You are on page 1of 98

PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3) DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIKLUS PDCA (PDCA CYCLE)

STUDY KASUS DI PT. KRAKATAU STEEL PERSERO DIVISI HSM (HOT STRIP MILL)

Tugas Akhir Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri

Oleh : Nurbianto 1.03.05.004

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2010

Kupersembahkan Tugas Akhir Ini Untuk Kedua Orang Tuaku, dan Ade-adeku Sebagai Tanda Bakti dan Terima Kasih atas Ketulusan Kasih Sayang, Pengorbanan, Perhatian, dan Doa serta Untuk Semua Orang yang Tak Pernah Henti Memberiku Semangat

ABSTRAK PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3) DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIKLUS PDCA (PDCA CYCLE) STUDY KASUS DI PT. KRAKATAU STEEL PERSERO DIVISI HSM (HOT STRIP MILL) Oleh NURBIANTO 1.03.05.004 Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu objek penting yang perlu diperhatikan dalam sistem manajemen perusahaan, karena menyangkut kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang melindungi dan memelihara sumber daya atau input yang dimiliki perusahaan seperti peralatan, fasilitas dan sumber daya manusia dari kecelakaan yang dapat membahayakan serta merugikan perusahaan. Penelitian dilakukan di PT. Krakatau Steel. Persero di Divisi HSM (Hot Strip Mill) di bagian produksi yang merupakan suatu Divisi yang rawan terjadinya keelakaan kerja. Dengan banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi di PT. Krakatau Steel Divisi HSM (Hot Strip Mill), PT. Krakatau Steel Divisi HSM (Hot Strip Mill) mempunyai suatu wadah khusus yang menangani masalah kecelakaan kerja yaitu, Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Hidup (K3LH) yang bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya di lingkungan industri serta cara pencegahan kecelakaan kerja di Divisi HSM (Hot Strip Mill). Pada penelitian ini penulis mengambil data kecelakaan kerja mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kondisi tidak aman, tindakan tidak aman dan kombinasi dari keduanya, Data pengamatan hasil JSA sebelum dilakukannya perbaikan dan data hasil wawancara dan diskusi. Dengan adanya kecelakan tersebut maka penulis berusaha mencoba menerapkan metode PDCA pada penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dominan masalah K3 dan untuk meminimasi tingkat kecelakaan kerja di PT. Krakatau Steel Persero di Divisi HSM (Hot Strip Mill). Perbaikan yang dilakukan dengan cara membuat kartu absensi khusus untuk penggunaan alat pelindung diri dan memperketat Monitoring Job safety Analysis tiap kali melakukan suatu proses produksi. Setelah dilakukannya perbaikan, penggunaan APD yang tidak lengkap dapat ditekan 41 kejadian dalam uji coba selama 20 hari dari jumlah sebesar 78 kejadian, penurunannya sebesar 47,4%. Kata kunci: Keselamatan dan kesehatan kerja, metode siklus PDCA

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.. LEMBAR PERUNTUKKAN..

i ii

ABSTRAK............. iii KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR iv vi x xi

DAFTAR LAMPIRAN. xii Bab 1 Pendahuluan..


1.1. Latar Belakang Masalah... 1.2. Identifikasi Masalah.. 1.3. Tujuan Penelitian.. 1.4. Pembatasan Masalah..... 1.5. Sistematika Penulisan...

1 1 2 3 3 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka.. 2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja...... 2.1.1. Pengertian dan Tujuan K3....... 2.1.2. Langkah-langkah Penerapan Sistem Manajemen K3.......... 2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja... 2.2.1. Manfaat Penerapa Sistem Manajemen K3. 2.2.3. Kerugian atau Pemborosan Sia-sia Akibat Kecelakaan

5 5 5 6 11 12

2.2.2. Metode atau Usaha Pencegahan Kecelakaan Kerja 13 17 2.3. Beberapa Azas Pencegahan Kebakaran.... 18 2.3.1. Api dan Ledakan..... 18 2.3.2. Bahaya-bahaya Kebakaran Umum..... 2.3.3. Konstruksi dan Pintu Keluar Bangunan..... 2.3.5. Tabung-tabung Pemadam Api.... 18 19

2.3.4. Peralatan Pemadan Api... 20 20

2.3.6. Alarm Kebakaran... 2.4. Manajemen Resiko....... 2.4.1. Pengertian Manajemen Resiko... 2.5.1. Masalah Umum Alat Pelindung Diri.. 2.5.3. Masalah Alat Pelindung Diri Berdasarkan Jenisnya.......... 2.6. PDCA Cycle........ 2.6.1. Tahap-tahap PDCA............ 2.6.2. Alat-alat Pemecahan Masalah.... Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah...

20 21 21

2.5. Alat Pelindung Diri... 25 26 2.5.2. Masalah Pemakaian Alat Pelindung Diri.... 26 27 29 29 34

39

3.1. Flow Chart Pemecahan Masalah..... 39 3.2. Flow Chart PDCA Cycle. 40 3.3. Kerangka Pemecahan Masalah.... 41 Bab 4 Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46 4.1. Sejarah Singkat Perusahaan. 46 4.1.1. Visi dan Misi Perusahaan..... 4.1.3. Target Perusahaan. 4.1.4. Pandangan ke Depan Perusahaan...... 49 4.1.2. Logo Perusahaan 50 50 51

4.1.5. Sejarah Divisi HSM... 51 4.1.6. Struktur Organisasi Divisi HSM.... 52 4.2. Pengumpulan dan Pengolahan Data.... 4.2.1. Merencanakan (plan)...... 4.2.1.1. Menentukan Tema

53 53 53

4.2.1.1.1. Uji Kecukupan Data dan Drajat Ketelitian 56 4.2.1.2. Mencari Penyebab Masalah.. 59 4.2.1.2.1. Data Wawancara dan Hasil Diskusi. 59 4.2.1.2.2. Diagram Sebab Akibat.. 60

4.2.1.3. Mencari Penyebab Masalah.. 61 4.2.1.3.1. Penentuan Dominan APD tidak Lengkap. 61 4.2.2. Melakukan (do)... 63 4.2.2.1. Usulan Rencana Perbaikan .. 4.2.3. Mengecek (check).. 4.2.3.1. Evaluasi Hasil Perbaikan . 4.2.4. Bertindak (action)... 63 4.2.2.2. Melakukan Usulan Perbaikan .. 66 67 67 71

4.2.4.1. Standarisasi .. 71 Bab 5 Analisis... 73 5.1. Merencanakan (plan)....... 73 5.1.1. Analisis Data Kecelakaan...... 73 5.1.2. Analisis Data Hasil Pengamatan Monitoring JSA. 74 5.1.3. Aalisis Diagram Pareto Data Pengamatan Monitoring JSA.. 74 5.1.4. Analisis Wawancara dan Hasil Diskusi. 75 5.1.5. Analisis Diagram Sebab Akibat 5.1.6. Analisis Penentuan Dominan APD Tidak Lengkap.. 5.1.7. Analisis Diagram Pareto Penentuan Dominan APD. 5.2. Melakukan (do)....... 5.2.1. Analisis Usulan Rencana Perbaikan.. 75 76 77 77 77

5.2.2. Analisis Pelaksanaan Rencana Perbaikan.. 78 5.3. Mengecek (check)....... 78 5.3.1. Analisis Evaluasi Hasil Perbaikan. 78 5.4. Bertindak (action)........ 79 5.5. Analisis Hasil Pemecahan Masalah Setelah diterapkan PDCA... 80

Bab 6 Kesimpulan dan Saran.... 81 6.1. Kesimpulan.. 81 6.2. Saran.... 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3........ Gambar 2.3. Diagram Tulang Ikan ... Gambar 2.5. Histogram..... Gambar 3.1. Flow Chart Pemecahan Masalah.. Gambar 3.2. Flow Chart Pemecahan Masalah PDCA Cycle...

10

Gambar 2.2. Pedoman Penerapan Metode PDCA cycle ... 30 35 Gambar 2.4. Run Chart APD..... 37 38 39 40

Gambar 4.1. Pabrik Hyl III, PT Krakatau Steel ... 49 Gambar 4.2. Lambang Sertifikasi ISO 9002 dan ISO 14001... Gambar 4.3. Logo Perusahaan PT Krakatau Steel... 50 50

Gambar 4.4. Skema Struktur Organisasi PT. Krakatau Steel... 52 Gambar 4.5. Diagram Pie Penyebab Kecelakaan kerja.................................... Gambar 4.6. Diagram Pareto Untuk Data Pengamatan.... Gambar 4.7. Diagram Pareto Untuk Kondisi Tidak Aman.. Gambar 4.8. Diagram Sebab-Akibat APD Tidak Lengkap.......... Gambar 4.9. Diagram Pareto Untuk Penyebab Dominan Penggunaan APD... 54 57 58 60 62

Gambar 4.10. Grafik Initial Goal dan Intermediate Goal. 66 Gambar 4.11. Grafik Perbandingan Sebelum dan Sesudah Perbaikan.. 68 Gambar 4.12. Run Chart APD Sebelum dan Sesudah Perbaikan. Gambar 4.13. Grafik Perbandingan Target dan Hasil Perbaikan ..... Gambar 5.2. Grafik Perbandingan Target dan Hasil Perbaikan.. 70 70

Gambar 5.1. Grafik Perbandingan Sebelum dan Sesudah Perbaikan.. 78 80

DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Lembar Periksa 36 Tabel 4.1. Data Kecelakaan Kerja 54 Tabel 4.2. Data Hasil Pengamatan Monitoring JSA. 55 Tabel 4.3. Lembar Data Pembuatan diagram Pareto Hasil Data Pengamatan. Tabel 4.4. Data Pembuatan Diagram pareto kategori Unsafe Condition. 57 58

Tabel 4.5. Penyebab Penggunaan APD Tidak Lengkap... 59 Tabel 4.6. Penyebab Dominan Penggunaan APD Melalui Metode NGT... Tabel 4.7. Data Pembuatan Diagram Pareto Penyebab Dominan APD.. Tabel 4.8. Usulan rencana Perbaikan . Tabel 4.9 Data Pengamatan Hasil Monitoring JSA Setelah Pengamatan.. 62 62 63 67

Tabel 4.10. Data Pengamatan APD Sebelum dan Sesudah Perbaikan.. 69

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam sistem manajemen perusahaan, karena menyangkut kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang melindungi dan memelihara sumber daya atau input yang dimiliki perusahaan seperti, peralatan, fasilitas dan sumber daya manusia dari kecelakaan yang dapat membahayakan serta merugikan perusahaan.

Dengan adanya program keselamatan dan kesehatan kerja, perusahaan berupaya menghilangkan kecelakaan-kecelakaan. Kecelakaan dapat mengakibatkan

kerugian materi seperti biaya pengobatan dan perawatan. Kecelakaan juga dapat mengakibatkan kerugian jiwa seperti cacat fisik dan kematian. Dengan terjadinya kecelakaan, maka perusahaan pun mengalami penurunan hasil produksi dikarenakan kurangnya tenaga kerja

PT. Krakatau Steel merupakan suatu perusahaan yang memproduksi suatu baja dengan mesin-mesin yang sangat membahayakan yang dapat mengakibatkan bahaya kecelakaan bagi para pekerjanya. PT. Krakatau Steel ini terdiri dari beberapa Divisi salah satunya adalah Divisi Hot Strip Mill (HSM) yang memproduksi baja lembaran panas, Divisi ini merupakan suatu Divisi yang rawan terjadinya kecelakaan seperti jatuhnya karyawan disaat melintas di area produksi pada saat proses produksi baja lembaran panas. Dengan banyaknya kecelakaan yang terjadi di Divisi ini, maka target hasil produksi pun tidak tercapai.

Berdasarkan sudut pandang kemanusiaan dan ekonomi, pencegahan kecelakaan kerja merupakan hal yang harus ditangani secara serius oleh perusahaan, organisasi dan pihak-pihak yang terlibat lainnya, untuk itu PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM) mempunyai suatu wadah khusus yang menangani masalah kecelakaan kerja yaitu Departemen keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan hidup (K3LH). K3LH ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya di

lingkungan industri serta cara pencegahannya, salah satu usaha tersebut adalah dengan diterapkannya siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action) pada penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM) karena masih banyak terjadinya kecelakaan.

Siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action) yang dikembangkan oleh W. Edward Deming, adalah merupakan sebuah model dalam upaya peningkatan proses secara berkesinambumgam (continues improvement). Model ini mengajarkan untuk merencanakan (plan) suatu tindakan, melakukan (do) tindakan tersebut, mengecek (check) pelaksaannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan bertindak (action) sesuai dengan apa yang telah direncanakan tersebut.

Dengan menerapkan metode siklus PDCA diharapkan PT. Karakatu Steel dapat menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja secara optimal, sehingga tingkat kecelakaan dapat menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul:

PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIKLUS PDCA (PDCA CYCLE) STUDY KASUS DI PT. KRAKATAU STEEL PERSERO DIVISI HSM (HOT STRIP MILL).

1.2. Identifikasi Masalah PT. Krakatau Steel selaku perusahaan industri yang sebagian besar bergerak di bidang produksi dengan kondisi lingkungan kerja yang berbeda-beda. Maka pertimbangan K3 menjadi syarat utama dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga yang menjadi pertanyaan atau permasalahan bagi perusahaan adalah: 1. Langkah-langkah atau metode apa yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah K3? 2. Apa saja faktor yang menjadi akar penyebab kecelakaan kerja/masalah K3 di perusahaan? 3. Bagaimana penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dapat berjalan dengan baik?

1.3. Tujuan Penelitian Penulisan dari laporan penelitian ini memiliki beberapa tujuan dan manfaat yang diantaranya adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dominan masalah K3 di PT. Krakatau Steel divisi/departemen Hot Strip Mill (HSM). 2. Mengusulkan rencana perbaikan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) untuk mengurangi masalah K3 seperti kondisi tidak aman (unsafe condition), tindakan tidak aman (unsafe act) dan kombinasi dari keduanya (combinate) yang terjadi secara tersetruktur dan berkesinambungan melalui pendekatan metode siklus PDCA (PDCA cycle).

1.4. Pembatasan Masalah Agar penulisan lebih terarah dan mudah untuk dipahami sesuai dengan tujuan pembahasannya, maka penelitian hanya akan dilakukan di dalam ruang lingkup: 1. Ruang lingkup penelitian dilakukan di perusahaan PT. Krakatau Steel divisi/departemen Hot Strip Mill (HSM). 2. Penelitian difokuskan pada faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja dan masalah K3 seperti kondisi tidak aman (unsafe condition) dan tindakan tidak aman (unsafe act) ataupun kombinasi dari keduanya (combinate). 3. Usulan penerapan dengan menggunakan metode siklus PDCA dan hanya didasarkan pada cara kerjanya saja atau hanya dikhususkan pada faktor teknisnya, dan mengabaikan faktor-faktor dari non teknis seperti budaya kerja, sifat individu karyawan, lingkungan kerja dan lain-lain.

1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini berdasarkan ketentuan yang berlaku di Universitas Komputer Indonesia, terbagi menjadi 6 bab. Tiap bab nya mempunyai hubungan dan keterkaitan satu sama lainnya. Adapun sistem penulisannya adalah sebagai berikut: Bab I PENDAHULUAN Berisi tentang penjelasan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Batasan Masalah dan Sistematika Penulisan. Bab II TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini berisikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan dan pengolahan data diantaranya meliputi pembahasan SMK3, Pemecahan Masalah Dengan Pendekatan PDCA dan

sebagainya. Bab III METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH Bab ini memuat dan menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data yang sudah didapat selama penelitian. Selain itu juga terdapat kerangka pemecahan masalah dalam penelitian laporan ini. Bab IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini berisikan tentang sejarah umum perusahaan, kebijakan K3 perusahaan dan hasil pengumpulan dan pengolahan data penelitian. Bab V ANALISIS Untuk bab ini berisikan tentang pembahasan dan analisa dari data-data yang telah dikumpulkan dan diolah sebelumnya. Berdasarkan metode yang sudah ditentukan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Berisikan tentang kesimpulan berdasarkan tujuan penulisan dari keseluruhan hasil laporan ini serta saran-saran yang didasarkan dari hasil dan kondisi penelitian data yang telah dibahas dan untuk dipertimbangkan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2.1.1. Pengertian dan Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dr. Sumakmur P.K (1996 ; 1): Keselamatan kerja adalah keselamatan yang

bertalian dengan mesin, peralatan alat kerja, bahan serta proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial, dengan usaha preventif dan kutatif, terhadap penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja dan terhadap penyakit-penyakit umum.

Prof. Imam Soepomo berpendapat bahwa pengertiaan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah usaha-usaha dan aturan-aturan untuk menjaga buruh atau tenaga kerja dari kejadian atau keadaan yang merugikan keselamatan dan kesehatan seseorang yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja.

Gatot Suradji berpendapat dalam bukunya bahwa keselamatan kerja merupakan semua usaha dari suatu perusahaan, pabrik atau suatu unit instalasi yang ditunjukan kepada keselamatan kerja para karyawan atau petugas dalam melaksanakan pekerjaan yang dihadapi sehari-hari yang memungkinkan pelaksanaan bekerja dengan aman dan tertib untuk mencapai target produksi yang telah direncanakan. UU No.14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok Mengenai Tenaga Kerja (pasal 9 dan 10): Lapangan kesehatan yang ditunjukan kepada pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan tenaga kerja, dilakukan dengan mengatur memberikan pengobatan, perawatan tenaga kerja yang sakit, cara-cara yang memenuhi norma-norma hygiene perusahaan dan kesehatan kerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat pekerjaan, maupun penyakit umum serta menetapkan syarat-syarat kesehatan bagi perumahan tenaga kerja.

2.1.2. Langkah-langkah Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Untuk lebih memudahkan penerapan standar sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), berikut ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan dan langkah-langkahnya. Tahapan dan langkah-langkah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu (Rudi Suardji, 2005, Hal. 23): A. Tahap Persiapan Merupakan tahap atau langkah awal yang harus dilakukan suatu organisasi atau perusahaan. Langkah ini melibatkan lapisan manajemen dan sejumlah personel, mulai dari menyatakan komitmen sampai dengan menetapkan kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Adapun, tahap persiapan ini antara lain: 1. Komitmen manajemen puncak. 2. Menentukan ruang lingkup. 3. Menetapkan cara penerapan. 4. Membentuk kelompok penerapan. 5. Menetapkan sumber daya yang diperlukan

B. Tahap Pengembangan dan Penerapan Sistem dalam tahap ini berisi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh organisasi/perusahaan dengan melibatkan banyak personel, mulai dari

menyelenggarakan penyuluhan dan melaksanakan sendiri kegiatan audit internal serta tindakan perbaikannya sampai dengan melakukan sertifikasi. Langkahlangkahnya yaitu sebagai berikut: 1. Menyatakan Komitmen Pernyataan komitmen dan penetapan kebijakan untuk menerapkan sebuah Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam

organisasi/manajemen harus dilakukan oleh manajemen puncak, manajemen puncak harus dinyatakan bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga harus dengan tindakan nyata agar dapat diketahui, dipelajari, dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh staf dan karyawan perusahaan.

2. Menetapkan Cara Penerapan Perusahaan dapat menggunakan jasa konsultan untuk menerapkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), berdasarkan pertimbangan berikut: - Konsultan yang baik tentu memiliki pengalaman yang banyak dan bervariasi sehingga dapat menjadi agen pengalihan pengetahuan secara efektif, sehingga dapat memberikan rekomendasi yang tepat dalam proses penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). - Konsultan yang independen memungkinkan konsultan tersebut secara bebas dapat memberikan umpan balik kepada manajemen secara objektif tanpa terpengaruh oleh persaingan antar kelompok di dalam

organisasi/perusahaan. - Konsultan jelas memiliki waktu yang cukup. Berbeda dengan tenaga perusahaan yang meskipun mempunyai keahlian dalam Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) namun karena desakan tugas-tugas lain di perusahaan, akibatnya tidak punya cukup waktu.

3. Membentuk Kelompok Kerja Penerapan Jika perusahaan akan membentuk kelompok kerja sebaiknya anggota kelompok kerja tersebut terdiri atas seorang wakil dari setiap unit kerja, biasanya manajer unit kerja. Hal ini penting karena merekalah yang tentunya paling bertanggung jawab terhadap unit kerja yang bersangkutan. Membentuk kelompok kerja penerapan melibatkan beberapa hal penting yaitu sebagai berikut: - Peran anggota kelompok kerja - Tanggung jawab dan tugas anggota kelompok kerja. - Kualifikasi anggota kelompok kerja. - Jumlah anggota kelompok kerja. - Kelompok kerja penunjang.

4. Menetapkan Sumber Daya yang Diperlukan Sumber daya disini mencangkup orang /personel, perlengkapan, waktu dan dana. Orang yang dimaksud adalah beberapa orang yang diangkat secara resmi diluar tugas-tugas pokoknya dan terlibat penuh dalam proses penerapan. Pelengkapan adalah perlunya mempersiapkan kemungkinan ruangan tambahan untuk menyimpan dokumen atau computer tambahan untuk mengolah dan menyimpan data. Tidak kalah pentingnya adalah waktu.

Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan sekedar kegiatan yang dapat berlangsung dalam satu atau dua bulan saja. Untuk itu selama kurang lebih satu tahun perusahaan harus siap menghadapi gangguan arus kas karena waktu yang seharusnya dikonsentrasikan untuk berproduksi atau beroprasi banyak terserap ke proses penerpan ini. Keadaan seperti ini sebetulnya dapat dihindari dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik.

5. Kegiatan Penyuluhan Kegiatan penyuluhan ini harus diarahkan untuk mencapai tujuan, antara lain: - Menyamakan persepsi dan motivasi terhadap pentingnya penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi kinerja perusahaan. - Membangun komitmen menyeluruh mulai dari direksi, manajer, staf dan seluruh jajaran dalam perusahaan untuk bekerja bersama-sama dalam menerpakan standar sistem ini.

Kegiatan penyuluhan ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya dengan pernyataan komitmen manajemen, melalui ceramah, surat edaran atau pembagian buku-buku yang terkait dengan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

6. Peninjauan Sistem Peninjauan ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu dengan meninjau dokumen prosedur dan meninjau pelaksanaannya. Tinjauan sistem ini akan menghasilkan beberapa hal, di antaranya: - Apakah perusahaan sudah mengikuti dan melaksanakan secara konsisten posedur atau instruksi kerja dari OHSAS 18001 atau Permenaker 05/Men/1996. - Perusahaan belum memiliki dokumen, tetapi sudah menerapkan sebagian atau seluruh persyaratan dalam standar Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Perusahaan belum memiliki dokumen dan belum menerapkan persyaratan standar Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dipilih.

7. Penyusunan Jadwal Kegiatan Setelah melakukan peninjauan sistem maka kelompok kerja dapat menyusun suatu jadwal kegiatan. Jadwal kegiatan dapat disusun dengan

mempertimbangkan hal-hal berikut: - Ruang lingkup pekerjaan. - Kemampuan wakil manajemen dan kelompok kerja penerapan. - Keberadaan proyek.

8. Pengembangan

Manajemen

Keselamatan

dan

Kesehatan

Kerja

(K3)

Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap pengembangan sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara lain mencangkup dokumentasi, pembagian kelompok, penyusunan bagan alir, penulisan manual sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), prosedur dan instruksi kerja.

9. Penerapan Sistem Setelah semua dokumen dibuat, maka setiap anggota kelompok kerja kembali ke masing-masing untuk menerapkan sistem yang telah ditulis. Adapun cara penerapannya adalah:

- Anggota kelompok keja mengumpulkan seluruh stafnya dan menjelaskan mengenai isi dokumen tersebut. Kesempatan ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan masukan-masukan dari lapangan yang bersifat teknis operasional. - Anggota kelompok kerja bersama-sama staf unit kerjanya mulai mencoba menerapkan hal-hal yang telah ditulis. Setiap kekurangan atau hambatan yang dijumpai harus dicatat sebagai masukan untuk menyempurnakan sistem - Menumpulkan semua catatan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan rekaman tercatat yang merupakan bukti pelaksanaan hal-hal yang telah ditulis.

10. Proses Sertifikasi Ada sejumlah lembaga sertifikasi sistem manajemen K3. Misalnya Sucofindo melakukan sertifikasi terhadap Permenaker 05/Men/1996. Namun untuk OHSAS 18001:1999 organisasi bebas menentukan lembaga sertifikasi manapun yang diinginkan. Untuk itu organisasi disarankan untuk memilih lembaga sertifikasi OHSAS 18001 yang paling tepat.

Faktor Eksternal

Internal

Kaji awal

Kebijakan

Audit

Pengelolaan

Rencana dan Penerapan

Pengukuran Kinerja

Link Informasi Link Kontrol

Gambar 2.1. Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3

2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam pasar bebas yang marak dengan berbagai persaingan, penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat penting untuk dijalankan dengan baik dan terarah. Proses industrialisasi merupakan syarat mutlak untuk membangun negeri ini. Pengalaman di negara-negara lain menunjukan bahwa tren suatu pertumbuhan dari Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah melalui fase-fase, yaitu fase kesejahteraan, fase produktivitas kerja dan fase teknologi industri.

Sekarang ini, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagaimana halnya aspek-aspek tentang pengaturan tenaga kerja, sedang berada pada fase kesejahteraan, terutama umumnya pada buruh. Mungkin setelah tercapainya kesetabilan politik, hukum dan ekonomi, kita bisa memulai menginjakan kaki ke fase produktivitas kerja. Sedangkan fase teknologi industi, cepat lambatnya dicapai tergantung kepada kemampuan untuk mengembangkan perindustrian pada umumnya.

Agar para buruh pabrik berada dalam kondisi kesehatan dan produktivitas kerja yang setinggi-tingginya, maka mereka perlu mendapatkan keseimbangan yang menguntungkan dari faktor beban kerja, dan beban tambahan akibat lingkungan kerja dan kapasitas kerja. Dalam konteks ini, faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, baik dari aspek penyakit akibat kerja maupun kecelakaan kerja, dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya (Rudi Suardi, 2005, Hal. 8): 1. Faktor fisik, yang meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban, cepat rambat udara, suara, vibrasi mekanis, radiasi, tekanan udara, dan lain-lain. 2. Faktor kimia, yaitu berupa gas, uap, debu, kabut, asap, awan, cairan, dan benda-benda padat. 3. Faktor biologi, baik dari golongan hewan, maupun dari tumbuh-tumbuhan. 4. Faktor fisiologis, seperti konstruksi mesin, sikap, dan cara kerja. 5. Faktor material-psikologis, yaitu susunan kerja, hubungan diantara pekerja atau dengan pengusaha, pemeliharaan kerja dan sebagainya.

2.2.1. Manfaat Perapan Sistem Manajamen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Lima manfaat penerapan Sistem Manajamen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), yaitu : 1. Perlindungan karyawan. Tujuan inti penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah memberi perlindungan kepada pekerja. Pengaruh positif terbesar yang dapat diraih adalah mengurangi angka kecelakaan kerja. 2. Memperlihatkan kepatuhan pada peraturan dan undang-undang. Dengan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), setidaknya sebuah perusahaaan telah menunjukan itikad baiknya dalam mematuhi peraturan dan perundangan-perundangan shingga perusahaan dapat beroperasi normal tanpa menghadapi kendala dari segi ketenagakerjaan. 3. Mengurangi biaya. Jika penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dilaksanakan secara efektif dan penuh komitmen, nilai uang yang keluar tersebut jauh lebih kecil dibandingkan biaya yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja. 4. Membuat sistem manajemen yang efektif Tujuan perusahaan beroperasi adalah mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Hal ini akan dicapai dengan adanya sisitem manajemen perusahaan yang efektif. 5. Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan Karyawan yang terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya akan bekerja lebih optimal dan ini tentu akan berdampak pada produk yang dihasilkan. (Rudi Suardi, 2005, hal. 21).

2.2.2. Metode atau Usaha Pencegahan Kecelakaan Kerja Pencegahan kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan tanggung jawab para manajer lini, mandor, personalia dan juga kepala urusan. Fungsionaris lini wajib memelihara kondisi kerja yang selamat sesuai dengan ketentuan pabrik panduaan praktek pembikinan yang baik (Good Manufacturing Practice). Di lain pihak, para kepala urusan wajib senantiasa mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan.

Kedua macam fungsionaris ini kelihatannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda. Sebenarnya tidak, pemeliharaan keadaan yang tidak aman dan pencegahan kecelakaan adalah satu fungsi yang sama. Pencegahan kecelakaan adalah merupakan program terpadu koordinasi dari berbagai aktivitas, pengawasan yang terarah yang didasarkan atas sikap, pengetahuan dan kemampuan. Ada lima tahapan: 1. Organisasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). 2. Menentukan fakta atau masalah. 3. Analisis. 4. Pemeliharaan Atau penetapan alternatif. 5. Pelaksanaan.

Pencegahan kecelakaan dari aspek manusia harus bermula pada hari pertama ketika semua karyawan mulai bekerja. Setiap karyawan harus diberitahu secara tertulis uraian mengenai jabatannya yang mencangkup fungsi, hubungan kerja, wewenang dan tanggung gugat, tugas dan tanggung jawab, serta syarat-syarat kerjanya. Selain itu harus dipegang prinsip bahwa kesalahan utama sebagian besar kecelakaan, kerugiaan atau kerusakan terletak pada karyawan yang kurang bergairah, kurang trampil, kurang tepat, terganggu emosinya, yang pada umumnya menyebabkan kecelakaan dan kerugian

Jika manajemen adalah melaksanakan suatu kegiatan dengan menggunakan tenaga orang lain maka setiap tenaga kerja harus memenuhi persyaratan berikut: KUALITAS 1. Terampil 2. Sesuai 3. Bergairah 4. Berhati-hati 5. Tahu 6. Sikap positif PEMBINAAN/TINDAKAN 1. Latihan secukupnnya 2. Seleksi yang baik 3. Pimpinan yang baik 4. Seleksi dan training yang baik 5. Cukup pendidikan dan skill 6. Hubungan kerja yang harmonis

Jadi jika fungsionaris mengadakan pembinaan/tindakan yang berlawanan, maka kerja yang ada menunjukan kualitas yang berlawanan dengan daftar diatas. Manajemen (dari manajer hingga ketua kelompok) bertanggung jawab dalam seleksi, penempatan, pembinaan dan pimpinan karyawan. Manusia adalah mahkluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang disekitarnya sehingga memerlukan pembinaan yang baik dan intensif. Kesalahan dan kelalaian manajemen dalam pengelolaan sumber daya manusia perusahaan akan mengakibatkan kecelakaan atau kerugian. Setiap anggota manajemen harus tanggap dan serba berhati-hati dalam memimpin bawahan mereka.

Karyawan yang memiliki sikap-sikap berikut tidak memenuhi syarat: - Tidak atau sedang memakai Alat Pelindung Diri (APD) yang telah disediakan. - Melanggar peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang diwajibkan dengan sengaja. - Tergesa-gesa dan kurang berhati-hati dalam pekerjaan. - Bersikap kasar, bergular atau berkelakar sambil bekerja. - Tidak memahami arti kerugiaan bagi perusahaan maupun dirinya dan bekerja di luar prosedur kerja yang telah ditentukan dan ditetapkan.

Tiga sebab mengapa seorang karyawan melakukan kegiatan tidak aman (unsafe act): - Tidak mengetahui tata cara yang aman atau perbuatan-perbuatan berbahaya. - Tidak mampu memenuhi persyaratan kerja sehingga terjadilah tindakan yang dibawah standar. - Mengetahui seluruh peraturan dan persyaratan kerja, tetapi dia malas atau sungkan memenuhinya atau menggunakannya dengan baik.

Dari aspek manusia, gejala penyebab kecelakaan bermula pada kegiatan atau perbuatan tidak aman manusia itu sendiri. Beberapa perbuatan mengusahakan keselamatan adalah: - Setiap karyawan bertugas sesuai dengan pedoman dan penuntun yang diberikan. - Setiap kecelakaan atau kejadian yang merugikan harus segera dilaporkan kepada atasan. - Setiap peraturan atau ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus dipatuhi secermat mungkin. - Semua karyawan harus bersedia saling mengisi atau mengingatkan akan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya. - Peralatan dan perlengkapan K3 harus dipakai sesuai dengan jenis bahaya yang ada di tempat kerja. yang

Berbagai cara yang umum digunakan untuk meningkatkan keselamatan kerja dalam industri dewasa ini diklasifikasikan sebagai berikut (ILO, 1989, Hal. 20): 1. Peraturan-peraturan, yaitu ketentuan yang harus dipatuhi mengenai hal-hal seperti kondisi kerja umum, perancangan, konstruksi, pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan pengoprasian peralatan industri, kewajibankewajiban para pengusaha dan pekerja, pelatihan, pengawasan kesehatan, pertolongan pertama dan pemeriksaan kesehatan.

2. Standarisasi, yaitu menetapkan standar-standar resmi, setengah resmi, ataupun tidak resmi, misalnya mengenai konstruksi yang aman dari jenisjenis peralatan industri tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang aman dan sehat, ataupun tentang alat pengamanan perorangan. 3. Pengawasan, sebagai contoh adalah usaha-usaha penegakan peraturan yang harus dipatuhi. 4. Riset teknis, yaitu termasuk hal-hal seperti penyelidikan peralatan dan ciri-ciri dari bahan berbahaya, penelitian tentang pelindung mesin, pengujian masker pernapasan, penyelidikan berbagai metode pencegahan ledakan gas dan debu, atau pencarian bahan-bahan yang paling cocok serta perancangan tali kerekan dan alat-alat kerekan lainnya. 5. Riset medis, termasuk penyelidikan dampak fungsiologis dan patologisdari faktor-faktor lingkungan dan teknologi, serta kondisi-kondisi fisik yang amat merangsang terjadinya kecelakaan. 6. Riset psikologis, sebagai contoh adalah penyelidikan pola-pola psikologis yang dapat menyebabkan kecelakaan. 7. Riset statistic, untuk mengetahui jenis-jenis kecelakaan yang terjadi, berapa banyak, kepada tipe orang yang bagaimana yang menjadi korban, dalam kegiatan-kegiatan seperti apa, dan apa saja yang menjadi penyebab. 8. Pendidikan, meliputi pengajaran subyek keselamatan sebagai mata ajaran dalam akademi teknik, sekolah-sekolah dagang ataupun kursus-kursus magang. 9. Pelatihan, sebagai contoh yaitu pemberian instruksi-instruksi peraktis bagi para pekerja, khususnya bagi pekerja baru, dalam hal-hal keselamatan kerja. 10. Persuasi, sebagai contoh yaitu penerapan berbagai metode publikasi dan imbauan untuk mengembangkan kesadaran akan keselamatan. 11. Asuransi, dengan cara penyediaan dana-dana untuk meningkatkan upayaupaya pencegahan kecelakaan, misalnya pabrik-pabrik yang telah

mengadakan standar pengamanan yang tinggi. 12. Tindakan tindakan, pengamanan yang dilakukan oleh masing-masing individu.

2.2.3. Kerugian atau Pemborosan Sia-sia Akibat Kecelakaan Kerja Ada beberapa kerugian/pemborosan yang timbul karena diakibatkan oleh terjadianya kecelakaan kerja diantaranya adalah (ILO, 1989, Hal. 11): a. Dari segi manusianya: - Menderita luka ringan tanpa cacat. - Menderita luka disertai luka cacat sementara. - Menderita cacat selama-lamanya tanapa memerlukan bantuan orang lain. - Menderita cacat selama-lamanya dengan memerlukan bantuan orang lain. - Korban jiwa/meninggal. b. Kerugian akibat hilangnya waktu karyawan lain yang terhenti bekerja karena: - Rasa ingin tahu. - Simpati. - Membantu menolong karyawan yang terluka. c. Kerugian akibat hilangnya waktu bagi para mandor atau para pimpinan lainnya antara lain sebagai berikut: - Membantu karyawan yang terluka. - Menyelidiki penyebab kecelakaan. - Mengatur agar proses produksi di tempat karyawan yang terluka tetap dapat dilanjutkan oleh karyawan lainnya. - Memilih, melatih, ataupun menerima karyawan baru untuk menggantikan posisi karyawan yang terluka. d. Kerugian akibat penggunaan waktu dari petugas pemberi pertolongan pertama dan staf departemen rumah sakit, apabila pembiayaan ini tidak ditanggung oleh perusahaan asuransi. e. Kerugian akibat rusaknya mesin, perkakas atau peralatan lainnya atau oleh karena tercemarnya bahan-bahan baku atau material. f. Kerugian incidental akibat terganggunya produksi, kegagalan memenuhi pesanan pada waktunya, kehilangan bonus, pembayaran denda ataupun akibat-akibat lainnya yang serupa. g. Kerugian akibat pelaksanaan sistem kesejahtraan bagi karyawan.

h. Kerugian akibat keharusan untuk meneruskan pembayaran upah penuh bagi karyawan yang dulu terluka setelah mereka kembali bekerja, walaupun mereka hanya menghasilkan separuh dari kemampuan pada saat normal. i. Kerugian akibat hilangnya kesempatan memperoleh laba dari produktivitas karyawan yang luka dan akibat dari mesin yang menganggur. j. Kerugian yang timbul akibat ketegangan ataupun menurunnya moral kerja karena kecelakaan tersebut. k. Kerugian biaya umum per karyawan yang luka.

2.3. Beberapa Azas Pencegahan Kecelakaan 2.3.1. Api dan Ledakan Banyak kebakaran dan ledakan di pabrik terjadi diluar jam kerja normal. Dalam kasus ini, resiko terlukanya orang akan berkurang, tetapi kerugian akibat hilangnya lapangan kerja membuat kebakaran menjadi malapetaka ekonomi maupun sosial. Kebakaran terjadi dalam jam kerja merupakan bahaya lebih besar bagi para pekerja. Banyak yang dapat dan harus dilakukan untuk mencegah bencana serupa ini oleh mereka yang bertanggungjawab terhadap bangunan pabrik, tetapi pekerja juga jelas sangat bertanggungjawab untuk menjamin efektifitas langkah-langkah pencegahan kebakaran (ILO, 1989, Hal. 62).

2.3.2. Bahaya-bahaya Kebakaran Umum Timbulnya suatu kebakaran disebabkan tiga unsur yaitu oksigen, bahan bakar dan panas. Tanpa oksigen tidak ada yang dapat terbakar, tanpa panas tidak akan terjadi kebakaran. Terjadinya kebakaran umum adalah api rokok, cairan yang mudah terbakar, nyala api terbuka, penataan ruang yang tidak sempurna, mesin-mesin yang terlalu panas karena kurang perawatan, instalasi listrik, listrik statis, peralatan las dan solder. Beberapa industri antara lain industri kimia, minyak dan cat mempunyai potensi bahaya kebakaran khusus.

Usaha pencegahan kebakaran yang umum sekali dilakukan ialah dengan mengadakan larangan merokok. Namun demikian usaha ini tidak dapat selalu diawasi pelaksanaannya, karena sebagian besar pekerja mengalami kesulitan untuk tidak merokok selama 4 sampai 5 jam kerja berturut-turut dalam satu shift (ILO, 1989, Hal. 63).

2.3.3. Konstruksi dan Pintu Keluar Bangunan Konstruksi bangunan erat sekali hubungannya dengan usaha penenggulangan dengan kebakaran. Bangunan-bangunan industri harus dari bahan tahan api. Hal ini adalah masalah arsitek dan perencanaan. Tetapi beberapa aspek diantaranya adalah masalah yang mana pekerja-pekerja dapat memberikan bantuan walaupun kelihatannya tidak begitu berarti (ILO, 1989, Hal. 66).

Konstruksi tahan api harus dapat meyakinkan bahwa bagian-bagian dari bangunan baik secara vertikal melalui dinding-dinding, lantai, pintu, sumuran lift, tangga atau saluran-saluuran ventilasi. Pintu keluar penting sekali dan harus sesuai syarat-syarat berikut: 1. Tidak boleh ada bagian bangunan terlalu jauh dari pintu ke luar, jarak tergantung pada tingkat bahaya. 2. Setiap lantai harus sekurangnya mempunyai dua pintu keluar, cukup lebar, aman terhadap api dan asap dan terpisah cukup jauh satu sama lainnya. 3. Tangga kayu, tangga putar, lift, dan tangga jenjang tidak dapat dihitung sebagai pintu keluar. 4. Pintu-pintu keluar harus diberi rambu dan cukup terang. 5. Pintu-pintu keluar harus selalu dijaga tetap bebas hambatan. 6. Tangga luar dan lubang penyelamat tidak boleh menuju halaman dalam atau lorong pintu.

2.3.4. Peralatan Pemadam Api Penyediaan peralatan pemadam api dapat terdiri dari peralatan yang sederhana sampai kepada peralatan yang modern misalnya sprinkeler systems. Macam dan jumlahnya tergantung kepada luas dan konstruksi bangunan yang akan dilindungi atau diamankan dan proses produksi yang dilakukan didalamnya. Kadang-kadang cukup dengan tabung pemadam api atau persediaan pasir kering atau beberapa ember yang diisi air. Di daerah yang mempunyai jaringan ledeng air, kebanyakan pabrik-pabrik yang dilengkapi dengan hydrant dan selang pemadam kebakaran (ILO, 1989, Hal. 67).

2.3.5. Tabung-tabung Pemadam Api Dalam pemakaian tabung-tabung pemadam api, harus dijaga betul supaya tabungtabung tersebut tidak meninggalkan bahaya. Sering terjadi bahwa konstruksi tabung pemadam api tidak sesuai dengan pengisian zat kimia, sehingga menyebabkan mulut semprotnya menjadi mampet. Sewaktu tabung ini harus dipergunakan zat kimia didalamnya tercampur dengan membalikan tabung pemadam api. Tekanan dalam silinder meningkat sehingga memaksa bahan pemadam api yang didalamnya menyemprot keluar, tetapi jika kebetulan mulut semprot buntu, tekanan tinggi yang ada didalamnya dapat mengakibatkan tabung silinder menjadi pecah dan meledak. Oleh sebab itu konstruksi yang sesuai dengan isinya dan pemeliharaan serta pengawasan secara teratur dapat mencagah terjadinya kecelakaan semacam ini (ILO, 1989, Hal. 68).

2.3.6. Alarm Kebakaran Alarm kebakaran harus tersedia untuk memperingatkan kepada setiap orang jika terjadi kebakaran. Hal ini dapat dilakukan apabila tersedia alarm yang bekerja secara otomatis dengan pemasangan alarm bells, suling atau sirine di tempattempat kerja dalam pabrik dan tersedia pula tombol tekan atau handles untuk menyembunyikan alarm apabila dianggap perlu. Alarm harus dapat didengar dimana saja di dalam pabrik termasuk di ruangan di dalam gedung, gang-gang, di kamar pakaian kerja dan kamar kecil (ILO, 1989, Hal. 69).

2.4. Manajemen Risiko 2.4.1. Pengertian Manajemen Risiko Manajemen risiko merupakan inti dari sistem manajemen K3, karena itu secara khusus OHSAS 18001 dan permanaker 05/Men/1996 mempersyaratkan adanya pengelolaan risiko. Sebuah organisasi dapat menerapkan metode pengendalian risiko apapun sejauh metode tersebut mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan memilih prioritas risiko dan mengendalikan risiko dengan melakukan pendekatan jangka pendek dan jangka panjang. Secara umum langkah-langkan manajemen resiko yaitu sebagai berikut (Rudi Suardi, 2005, Hal. 69): 1. Identifikasi Bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan: - Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya. - Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi. Aktivitas-aktivitas lainnya yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi bahaya, antara lain: - Berkonsultasi dengan pekerja. Bertanya pada mereka tentang berbagai masalah yang mereka temukan, keadaan yang nyaris kena bahaya dan kecelakaan kerja yang tidak terekam. - Berkonsultasi dengan tim K3 - Memertimbangkan bagaimana personel menggunakan peralatan dan material, bagaimana kesesuaian peralatan tersebut yang digunakan pada aktivitasaktivitas dan lokasinya, bagaimana personel dapat terluka baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai aspek tempat kerja. - Melakukan safety audit. - Pengujian, bagian dari perusahaan atau peralatan kerja dan kebisingan. - Evaluasi teknis dan keilmuan. - Menganalisis rekaman dan data, seperti insiden dan nyaris kena bahaya, keluhan personel dan tingkat penyakit. - Informasi dari konsumen, supplier, dan organisasi-organisasi seperti serikat pekerja, KADIN dan sebagainya. - Pemantauan lingkungan dan kesehatan.

2. Menilai Resiko dan Seleksi Prioritas Penilaian resiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menentukan prioritas untuk tindak lanjut karena tidak semua aspek bahaya potensial yang dapat kita tindak lanjuti. Berbagai metode dapat kita gunakan dalam melakukan penilaian risiko. Salah satu metodenya adalah: - Metode penilaian risiko yaitu untuk menghitung peluang insiden yang terjadi di tempat kerja, menghitung konsekuensi yang terjadi dan kombinasikan penghitungan peluang dan konsekuensi pada rate risiko. - Menggunakan rating setiap risiko, mengembangkan daftar prioritas risiko kerja.

3. Menetapkan Pengendalian Perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendokumentasikan dan menerapkan kebijakan standar bagi tempat kerja, perancangan pabrik dan bahan, prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan produk barang dan jasa. Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui metode: - Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, subsitusi, isolasi, ventilasi, hygiene dan sanitasi. - Pendidikan dan pelatihan. - Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif, penghargaan dan motivasi diri. - Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi. - Penegakan hukum.

4. Penerapan Langkah Pengendalian Tahap selanjutnya yang kita lakukan adalah menerapkan pengendalian yang telah dipilih, dan mematuhi semua ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini yang akan dilakukan adalah: - Mengembangkan prosedur kerja yang bertujuan sebagai alat pengatur dan pengawas terhadap bentuk pengendalian bahaya dan resiko yang kita pilih, agar penerapan pengendalian bahaya potensial dapat berjalan secara efektif, melalui koridor-koridor yang kita tetapkan untuk itu tanggung jawab manajemen, supervisor, dan pekerja harus secara jelas dinyatakan dalam prosedur tersebut. Misalnya tanggung jawab manajer dalam pemberian mesin gerinda, maka manajer harus memastikan mesin gerinda tersebut dibeli sesuai dengan spesifikasi dan dipasang dengan benar. - Komunikasi Kita harus menginformasikan pada pekerja tentang penggunaan alat pengendali bahaya, dan juga penting untuk diinformasikan tentang alasan penggunaannya. - Menyediakan Pelatihan Agar para pekerja dan personel lainnya lebih mengenal alat pengendali yang kita terapkan, mereka harus juga diberikan pelatihan atau penjelasan yang memadai. - Pengawasan Kita pun harus melakukan pengawasan untuk memastikan alat pengendali bahaya potensial digunakan secara benar. - Pemeliharaan Pemeliharaan terhadap alat pengendali bahaya adalah bagian yang penting dalam proses penerapan. Prosedur kerja harus mencantumkan persyaratan pemeliharaan untuk memastikan keefektifan penggunaan alat kendali ini.

5. Monitor dan Tinjauan Langkah terakhir dalam proses ini adalah melakukan memonitor dan meninjau efektivitas pengendalian. Pemantauan dan tinjauan risiko harus dilakukan pada interval waktu sesuai dengan yang ditetapkan dalam organisasi. Untuk menentukan priode monitoring dan tinjauan risiko sangat tergantung pada: - Sifat dari bahaya - Mengnitude risiko - Perubahan operasi - Perubahan dari metode kerja - Perubahan peraturan dan organisasi

Dalam tahap ini, kita dapat mnggunakan daftar periksa pertanyaan untuk memastikan sejauhmana kesesuaiannya dengan perencanaan. Dalam menjawab pertanyaan yang ada kita dapat melakukan: - Berkonsultasi dengan pekerja, supervisor, dan wakil manajemen. - Mengukur personel yang berpeluang terkena (misalnya menghitung tingkat kebisingan setelah dipasang sarana baru dan efeknya terhadap pekerja). - Memonitor laporan insiden.

Dalam membuat prosedur kita harus menjelaskan hal-hal sebagai berikut: - Identifikasi dari bahaya potensial. - Penentuan risiko yang terkait dengan bahaya yang telah diidentifikasi. - Penentuan level risiko yang terkait dengan masing-masing bahaya. - Penjelasan atau referensi, tindakan untuk memonitor dan mengendalikan resiko dari bahaya tersebut, terutama untuk risiko yang tidak dapat ditoleransi. - Bila memungkinkan, sasaran dan tindakan yang dilakukan adalah untuk mengurangi tingkat risiko dan kegiatan apapun yang dilakukan dalam memantau kemajuannya. - Identifikasi kompetensi dan persyaratan pelatihan. - Langkah pengendalian yang diperlukan harus dijelaskan sebagai bagian dari elemen pengendali operasi sistem. - Rekaman untuk setiap masing-masing aktivitas dalam prosedur.

2.5. Alat Pelindung Diri (APD) Sarana pengaman diri adalah pilihan terakhir yang dapat kita lakukan untuk mencegah bahaya dengan pekerja. Akan tetapi penggunaan APD bukanlah pengendalian dari sumber bahaya itu. Alat pelindung diri sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti dari sarana pengendali resiko lainnya. Alat pengaman diri ini disarankan hanya digunakan bersamaan dengan penggunaan alat pengendali lainnya. Dengan demikian perlindungan keamanan dan kesehatan personel akan lebih efektif. Keberhasilan penggunaan APD tergantung jika: a. Tepat pemilihannya. b. Digunakan secara benar. c. Sesuai dengan situasi dan kondisi bahaya. d. Senantiasa dipelihara. Peralatan pelindung diri (APD) inilah yang paling sering digunakan. Padahal kalau kita analisis dalam jangka waktu yang lama terkait dengan biaya pemeliharaannya, pengawasan dan potensi kecelakaan yang terjadi, dan

kemudian dikalkulasikan, hasil yang didapat terkadang lebih mahal dibandingkan dengan jenis pengendalian resiko lainnya. Alat pelindung diri mencangkup semua pakaian dan aksesoris yang digunakan pekerja yang didesain untuk menjadi pembatas sumber bahaya. Contoh alat pelindung diri antara lain: 1. Peralatan pelindung pendengaran, seperti ear muffs, dan ear plug. 2. Masker. 3. Kacamata pelindung seperti geoggles. 4. Safety helmet. 5. Jaket tahan api

Dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendali resiko, organisasi sebaiknya melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan dalam mengurangi resiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau instruksi kerja bagi karyawan yang menggunakannya, termasuk pemeliharaannya. Karyawan harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak menghilangkan bahaya yang akan terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan (Rudi Suardi, 2005, hal. 88).

2.5.1. Masalah Umum APD Masalah umum yang terdapat dalam alat pelindung diri (APD) diantaranya adalah: 1. Tidak semua APD melalui pengujian laboratories, sehingga tidak diketahui derajat pelindungnya. 2. Tidak nyaman dan kadang-kadang membuat si pemakai sulit bekerja. 3. Perlindungan yang diberikan APD sulit untuk dimonitor. 4. Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja. 5. Efektifitas APD sering tergantung kondisi kesehatan para pekerja. 6. Kepercayaan pada APD akan menghambat pengembangan kontrol teknologi baru.

2.5.2. Masalah Pemakaian APD Kendala dalam penggunaan APD dilihat dari sisi pekerja dan perusahaan adalah: A. Sisi pekerja: 1. Tidak sadar/mengerti manfaat pemakaiannya. 2. Panas, sesak, berat. 3. Mengganggu pekerjaan. 4. Tidak sesuai dengan pekerjaan. 5. Tidak ada sangksi jika tidak menggunakannya 6. Mengikuti sikap atasan yang tidak menggunakan APD yang disediakan.

B. Sisi perusahaan: 1. Ketidakmengertian dari perusahaan tentang APD yang sesuai dengan jenis resiko yang ada. 2. Sikap dari perusahaan yang mengabaikan APD. 3. Pengadaan APD yang asal beli.(Rudi Suardi, 2005, Hal. 90)

2.5.3. Masalah APD Berdasarkan Jenisnya A. Alat Pelindung Telinga: 1. Tejadinya resiko inspeksi. 2. Timbulnya kesulitan komunikasi antar pekerja. 3. Memberatkan kepala. 4. Menimbulkan rasa sakit karena jepitan pelindung telinga yang terlalu kuat. 5. Tidak nyaman dalam penggunaannya.

B. Penggunaan Sarung Tangan: 1. Mengurangi kepekaan tangan dan jari. 2. Daya cengkram menjadi berkurang. 3. Tangan menjadi lengket karena berkeringat.

C. Alat Pelindung Mata Sebuah lembaga studi BLS di Amerika Serikat melakukan survai dan mendapatkan hasil bahwa 60 persen pekerja yang mengalami kecelakaan atau kerusakan pada matanya disebabkan karena tidak menggunakan alat pelindung mata, didapatkan kesimpulan atas masalah yang terkait dengan alat pelindung mata sebagai berikut: 1. Dapat membatasi pandangan. 2. Menimbulkan kabut, noda dan goresan luka kecil. 3. Tidak dapat melihat dengan jelas. 4. Beberapa kaca mata pelindung tidak memberikan perlindungan total, sehingga benda-benda masuk dari samping. Sebuah alat pelindung mata harus memberikan perlindungan terhadap bahaya yang dapat terjadi pada mata atau muka dari partikel-partikel yang melayang, metal yang melebur, cairan kimia, asam, gas atau uap kimia, radiasi cahaya atau kombinasi hal-hal tersebut.

Karena itu pelindung mata harus memenuhi parameter-paremeter sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan sesuai dengan tujuan desainnya. 2. Memberikan kenyamanan. 3. Dilengkapi dengan jepitan yang tepat sehingga tidak dapat dimasuki oleh benda-benda yang melayang dari samping. 4. Tahan lama. 5. Mudah dibersihkan.

D. Masalah Penggunaan Respirator 1. Penutup muka yang buruk seperti, dapat menimbulkan jerawat, dapat membuat rambut terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah, menimbulkan iritasi pada bekas luka. 2. Pemeliharaan yang tidak baik. 3. Tidak nyaman dalam menghirup udara. 4. Menimbulkan sesak napas. 5. Menghirup kembali udara yang dihenbuskan. 6. Kesulitan komunikasi. 7. Tidak memiliki standar filter udara yang sesuai. (Rudi Suardi, 2005, Hal. 91)

2.6. PDCA Cycle Siklus ini merupakan sebuah model dalam upaya peningkatan proses secara berkesinambungan (continues process improvement). Model ini mengajarkan untuk merencanakan suatu tindakan, melakukan tindakan tersebut, mengecek pelaksanaannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan untuk mengetahui apakah tindakan yang telah dilakukan itu sesuai dengan rencana plan kemudian bertindak sesuai dengan apa yang telah direncanakan tersebut.

Dengan melakukan penerapan siklus Deming (Plan-Do-Check-Action) yang merupakan langkah pemecahan masalah maka didapat keuntungan yaitu: a) Mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatan mutu. b) Meningkatkan keterlibatan karyawan pada persoalan-persoalan pekerjaan plan upaya pemecahannya. c) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. d) Perbaikan yang dilakukan berdasarkan prioritas, dan berdasarkan fakta. e) Pembahasan masalah dipilih dan dilakukan dengan menggunakan teknik pengendalian mutu (the seven tools).

2.6.1. Tahap-Tahap PDCA Siklus PDCA berguna sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem. PDCA merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan kerja, pelaksanaan kerja, pengawan kerja dan perbaikan kerja yang dilakukan terus menerus dan berkesinambungan. Namun pada akhirnya, siklus Deming ini dikembangkan menjadi tujuh langkah PDCA (seven step PDCA). Sistem ini digunakan untuk pelaksanaan pemecahan masalah, terdapat 4 prinsip dasar dan 7 langkah dalam penyelesaiannya yang meliputi:

Pemilihan topik permasalahan

Membuat standar baru

Menganalisis penyebab

ACTION

PLAN

CHECK
Meneliti hasil

DO

Menguji dan menetapkan penyebab dominan

Melaksanakan perbaikan

Membuat usulan rencana perbaikan

Gambar 2.2. Pedoman Penerapan PDCA cycle

Merencanakan (plan) 1. Menentukan Tema dan Judul Berisikan: Pengumpulan data atau permasalahan dan penyimpangan yang terjadi untuk dianalisis berdasarkan dari tingkat frekuensi penyimpangan yang paling tinggi. Proses melaksanakan langkah -1: 1.1. Inventarisasi masalah 1.2. Stratifikasi masalah 1.3. Penetapan tema dan judul 2. Menganalisis Penyebab Berisikan: Penelusuran faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan (faktor utama) yang dituangkan dalam diagram tulang ikan (fishbone diagram).

Proses melaksanakan langkah-2: 2.1. Inventarisasi penyebab Mengumpulkan semua penyebab-penyebab penyimpangan yang terjadi berdasarkan data atau hasil monitoring dari perusahaan untuk dijadikan sebagian bahan diskusi. 2.2. Stratifikasi penyebab Stratifikasikan semua faktor-faktor penyebab masalah kedalam 4M+IE (Man, Machine, Method, Material, Environment). 2.3. Strukturisasi penyebab Gambarkan tulang ikan, dengan menyusun ide-ide yang telah terkumpul kedalam masing-masing faktor penyebab (4M+1E). 2.4. Penetapan penyebab yang diduga dominan dengan cara proses NGT (Nominal Group Technique) Terhadap pihak perusahaan dalam hal ini para ahli yang berkompeten. 3. Menguji dan Menetapkan Penyebab Dominan Berisikan: Pengujian terhdap faktor-faktor penyebab yang dianggap dominan, dengan tujuan utuk memastikan bahwa: Faktor-faktor tersebut memang benar berkolerasi terhadap akibat. Perbandingan faktor-faktor berpengaruh terlihat secara nyata, strata prioritasnya. 3.1. Uji hipotesa calon penyebab yang diduga dominan 3.2. Analisis korelasi dan regresi Uji hipotesa dilakukan dengan memanfaatkan diagram korelasi bersamasama dengan diagram pareto.

Melakukan (do) 4. Membuat usulan rencana perbaikan Berisikan: Rincaian rencana perbaikan dan target perbaikan yang ingin dicapai. Khusus untuk menguraikan rencana perbaikan, yaitu dengan alat bantu 5W+1H. Proses melaksanakan langkah-4

4.1. Rencana perbaikan 1. Siapkan kolom-kolom isian (minimal 7 kolom) yang terdiri dari: - Kolom pertama paling kiri untuk diisi faktor yang diperbaiki - Kolom-kolom berikutnya berisi : why-what-where-when-who-how. 2. Isilah kolom-kolom 5W+1H dengan menjawab pertanyaan dibawah ini: - Kolom why (mengapa) : mengapa faktor tersebut perlu diperbaiki? - Kolom What (apa) : apa wujud perbaikannya? - Kolom Where (dimana) : dimana pelaksanaan perbaikannya? - Kolom when (kapan) : kapan percobaan perbaikan dilakukan? - Kolom who (siapa) : siapa saja yang terlibat? - Kolom how (bagaimana) : bagaimana caranya? 4.2. Menetapkan intermediate target Buatlah pengukuran seberapa besar atau banyak: - Penyebab utama bisa dikurangi/ditekan? - Faktor utama (judul) dapat diselesaikan/ditingkatkan? - Tema dapat diselesaikan/ditingkatkan? Tuangkan dalam bentuk satuan tertentu atau persentase target yang ingin dicapai. 4.3. Melaksanakan perbaikan

Mengecek (check) 5. Meneliti hasil Berisikan: Analisis perbandingan-perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perbaikan. Alat bantu yang bisa digunakan adalah pareto, histogram, control chart dan diagram balok. Proses melaksanakan langkah-5: 1. Siapkan check sheet untuk mengetahui: Faktor penyebab dari masalah yang terpengaruh. Hasil perbaikan (target). Faktor-faktor persoalan (tema dan judul).

2. Dengan tetap mempertahankan kondisi proses (kerja) seperti pada kondisi dilangkah 4, kumpulkan data terhadap hasil akhir. 3. Disiapkan lembar pareto atau lembar untuk pie chart dan gambarkan. 4. Bandingkan diagram tersebut dengan diagram pada kondisi sebelum perbaikan. 5. Buat kesimpulan tentang perolehan perbaikannya serta kuantitatif (biasa dalam persen).

Bertindak (Action) 6. Membuat Standar Baru Berisikan: - Standar Prosedur : yaitu instruksi kerja yang baru. - Standar Hasil : yaitu hasil yang dicapai. Proses melakukan langkah 6: 1. Susunlah prosedur baru sesuai hasil perbaikan, dengan mengacu kepada langkah ke 4 dan 5. 2. Tuangkan langkah-langkah atau instruksi kerja tersebut dalam bentuk kalimat perintah misalnya : Lakukan., Ambil., Timbang dst. 3. Susunlah instruksi kerja tersebut berurutan dan terakhir cantumkan (bila ada) spesifikasi-spesifikasi, baik teknis maupun administrasi. 4. Diputuskan bersama (bila mungkin dibimbing fasilitator atau nara sumber) standar hasil kerja yang akan dicantumkan. 5. Usahakan mendapatkan pengesahaan dari pimpinan kerja atau bagian yang menangani bidang standar-standar kerja. 7. Membuat Rencana Berikutnya Berisikan: Gambarkan kondisi kerja yang baru, apakah masih terlihat potensi-potensi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja atau persoalan lama masih belum tuntas diselesaikan, sementara dilain pihak hal itu tetap diprioritaskan atau ditanggulangi.

Proses pembuatan langkah-7 1. Cantumkan kondisi kerja dengan grafik/diagram seperti langkah 5. 2. Lakukan brainstorming untuk mengananalisis hasil grafik/diagram. 3. Bila masih butuh pemastian, siapkan check sheet dan lakukan pengamatan baru dan kumpulkan data. 4. Laporkan hasil analisis kepada atasan/fasilitator dan tentukan langkah selanjutnya, sesuai hasil diskusi dengan atasan (manajemen). Susun rencana jadwal perbaikan (7 langkah PDCA) yang akan dilakukan.

2.6.2. Alat-alat Pemecahan Masalah Model-model pemecahan masalah yang ada dapat menghasilkan keputusan yang baik dan berdasarkan fakta. Pakar kualitas W. Edward Deming mengajukan cara pemecahan masalah melalui Statistical Process Control (SPC) atau Statistical Quality Control (SQC) yang dilandasi dengan alat-alat pemecahan masalah. (Fandy Tjiptono, 1998, Hal.192). Alat-alat tersebut adalah: 1. Diagram Paretto Diagram paretto adalah diagram batang yang disusun secara menurun dari besar ke kecil (descending). Diagram batang digunakan untuk mengidentifikasi masalah, tipe cacat, atau penyebab yang paling dominan sehingga kita dapat memprioritaskan penyelesaian masalah. Sebelum membuat diagram paretto, perlu diketahui lebih dahulu penggunaan checksheet. 1. Tentukan metode klasifikasi data untuk sumbu horizontal : tipe kecelakaan, sebab kecelakaan, dan lain-lain. 2. Putuskan mana yang terbaik untuk sumbu vertical : dalam frekuensi atau dalam jumlah mata uang dan sebagainya. 3. Kumpulan data untuk interval waktu yang sesuai. 4. Ringkasan data dan peringkatkan dari data yang terbesar ke terkecil. 5. Buat diagram dan tentukan beberapa hal penting yang perlu diprioritaskan.

2. Diagram Fishbone (sebab akibat) Diagram fishbone sering disebut dengan diagram tulang ikan atau diagram Ishikawa yang bertujuan untuk memperlihatkan faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas hasil atau untuk menunjukan faktor-faktor penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab akibat ini menunjukan faktor yang disebut sebagai sebab dari suatu akibat. Kelima faktor tersebut yaitu manusia, metoda, material, mesin, dan lingkungan. Diagram ini dibuat berdasarkan informasi yang didapat dari sumbang saran.

Adapun langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat tersebut yaitu : 1. Tentukan masalah yang akan diamati. Gambarkan panah dengan kotak diujung kanannya dan tulis masalah. 2. Cari faktor utama yang berpengaruh, tuliskan dalam kotak yang telah dibuat diatas dan di bawah panah yang telah dibuat tadi. 3. Cari lebih lanjut faktor-faktor yang lebih terinci (faktor sekunder) yang berpengaruh. Tuliskan faktor-faktor sekunder tersebut pada panah

menghubungkannya dengan penyebab utama. 4. Dari diagram yang telah lengkap carilah penyebab utama dengan menganalisa yang ada.

Lingkungan Lingkungan
Safety Safety Lingkungan Lingkungan gelap gelap Lampu. Watt kecil

Metode Metode

Mesin Mesin

Menaruh sembarangan

Mesin Mesin aus aus

Tidak hati-hati

LUKA MEMAR LUKA MEMAR

Fatique Fatique

Material Material

Manusia Manusia

Gambar 2.3. Contoh Diagram Tulang Ikan

3. Lembar Periksa (Check Sheet) Lembar periksa merupakan alat pengumpulan dan analisis data dengan maksud agar data dapat dikumpulkan secara mudah dan ringkas. Tujuannya digunakan alat ini adalah: a. Untuk mempermudah proses pengumpulan data terutama untuk mengetahui bagaimana suatu masalah dapat terjadi b. Mengumpulkan data tentang jenis masalah yang sedang terjadi. c. Menyusun data tentang jenis masalah yang sedang terjadi. d. Memisahkan antara opini dan fakta menjadi suatu informasi. Tabel 2.1. Contoh Tabel Lembar Periksa (CheckSheet) Untuk jenis Luka
No 1 2 3 4 5

Jenis luka
Keseleo Lika memar Luka teruka eye iritation Retak/patah tulang

Januari 0 0 0 1 0

Februari 0 1 0 0 0

Maret 0 0 0 3 0

April 0 1 0 0 0

Mei 0 0 1 0 1

Juni 0 0 1 1 0

Juli 0 0 0 0 0

Agustus 0 2 0 1 0

September 0 0 0 0 0

Oktober 0 0 0 0 0

November 0 0 2 0 0

Desember 0 0 0 0 0

Total 0 4 2 5 1

4. Peta Kecenderungan (Run Chart) dan Peta Kendali (Control Chart) Peta kecenderungan (run chart) digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan yang terjadi dengan jalan menggambarkan data selama periode tertentu.

Kecenderungan (trend) tersebut sangat berguna dalam memisahkan sebab dari gejalanya. Dalam setiap konsep selalu ada jenis variasi, yaitu variasi tidak terlelakan yang timbul dalam kondisi normal dan variasi yang disebabkan oleh suatu masalah (tidak normal). Peta kecenderungan berguna untuk: a. Mengumpulkan dan menginterpretasikan data serta merupakan ringkasan data visual dari data tersebut, sehingga memudahkan dalam pemahaman. b. Menunjukan output dari suatu proses dalam waktu tertentu. c. Menunjukan apa yang terjadi dalam situasi tertentu sepanjang waktu. d. Menunjukan kecenderungan data sepanjang waktu. e. Membandingkan data dari periode yang satu dengan periode yang lainnya, dan memeriksa perubahan-perubahan yang tejadi.

Peta kendali berguna untuk menganalisis proses dengan tujuan memperbaiki secara terus menerus. Pada dasarnya peta-peta kendali digunakan untuk memeriksa perubahan yang terjadi: a. Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian statistik. b. Memantau proses terus menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil secara statistik dan hanya mengandung variasi penyebab umum. c. Menentukan kemampuan proses. Setelah proses berada dalam pengendalian statistik, batas-batas variasi proses dapat ditentukan.

Run chart APD


Frekuensi Kejadian 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hari Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan

Gambar 2.4. Contoh Run Chart APD

5. Histogram Histogram merupakan suatu diagram yang dapat menyebarkan penyebaran atau standar deviasi suatu proses. Data frekuensi yang doperoleh dari pengukuran menunjukan suatu puncak pada suatu nilai tertentu. Variasi ciri khas mutu yang dihasilkan disebut distribusi. Angka yang menggambarkan frekuensi dalam bentuk batang disebut histrogam. Alat ini terutama digunakan untuk menentukan masalah dengan memeriksa bentuk disersi, nilai rata-rata dan nilai disersi.

Frekuensi

6 5 4 3 2 1 0 1

Parameter Gambar 2.5. Contoh Histogram

6. Stratifikasi Stratifikasi merupakan teknik pengelompokan data ke dalam kategori-kategori tertentu, agar data dapat menggambarkan permasalahan secara jelas sehingga kesimpulan-kesimpulan dapat diambil. Kategori-kategori yang dibentuk meliputi data relative terhadap lingkungan, sumber daya manusia yang terlibat, mesin yang digunakan dalam proses, bahan baku, dan lain-lain. Manfaat dari stratifikasi adalah mempermudah dalam menganalisis masalah, membantu mengidentifikasi masalah dan mengurangi variabilitas data.

Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah

3.1. Flow Chart Pemecahan Masalah Dalam flow chart pemecahan masalah dalam penelitian ini menggambarkan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian. Langkahlangkah tersebut yaitu sebagai berikut:

Mulai

Identifikasi Masalah

Studi Pustaka Studi Lapangan

Tujuan Penelitian

Pembatasan Masalah 1. Penelitian di PT. Krakatau Steel Divisi HSM 2. Penelitian difokuskan pada faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja dan masalah K3 3. Usulan penerapan dengan menggunakan metode siklus PDCA hanya dikhususkan pada faktor teknisnya dan mengabaikan faktor-faktor dari non teknis seperti budaya kerja, sifat individu karyawan, lingkungan kerja dan lain-lain

Pengumpulan Data 1. Sejarah Perusahaan PT. Krakatau Steel 2. Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja & JSA, Ruang Lingkup K3 PT. Krakatau Steel Divisi HSM 3. Data Kecelakaan Kerja, K3 & Job Safety Analysis (JSA) 4. Data Wawancara dan Hasil Diskusi

Data Observasi

Pengolahan Data Dengan menggunakan konsep PDCA Cycle yang diuraikan menjadi 7' step PDCA yaitu: 1. Identifikasi Masalah K3 2. Menganalisa Penyebab 3. Menentukan Penyebab Dominan 4. Menentukan dan Melaksanakan Rencana Perbaikan 5. Meneliti hasil Perbaikan 6. Standardisasi 7. Membuat Rencana Berikutnya

Analisis Usulan rencana perbaikan penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) melalui pendekatan metode PDCA cycle

Kesimpulan dan Saran

Selesai Selesai

Gambar 3.1. Flow Chart Pemecahan masalah

3.2. Flow Chart PDCA Cycle Pengolahan data ini dengan menggunakan konsep PDCA cycle yang diuraikan menjadi 7 step PDCA tujuannya agar metode pemecahan masalah kecelakaan kerja di perusahaan menjadi lebih sistematis dan terstruktur, adapun langkahlangkahnya sebagai berikut:

PDCA

Mengidentifikasi Masalah Data keterangan mengenai jumlah kecelakaan kerja. Data wawancara dan hasil diskusi Data Monitoring Job Safety Analisys (JSA). Kronologis kecelakaan kerja

2. Fishbone Diagram

Menganalisa Penyebab - Inventarisasi penyebab Mengumpulkan semua penyebab-penyebab kecelakaan kerja berdasarkan laporan investigation report dari perusahaan dan wawancara terhadap para tenaga ahli di perusahaan. - Stratifikasi penyebab Stratifikasikan semua faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja kedalam 4M+IE (man, machine, method, material, environment). - Strukturisasi penyebab Gambarkan tulang ikan, dengan menyusun ide-ide yang telah terkumpul kedalam masing-masing faktor penyebab (4M+IE).

3. Nominal Group Technique (NGT)

Menguji dan Menetapkan Penyebab Dominan Melakukan penetapan yang diduga dominan dengan cara proses NGT (Nominal Group Technique) terhadap pihak perusahaan dalam hal ini para ahli yang berkompeten atau dapat menggunakan diagram pencar (scatter diagram) untuk menganalisa korelasi dan regresi dari penyebab kecelakaan kerja tersebut.

4. Alat Bantu 5W+H

Membuat Usulan Rencana Perbaikan Berisikan rincian rencana perbaikan dan target perbaikan yang ingin dicapai. Khusus untuk menguraikan rencana perbaikan ini, dapat memanfaatkan alat bantu 5W+1H dengan menjawab pertanyaan dibawah ini: - Kolom why (mengapa) : mengapa faktor tersebut perlu diperbaiki? - Kolom What (apa) : apa wujud perbaikannya? - Kolom Where (dimana) : dimana pelaksanaan perbaikannya? - Kolom when (kapan) : kapan percobaan perbaikan dilakukan? - Kolom who (siapa) : siapa saja yang terlibat? - Kolom how (bagaimana) : bagaimana caranya?

5. Alat Bantu Diagram Pareto, Control chart dan Diagram Balok

Meneliti hasil - Berisikan analisa perbandingan-perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perbaikan. Alat bantu yang biasa digunakan adalah diagram pareto, control chart dan diagram balok. Bandingkan diagram tersebut dengan diagram pada kondisi sebelum perbaikan dan buat kesimpulan tentang perolehan perbaikannya. - Apakah target dapat tercapai atau tidak dan apabila masih terjadi kecelakaan kerja perlu meninjau kembali penyebab kecelakaan kerja dan mungkin terjadi kekeliruan dalam memilih alternatif perbaikan. Tidak

Tercapai atau tidaknya target

Ya Memperbaharui Standar Prosedur K3 (Standarisasi) Memperbaharui Standar prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu perbaikan instruksi atau prosedur kerja yang baru, yang harus dipatuhi oleh semua petugas/atau karyawan agar terhindar dari kecelakaan kerja sehinga tercipta kondisi kerja yang aman dan nyaman.

Membuat Rencana Berikutnya Gambarkan kondisi kerja yang baru, apakah masih terlihat potensipotensi berbahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja atau persoalan lama masih belum tuntas diselesaikan, sementara di lain pihak kondisi kerja yang aman dan nyaman tetap diprioritaskan dana dipertahankan.

Gambar 3.2. Flow Chart Pemecahan Masalah PDCA Cycle

3.3. Kerangka Pemecahan Masalah Kerangka pemecahan masalahnya adalah sebagai beikut: 1. Mulai Kegiatan yang dilakukan yaitu melakukan observasi langsung kelapangan yaitu di PT. Krakatau Divisi HSM

2. Identifikasi Masalah Pada tahap awal penelitian, diidentifikasi jenis dan klasifikasi masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah untuk memperjelas apa yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan identifikasi masalah ini, arah dan pembahasan yang dilakukan dapat spesifik dan terarah. Identifikasi masalah menyatakan latar

belakang mengapa penelitian dilakukan. Permasalahan-permasalahan yang sudah dapat diidentifikasikan kemudian difokuskan lagi agar relevan terhadap penelitian yang akan dilakukan. Identifikasi masalah merupakan tahap selanjutnya dari kerangka pemecahan masalah, dengan tujuan dapat menentukan penyimpangan atau permasalahan yang ada pada PT. Krakatau Steel.

Adapun penyimpangan atau permasalahan yang terjadi dalam hal ini adalah kecelakaan kerja yang masih saja terjadi dan mencari akar penyebabnya. Belum dilakukannya metode pemecahan masalah K3 secara sistematis, terstruktur, dan berkesinambungan mengakibatkan terulangnya kembali kecelakaan kerja dimasa yang akan datang. Dengan melakukan perbaikan K3 dengan mnggunakan konsep PDCA cycle (7 step PDCA) pada perusahaan PT. Krakatau Steel, diharapkan dapat menekan jumlah kejadian masalah K3 yang terjadi selama ini. Sehingga menimbulkan kondisi lingkungan kerja yang aman, nyaman, sehat dan aktivitas tenaga kerja dapat berjalan dengan optimal. Dari Identifikasi masalah yang akan dibahas ini didapat dari hasil studi pustaka dan studi langsung dari observasi.

3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: - Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dominan masalah K3 di PT. Krakatau Steel divisi/departemen Hot Strip Mill (HSM). - Mengusulkan rencana perbaikan penerapan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) untuk mengurangi masalah K3 seperti kondisi tidak aman (unsafe condition), tindakan tidak aman (unsafe act) dan kombinasi dari keduanya (combinate) yang terjadi secara terstruktur dan berkesinambungan melalui pendekatan metode siklus PDCA (PDCA cycle).

4. Pembatasan masalah Agar penulisan lebih terarah dan mudah untuk dipahami sesuai dengan tujuan pembahasannya, maka penelitian hanya akan dilakukan di dalam ruang lingkup: - Ruang lingkup penelitian dilakukan di perusahaan PT. Krakatau Steel di Divisi Hot Strip Mill (HSM). - Penelitian difokuskan pada faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja dan masalah K3 seperti kondisi tidak aman (unsafe condition) dan tindakan tidak aman (unsafe act) ataupun kombinasi dari keduanya (combinate). Usulan penerapan dengan menggunakan metode siklus PDCA dan hanya didasarkan pada cara kerjanya saja atau hanya dikhususkan pada faktor teknisnya, dan mengabaikan faktor-faktor dari non teknis seperti budaya kerja, sifat individu karyawan, lingkungan kerja dan lain-lain.

5. Pengumpulan Data Pengumpulan Data yang dilakukan adalah dengan mengunakan teknik: A. Wawancara - Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan B. Dokumentasi - Data kecelakaan kerja - Monitoring Job Safety Analys (JSA). - Data wawancara dan hasil diskusi. - Sejarah umum perusahaan.

6. Pengolahan Data Pengolahan data ini dengan menggunakan konsep PDCA cycle yang diuraikan menjadi 7 step PDCA, Agar metode pemecahan masalah kecelakaan kerja di perusahaan menjadi lebih sistematis dan terstruktur sehingga dapat mempertajam solusi atau perbaikan yang akan direncanakan. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: Merencanakan (plan) A. Mengidentifikasi Masalah. - Keterangan mengenai jumlah kecelakaan kerja. - Kronologis kecelakaan kerja. - Sebab-sebab kecelakaan kerja. - Monitoring Job Safety Analisys (JSA). B. Menganalisis Penyebab. - Inventarisasi penyebab Mengumpulkan semua penyebab-penyebab kecelakaan kerja berdasarkan laporan investigation report dari perusahaan dan wawancara terhadap para tenaga ahli di perusahaan. - Stratifikasi penyebab Stratifikasikan semua faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja kedalam 4M+IE (man, machine, method, material, environment). - Strukturisasi penyebab Gambarkan tulang ikan, dengan menyusun ide-ide yang telah terkumpul kedalam masing-masing faktor penyebab (4M+IE). C. Menguji dan Menetapkan Penyebab Dominan Melakukan penetapan yang diduga dominan dengan cara proses NGT (Nominal Group Technique) terhadap pihak perusahaan dalam hal ini para ahli yang berkompeten atau dapat menggunakan diagram pareto untuk menganalisis korelasi dan regresi dari penyebab kecelakaan kerja tersebut.

Melakukan (do) D. Membuat Usulan Rencana Perbaikan Berisikan rincian rencana perbaikan dan target perbaikan yang ingin dicapai. Khusus untuk menguraikan rencana perbaikan ini, dapat memanfaatkan alat bantu 5W+1H. Dan melaksanakan perbaikan.

Mengecek (check) E. Meneliti hasil - Berisikan analisis perbandingan-perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perbaikan. Alat bantu yang biasa digunakan adalah diagram pareto dan run chart. Bandingkan diagram tersebut dengan diagram pada kondisi sebelum perbaikan dan buat kesimpulan tentang perolehan perbaikannya. - Apakah target dapat tercapai atau tidak dan apabila masih terjadi kecelakaan kerja perlu meninjau kembali penyebab kecelakaan kerja dan mungkin terjadi kekeliruan dalam memilih alternatif perbaikan.

Bertindak (Action) F. Memperbaharui Standar Prosedur K3 (Standarisasi) Memperbaharui Standar prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu perbaikan instruksi atau prosedur kerja yang baru, yang harus dipatuhi oleh semua petugas/atau karyawan agar terhindar dari kecelakaan kerja sehinga tercipta kondisi kerja yang aman dan nyaman. G. Membuat Rencana Berikutnya Gambarkan kondisi kerja yang baru, apakah masih terlihat potensi-potensi berbahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja atau persoalan lama masih belum tuntas diselesaikan, sementara di lain pihak kondisi kerja yang aman dan nyaman tetap diprioritaskan dana dipertahankan.

7. Analisis dan Pembahasan Untuk mempermudah kita memahaminya maka akan dilakukan suatu analisis dan pembahasan dari penerapan konsep metode siklus PDCA yang dikembangkan menjadi tujuh langkah penyelesaian masalah (seven step PDCA). 7.1. Penerapan Model Pemecahan Masalah Kecelakaan Kerja Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab dominan terjadinya kecelakaan kerja dari yang mempunyai rank/nilai tertinggi berdasarkan hasil Nominal Group Technique (NGT) sampai dengan yang terendah. Kemudian akan dilakukan analisis faktor-faktor penyebab dominan kecelakaan kerja. Sehingga hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dalam prioritas solusi atau usulan perbaikan melalui pendekatan konsep PDCA cycle (7 step PDCA) sehingga dapat mempertajam dalam proses perbaikan terhadap pihak perusahaan untuk meningkatkan kinerja perusahaan terutama dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja.

8. Kesimpulan dan Saran Langkah ini merupakan penutup dari rangkaian penelitian yang dilakukana berupa kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan. Kesimpulan paling utama adalah memilih alternatif terbaik yang diusulkan dalam pemecahan masalah. Kemudian dari hasil penelitian ini juga akan diajukan saran-saran yang perlu dilakukan sebagai bahan masukan bagi perusahaan untuk dikembalikan lebih lanjut.

9. Dan untuk kerangka terakhir kerangka terakhir adalah dengan cara memberikan hasil penelitian berdasarkan langkah yang dilakukan diatas dalam bentuk laporan tugas akhir.

Bab 4 Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.1. Sejarah Singkat Perusahaan Gagasan tentang pembangunan industri baja di Indonesia pertama kali dicetuskan oleh perdana menteri Ir. Djuanda. Gagasan ini muncul pada tahun 1956. Atas dasar gagasan tersebut, maka dibangunlah sebuah pabrik besi baja di Indonesia yang berlokasi di Cilegon. Awalnya proyek besi baja ini diberi nama Proyek Besi Baja Trikora Cilegon. Proyek tersebut adalah salah satu realisasi dari persetujuan pokok kerja antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Rusia yang ditanda tangani pada tanggal 15 September 1960. Control terhadap pembangunan tersebut dibuat menurut perjanjian No. 80 tanggal 7 Juli 1962 antara Pemerintah Indonesia dengan Allunion Export Corporation of Moscow. Pada tanggal 20 Mei 1962 pembangunan Pabrik Baja Trikora Cilegon dimulai. Menurut Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 persetujuan di atas selain memuat keputusan tentang kerja sama dalam pembangunan dengan perusahaan industri juga memuat tentang kesediaan pemerintah Rusia untuk memberikan bantuan kredit bagi pemerintah Indonesia. Selanjutnya biaya proyek pembangunan ini disalurkan melalui bantuan asing yang diperoleh dari modal pemerintah. Sedangkan sebagian lagi diperoleh dari kredit eks-Jerman Barat dan kredit komersial melalui Bank Indonesia serta Bank Dagang Negara. Pembangunan pabrik dibiayai oleh penyertaan modal dari PT Krakatau Steel Hoogovens Pipe Industrial Ltd. sendiri dan kredit luar negeri tanpa jaminan dari pemerintah Indonesia. Setelah proyek ini dimulai pada tanggal 20 Mei 1962, maka aktifitasnya dimulai dengan membeli tanah rakyat seluas 616 Ha. Pembangunan pabrik tersebut dimulai beserta pembangunan perumahan karyawannya. Namun pada tahun 1965 pembangunan proyek besi baja Trikora terhenti karena adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang waktu itu sedang bergejolak di Indonesia. Kemudian pada tahun 1970 pemerintah mengadakan usaha untuk melanjutkan proyek ini karena pemerintah Rusia menghentikan bantuannya sama sekali. Sedangkan para teknisinya dipulangkan dengan tanpa memberikan serah terima

pekerjaan sama sekali kepada Pemerintah Indonesia. Dan pada saat itu proyek besi baja Trikora Cilegon diubah namanya PT Krakatau Steel. Berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 17 tanggal 28 November 1967 tentang adanya pengarahan dan penyederhanaan dari satu perusahaan ke dalam tiga bentuk perusahaan agar lebih bermanfaat dalam rangka pembangunan serta

meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara.

Ketiga bentuk perusahaan tersebut adalah : 1. Perusahaan Negara/ Perusahaan Umum (Public Coorporation) atau PERUM. 2. Usaha-usaha Negara/ Perusahaan Negara (Public State Company) atau PERSERO. 3. Usaha-usaha Negara / Perusahaan Jawatan Negara atau PERJAN.

PT. Krakatau Steel resmi didirikan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 35 tanggal 31 Oktober 1971. Dan dengan Peraturan Pemerintah ini pula proyek besi baja Trikora menjadi PT. Krakatau Steel yang disahkan dan ditanda tangani oleh notaris No. 34 tanggal 23 Oktober 1971 di hadapan notaris Tan Thong Kie yang berkedudukan di Jakarta yang kemudian diperbaiki dengan naskah No. 25 tanggal 29 Desember 1971. Maksud PERSERO atau Perseroan Terbatas adalah untuk menyelenggarakan penyelesaian pembangunan proyek pabrik baja di tempat lain.

Adapun tujuan dibangunnya kembali proyek besi baja PT Krakatau Steel adalah : 1. Memenuhi kebutuhan baja di Indonesia 2. Meningkatkan devisa Negara melalui ekspor besi baja ke luar negeri 3. Sebagai pusat pelatihan kadet industri 4. Membuka lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi angka

pengangguran yang telah ada.

Pada tahun 1973, dengan bantuan keuangan dari Pertamina PT Krakatau Steel terus memperbesar kapasitas produksinya agar dapat membuat Billet (bahan setengah jadi) sendiri dan bahkan langsung memproduksi jenis baja lembaran, Slab (lempengan) , dan Hot Strip Mill (Baja Lembaran Panas). Pelaksanaan proyek perluasan tersebut sempat terguncang kembali karena adanya krisis keuangan di Pertamina pada tahun 1974. Hal ini menyebabkan pemerintah turun tangan untuk menyelamatkan proyek ini yaitu dengan mengeluarkan Keppres No. 30 tanggal 17 Agustus 1975 tentang kelanjutan pembangunan PT Krakatau Steel tahap pertama dengan kapasitas produksi setengah juta ton per tahun. Pada tahun 1977 Presiden Suharto meresmikan Pabrik Besi Beton, Pabrik Besi Profil, dan Pelabuhan Cigading. Pada tahun 1979, diresmikan pula Pabrik Besi Spons dan Pabrik Slab Baja. Pada tahun 1985 Pabrik Hot Strip Mill telah mampu mengekspor besi baja ke Negara Jepang, Korea, China, Amerika, Inggris, Negara Timur Tengah, dan Negara-negara ASEAN. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.44 tanggal 28 Agustus 1989, PT. Krakatau Steel bersama sembilan perusahaan strategis lainnya, yaitu PT. Boma Bisma Indra, PT. Dahana, PT. INKA, PT. INTI, PT. IPTN, PT. LEN, PT Barata Indonesia, PT. PINDAD, dan PT. PAL masuk dalam lingkungan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang diketuai oleh Prof.Dr. Ing. BJ Habibie dengan status perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS). Pada tanggal 10 November 1994, Menteri Muda Perindustrian Ir. Tungki Ariwibowo selaku Dirut PT Krakatau Steel mengadakan perluasan

pabrik, yaitu Pabrik Besi Spons DRI-HYL III. Pabrik Slab Baja, dan Pabrik Hot Strip Mill.

Sasaran program perluasan tersebut adalah : 1. Peningkatan produksi dari 1,5 juta ton menjadi 2,5 juta ton per tahun 2. Peningkatan kualitas 3. Keseragaman jenis baja yang dihasilkan 4. Efisiensi produksi

Gambar 4.1. Pabrik Hyl III, PT Krakatau Steel

Selama periode 1990 sampai tahun 1995 telah dilakukan proyek perluasan dan modernisasi PT Krakatau Steel yang meliputi dua tahap perluasan, yaitu perluasan tahun pertama pada tahun 1990 dan perluasan tahun kedua pada tahun 1993. Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) PT. Krakatau Steel ke-25 dilakukan syukuran atas selesainya proyek perluasan dan modernisasi PT. Krakatau Steel oleh Komisaris Utama Ir. Tungki Ariwibowo.

4.1.1. Visi dan Misi Perusahaan Visi perusahaan merupakan sesuatu yang akan menjadi kendali dan menjadi tujuan akhir perusahaan, sedangkan misi merupakan pernyataan konkret dan bisa dikerjakan sehari - hari. Adapun Visi dari PT Krakatau Steel yaitu : - Tahun 2008 : Cost Competitive Global Steel Provider - Tahun 2013 : Dominant Integrated Global Steel Player - Tahun 2020 : Leading Global Steel Player Sedangkan misi utama dari PT Krakatau Steel adalah Kami adalah keluarga masyarakat dunia yang berbudaya, mempunyai komitmen untuk menyediakan baja dan produk terkait dengan pendekatan menyeluruh yang menghasilkan solusi

industri dan infrastuktur untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu PT Krakatau Steel menerapkan sistem kendali mutu yang ketat dan selalu berusaha meningkatkan kualitas produknya serta ketepatan dalam pengiriman barang kepada pelanggan.

Sistem manajemen mutu produk PT Krakatau Steel telah diakui secara nasional maupun internasional. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya berbagai sertifikasi mutu produk seperti ISO 9002, JIS, dan standar SII. Disamping itu pula sistem manajemen mutu lingkungan PT Krakatau Steel juga telah mendapat pengakuan secara nasional maupun internasional yaitu dengan diperolehnya standar ISO 14001 mengenai standar manajemen mutu lingkungan.

Gambar 4.2. Lambang Sertifikasi ISO 9002 dan ISO 14001

4.1.2. Logo Perusahaan

Gambar 4.3. Logo Perusahaan PT Krakatau Steel

4.1.3. Target Perusahaan Sasaran utama yang ingin dicapai oleh PT. Krakatau Steel yaitu : 1. Kepuasan pelanggan 2. Keberhasilan memproduksi baja baik komersial maupun special 3. Efisiensi disegala bidang 4. Menciptakan sumber daya manusia yang professional

4.1.4. Pandangan ke depan Perusahaan Mulai tahun 2005 ini, PT Krakatau Steel mencanangkan rencana pengembangan ke depan dengan obsesi menjadi Perusahaan Pemproduksi baja terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Salah satu indikasinya adalah dengan kapasitas produksi 20 juta ton/tahun. Usaha dalam rangka mencapai obsesi itu diantaranya dengan melakukan kunjungan ke China dan Meksiko.

Objek-objek yang dikunjungi di China diantaranya Institusi Riset Pengolahan Bijih Besi BGIRMM (Beijing General Research Institute of Minning and Metallurgy) dan AERIMI (Anshan Engineering and Research Incorporation of Metallurgical Industry), Industri Peralatan Tambang Anshan Minning Machinary, Perusahaan Engineering dan Konstruksi Industri Melaurgi

MCC(Metallurgical Construction Corporation), dan industri pengolahan bijih besi Anshan Steel, Shougang Steel, dan Anggang Steel. Sedangkan objek-objek yang dikunjungi di Meksiko adalah pabrik besi baja Hylsa Montery dan industri bijih besi yang dimiliki Hylsa yaitu Las Encinas dan Pena Colorada. 4.1.5. Sejarah Divisi HSM Pabrik Baja Lembaran Canai Panas mulai beroperasi pada tahun 1983 menggunakan teknologi SMS dari Jerman. Bahan bakunya berasal dari hasil produksi slab baja di Slab Steel Plant (SSP) yang diproduksi menjadi baja

lembaran. Saat ini kapasitas produksinya 2.000.000 ton/tahun dengan konfigurasi fasilitas produksi yang terdiri dari : a. Dua unit Reheating Furnace b. Satu unit Roughing Stand c. Enam Unit Finishing Stand d. Dua unit Down Coiler e. Sizing Press

Pabrik divisi HSM (Hot Strip Mill) merupakan salah satu unit produksi PT. Krakatau Steel. Pabrik ini mulai di bangun pada 15 september 1979, kemudian diperluas pada tahun 1982 serta diresmikan pada tanggal 24 Februari 1983 oleh Presiden Soeharto, yang sekaligus mulai dioperasikannya pabrik ini.

4.1.6. Struktur Organisasi Divisi HSM (Hot Strip Mill)

Manajer Pabrik Pengerolan Baja Lemb. Panas (1)

Chief Engineer Pabrik Pengerolan baja Lemb. Panas (1) Sekretaris (1)

Senior Engineer Reheating Furnace (1)

Senior Engineer Proses Rolling (4)

Senior Engineer Roll & Grinding Machine (0)

Senior Engineer Shearing Line & Hot Skin Pass Mill (2)

Plant Inspector (1)

Engineer Combustion (1)

Engineer Sizing Press & Roughing Mill (0)

Engineer bearing & Lubrication (1)

Engineer Shearing Line (1)

Senior Adm. SMKS (1)

Engineer Refractory (1)

Engineer Finishing Mill & Down Cooler (1)

Engineer Hot Skin Pass Mill (1)

Adm. SMKS & Training Koord. (1)

Superintendent Operasi Pengerolan Baja Lemb. Panas (1)

Superintendent Operasi Penanganan Akhir Material (1)

Superintendent Strategi Pengerolan & Pemotongan (1)

Gambar 4.4. Skema struktur organisasi Divisi HSM PT. Krakatau Steel

4.2. Pengumpulan dan Pengolahan Data 4.2.1. Merencanakan (plan) Yang termasuk dalam tahap merencanakan adalah: menentukan tema, mencari penyebab masalah dan menentukan penyebab yang paling berpengaruh (dominan). Data yang diperoleh dari data kecelakaan kerja dari tahun 2002 sampai dengan Juni 2006 dapat dilihat pada table 4.1. dan data pengamatan hasil Monitoring Job safety Analisys (JSA) periode 7 September - 02 Oktober 2009 seperti pada tabel 4.2.

4.2.1.1. Menentukan Tema Dari data hasil pengumpulan ini, yang di dapatkan dari data kecelakaan kerja peneliti mengambil kesimpulan bahwa faktor penyebab tingkat kecelakaan kerja dari tahun 2002 sampai dengan Juni 2006 dapat dilihat pada table 4.1. dan data pengamat hasil Monitoring Job safety Analisys (JSA) periode 7 September - 02 Oktober 2009 seperti pada tabel 4.2. disebabkan oleh kondisi tidak aman (unsafe Condition). Tema: Menurunkan Tingkat Kecelakaan Kerja yang disebabkan oleh Kondisi Tidak Aman (unsafe condition) di PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM).

Kemudian setelah itu untuk penentuan tema kondisi tidak aman diuraikan lagi bedasarkan kategorinya, diperoleh paling banyak berdasarkan kategorinya disebabkan oleh penggunaan APD yang tidak lengkap. Sehingga diambil kesimpulan penentuan temanya adalah: Tema: Menurunkan Tingkat Kecelakaan Kerja yang disebabkan oleh Penggunaan APD yang Tidak Lengkap di PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM).

Tabel 4.1. Lembar Data Kecelakaan Kerja Periode 2002 - Juni 2006
Tahun Jumlah Jam kerja 1.786.365 3.580.729 968.669 1.322.044 788.251 8.446.058 Penyebab kecelakaan Kerja Kondisi Tidak Aman (kasus) 3 6 4 1 1 15 Tindakan Tidak Aman (kasus) 1 2 0 2 1 6 Kombinasi (kasus) 1 0 0 0 0 1 Total (kasus) 5 8 4 3 2 22

2002 2003 2004 2005 Juni'06 Total

Penyebab Kecelakaan Kerja Periode 2002-Juni 2006


5% 27% 68% Kombinasi Tindakan Tidak Aman Kondisi Tidak Aman

Gambar 4.5. Diagram Pie Penyebab Kecelakaan kerja Periode 2000-Juni 2006

Tabel 4.2. Data Hasil pengamatan Monitoring JSA Per 07 Sep-02 Okt 2009 Jumlah Pngamatan 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 900 Potensi Penyebab Kecelakaan Tindakan Tidak Aman 6 6 6 6 6 7 7 6 6 6 4 5 6 4 6 6 6 5 6 5 115 Kondisi tidak Aman 8 7 7 6 6 7 8 7 5 7 9 7 8 7 8 7 7 9 8 8 146 Kombinasi 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 9

Tgl

07-Sep-09 08-Sep-09 09-Sep-09 10-Sep-09 11-Sep-09 14-Sep-09 15-Sep-09 16-Sep-09 17-Sep-09 18-Sep-09 21-Sep-09 22-Sep-09 23-Sep-09 24-Sep-09 25-Sep-09 28-Sep-09 29-Sep-09 30-Sep-09 01-Okt-09 02-Okt-09 TOTAL

4.2.1.1.1. Uji kecukupan Data (N) dan Derajat Ketelitian sebenarnya (S) Keterangan : N= Jumlah pengamatan P= proporsi kejadian

n = Penyebab kecelakaan kerja k = Konstanta s = tingkat kesalahan

Tk. Kepercayaan 95%, Tk. Kesalahan 5% Diketahui : N= 900


900 270 900 0,7

k=
n 900 20 45

s = 5%

Kesimpulan: Data cukup karena telah memenuhi syarat uji kecukupan data (N) yaitu hasil uji kecukupan data kurang dari jumlah pengamatan.

Kesimpulan: Jumlah data pengamatan tidak perlu ditambah, sudah memenuhi syarat karena N< N+n S= = = 0,044 = 4,4% Kesimpulan : Data telah memenuhi syarat derajat ketelitian sebenarnya (S) < 5% (Sumber: Risalah praktikum analisis perancangan kerja tentang pengukuran uji kecukupan data sampling).

Lembar data untuk diagram pareto kategori kondisi tidak aman (unsafe condition) yang dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.3. Lembar Data Pembuatan diagram Pareto Hasil Data Pengamatan
No 1 2 3 Potensi Penyebab Kecelakaan Kerja Kondisi Tidak Aman Tindakan Tidak Aman Kombinasi Total Data 146 115 9 270 Persentase (%) 54,07 42,6 3,33 100 kumulatif (%) 54.07 96.67 100

250
200 Kejadian 150

100
75 50

100 50 0 Kondisi Tidak Aman Tindakan Tidak Aman Potensi Penyebab Kombinasi 25 0

Gambar 4.6. Diagram Pareto Untuk Data Pengamatan

Kumulatif (%)

Berdasarkan diagram pareto didapat kondisi tidak aman (unsafe condition) merupakan penyimpangan terbesar dengan persentase 54,07%. Kondisi tidak aman (unsafe condition) diklasifikasikan lagi berdasarkan kondisi yang sering muncul diantaranya APD tidak lengkap 78 kejadian, temperatur ekstrim 31 kejadian, kondisi lingkungan tidak bersih/rapi 29 kejadian, dan lain-lain (peringatan kurang, ruang kerja sempit, dsb) 7 kejadian. Data hasil pengamatan JSA PT. Krakatau Steel untuk periode tanggal 07 September-02 Oktober 2009 dapat di lihat pada table 4.5 dibawah ini yaitu:

Tabel 4.4. Lembar data Pembuatan Diagram pareto kategori Unsafe Condition
No 1 2 3 4 Kondisi Tidak Aman APD Tidak Lengkap Temperatur Ekstrim Tidak Bersih Lain-lain Total Data 78 31 29 8 146 Persentase (%) 53,43 21,23 19,87 5,47 100 Kum (%) 53,43 74,66 94,53 100

150

100 80

Kondisi Kerja

60 40 20

50

0 APD tidak lengkap Temperatur Tidak bersih ekstrim Kondisi Tidak Aman Lain-lain

Gambar 4.7. Diagram Pareto Untuk Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition)

Target awal perbaikan yang akan dilakukan untuk menekan kategori APD tidak lengkap adalah 100%.

kum (%)

100

4.2.1.2. Mencari Penyebab Masalah 4.2.1.2.1. Data Wawancara dan Hasil Diskusi Untuk mencari penyebab masalah kecelakaan kerja, maka dalam hal ini melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara dan diskusi terhadap para staf ahli K3 di PT. Krakatau Steel. Penyebab-penyebab APD tidak lengkap dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.5. Tabel Penyebab Penggunaan APD Tidak Lengkap


Faktor Utama Lalai/sembrono Kurang disiplin Tidak ada sangsi yang mengikat Manusia Kurang kesadaran atas penggunaan APD Tidak mngetahui potensi berbahaya atas pekerjaannya Pengawas lini gagal untuk memperingati Kurangnya kepedulian Penggunaan APD yang salah Metode Tidak mengikuti prosedur atas penggunaan APD Monitoring terhadap penggunaan APD kurang Tidak adanya data/absensi terhadap penggunaan APD APD rusak/tidak layak pakai Sarana Kurangnya perawatan APD Perawatan APD diserahkan ke masing-masing karyawan Tidak adanya jadwal perawatan APD Penggunaan bahan baku APD tidak sesuai dengan kondisi kesehatan para karyawan Material Dapat menimbulkan inpeksi/iritasi pada kulit Bahan baku APD kurang berkualitas Suhu ekstrim/panas Lingkungan Kurangnya pendingin ruangan (AC) Sirkulasi dalam ruangan tidak lancar Bencana alam seperti gempa bumi, banjir Sub Faktor

4.2.1.2.2. Diagram Sebab Akibat Untuk mencari unsur-unsur penyebab dari penggunaan APD yang tidak lengkap, digunakan pendekatan analisa sebab akibat atau diagram tulang ikan (fishbone). Analisa sebab akibat ini akan dapat berguna dalam mencari akar penyebab dari kecelakaan kerja yang selama ini terjadi dan dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk usulan perbaikan yang akan dilakukan dengan 5w+2h.

Pembuatan diagram sebab akibat ini didapat berdasarkan hasil diskusi dari beberapa para staf ahli K3 yang berkompeten di PT. Krakatau Steel. Diagram sebab akibat pada gambar 4.4. akan menunjukan masing-masing faktor yang menjadi akar penyebab masalah penggunaan APD tidak lengkap dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Lingkungan Lingkungan
Cuaca suhu panas Monitoring terhadap penggunaan APD kurang

Metode Metode

Penggunaan APD yang salah

Sirkulasi udara Sirkulasi udara dalam ruangan dalam ruangan kurang lancar kurang lancar

Tidak ada data/ Tidak ada data/ absensi terhadap absensi terhadap APD APD

Tidak ada prosedur Tidak ada prosedur penggunaan APD penggunaan APD

Gempa bumi, banjir Gempa bumi, banjir

Bahan baku tidak sesuai kon. Kesehatan karyawan

APD rusak/tidak layak pakai

Kurangnya kesadaran Kurangnya disiplin

APD APD tidak lengkap tidak lengkap

Kurang Perawatan Tidak ada sanski Tidak ada sanski Bahan baku dapat Bahan baku dapat menimbulkan inspeksi/ menimbulkan inspeksi/ iritasi pada kulit iritasi pada kulit

Pengawasan lini kurang disiplin

Perawatan APD Perawatan APD diserahkan dari pihak diserahkan dari pihak manajemen ke manajemen ke karyawan karyawan

Kurangnya kesadaran

Gagal memperingati Gagal memperingati

Tidak ada data/ Tidak ada data/ absensi terhadap absensi terhadap APD APD

Material Material

Sarana Sarana

Manusia Manusia

Gambar 4.8. Diagram Sebab-Akibat APD Tidak Lengkap

4.2.1.3. Mencari Penyebab Dominan 4.2.1.3.1. Penentuan Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap Untuk penentuan penyebab dominan penggunaan APD yang tidak lengkap digunakan pendekatan metode Nominal Group Technique (NGT). Dari data pengamatan berdasarkan hasil monitoring Job Safety Analiys (JSA), faktor kondisi tidak aman (unsafe condition) merupakan kejadian yang sering muncul. Dan untuk menentukan penyebab dominan dari faktor kondisi tidak aman (unsafe condition) dalam hal ini penggunaan APD yang tidak lengkap digunakan metode NGT terhadap para staf atau ahli K3 diperusahaan PT. Krakatau Steel berdasarkan pemilihan sub-faktor penyebab penggunaan APD yang tidak lengkap dari tabel 4.6.

Metode Nominal Group Tekhique (NGT) dilakukan dengan cara pemberian point/nilai terhadap faktor-faktor yang berpengaruh sehingga didapat jumlah nilai tertinggi yang merupakan penyebab dominan paling berpengaruh terhadapat APD tidak lengkap. Lembar data pembuatan diagram pareto penyebab paling berpengaruh dapat dilihat pada tabel 4.7. Data orang expert dan staf K3 di PT. Krakatau Steel untuk pemberian nilai dalam metode NGT: 1). Nama : Bpk. H. Yayat Permana, M. Eng Jabatan : Kepala Pusat Quality Accurance (QA) 2). Nama : Bpk. Ir. H. Kadar Sutrisno Jabatan : Manager Divisi ADM & SDM 3). Nama : Deddi K. Anshari Jabatan : Kepala Dinas CA & K3 4). Nama : Ir. Tatang. S Jabatan : K3 HSM Keterangan pemberian poin tersebut yaitu: 1 = Sangat tidak setuju 2 = Tidak setuju 3 = Ragu-ragu 4 = Setuju 5 = Sangat setuju

Tabel 4.6. Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap Melalui Metode NGT.
No 1 2 3 4 5 Faktor Penyebab Manusia Sarana Metode Material Lingkungan Nilai Masing-masing Staf K3 PT. Krakatau Steel 1 2 3 4 4 5 5 5 2 2 3 2 5 3 4 4 1 1 1 1 3 4 2 3 Jumlah Nilai 19 9 16 4 12 Keterangan Rank I Rank IV Rank II Rank V Rank III

Tabel 4.7. Lembar Data Pembuatan Diagram Pareto Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap.
No 1 2 3 4 5 Faktor Penyebab Manusia Metode Lingkungan Sarana Material Total
60

Jumlah Nilai 19 16 12 9 4 60

Persentase 31,67 26,67 20 15 6,66 100

Kumulatif (%) 31,67 58,34 78,34 93,34 100

100 80

Jumlah Nilai

40

60 40 20

20

0 Manusia method lingkungan Faktor Penyebab sarana material

Gambar 4.9. Diagram Pareto Untuk Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap.

Kumulatif ( %)

4.2.2. Melakukan (do) 4.2.2.1. Usulan Rencana Perbaikan Perbaikan akan dilakukan pada penyebab yang paling berpengaruh yaitu faktor manusia dan faktor metode. Dengan menjawab pertanyaan what, why, how, who, when, where dan how much yaitu: - Kolom why (mengapa) : mengapa faktor tersebut perlu diperbaiki? - Kolom what (apa) : apa wujud perbaikannya? - Kolom where (dimana) : dimana pelaksanaan perbaikannya? - Kolom when (kapan) : kapan percobaan perbaikan dilakukan? - Kolom who (siapa) : siapa saja yang terlibat? - Kolom how ( bagaimana) : bagaimana caranya?

Usulan rencana perbaikan dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.8. Usulan rencana Perbaikan
Faktor Lingkungan (Sirkulasi udara dalam ruangan tidak lancar) Why Agar sirkulasi dalam ruangan menjadi lancar What Rekonstruksi ulang saluran udara dalam ruangan Where Tempat dilaksanakannya Produksi When Setiap proses produksi Who Div. K3 yaitu H. Yayat, H. Kadar, Deddi K dan Tatang How Dengan cara membuat/memperbaharui saluran udara sesuai dengan standar kesehatan dengan car konsultasi 80% How Much

terhadpa ahli konstruksi bangunan untuk mendisain saluran udara yang

baik. Sarana/Mesin (APD rusak/tidak layak pakai) Agar perlengkapan APD lebih terawat Dibuat jadwal perawatan APD PT. Krakatau Steel/Produksi Setiap proses produksi Div. K3 yaitu H. Yayat, H. Kadar, Deddi K dan Tatang Bagian Div. K3 menunjuk 1 atau 2 orang Khusus untuk mengecek dan melakukan perawatan perlengkapan APD tiap karyawan dengan cara mencatat dan melaporkan apabila terdapat APD rusak/tidak layak pakai kepada atasan/Div K3. Material (Penggunaan APD dapat menimbulkan alergi/iritasi pada penggunany) Dapat menimbulkan alergi/iritasi pada kulit Rekayasa sintesis terhadapap bahan baku APD Pabrik pembuatan APD Manajemen perusahaan Div. K3 yaitu H. Yayat, H. Kadar, Deddi K dan Tatang Melakukan pemesanan perlengkapan APD dengan bahan baku yang berkualitas dan tidak menimbulkan alergi/iritasi pada penggunanya 80% 80%

Metode (Tidak adanya data/monitoring terhadap penggunaan APD

Agar penggunaan APD lebih termonitor

Pembuatan absensi penggunaan APD

Tempat dilaksanakannya produksi

Setiap ada produksi

Div. K3 yaitu H. Yayat, H. Kadar, Deddi K dan Tatang

Membuat kartu absensi dari kertas karton khusus untuk penggunaan APD seperti kartu absen kerja. Bagi karyawan yang sudah mengenakan perlengkapan APD dengan lengkap diharuskan mengisi kartu absen tersebut ke dalam mesi checklist. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada 80%

usulan prosedur kerja (Standarisasi). Manusia (Tidak mengetahui potensi bahaya yang dihadapi mengenai pekerjaannya) Untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja terhadap karyawan Memberikan selebaran kepada tiap karyawan yang terlibat dalam proses produksi Tempat dilaksanakannya produksi Setiap proses produksi Div. K3 yaitu H. Yayat, H. Kadar, Deddi K dan Tatang Hasil identifikasi potensi berbahaya dicatat dan diketik kedalam computer lalu diketik dan diprint untuk diperbanyak dan dibagikan keseluruh karyawan dalam proses produksi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada usulan prosedur kerja (Standarisasi). 80%

100% Persentase 80% 60% 40% 20% 0%

100 % 80 %

Initial Goal

Intermediate Goal Target Perbaikan

Gambar 4.10. Grafik initial goal dan intermediate goal

4.2.2.2. Melakukan Usulan Perbaikan Pelaksanaan usulan perbaikan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah hanya faktor metode dan manusia sesuai dengan apa yang diusulkan dalam tabel 5w+2h diantaranya: 1). Identifikasi potensi bahaya penyebab kecelakaan kerja Dilakukan dengan cara melakukan observasi/ inspeksi langsung dilapangan atau tempat dimana suatu produksi akan dijalankan, dalam hal ini PT. Krakatau Steel. Sehingga dapat diketahui dan disebarkan terhadap para pekerja di lapangan/produksi untuk dapat lebih berwaspada dan berhati-hati dalam bekerja. 2). Membuat absensi penggunaan APD Yaitu dengan membuat absensi bagi tiap karyawan yang sudah menggunakan APD sesuai dengan jenis pekerjaannya. Dengan cara menchecklist () pada mesin absensi bagi karyawan yang sudah menggunakan perlengkapan APD dengan lengkap. Uji coba ini dilaksanakan selama 4 minggu dimulai dari tanggal 05 Oktober-30 Oktober 2009.

4.2.3. Mengecek (check) 4.2.3.1. Evaluasi Hasil Perbaikan Setelah dilakukannya perbaikan melalui pembuatan absensi penggunaan APD dan menyebarkan selebaran potensi berbahaya penyebab kecelakaan kerja terhadap karyawan, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi dari hasil perbaikan dengan cara: 1. Membandingkan data pengamatan setelah pembuatan absensi penggunaan APD. Uji coba pembuatan absensi untuk penggunaan APD dilakukan selama 4 minggu yang dimulai dari tanggal 05 Oktober-30 Oktober 2009. Lembar data hasil pengamatan monitoring Job Safety Analysis (JSA) PT. Krakatau Steel setelah dilakukan perbaikan dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah ini yaitu :

Tabel 4.9. Data Pengamatan Hasil Monitoring Job Safety Analysis (JSA) Setelah Dilakukan Pengamatan
Tgl 05-Okt-09 06-Okt-09 07-Okt-09 08-Okt-09 09-Okt-09 12-Okt-09 13-Okt-09 14-Okt-09 15-Okt-09 16-Okt-09 19-Okt-09 20-Okt-09 21-Okt-09 22-Okt-09 23-Okt-09 26-Okt-09 27-Okt-09 28-Okt-09 29-Okt-09 30-Okt-09 Total D 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 31 Unsafe Act O F 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 25 29 Etc 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S 2 2 1 2 2 3 2 2 2 3 3 2 2 1 1 2 2 2 2 3 41 Unsafe Condition T E 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 27 25 Etc 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 6 Combinate 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2. Grafik perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan. Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa untuk penggunaan APD yang tidak lengkap dapat diturunkan dengan deviasi sebesar 37 kejadian atau sebesar 47.4 %. Grafik perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan dapat dilihat pada gambar 4.19.

Persentase Jumlah Kejadian

100% 80% 60% 40% 20%

78 % 41 %

0%
Sebelum Perbaikan Kondisi Sesudah Perbaikan

Gambar 4.11. Grafik perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan.

Tabel 4.10. Data Pengamatan APD Tidak Lengkap Sebelum dan Sesudah Perbaikan Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Sebelum Perbaikan 4 5 4 3 3 4 5 4 4 3 4 3 5 4 4 3 3 5 4 4 78 Sesudah Perbaikan 2 2 1 2 2 3 2 2 2 3 3 2 2 1 1 2 2 2 2 3 41

Run chart APD


6 Frekuensi 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hari Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan

Gambar 4.12. Run Chart APD Tidak Lengkap Sebelum dan Sesudah Perbaikan

Persentase Jumlah Kejadian

100% 80% 60% 40% 20% 0%

80 % 47.40 %

Target Kondisi

Implementasi

Gambar 4.13. Grafik Perbandingan Target dan Hasil Perbaikan

3. Dampak setelah dilakukan perbaikan a). Dampak positif: 1). Penggunaan APD dapat lebih termonitoring. 2). Frekuensi penggunaan APD tidak lengkap dapat diturunkan. 3). Kegiatan-kegiatan untuk tindakan tidak aman (unsafe act), kondisi tidak aman (unsafe conditioning) dan kombinasi dari keduanya dapat berkurang. b). Dampak negative setelah dilakukannya uji coba perbaikan yang dilakukan adalah kegiatan pekerjaan menjadi terlambat.

4.2.4. Bertindak (Action) 4.2.4.1. Standarisasi Usulan standarisasi atau perbaharuan prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Prosedur kerja untuk absensi penggunaan APD Usulan perbaikan ini dimasukan dalam prosedur kerja K3 di perusahaan PT. Krakatau Steel sebagai berikut: a). Siapkan perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan digunakan seperti kacamata pelindung, helm, sarung tangan, sabuk pengaman, masker dan sepatu pengaman sesuai dengan kebutuhan. b). Periksa dan teliti apakah perlengkapan APD yang akan digunakan dalam keadaan baik/layak pakai. c). Hindari pemakaian APD yang kurang baik atau tidak memadai. d). Beritahukan kepada atasan (supervisor, mandor) atau kegiatan K3 jika ada perlengkapan APD yang rusak atau sudah tidak layak pakai dan mintalah dengan yang baru. e). Isilah absensi penggunaan APD jika sudah mengenakan perlengkapan APD dengan lengkap. f). Mintalah ijin/persetujuan kepada atasan apabila hendak melepaskan perlengkapan APD dan carilah tempat yang aman. 2. Identifikasi Potensi Berbahaya penyebab kecelakaan kerja Usulan prosedur kerja identifikasi potensi bahaya penyebab kecelakaan kerja adalah: a). Mintalah ijin atau persetujuan terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan sehubungan dengan dilakukannya inpeksi awal terhadap lingkungan kerja pisik dilapangan/produksi tersebut. b). Bentuklah tim khusus yang terdiri dari orang-orang yang

ahli/berpengalaman dalam bidang K3 untuk melakukan potensi berbahaya penyebab kecelakaan kerja.

identifikasi

c). Identifikasikan semua potensi berbahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja dilapangan/produksi yang akan dilakukan. d). Catat semua hasilnya secara lengkap dan mudah dimengerti oleh semua karyawan yang akan terlibat dalam produksi tersebut. e). Dokumentasikan dan sebarkan kepada seluruh karyawan yang akan terlibat dalam proses produksi tersebut.

Bab 5 Analisis

Pada bab ini akan dilakukan analisis dan pembahasana dari hasil pengumpulan dan pengolahan data terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, diantaranya yaitu analisis data kecelakan kerja, analisis data hasil pengamatan monitoring job safety analysis (JSA), analisis diagram pareto untuk data hasil pengamatan monitoring job safety analysis (JSA), analisis wawancara dan hasil diskusi, analisis diagram sebab akibat, analisis penentuan penyebab dominan penggunaan APD tidak lengkap, analisis diagram pareto untuk penentuan penyebab dominan penggunaan APD tidak lengkap, analisis usulan rencana perbaikan, analisis pelaksanakan rencana perbaikan, analisis evaluasi rencana perbaikan dan analisis hasil pemecahan masalah setelah diterapkan metode PDCA. Langkah-langkah analisis dan pembahasan pemecahaan masalah dengan menggunakan PDCA yaitu sebagai berikut:

5.1. Merencanakan (plan) 5.1.1. Analisis Data Kecelakaan Data kecelakaan kerja diambil pada periode tahun 2002-Juni 2006, data kecelakaan kerja ini dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.1), dari data tersebut kecelakan kerja dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu: kondisi tidak aman (unsafe condition), tindakan tidak aman (unsafe act), dan kombinasi (combinate) dari keduanya. Pada faktor penyebab keclakaan kerja tersebut kondisi tidak aman terjadi sebanyak 15 kasus, sedangkan tindakan tidak aman terjadi sebanyak 6 kasus dan kombinasi dari keduanya terjadi sebanyak 1 kasus. Sehingga didapatkan bahwa penyebab kecelakaan yang paling banyak disebabkan oleh kondisi tidak aman dengan jumlah kejadian sebanyak 15 kasus. Dari ketiga faktor tersebut terlihat adannya peningkatan jumlah kasus kecelakaan kerja yaitu pada tahun 2003 yang berjumlah 8 kasus bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2002 yang hanya berjumlah 5 kasus, namun pada tahun 2004, 2005, dan juni 2006 terjadi penurunan

kasus kecelakaan kerja dengan rincian jumlah kasus pada tahun 2004 sebanyak 4 kasus sedangkan pada tahun 2005 terjadi sebanyak 3 kasus dan pada bulan Juni 2006 terjadi sebanyak 2 kasus. Penurunan ini diharpakan akan terus menurun dengan adanya penerapan metode PDCA pada sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

5.1.2. Analisis Data Hasil Pengamatan Monitoring Job Safety Analysis (JSA) Pada lembar data hasil pengamatan Monitoring Job Safety Analysis (JSA) periode 07 Sept-02 Oktober 2009 yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.2) memberikan informasi mengenai faktor penyebab kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kondisi tidak aman (unsafe condition), tindakan tidak aman (unsafe act), dan kombinasi (combinate) dari keduanya yang terjadi setiap harinya selama 20 hari pengamatan. Pada lembar data hasil pengamatan Monitoring Job Safety Analysis (JSA) ini juga didapatkan informasi mengenai jumlah penyebab kecelakaan kerja yang disebabkan oleh 3 faktor tersebut diantaranya yang disebabkan oleh kondisi tidak aman yang paling banyak sebesar 146 kejadian, tindakan tidak aman sebesar 115 kejadian dan kombinasi dari keduanya sebesar 9 kejadian. Maka dari itu perusahaan harus lebih memperketat monitoring Job Safety Analysis (JSA) tiap kali melakukan suatu proses produksi. Setelah data pengamatan dibuat maka langkah selanjutnya yaitu dilakukan pemisahan masalah dengan membuat diagram pareto, diagram pareto merupakan grafik yang menunjukan banyaknya potensi penyebab kecelakaan kerja.

5.1.3. Analisis Diagram Pareto Untuk Data Hasil Pengamatan Monitoring Job Safety Analysis (JSA) Berdasarkan diagram pareto hasil data pengamatan monitoring job safety analysis (JSA), dapat dilihat bahwa potensi penyebab kecelakaan kerja terdiri dari tiga, yaitu : kondisi tidak aman, tindakan tidak aman, dan kombinasi dari keduanya. Diperoleh bahwa potensi yang dapat menyebabkan kecelakan kerja yang paling banyak disebabkan oleh kondisi tidak aman dengan persentase sebesar 54,07% sedangkan tindakan tidak aman diperoleh persentase sebesar 42,6%, dan kombinasi dari

keduanya diperoleh persentase sebesar 3,33%. Kemudian dari kondisi tidak aman diklasifikasikan lagi berdasakan kondisi yang sering muncul, diantaranya yaitu: APD tidak lengkap sebanyak 78 kejadian, temperatur ekstrim sebanyak 31 kejadian, kondisi lingkungan tidak besih/rapi sebanyak 29 kejadian, dan lain-lain (peringatan kurang, ruang kerja sempit, dan lain-lain) sebanyak 8 kejadian.

Maka dari itu diperoleh kondisi tidak aman yang sering muncul diantaranya yaitu penggunaan APD tidak lengkap dengan jumlah kejadian sebanyak 78 kejadian atau dengan persentase sebesar 53,43%. Sehingga dapat diketahui bahwa penyebab kecelakaan yang sering terjadi pada Divisi Hot Strip Mill (HSM) PT. Krakatau Steel disebabkan oleh APD tidak lengkap, maka dari itu perbaikan lebih difokuskan pada penggunaan APD tidak lengkap karena terkadang karyawan tersebut lalai dan tidak disiplin.

5.1.4. Analisis Wawancara dan Hasil Diskusi Untuk mempermudah pengumpulan dan pengolahan data penyebab kecelakaan kerja, maka dilakukan wawancara dan diskusi terhadap para staff ahli K3 PT. Krakatau Steel Divisi HSM (Hot Strip Mill) PT. Krakatau Steel. Dari hasil wawancara dan diskusi tersebut didapatkan faktor utama penyebab penggunaan APD tidak lengkap disebabkan oleh manusia, metode, sarana, material dan lingkungan.

5.1.5. Analisis Diagam Sebab Akibat Analisis sebab akibat disini menggunakan diagram sebab akibat tulang ikan (fishbone diagram) yang dapat dilihat pada Bab 4 (Gambar 4.8) yaitu untuk mencari akar penyebab dari penggunaan APD tidak lengkap. Dari diagram tersebut dapat dianalisis bahwa terdapat 5 faktor penyebab dari penggunaan APD tidak lengkap yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja yaitu sebagai berikut:

1. Faktor manusia Penyebab kecelakaannya yaitu: lalai, kurang disiplin, tidak ada sanksi yang mengikat, kurang kesadaran atas penggunaan APD sehingga menyebabkan ketidak tahuan karyawan atas potensi bahaya atas pekerjaan. 2. Faktor metode Penyebab kecelakaannya yaitu: penggunaan APD yang salah, tidak mengikuti prosedur atas penggunaan APD, monitoring terhadap penggunaan APD kurang dan tidak adanya data/absensi terhadap penggunakan APD. 3. Faktor sarana Penyebab kecelakaannya yaitu: APD rusak, tidak adanya jadwal perawatan APD, perawat APD diserahkan ke masing-masing karyawan sehingga APD kurang dirawat. 4. Faktor material Penyebab kecelakaannya yaitu: penggunaan bahan baku APD yang kurang berkualitas sehingga dapat menimbulkan iritasi pada kulit dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan para karyawan. 5. Faktor lingkungan Penyebab kecelakaannya yaitu: kurang pendingin ruangan (AC), sirkulasi udara dalam ruangan kurang lancar sehingga menyebabkan suhu panas/ekstrim dalam ruangan, dan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, banjir.

5.1.6. Analisis Penentuan Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap Keuntungan dari langkah ini adalah penyelesain masalah hanya dilakukan pada penyebab yang paling berpengaruh, karena dampaknya yang sangat besar terhadap keseluruhan perbaikan. Dalam menentukan penyebab dominan penggunaan APD tidak lengkap digunakan pendekatan metode Nominal Group Tecnique (NGT). NGT dilakukan dengan cara pemberian point/nilai terhadap faktor-faktor yang berpengaruh sehingga didapat jumlah nilai tertinggi yang merupakan penyebab dominan paling bepengaruh tehadap APD tidak lengkap, metode NGT dilakukan terhadap para staff ahli K3 PT. Krakatau Steel (Persero) Divisi Hot Strip Mill (HSM). Dari hasil

rekapitulasi NGT yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.7) diperoleh jumlah nilai yang paling tinggi yaitu rank I dan rank II yang disebabkan oleh faktor manusia dan metode dengan jumlah nilai masing-masing sebesar 19 dan 16.

5.1.7. Analisis Diagram Pareto Untuk Penentuan Penyebab Dominan Penggunaan APD Tidak Lengkap Berdasarkan dari diagram pareto penyebab dominan penggunaan APD tidak lengkap yang dapat dilihat pada Bab 4 (Gambar 4.9), maka penyebab yang paling berpengaruh adalah faktor manusia dan metode, dimana faktor manusia persentasenya sebesar 31,67% dan faktor metode sebesar 26,67%. Sehingga dapat diketahui bahwa penyebab dominan penggunaan APD tidak lengkap disebabkan oleh faktor manusia dan faktor metode, maka dari itu pada penelitian ini perbaikan akan difokuskan pada faktor manusia dan faktor metode.

5.2. Melakukan (do) 5.2.1. Analisis Usulan Rencana Perbaikan Usulan rencana perbaikan dalam penelitian ini dengan menggunakan tabel 5w+2h, yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.8) yaitu dengan menentukan rencana perbaikan dari prioritas penyebab yang harus di tanggulangi dan menetapkan target, maka langkah perbaikan akan lebih terfokus dan mudah dievaluasi. Perbaikan yang dilakukan yaitu pada faktor manusia dan metode, Perbaikan pada faktor manusia yaitu dengan cara membagikan dalam bentuk selebaran yang berisi mengenai identifikasi potensi bahaya yang menyebabkan kecelakaan kerja sehingga karyawan dapat mengetahui potensi bahaya yang dihadapi saat bekerja sedangkan pada faktor metode akan dilakukan dengan cara membuat absensi penggunaan APD terhadap seluruh karyawan yang terlibat dalam proses produksi di divisi HSM, tindakan ini dilakukan agar adanya data/monitoring terhadap penggunaan APD.

5.2.2. Analisis Pelaksanakan Rencana Perbaikan Rencana perbaikan akan dimulai pada pembuatan absensi terhadap penggunaan APD dan inspeksi awal untuk mengidentifikasi potensi berbahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Untuk usulan perbaikan faktor material, lingkungan dan sarana penulis serahkan kepada penelitian yang akan datang yaitu di PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM) dengan perbaikan faktor material, lingkungan dan sarana.

5.3. Mengecek (check) 5.3.1. Analisis Evaluasi Hasil Perbaikan Setelah melakukan rencana perbaikan, maka selanjutnya peneliti mengamati keberhasilan pelaksanaan perbaikan dengan cara membandingkan data/grafik sebelum dan sesudah perbaikan serta dampak dari perbaikan itu sendiri. Membandingkan data pengamatan hasil monitoring JSA sebelum penggunaan absensi terhadap APD. Dari perbandingan tersebut diperoleh hasil setelah implementasi rencana perbaikan penggunaan absensi untuk APD diperoleh data bahwa penggunaan absensi yang tidak lengkap dapat ditekan menjadi 41 kejadian dari sebelumnya sebesar 78 kejadian, penurunannya sebesar 37 kejadian atau sebesar 47,4%. Grafik perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan dapat dilihat pada gambar 5.1 yaitu:

Persentase Jumlah Kejadian

100% 80% 60% 40% 20% 0%

78 % 41 %

Sebelum Perbaikan Kondisi

Sesudah Perbaikan

Gambar 5.1. Grafik perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan.

Dampak setelah dilakukannya uji coba dalam perbaikan ini membawa dampak positif dan negative. Untuk dampak positifnya penggunaan APD yang tidak lengkap dapat diturunkan dan untuk dampak negatifnya adalah terlambatnya proses kegiatan produksi yang diakibatkan karena antrian untuk mengisi absensi tersebut. Setelah dilaksanakannya evaluasi hasil perbaikan maka tindakan selanjutnya yaitu:

5.4. Bertindak (action) Yang termasuk dalam tahap bertindak adalah: menetapkan standarisasi dan menetapkan rencana berikutnya, yaitu sebagai berikut: 1. Menetapkan strandarisasi Merupakan penetapan metode kerja atau prosedur kerja yang wajib dipatuhi oleh semua karyawan yang melaksanakan pekerjaan untuk mencapai suatu hasil yang standar dengan spesifikasi tertentu. Menjaga kondisi kerja yang aman dan nyaman untuk menghindari dan mengurangi terjadinya kecelakaan kerja secara konsisten dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan produktifitas karyawan yang berdampak pada kualitas produk ataupun jasa yang dihasilkan.

Dilakukan strandarisasi pencantuman absensi untuk penggunaan APD terhadap seluruh karyawan yang terlibat dalam produksi pada prosedur K3 dan melakukan identifikasi potensi berbahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja pada langkah mekanisme kerja perusahaan.

2. Menetapkan rencana berikutnya. Merupakan kegiatan tindak lanjut apa yang akan dilakukan setelah diadakan perbaikan. Mencegah terulangnya kembali masalah tersebut dengan memantau terus pelaksanaan perbaikan dan menetapkan tindak lanjutnya untuk membahas masalah berikutnya yang dominan.

5.5. Analisis Hasil Pemecahan Masalah Setelah Diterapkan Metode PDCA Setelah dilakukan perbaikan, penggunaan APD yang tidak lengkap dapat dikurangi. Dapat dilihat pada implementasi rencana perbaikan, bahwa kejadian penggunaan APD yang tidak lengkap dapat ditekan 41 kejadian dalam uji coba selama 20 hari dari jumlah sebesar 78 kejadian, penurunannya sebesar 47,4%. Perbedaan deviasi hasil implementasi dengan target yang ditentukan sebesar 32,6%. Hal ini disebabkan dalam perbaikan awal yang dilakukan hanya untuk faktor manusia dan metode. Grafik perbandingan target dan hasil perbaikan dapat dilihat pada gambar 5.2. yaitu:

Persentase Jumlah Kejadian

100% 80% 60% 40% 20% 0%

80 % 47.40 %

Target Kondisi

Implementasi

Gambar 5.2. Grafik Perbandingan Target dan Hasil Perbaikan

Bab 6 Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan data terhadap hasil monitoring Job Safety Analysis (JSA), Maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja melalui pendekatan metode konsep PDCA yang diuraikan menjadi 7 langkah, maka masalah K3 di PT. Krakatau Steel menjadi lebih sistematis dan terstruktur. 2. Masalah K3 di PT. Krakatau Steel Divisi Hot Strip Mill (HSM) untuk potensi penyebab kecelakaan kerja seperti kondisi tidak aman (unsafe condition) dengan kategori APD tidak lengkap merupakan kejadian yang paling sering muncul yaitu dengan jumlah kejadian sebanyak 78 kejadian atau dengan persentase sebesar 53,43% yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.4). Akar penyebab dari APD tidak lengkap adalah dari faktor manusia karena tidak mengetahui potensi bahaya yang dihadapi mengenai pekerjaannya, faktor metode karena tidak adanya data/monitoring terhadap penggunaan APD, faktor material yaitu penggunaan APD dapat menimbulkan alergi/iritasi pada penggunanya, faktor lingkungan karena sirkulasi udara dalam ruangan tidak lancar dan untuk faktor sarana disebabkan APD rusak /tidak layak pakai. 3. Perbaikan yang dilakukan dengan menggunakan metode PDCA (Plan-DoCheck-Action) yang dilandasi dengan alat-alat pemecahan masalah yaitu: - Diagram pareto Dari diagram pareto ini, yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.3) diperoleh bahwa potensi yang dapat menyebabkan kecelakan kerja yang paling banyak disebabkan oleh kondisi tidak aman dengan persentase sebesar 54,07%, Kemudian dari kondisi tidak aman diklasifikasikan lagi berdasarkan kondisi yang sering muncul, diantaranya yang paling banyak yaitu disebabkan oleh APD tidak lengkap sebanyak 78 kejadian.

- Diagram Fishbone Dari diagram fishbone ini yang dapat dilihat pada Bab 4 (Gambar 4.8), dari diagram tersebut didapatkan 5 faktor penyebab dari penggunaan APD tidak lengkap yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja yaitu disebabkan oleh faktor manusia, metode, sarana, material dan lingkungan. - Tabel 5W+2H Perbaikan yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan tabel 5w+2h yang dapat dilihat pada Bab 4 (Tabel 4.8), perbaikan tersebut dilakukan pada faktor manusia dan metode, Perbaikan pada faktor manusia yaitu dengan cara membagikan dalam bentuk selebaran yang berisi mengenai identifikasi potensi bahaya yang menyebabkan kecelakaan kerja sehingga karyawan dapat mengetahui potensi bahaya yang dihadapi saat bekerja sedangkan pada faktor metode akan dilakukan dengan cara membuat absensi penggunaan APD terhadap seluruh karyawan yang terlibat dalam proses produksi di Divisi Hot Strip Mill (HSM), tindakan ini dilakukan agar adanya data/monitoring terhadap penggunaan APD. - Run chart Dari diagram Run chart yang dapat dilihat pada Bab 4 (Gambar 4.12) ini terlihat bahwa frekuensi tertinggi kejadian penggunaan APD yang tidak lengkap sebelum dilakukannya uji coba selama 20 hari perbaikan yaitu sebesar 78 kejadian dan setelah dilakukannya perbaikan frekuensi kejadiannya yaitu sebesar 41 kejadian, penurunannya sebesar 37 kejadian dengan persentase sebesar 47,4%. maka dari itu perbaikan dapat dilakukan secara berkesinambungan. - Grafik Perbandingan Sebelum dan Sesudah Perbaikan Setelah dilakukan perbaikan, penggunaan APD yang tidak lengkap dapat dikurangi. Dapat dilihat pada Bab 4 (Gambar 4.11) bahwa kejadian penggunaan APD yang tidak lengkap dapat ditekan 41 kejadian dalam uji coba selama 20 hari dari jumlah sebesar 78 kejadian, penurunannya sebesar 47,4 %.

4. Tindakan yang diambil pada penelitian ini dengan cara membuat kartu absensi dari kertas karton khusus untuk penggunaan APD seperti kartu absensi kerja. Bagi karyawan yang sudah menggunakan perlengkapan APD dengan lengkap diharuskan mengisi kartu absen tersebut kedalam mesin ceklist.

Mengidentifikasi bahaya potensial penyebab kecelakaan kerja dilingkungan kerja fisik tempat dimana akan dilaksanakannya suatu produksi. 5. Setelah dilakukannya perbaikan tersebut, penggunaan APD tidak lengkap dapat diturunkan. Dapat dilihat dari hasil monitoring Job Safety Analysis (JSA). APD tidak lengkap dibagian produksi yang ditangani PT. Krakatau Steel dengan jumlah 41 kejadian yang sebelumnya 78 kejadian. Dari hasil tersebut dapat dilihat penurunannya sebesar 47,4%.

6.2. Saran Dari hasil keseluruhan dari penelitian ini saran yang dapat diberikan terhadap pihak PT. Krakatau Steel adalah: 1. Perusahaan harus lebih memperketat monitoring Job Safety Analysis (JSA) tiap kali melakukan suatu produksi dengan cara mengadakan sanksi administrasi terhadap karyawan yang melanggar. 2. Dalam melakukan evaluasi terhadap monitoring Job Safety Analysis (JSA) sebaiknya dilakukan secara terus menerus yang merupakan penerapan dari perbaikan yang berkesinambungan (continues improvement). 3. Penerapan metode PDCA dapat diterapkan pada sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) secara berkesinambungan. 4. Untuk penelitian yang akan datang, peneliti dapat mengambil tema menurunkan tingkat kejadian untuk tindakan tidak aman (unsafe act) karna untuk tindakan tindakan tidak aman ini seperti mengobrol, operasi tanpa otoritas, mengantuk bisa menyebabkan kondisi tidak aman. Seperti lalainya karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri yang tidak lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwardana Sewadi Andreas, (1989), Pencegahan Kecelakaan, PPM, PT. Gramedia Jakarta.

Adriansah Doni, Impprovement Talk, Guality Management Intro (7 step PDCA), www.google.com. Amiruddin, (2007), Pendekatan Mutu dan Kepuasan Pelanggan dalam Pelayanan Dengan Menggunakan Siklus PDCA (plan, do, check, action), http://ridwanamiruddin.files.wordpress.com.

Binsaid Sukama, (2006), Risalah Praktikum Analisis Perancangan Kerja Tentang Pengujian Uji Kecukupan Data Sampling.

Suardji Rudi, (2005), Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). PPM, Jakarta.

Tjiptono Fandy, (1998), Total Quality Management. Andi Offset, Yogyakarta.

BIODATA

I. IDENTITAS Nama Tempat, Tanggal Lahir Alamat HP Agama Jenis Kelamin Status Email : : : Nurbianto Pandeglang, 14 Juni 1988 Kp. Nagrog, DS Bayumundu, Pandeglang

: 087821770350 : Islam : : : Laki-laki Belum Nikah Oby_love14@yahoo.co.id

II. PENDIDIKAN FORMAL 1990 1992 1992 1998 1998 2001 2002 2005 2005 2010 : TK Bumi Putra Pandeglang : SDN Bayumundu 1 : SLTPN 2 Pandeglang : SMUN 8 Pandeglang : Universitas Komputer Indonesia (Berijasah) (Berijasah) (Berijasah) (Berijasah) (Berijasah)

You might also like