. Kemudian usul saksi Ahmad Taufik tersebut disetujui oleh peserta rapat termasuk terdakwa Bambang Harymurti sebagai Pemimpin Redaksi; - Bahwa untuk mencari/ menemukan sumber berita terdakwa telah menugaskan beberapa orang wartawan; - Bahwa saksi Ahmad Taufik menugaskan reporter antara lain Bernarda Rurit untuk mewawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan ditugaskan untuk mewawancarai H.P Lumbun, S.H., selaku Walikota Jakarta Pusat dan saksi Cahyo Djunaedi mewawancarai Dani Anwar dan M. Yusup; - Bahwa berdasarkan data-data yang diperoleh para Reporter Majalah Tempo tersebut, saksi Ahmad Taufik membuat tulisan dengan judul Ada Tomy di Tenabang?. - Bahwa oleh Saksi T. Iskandar Ali, dilakukan perubahan dari judul Ada Tomy di Tanah Abang, menjadi Ada Tomy di Tebanang?. Dan dalam paragraph kedua menambahkan kata Pemulung Besar pada nama Tomy Winata, padahal saksi Ahmad taufik dan saksi T. Iskandar Ali mengetahui bahwa Tomy Winata adalah seorang pengusaha; - Bahwa dari hasil pengumpulan data oleh para wartawan Tempo tersebut, telah dilakukan setting dan editing yang oleh saksi Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali kemudian hasilnya diserahkan kepada terdakwa untuk dikoreksi, dan terdakwa menyetujui dan mengizinkan berita tersebut untuk dimuat dalam Majalah Tempo edisi 3 s.d 9 Maret 2003;

- Bahwa terdakwa Bambang Harymurti selaku Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo mempunyai tugas dan tanggungjawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita; - Bahwa terdakwa tanpa meneliti kebenaran data berita yang dibuat oleh saksi Ahmad Taufik dan diedit oeh saksi T Iskandar Ali dengan judul Ada Tomy di Tebanang, telah menyetujui dimuat dan dicetak dalam Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003; - Bahwa dengan persetujuan terdakwa, berita Ada Tomy di Tenabang, dengan foto Tomy Winata dimuat dan dicetak dalam majalah berita Mingguan Tempo Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003 halaman 30-31; - Bahwa terbitnya tulisan dengan judul Ada Tomy di Tebanang Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003, karena adanya kerjasama antara terdakwa Bambang harymurti dengan Saksi Ahmad Taufik dan saksi T. Iskandar Ali; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur bersama-sama telah pula terpenuhi adanya. Menurut pendapat saya, pertimbangan Majelis Hakim tidak lengkap. Memang pada bagian awal pertimbangannya mengenai unsur bersama-sama ini, Majelis Hakim menyebutkan bahwa dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP unsur bersama-sama sifatnya adalah alternatif, dimana KUHP mengartikannya sebagai pelaku (dader) adalah mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), mereka yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), mereka yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen) dan mereka yang dengan sengaja menganjurkan/ menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Kemudian, Majelis Hakim juga menambahkan beberapa pendapat para ahli mengenai unsur bersama-sama ini, mulai dari pendapat Prof. Simons, Mr. Noyon, Prof. Hazewinkel Zuringa, MvT, hingga Putusan MA RI No. 525K/Pid/1990 tanggal 28 Juni 1990. Namun, Majelis Hakim sama sekali tidak menentukan termasuk unsur bersama-sama yang manakah yang kiranya telah dilakukan oleh terdakwa. Menurut hemat saya, dituliskannya semua pendapat para Ahli mengenai unsur bersamasama secara lengkap oleh Majelis Hakim tidak berguna sama sekali apabila tidak dapat menentukan unsur bersama-sama yang manakah yang kiranya telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa. Majelis Hakim tidak menentukan apakah terdakwa merupakan pelaku (dader) yaitu seseorang yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), atau terdakwa merupakan seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), atau terdakwa merupakan orang yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen) dan atau terdakwa merupakan orang yang dengan sengaja menganjurkan/ menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Kesimpulan: 1. Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan peran yang diambil oleh Terdakwa bersama dengan saksi Achmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali dalam kerjasama yang telah dituduhkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 2. Majelis Hakim sama sekali tidak menentukan termasuk unsur bersama-sama yang manakah yang kiranya telah dilakukan oleh terdakwa. 3. Bahwa Majelis Hakim tidak melakukan analisis dan pertimbangan yang mendalam. Majelis Hakim hanya memberikan pertimbangan hukum yang sekedarnya saja, tanpa merasa perlu untuk melakukan penggalian secara lebih mendalam terhadap semua unsur dakwaan yang kiranya telah terpenuhi oleh terdakwa.

Kejahatan Money Loundering A. Pendahuluan Kejahatan Money Loundering pada awalnya selalu terkait dengan masalah perdagangan narkoba, namun sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1930, yaitu terkait dengan perusahaan Loundry atau perusahaan pencucian pakaian yang dibeli oleh mafia di Amerika Serikat dengan menggunakan dana dari usaha gelap atau illegal mereka seperti usaha perjudian, prestitusi, minumana keras, narkoba dan lainnya. Istilah money loundering ini lebih terkenal lagi di Amerika Serikat, akibat terungkapnya kasus pemutihan uang mafia tersebut yang terkenal dengan kasus Pizza Connection. Perkara Pizza Connection ini menyangkut dana haram bernilai sekitar USD 600.000.000,- (enam ratus juta dollar Amerika) yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Adapun kedok yang digunakan untuk mengelabui atau menyamarkan uang haramnya tersebut, adalah dengan restoran-restoran Pizza yang banyak tersebar di Amerika Serikat , yaitu pada tahun 1984 dengan upaya yang sangat rumit dan sulit untuk dideteksi. Adapun faktor-faktor penyebab berkembangnya kejahatan money loundring di Indonesia maupun di dunia berkait erat dengan ; masalah adanya rahasia bank yang ketat, sehingga dana haram milik penjahat akan sulit terlacak, masalah penyimpanan dana secara anonymous saving passbook accounts, yaitu menyimpan dana dengan nama samaran ataupun tanpa nama sehingga tidak bisa dilacak, masalah teknologi perbankan secara elektronik yang terkenal dengan electronic money bahkan dengan E Comerce yang merupakan kejahatan maya (Cyber Crime) yang tentunya lebih sulit lagi untuk dilacak, masalah kerahasian hubungan client dan lawyer yang dilindungi oleh hukum serta yang paling penting lagi adalah masalah kesungguhan pemerintah untuk memerangi kejahatan money loundring secara konsekuen. Kejahatan money loundering diakui mempunyai dampak positif bagi perekonomian Negara, karena berfungsi sebagai investment capital bagi pembangunan pada suatu Negara, sehingga system perbankan melindungi kejahatan ini. Tetapi secara makro baik langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu berbagai system ekonomi dan politik Negara, karena cara kegiatannya yang kompleks menyangkut juga penggelapan pajak yang terkait dengan penyalah gunaan kekuasaan dan korupsi, sehingga disamping berkait dengan uang Negara, juga merusak moral pemerintah dan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itulah masalah Korupsi dan beberapa kejahatan lainnya dimasukkan sebagai predikat crime di dalam Undang-undang TPPU, yang dituangkan dalam pasal 2 Undang-undang no. 15 tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Perang terhadap kejahatan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati belum secara khusus dilakukan namun terhadap illegal logging sudah dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2001, sekalipun upaya memberantas kejahatan kehutanan sesungguhnya telah lama dilakukan di Indonesia dengan menggunakan banyak pendekatan terutama sejak diundangkannya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah telah menggalang kerjasama internasional guna mengoptimalkan langkah penanganan yang telah dilakukan serta memberi tekanan terhadap negara-negara yang selama ini memanfaatkan kayu haram dari Indonesia. Pemerintah saat ini tengah merampungkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengenai illegal logging guna meningkatkan upaya mengatasi masalah kejahatan kehutanan ini secara lebih efektif. Berbagai langkah pemerintah itu tidak menyurutkan, sebaliknya kejahatan kehutanan terutama pembalakan liar terkesan semakin marak dan berani, akibatnya rakyat dirugikan tak kurang dari Rp 30 triliun per tahun

akibat illegal logging ini. Jumlah angka yang sangat fantastis. Harus diakui bahwa kejahatan kehutanan merupakan magnitude persoalan yang sangat besar. Banyak pihak yang andil dalam rantai kejahatan ini dan menikmati hasil yang diperoleh, langsung maupun tidak langsung. Suatu keniscayaan bahwa kejahatan kehutanan tidak mungkin tak dapat diberantas. Pendekatan rezim anti pencucian uang yang lebih memfokuskan pada deteksi transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction report) dan penelusuran aliran dana (follow the money) merupakan alternatif instrumen yang dapat digunakan untuk membantu memerangi kejahatan kehutanan ini. Dibidang konservasi sumber daya alam hayati, sudah diatur dalam UU No. 5 tahun 1990, tentang Koservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dikuatkan dengan PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa yang dalam lampiran PP tersebut memuat jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, namun kenyataannya kejahatan dibidang ini tetap berjalan, bahkan semakin marak, karena terkait dengan banyaknya permintaan baik dalam negeri maupun dari luar negeri, mengingat harganya yang sangat tinggi dan kemudahan dalam pembawaan dalam arti tidak memerlukan alat dan tempat yang besar dalam pengirimannya. Hal itu ditambah dengan bobroknya mental petugas bahkan ikut serta menjadi bagian dari kejahatan tersebut. B. Tindak Pidana Pencucian Uang,: 1. Pasal 3 ayat (1) UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU no. 25/2003, menyebutkan Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (ke dalam penyedia jasa keuangan), baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,-(lima belas milyar rupiah), yang unsur-unsurnya sebagai berikut a. Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut :Kata setiap orang, diperuntukkan tanpa melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini, lebihlebih masalah Money Loundring ini sudah merupakan masalah global. Dalam pasal 2 KUHP menyebutkan Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Juga dalam pasal 3 KUHP memperluas sampai di dalam perahu Indonesia. Demikian juga pasal 4 KUHP memperluas sampai di luar Indonesia, untuk kejahatan tertentu, serta dalam pasal 5 KUHP untuk warga Negara Indonesia dimana saja bila ketentuan pidana Indonesia sebagai kejahatan dan dinegara tempat dilakukan juga diancam pidana. b. Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan melakukan Tindak Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat sengajanya, apakah sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau perbuatannya itu memang dikehendaki, ataukah hanya karena tbentuk pengeahuan, artinya adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya. c. Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau membelanjakan; menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan; membawa keluar negeri; menukarkan atau perbuatan lainnya, yang adalah masing-masing perbuatan merupakan suatu alternative yang cukup dibuktikan salah satunya saja, kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus, maka

kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti : d. Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undangundang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Unsur pasal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Kata dengan maksud, menunjukan sifat kesengajaannya, tapi dalam konteks kehendak, artinya perbuatan sebagaimana unsur kedua dari huruf a sampai dengan huruf h tidak cukup sampai disitu, tetapi perbuatan tersebut harus dimaksudkan atau dikehendaki oleh pelaku untuk sebagaimana penjelasan di bawah ini. b) Menyembunyikan atau menyamarkan artinya menyimpan ditempat yang tersembunyi atau membuat tidak terangnya sesuatu, sehingga orang lain tidak dapat mengetahui uang atau harta kekayaan itu bersih atau kotor. c) Asal-usul harta kekayaan, artinya darimana diperolehnya harta kekayaan yang dilakukan tindakan sebagaimana unsur kedua d) Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, artinya dalam hal ini cukup karena kekurang penghati-hatiannya maupun karena kurangnya penduga-dugaan, mereka sudah dapat dikenakan pasal ini, (lihat penjelasan pro parte dolus proparte culpa dalam point 2 b). 2. Pasal 3 ayat (2) UU TPPU, yang berbunyi ; Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Percobaan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 53 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1) Unsur niat Niat tidak sama dengan kesengajaan, tetapi secara potensial dapat menjadi kesengajaan. Niat jika belum semua diselesaikan menjadi kejahatan akan tetap masih ada yang merupakan sifat bathin dan menjadi arah kepada perbuatan, disebut sebagai percobaan terhenti. Isinya niat tidak dapat diambil dari isinya kesengajaan, tetapi harus dibuktikan tersendiri. 2) Unsur Permulaan pelaksanaan Permulaan pelaksanaan tidak sama dengan persiapan pelaksanaan, oleh karenanya untuk menjelaskan permulaan pelaksanaan, harus terpenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : - Secara obyektif apa yang telah dilakukan pelaku harus mendekati delik, yang berarti harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik.

- Secara objektif dari asfek niat tidak ada keraguan lagi perbuatan itu diarahkan kepada delik dimaksud. - Merupakan perbuatan melawan hukum, dalam hal ini dapat diartikan baik bersifat melawan hukum secara formal maupun melawan hukum secara material. 3 Unsur Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri.Unsur ini diperlukan dengan maksud agar adanya jaminan tidak dipidananya orang yang secara sukarela membatalkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai, sehingga harus jelas terhentinya perbuatan sebagai akibat dari campur tangannya pihak lain b. Pembantuan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 56 KUHP, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Pembantuan atau medeplichtigheid, dapat terjadi pada saat timbulnya delik tanpa daya upaya tertentu dan dapat terjadi dengan mendahului delik melalui daya upaya memberi kesempatan, sarana atau keterangan. 2 Dalam pembantuan dapat terjadi pembantuan aktif dan pembantuan pasif. 3) Pada pembantuan pasif persoalnnya terletak pada tidak melakukan suatu sebagai perbuatan pembantuan atau senada dengan perbuatan pembiaran. 4) Pembantuan yang terjadi setelah timbulnya delik disebut sebagai persekongkolan jahat atau Tindak Pidana penadahan, sebagaimana diatur dalam pasal 480 KUHP. Analisis Pasal 56 KUHP terhadap kejahatan money loundering. Unsur pokok obyektif Pidana terdiri dari : (a)Perbuatan manusia (positif atau negatif) (b)Menimbulkan akibat membahayakan, merusak/menghilangkan kepentingan/ kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, harta milik / benda, kehormatan dsbnya. (c)Keadaan-keadaan yang dibedakan : (1) Keadaan sebelum/saat perbuatan dilakukan. (2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan. (d)Sifat dapat dihukum berkenaan dengan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hokum (larangan atau perintah). Delik penyertaan (deelneming) diatur masing-masing : (a) Sebagai pembuat yang turut melaksanakan segala anasir delik (pasal 55 (1) sub 1) (b) Sebagai pembuat peserta hanya turut melaksanakan sebagiandari anasir-anasir delik (pasal 55 (1) sub 1) (c) Sebagai pembuat penyuruh/tidak langsung (manus domina / tangan yang merajai) yang turut campur dengan cara menyuruh melakukan delik oleh orang lain pembuat langsung (manus ministra / tangan mengabdi) (pasal 55 (1) sub 1) (d) Sebagai pembuat penganjur (dinamai juga pembuat intelektual, pembujuk atau pemikat) ialah menganjurkan oranSistem pertanggungg lain melakukan sesuatu delik dengan mempergunakan sesuatu delik dengan mempergunakan sesuatu iktiar (pasal 55 (10 sub 2)

(e) Sebagai pembantu sementara kejahatan dilakukan yaitu turut memberi pertolongan kepada pembuat pada waktu kejahatan dilakukan (pasal 56 (1)) (f) Sebagai pembantu sebelum kejahatan dilakukan yaitu turut campur memberi kesempatan, sarana, keterangan kepada orang yang bermaksud akan melakukan kejahatan/untuk memudahkan pelaksanaannya (pasal 56 (2). Menurut saya, dalam uraian di atas, terhadap pasal 56 KUHP terkait dengan kasus money loundering, adalah bahwa kejahatan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri dan bersifat struktural. Bahkan biasanya terjadi tindak pidana lain (concursus) terkait kejahatan money loudering. Sistem pertanggungjawaban adalah penyertaan (deelneming), karena pasti banyak pihak yang terkait di dalamnya. Di sisi lain kejahatan kejahatan money loundering diakui mempunyai dampak positif bagi perekonomian Negara, karena berfungsi sebagai investment capital bagi pembangunan pada suatu Negara, sehingga system perbankan melindungi kejahatan ini. Bank dalam hal ini pastinya memiliki keterkaitan dalam kejahatan ini. Di satu sisi, Bank melindungi rahasia nasabahnya;adanya rahasia bank yang ketat, sehingga dana haram milik penjahat akan sulit terlacak. Dalam UU no 7 th 1992 tentang Perbankan, dalam pasal 1 ayat (16) berbunyi sbb: Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan Menurut saya, kita dapat mengesampingkan UU di atas, selama menyangkut masalah keamanan Negara dan atau kepentingan publik. Karena jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka para koruptor dapat secara aman menyimpan uang haramnya dengan sangat aman.

You might also like