You are on page 1of 7

TANAH UNTUK RAKYAT

oleh Krisnadi Setyawan pada 31 Januari 2012 pukul 16:01 Begitu lantang disuarakan hampir diseluruh pelosok tanah air Republik, cita-cita mulia yang tak lekang oleh zaman sejak para Founding Fathers hingga hari ini orde "bersama kita bisa". Sejarah perjuangan bangsa ini menunjukan bahwa proses mempertahankan diri dari serbuan asing berlangsung tidak hanya menggunakan perlawanan fisik semata, namun dengan siasat diplomatik yang begitu rumit sehingga setiap daerah mampu menunjukkan eksistensinya meski dalam tindasan kolonial asing yang sangat keras. Jawa, dimasa silam merupakan suatu kesatuan sosial politik terwujud sebagai kerajaan-kerajaan, secara kronologis diawali kerajaan Mataram kuno, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, wilayah dua kerajaan terakhir, oleh bangsa Eropa, disebut juga sebagai 'vorstenlanden', atau tanah praja kejawen. Semuanya berdiri dari sistem sosial berbasis agraris feodal, dimana sekelompok orang hidup dari mengolah lahan pertanian dengan seorang pemimpin turun temurun.

Kehadiran Kompeni Hindia Belanda tentu saja menjadi faktor penting bagi pasang surut politik kerajaan-kerajaan Jawa. Meski demikian orang Eropa tidak pernah berniat merubah sistem sosial yang ada, alih-alih mereka justru memanfaatkan sistem agraris feodal tersebut untuk menancapkan kekuasaan di tanah Jawa. Kasultanan Yogyakarta berdiri sebagai wadah perlawanan rakyat dari berbagai kalangan seperti para penggarap dan pemilik lahan, serta pemuka agama atas penyerahan kedaulatan Mataram Islam oleh Pakubuwana II kepada Baron von Hohendorff, gubernur VOC di pesisir jawa bagian timur, dalam perjanjian yang ditandatangani tanggal 11 Desember 1749. Sehari setelah penandatangan tersebut tanggal 12 Desember 1749 Pangeran Mangkubumi didaulat oleh pengikutnya sebagai Susuhunan Kabanaran di Mataram.

Konsolidasi politik Pangeran Mangkubumi berhasil melahirkan satu kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang setelah melalui berbagai perubahan wilayahnya ditetapkan seperti apa yang ada hingga hari ini. Kraton baru ini sempat mengalami tekanan berat pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II s/d VI dimana terjadi pemecahan wilayah oleh Serikat Dagang Hindia timur milik Inggris di bawah perintah Thomas Stanford Raffles, dengan munculnya Kadipaten Pura Pakualaman yang merupakan pangeran merdeka dengan wilayah empat distrik yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko dan Tawangkarto. Selanjutnya kabupaten luar kota ini berubah menjadi Kabupaten Adikarto beribukota di Wates. Kabupaten Adikarto mempunyai empat kapanewon yaitu Panjatan,Brosot, Bendungan dan Temon.

Selanjutnya pada tahun 1825 - 1830 Kasultanan Yogyakarta dikoyak Perang antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sebagai puncak dari konflik politik tanah pasca VOC, kebijakan yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda sangatlah merugikan bagi orang Jawa. Perlawanan diplomasi sejak perjanjian Giyanti hingga

kedatangan Pemerintah Inggris tahun 1800-1812 menghasilkan bahwa tanah di Vorstenlanden adalah milik Raja, sehingga segala kebijakan pertanahan adalah wewenang Raja, sehingga kemudian wilayah Vorstenlanden terbebas dari aturan tanam paksa seperti yang menimpa kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, namun itu tidak berarti bebas dari penindasan kolonial. Praktek sewa-menyewa tanah oleh pengusaha Eropa dan Timur Jauh berkembang sebagai konsekuensi tidak berlakunya tanam paksa, namun kelakuan para penyewa asing tidak lebih baik daripada pelaksanaan tanam paksa. Seringkali tanah yang disewa sangat luas bahkan hampir meliputi wilayah sebuah kabupaten, dan penduduk serta segala hal yang ada diatas tanah tersebut menjadi kewenangan para penyewa, dan tidak ayal perlakuan semena-menapun menimpa rakyat diwilayah yang disewakan tersebut. Tahun 1823 Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen (1816-1826) mengambil keputusan untuk mengakhiri tindak-tindak penyelewengan yang berhubungan dengan penyewaan tanah swasta di Jawa Tengah. Dia memerintahkan agar sewa-menyewa semacam itu dihapuskan. Para bangsawan yang telah menyewakan tanah mereka kini tidak hanya kehilangan sumber pendapatan saja, tetapi juga harus mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan oleh penyewa-penyewa Cina dan Eropa (yang umumnya telah habis dibelanjakan) dan membayar ganti rugi kepada para penyewa tersebut yang telah melakukan berbagai perbaikan di tanahtanah tersebut (yang pada dasarnya tidak berharga bagi para bangsawan yang tidak bermaksud mengolah tanah-tanah apanage mereka menjadi perkebunan). Inilah langkah terakhir yang telah mendorong banyak orang bangsawan melancarkan pemberontakan.

Pada saat yang sama intervensi Belanda terhadap Kasultanan mencapai batas yang tidak bisa diterima sehingga memaksa Pangeran Diponegoro selaku wali Sultan Hamengkubuwono V yang masih kecil untuk angkat senjata. Seluruh Jawa bergejolak dan para bangsawan yang marah akibat kebijakan sewa tanah bergabung melawan Belanda, meski mampu menguasai wilayah ibukota Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro tidak menduduki Kraton, namun sempat mengisolasi benteng dan menghancurkan pusat pemerintahan Belanda yang selanjutnya memilih mundur ke goa Selarong. Hal ini menunjukan bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro adalah untuk membebaskan Kasultanan dari cengkeraman Belanda.

Perang Jawa berakhir dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro saat menghadiri undangan damai Jenderal De Kock di Magelang, 28 Maret 1830. Pasca perang Pemerintah kolonial Belanda semakin intensif melakukan intervensi dalam persoalan politik dan ekonomi kerajaan Jawa ini. Tiga orang raja (Sultan HB IV, Sultan HB V, dan Sultan HB VI) yang berkuasa hingga tahun 1877 telah disodori kontrak-kontrak politik yang semakin memberi kesempatan kepada pemerintah Belanda untuk memantapkan pengaruh mereka. Kontrakkontrak politik itu, di antaranya, raja-raja Yogyakarta wajib untuk meminta petunjuk dari pejabat kolonial setempat (residen) sebelum membuat keputusan penting yang berkaitan dengan kebijakan politik dan ekonomi raja, seperti halnya yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Dengan kondisi demikian, intervensi politik dan dominasi ekonomi yang bersifat eksploitatif, periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1877 1921) bisa diperkirakan merupakan masa pelaksanaan kebijakan kolonial Belanda di Kesultanan Yogyakarta yang masih diakui sebagai bentuk pemerintahan swapraja (zelfsbestuur).#

Sebagai konsekuensi dari berakhirnya Perang Jawa maka Kasultanan Yogyakarta harus meratifikasi perjanjian dengan Belanda pada tanggal 3 November 1830 yang berisi; Kasultanan hanya menjalankan kekuasaan atas Mataram dan Gunungkidul, tetapi di semua hak milik teritorial Yogyakarta, kekuasaan akan dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda atas nama Sultan. Akibat dari penghapusan wilayah Monconegoro Wetan dan Monconegoro Kulon ini adalah berkurangnya penghasilan dan kemiskinan melanda para bangsawan Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh penghapusan atau pengurangan tanah-tanah apanage mereka yang diambil-alih oleh pemerintah Hindia Belanda.#

Selain itu pada 28 April 1831 Sultan juga harus menandatangani Surat Penyerahan tanahtanah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto kepada Adipati Pakualaman, menambahkan kekuasaan yang semakin besar pada kadipaten baru itu. Kondisi tersebut, bersama juga dengan situasi yang belum pulih sebagai akibat Perang Jawa, banyak penduduk yang meninggalkan tempat asalnya dan pindah ke daerah yang lebih aman, mengakibatkan kemerosotan produksi agraria yang menjadi sumber pemasukan utama bagi kas keraton. Hal ini mendorong para penguasa pribumi, baik Sultan sendiri maupun para bangsawan khususnya yang menguasai tanah-tanah apanage, untuk menerima tawaran dari para pejabat Belanda di Yogyakarta untuk menyewakan tanah-tanahnya kepada para pemilik modal asing. Melalui perantaraan residen, sejak tahun 1831 para pengusaha Eropa swasta mengajukan permohonan dan menerima hak sewa (erfpacht) tanah-tanah di Kesultanan Yogyakarta. Pada mulanya mereka menyewa tanah-tanah apanage milik bangsawan Yogyakarta, tetapi beberapa tahun kemudian sasaran persewaan mereka meluas pada tanah-tanah rakyat dan bahkan tanah Sultan sendiri (bumi norowito). Penguasaan lebih lanjut oleh kolonial Belanda atas tanah di Kasultanan Yogyakarta ditunjukan dalam berbagai peraturan yang diterbitkan, pada tahun 1854 terbit Regerings Reglement (RR) 1854, pada pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewa tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordonansi. Fase baru penindasan telah dimulai, bagi wilayah selain Vorstenlanden ini merupakan periode berakhirnya tanam paksa dan awal lahirnya industrialisasi perkebunan. Namun bagi rakyat Yogyakarta ini tidak lebih dari kelanjutan rejim sewa lahan sebelum perang Jawa, bahkan semakin intensif.

Ketika investasi perkebunan swasta asing (onderneming) masuk di wilayah Yogyakarta, suasana kehidupan sosial di Kesultanan ini mengalami perubahan. Perubahan ini terutama bertumpu pada hubungan kerja baru yang diterapkan di tanah-tanah sewaan oleh perusahaan perkebunan terutama gula. Di wilayah Kesultanan Yogyakarta segera berdiri sejumlah pabrik gula yang membentuk suatu kompleks lingkungan sendiri di antara lingkungan pemukiman penduduk pedesaan Jawa. Pabrik gula ini menyewa tanah-tanah apanage yang kemudian diperluas dengan tanah-tanah penduduk, baik yang bersifat komunal maupun individu. Hubungan kerja baru dibentuk dengan menggunakan sistem kerja upah. Dalam sistem ini penduduk desa yang disewa tanahnya, atau penduduk tanah apanage yang kehilangan lahan tanamnya, diperintahkan untuk bekerja sebagai petani tebu atau menjadi buruh pabrik. Mereka yang menjadi petani sikep, yaitu yang memiliki tanah sendiri dan disewa oleh pabrik gula, bisa bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi juga bisa bekerja di luar rotasi produksi gula, misalnya, menyewakan ternaknya sebagai tenaga angkut tebu dan gula.# Pada tahun 1870 terbit Indische Staatsregeling (IS) atau disebut Agrarische Wet yang diundangkan dalam Staatsblaad (Lembar Negara) No. 55, 1870 yang menyebutkan Pemerintah Belanda

memberikan pengakuan tanah pribumi sebagai hak milik mutlak (hak eigendom) Pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah sampai dengan 75 tahun (hak erpacht). Untuk melaksanakan Agrarische Wet juga diterbitkan Agrarische Besluit (S.1870 118) yang hanya berlaku untuk daerah Gubernemen di Jawa dan Madura yang menyebutkan pernyataan umum tanah negara (Algemenedomein verklaring); Bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan, bahwa tanah itu menjadi egeindom orang lain, adalah tanah negara (domein van de Staat), pernyataan ini tidak berlaku atas tanah-tanah daerah swapraja, tanah egeindom orang lain, tanah partikelir, dan tanah egeindom agraria.

Kebijakan diatas tidak lebih dari upaya Pemerintah kolonial Belanda melakukan restrukturisasi ekonomi pasca industri perkebunan yang mulai menurun. Setelah berlangsung sekitar dua puluh tahun, dampak dari perubahan ini mulai terasa. Di bidang ekologi, tanaman tebu telah menghabiskan humus tanah, sehingga setelah masa sewa tanah berakhir, tanahtanah yang kembali kepada petani atau bangsawan tidak lagi menjadi lahan produktif. Begitu juga dengan sarana pengairan, pengusaha perkebunan mendominasi kepemilikan air untuk menggenangi kebun tebu yang mengakibatkan tanah-tanah padi milik rakyat kekeringan. Mereka yang bekerja sebagai petani tebu atau buruh pabrik juga mengalami kemerosotan penghasilan, karena upah (loon) yang mereka terima tidak bisa digunakan untuk hidup setelah dipotong pajak. Terlebih lagi setelah kontrak sewa selesai, sehingga mereka mengalami pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian pihak pemilik modal asing lebih unggul posisinya, sementara masyarakat pribumi berada pada posisi yang lemah dan dirugikan.#

Pada tanggal 7 Agustus 1877 Pangeran Hangabehi ditetapkan sebagai Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojo Putro Narendro Mataram ing Ngayogyakarta Adiningrat bertempat di bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Dalam upacara tersebut, selain Residen Wattendorf yang mewakili Gubernur Jenderal dan para pejabat Belanda lainnya, juga hadir adik Hangabehi yaitu Pangeran Haryo Mangkubumi, Patih Raden Adipati Danurejo VI dan para bangsawan Jawa lainnya. Ditandai dengan penandatanganan perjanjian sebagai berikut: Pasal 1 Perbaikan aparat keamanan dan hukum serta peradilan dalam perkara keamanan atau pidana baik dengan penempatan para asisten residen di wilayah pedalaman maupun dengan cara lain.

Pasal 2

Saya berjanji bekerja sama dalam merawat jalan-jalan dan jembatan-jembatan sejauh saya memiliki sarana untuk itu.

Pasal 3 Mendorong kerja wajib penduduk di tanah-tanah yang disewakan kepada orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka oleh para pemilik tanah; saya akan menyerahkan sengketa yang muncul dari situ sepenuhnya kepada keputusan pemerintah.

Ketentuan ini menunjukkan wewenang dan kontrol raja yang semakin berkurang atas para penyewa tanah dan semakin besar intervensi pemerintah kolonial terhadap persewaan tanah tersebut. Hal ini berbeda dengan pasal pertama yang menekankan ada kesepakatan lebih lanjut dalam hal tersebut, mengingat keduanya mencakup aspek hukum yang sama. Kasus sengketa jelas berkaitan dengan penyelesaian secara hukum, karena jika tidak maka bisa mengarah pada kemungkinan terjadi konflik berkepanjangan. Di samping itu, pasal 3 ini menunjukkan juga lemahnya posisi Putera Mahkota ini terhadap tuntutan kerja wajib penduduk yang ditujukan bagi kepentingan penyewa tanah. Konsep ikatan feodal yang dicetuskan oleh D.H. Burger, membedakan adanya dua ikatan yang tumbuh dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa : ikatan feodal dan ikatan desa. Ikatan feodal adalah bentuk pengabdian feodal oleh kawula kepada raja atau penguasa. Dengan demikian ikatan feodal ini berbentuk ikatan vertikal. Sementara itu ikatan desa adalah ikatan di antara sesama warga desa yang membentuk suatu kesatuan komunal, sehingga bersifat horizontal. Masing-masing ikatan ini menimbulkan kewajiban yang berbeda bagi anggotanya. Kerja wajib ini bukan merupakan kerja untuk kepentingan komunal seperti kerja bakti (gugur gunung, kerig aji, wilah welit) melainkan kerja wajib demi kepentingan penguasa atau penggantinya (heerendiensten, pantjendiensten).Ditinjau dari aspek hubungan kekuasaan, pasal ini secara de facto mengakui adanya dominasi oleh para penyewa tanah asing mengingat kerja wajib hanya diperuntukkan bagi raja atau pemegang tanah-tanah apanage. Dengan pemberian kerja wajib yang lebih besar, ini juga memberikan keuntungan yang lebih banyak kepada para penyewa tanah yang dalam hal ini adalah para pengusaha perkebunan, karena mereka tidak perlu membayar kerja upah dan bisa memanfaatkan ikatan feodal yang ada pada masyarakat Jawa. Dengan pengesahan kontrak politik (velkraring) tersebut, enam hari kemudian pelantikan menjadi Sultan Hamengku Buwono VII berlangsung di tempat dan pada hari yang sama. Setelah duduk di atas tahta sebagai raja, Sultan Hamengku Buwono VII masih diminta menandatangani kontrak lain yang disebut Akte van Verband. Berbeda dengan kontrak yang ditandatangani sebelumnya, kontrak ini lebih merupakan pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan keterikatan Kesultanan Yogyakarta kepada pemerintah kolonial. Bertolak dari situ, sering terjadi perdebatan mengenai keabsahan dan status para raja Jawa, yang mana ungkapan leenheer (penguasa pinjaman) sering dilontarkan oleh sekelompok tertentu di antara para petinggi kolonial, meskipun istilah ini hanya digunakan untuk mendeskripsikan ketundukan atau semi-otonom dari raja-raja Jawa.#

Di mata para pejabat Belanda, sistem pengaturan dan kepemilikan tanah yang saat itu berlaku di kerajaan-kerajaan Jawa dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan perekonomian pasar global yang menjadi sumber pendapatan bagi negara. Gubernur Jenderal Idenburg menyetujui hal itu dan menekan raja-raja Jawa agar sejak tahun 1912 menghentikan persewaan tanah kepada perusahaan swasta untuk sementara dan membentuk komisi yang akan melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikan ini kemudian digunakan sebagai dasar bagi pembaharuan agraria yang kemudian dikenal sebagai reorganisasi agraria di Vorstenlanden. Proses yang

lebih memapankan liberalisasi tanah berlangsung ketika Pemerintah swapraja Yogyakarta pada tahun 1914 menyelenggarakan Reorganisasi Kompleks yang berisi: (1). Pembentukan kalurahan-kalurahan; (2). Memberikan hak tanah yang lebih kuat bagi rakyat; (3). Menghapuskan apanage stelsel; dan (4). Mengubah dasar sewa tanah dari yang bersifat pribadi menuju hak kebendaan. Hal ini berdampak penghapusan hak pribadi raja atas tanah, kekuasaan tertinggi atas tanah ada di Kasultanan dan Kasunanan (pemerintah). Desa yang tadinya tidak punya hak apa-apa menjadi punya hak atas tanah (kaparingake gumaduh ing salawas-lawase/ diberikan hak pakai selama-lamanya) dan penduduk dewasa (kuat ing gawe/kuat bekerja) memperoleh tanah. Namun rakyat tetap memiliki kewajiban kerja bagi kepentingan desa, Sultan atau Sunan dan perkebunan.

Perubahan zaman diatas sama sekali tidak ditujukan semata-mata untuk perbaikan nasib orang Jawa, seperti halnya Pemerintah Kolonial Belanda yang hanya memperalat sistem politik kerajaan untuk kepentingannya, begitu juga dengan reorganisasi agraria di Vorstenlanden hanya bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik bagi para pemodal asing dengan menjamin ketersediaan lahan dan tenaga kerja murah. Pemberian hak tanah kepada desa dan perorangan di satu sisi memberikan harapan yang lebih baik, namun pada saat yang bersamaan merupakan liberalisasi tanah dimana para pemodal asing lebih mudah memaksa desa atau perseorangan untuk menyewakan lahannya daripada berhadapan langsung dengan Pemerintahan Kasultanan, yang menurut mereka keras kepala. Yogyakarta merupakan korban awal dari kapitalisme modern, dimana liberalisasi tanah dan tenaga kerja pertama kali memukul telak di jantung kekuasaan orang Jawa.

Tulisan ini disusun dari berbagai sumber dengan tujuan untuk membuka wawasan kita atas perubahan dunia, dan cara pandang kita terhadap perjuangan politik lokal dalam mempertahankan identitas dan kepentingannya dari serbuan modal dan ideologi asing yang tidak pernah perduli dengan nasib dan budaya inlander.

referensi

A.M. Djuliati Surojo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Karesidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta, 1992 Bundel Binnenlandsch Bestuur No. 2727, Nota Omtrent agrarische zaken in Vorstenlanden door controleur Jonquiere. Intrik Politik dan Pergantian Tahkta di Kasultanan Yogyakarta, 1891 1877, Tesis, Riya Sesana, Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, 2010

Suhartono, Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991 Vincent J. Houben, Kraton and Kompeni Leiden, 1994, KITLV Press Suhartono, The Javanese concept of optimism in uncertainty: village life in the Principalities, dalam J. Thomas Lindblad, New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia Leiden, 1993

Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan sumber dan referensi.

You might also like