You are on page 1of 17

MENJAMIN HAK RAKYAT ATAS AIR: KRITIK ATAS KEBIJAKAN PENYEDIAAN AIR BERSIH DI INDONESIA

Hamong Santono1

Pendahuluan Tidak ada yang meragukan ataupun membantah bahwa air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga hak atas air merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Pengakuan air sebagai hak asasi manusia secara tegas tertuang dalam pasal 14 The Convention on the Elimination all of Forms Discrimination Against Women-CEDAW 1979), yang menyatakan bahwa perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap penyediaan air sebagai hak perempuan, demikian juga dalam pasal 24 The Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas air minum yang bersih. Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air dikategorikan sebagai essential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak social antara pemerintah dan masyarakat. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dimana negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya konsumsi air, variasi musim, kerusakan lingkungan dan pencemaran menyebabkan air menjadi langka baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter kubik per tahun per kapita. Namun ketersediaan tersebut tidak merata di setiap pulau. Sebagai contoh pulau Jawa ketersediaan air per kapita per tahun hanya 1750 m3, masih di bawah standar kecukupan yang sebesar 2000 m3 per kapita per tahun dan kondisi ini diperkirakan akan semakin parah di tahun 2020 dimana ketersediaan hanya 1200 per kapita per tahun2. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan rusaknya daerah aliran sungai (DAS), yang dari terus meningkat dari tahun ke tahun3.

1 2

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, among@nusa.or.id, www.kruha.org Lihat Infrastruktur Indonesia, Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis, BAPPENAS 2003 3 DAS kritis pada tahun 1984 adalah 22 dan pada tahun 1999 menjadi 69

Kelangkaan air ini kemudian diperparah dengan ketersediaan infrastruktur air yang buruk. Selama lebih dari 30 tahun pembangunan infrastruktur sumberdaya air yang berfokus pada pembangunan jaringan irigasi, tidak serta merta menjadikan kondisi jaringan irigasi lebih baik. Sampai dengan tahun 2002 jaringan irigasi yang sebagian besar berada di Jawa (48,32%) dan Sumatra (27,13%), 22,4% diantaranya mengalami kerusakan. Dengan alokasi anggaran yang terfokus pada pembangunan irigasi, pada akhirnya juga memperkecil anggaran untuk infrastruktur air lainnya termasuk air bersih dan sanitasi. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai total asset infrastruktur air yang sampai akhir tahun 2002 adalah sebesar Rp 346,49 triliun yang terdiri Rp 273,46 triliun (78,92%) untuk irigasi, Rp 63,48 triliun (18,32%) untuk bendungan, bendung karet, dan embung, Rp 9,21 triliun (2,66%) untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai dan Rp 0,34 triliun (0,1%) untuk air baku4. Secara lebih spesifik investasi untuk sektor air bersih selama Pelita III sampai dengan Pelita VII dijelaskan pada tabel 1 berikut ini Tabel 1 Profil Investasi Sektor Air Bersih Pelita III-VII Investasi Air Minum Satuan Pelita III 0,741 611 Pelita IV 1,188 1.083 Pelita V 1,799 1.76 Pelita VI 1,338 1.38 Pelita VII 1,337 1.492

Investasi/Kapita/Tahun $US/Capita/Tahun Total Investasi/Pelita Juta $US

Sumber: AMPL, www.ampl.org Privatisasi sebagai Solusi Sampai awal dekade 80-an, model perencanaan yang sentralistik dan kepemilikan badan usaha sebagai bagian dari upaya akumulasi modal dan mendorong investasi masih mendominasi kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang. Kepercayaan terhadap intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada akhir 70-an akibat ekonomi negara-negara berkembang menderita akibat kejutan-kejutan eksternal antara lain melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat. Dampaknya adalah krisis utang luar negeri di berbagai negara berkembang dan terjadinya defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktifitas ekonomi di negara-negara berkembang tersebut, perhatian pun tertuju kepada kinerja dari berbagai sektor publik (khususnya badan usaha milik negara) dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Krisis juga mengakibatkan negara-negara tersebut menjadi sangat bergantung pada dukungan keuangan dari donor dan kreditor internasional yang kemudian juga meningkat pengaruhnya dalam penyusunan kebijakan (Bayliss 2006)5. Berbagai hal tersebut kemudian menjadi dasar untuk mempertanyakan dominasi negara dalam aktifitas ekonomi dan juga mempertanyakan kepemilikan pemerintah atas badan
4 5

Roestam Sjarief dalam Infrastruktur Indonesia, Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis, BAPPENAS 2003 Lihat Fabby Tumiwa dan Hamong Santono; Melepaskan Tanggung Jawab Negara demi Investasi: Gagasan dan Aktor dalam Privatisasi Listrik dan Air di Indonesia, 2006

usaha, sektor publik dikelola dengan buruk, beroperasi tidak efisien sehingga mengakibatkan defisit anggaran (budget deficits), dimana pelayanan yang diberikan tidak handal (unreliable) dan menyebabkan orang miskin tersisihkan (Kessler 2004). Dalam konteks inilah kemudian privatisasi dipandang sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang. Kebijakan privatisasi yang dimulai di Inggris dan AS kemudian diterapkan di banyak negara dan didukung oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, termasuk Bank Dunia melalui Structural Adjustment Program (SAP). Upaya untuk melakukan privatisasi juga dilakukan di sektor sumberdaya air. Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal dengan Dublin Principles). Dublin Principles berisi empat prinsip yang harus dikedepankan dalam kebijakan dan pembangunan di sektor sumberdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good. Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi.6 Dalam prakteknya lembaga keuangan internasional menempatkan reformasi sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program.7 Selain itu agen pembangunan bilateral (seperti DFID dan USAID) juga mendorong private sector participation kepada negara-negara penerima bantuan mereka.8 Dalam konteks Indonesia, tekanan global untuk melakukan privatisasi termasuk di sektor sumberdaya air, semakin mendapat legitimasi dengan kondisi penyediaan layanan air di Indonesia. Dari 41% total penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan, hanya 51,7% atau 20 % dari total populasi yang memiliki akses terhadap layanan PDAM, dan hanya 8 % masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memiliki akses terhadap air perpipaan yang disediakan oleh Unit Pengelola Sarana (UPS)9. Bahkan sampai dengan tahun 2005 hanya 21 PDAM yang berada dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang sehat, 117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM dalam kondisi kritis.

Pada tahun 1993 World Bank mengeluarkan kebijakan di sektor sumberdaya air (Water Resources Management Policy), dan menurut World Bank kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan Dublin Principles. Pada tahun 1998 Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kebijakan mereka di sektor sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul Bridging Troubled Water: Assessing the World Banks Water Resources Strategy yang dipulikasika tahun 2002. Sebagai respon dari laporan evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategy baru di sektor sumberdaya air (Water Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement).

Lihat IFI, Conditionality and Privatisation of Water and Sanitation Systems, Report for Water Aid August, 2003, www.wateraid.org 8 Jessica Budds and Gordon McGranahan, Are the debates on water privatization missing the point? Experience from Africa, Asia, and Latin Amerika, Environment & Urbanization Vol.15 No.2 October 2003. 9 Water Resources Management Towards Enhancement of Effective Water Governance in Indonesia; For 3rd World Water Forum-Kyoto Japan, 2003

Tabel 2 Jumlah Perusahaan Daerah Air Minum, Jumlah Pelanggan, Tingkat Produksi, Penduduk Terlayani dan Tingkat Kebocoran Air Minum, Tahun 2000 Propinsi Jumlah Jumlah Produksi Penduduk Tingkat PDAM Langganan Terlayani Kebocoran (buah) (pelanggan) (liter/detik) /UFW (%) 11 17 14 8 6 10 4 5 1 25 35 6 37 10 6 12 7 6 10 7 7 4 23 5 5 9 78191 417848 128077 81968 75224 143264 34166 52720 489352 719992 604865 79829 814094 201224 61364 54788 88064 43218 100842 138814 100416 35747 170731 32706 31265 43020 4435 6934 1315 2037 467 2531 522 525 19452 11695 4000 410 9072 1904 289 308 1422 624 1138 1268 2029 270 2279 326 396 764 30 21 17 21 24 11 13 6 54 15 16 16 15 37 11 12 14 17 10 28 28 12 11 15 8 13 42 29 31 39 29 30 29 30 44 32 27 38 26 28.9 43.6 32 31 26 26 27 34 31 32 3 28 33

N Aceh D Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D I Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya

Sumber : PERPAMSI, Direktori 2000

Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa sebagian besar bahkan hampir seluruh PDAM cakupan pelayanannya masih di bawah 50%, dengan tingkat kebocoran antara 25-35 %. Buruknya

layanan air yang diberikan oleh PDAM tidak terlepas dari lingkaran setan yang dihadapi oleh PDAM itu sendiri. Gambar 1 Lingkaran Setan Penyediaan Layanan Air

Operational Ineficiency

Inadequate Maintenance Infrastructure Degradation Low Tariff Low cost recovery

Low service quality

Sumber: Alayn Mathys dalam Hadipuro; In Search for Pro-Poor Water Policy, 2003

Dalam konteks yang lebih luas kondisi penyediaan layanan air baik di perkotaan maupun pedesaan di Indonesia dijelaskan pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 3 Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Air Tahun Air Perpipaan Sumber Air Air dari sumber yang terlindungi dari limbah domestik 38,2 38,5 41,5 43,1 43,4 50,0 Air dari sumber terlindungi tanpa memperhatikan jarak dari limbah domestik 65,1 62,7 65,3 67,7 71,4 75,0 76,4 77,1 78,2 77,2 78,7

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

14,7 14,7 16,2 16,4 17,6 19,2 19,1 18,6 19,2 18,3 18,3

Sumber: Susenas, BPS 2003 Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa sumber air yang digunakan sebagian besar penduduk Indonesia bersumber dari sumber air terlindungi tanpa memperhatikan jarak dari limbah domestik. Baru 18 % penduduk yang mendapatkan air yang berasal dari air perpipaan. Ironisnya sejak tahun tahun 1992 sampai 2002, perkembangan penyediaan air melalui perpipaan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Pada sisi yang lain, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi target 10 Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Untuk mengurangi separuh dari jumlah penduduk yang belum mendapatkan layanan air minum membutuhkan investasi sebesar Rp 23 triliun, sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp 400 milyar/tahun.

Tabel 4 National Action Plan Air Minum 2003 Parameter Coverage Penduduk Terlayani Sambungan Rumah Kapasitas Produksi Investasi 2000 39% 33 juta 5,2 juta 94.000 l/detik 400 miliar/tahun 2015 69% 90 juta 15 juta 155.000 l/detik 23 triliun Gap 30% 57 juta 9,8 juta 61.000 l/detik +/- 17 triliun

Sumber: Rahmat Karnadi, BP SPAM Maret 2006 Globalisasi, buruknya kualitas layanan, dan keterbatasan anggaran untuk mencapai target MDGs menjadikan pelibatan sektor swasta (privatisasi) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kebijakan penyediaan air bersih saat ini. Paling tidak ada dua alasan dengan pelibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih, pertama adalah peningkatan kualitas layanan dan yang kedua adanya investasi untuk menutupi keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Dilihat dari sejarahnya pelibatan sektor swasta dalam penyediaan air minum bisa dibedakan atas dua model yaitu model privatisasi Inggris dan model privatisasi Perancis. Model Inggris merupakan model dimana sektor private menguasai penuh penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangkan model Perancis merupakan model dimana kepemilikan aset tetap berada pada publik sedangkan tangung jawab penyediaan layanan berada di tangan swasta. Model Perancis inilah kemudian yang diusulkan oleh Lembaga Keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan ADB dan banyak diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia dengan istilah Private Sector Participation (PSP). Beberapa bentuk partisipasi sektor swasta dalam penyediaan air bersih dan sanitasi antara lain adalah service contract, management contract, concession dan sebagainya. Tabel 4 menjelaskan beberapa bentuk privatisasi dan alokasi tanggung jawab dari bentuk-bentuk tersebut.

Tabel 5 Allocation of Key Responsibilities Under The Main Private Sector Participations Options Option Service Contract Management Contract Lease Asset Ownership Public Public Public Operations Capital Commercial Duration and Investment Risk Maintenance Public and Public Public 1-2 years Private Private Public Public 3-5 years Private Public Share

8-15 years Concession Public Private Private Private 25-30 years BOT/BOO Private and Private Private Private 20-30 public years Divestiture Private or Private private private Indefinite Private and (maybe Public limited by license) Sumber: Selecting an Option for Private Sector Participation, World Bank 1997 Kebijakan Pemerintah Dalam Penyediaan Layanan Air Bersih Dengan berbagai persoalan yang dihadapi dalam penyediaan layanan air, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia saat ini memang diarahkan untuk melibatkan sektor swasta ataupun mendorong masuknya sektor swasta dalam penyediaan layanan air. Beberapa kebijakan tersebut antara lain adalah private sector participation (PSP), korporatisasi PDAM, regionalisasi PDAM. 1. Private Sector Participation (PSP) Seperti diuraikan di atas, PSP menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kebijakan penyediaan air bersih saat ini. Kebijakan ini secara tegas tertuang dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, PP No.16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dan Peraturan Menteri PU No.294/PRT/M2005 tentang Badan Pendukung Sistem Penyediaan Air Minum. Kebijakan PSP juga tertuang dalam Urban Water Supply Policy Framework yang disusun oleh Bank Dunia bekerjasama dengan BAPPENAS tahun 1997. Salah satu alasan yang mendasari munculnya kebijakan PSP ini adalah kebutuhan investasi yang besar dalam upaya meningkatkan pelayanan PDAM. Kebutuhan investasi yang besar tersebut juga tidak terlepas dari buruknya kinerja keuangan PDAM yang disinyalir akibat

tariff rata-rata yang dibawah biaya produksi (lihat gambar 1 lingkaran setan penyediaan air bersih) Tabel 6 Perbandingan antara Tariff Rata-Rata dan Biaya Produksi PDAM di beberapa Kota Besar di Indonesia Kota Biaya Produksi dan Pemeliharaan (Rp/m3) 797,488 240,110 1026,623 1666,543 106.978 606,236 Tarif Rata-Rata (Rp/m3) 335 300 470 630 400 300 Kategori

Medan Bandung Surabaya Denpasar Makasar Semarang

Sehat Tidak sehat Sehat Kurang sehat Tidak sehat Tidak sehat

Sumber: Departemen PU 2005 dan Analisa Data Sekunder Dari tabel 5 di atas terlihat bahwa di beberapa kota di Indonesia, tariff rata-rata air bersih memang dibawah biaya produksi dan pemeliharannya. Hanya PDAM Kota Bandung yang memiliki tariff di atas biaya produksi. Namun yang cukup menarik adalah meskipun biaya produksi lebih besar dari tariff rata-rata tidak berarti bahwa kondisi PDAM secara keseluruhan tidak sehat, demikian pula sebaliknya. Tabel 7 Beberapa PDAM yang Dikategorikan Sehat Kota/Kabupaten Kab. Padang Panjang Kab. Magelang Kota Surakarta Kota Madiun Kota Bitung Biaya Produksi dan Pemeliharaan 209,04 534,30 430,30 328,04 1137,70 Tariff 300 305 225 280 600 Pinjaman 34.083.417.310 7.754.804.000 Cakupan Pelayanan 63 91 49 61 56

Sumber: Departemen PU 2005 dan Analisa Data Sekunder

Dari tabel 6 terlihat bahwa PDAM yang sehat tariff airnya juga masih berada di bawah biaya produksi dan pemeliharaan (hanya PDAM Kab. Padang Panjang yang memiliki tariff di atas biaya produksi dan pemeliharaan). Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa tariff rata-rata di kebanyakan PDAM berada di bawah biaya produksi dan pemeliharaan. Namun hal tersebut tidak serta merta menjadikan PDAM tidak dapat dikelola dengan sehat. Terkait dengan kebijakan PSP, ada tiga hal yang sangat terkait dengan upaya peningkatan pelayanan, pertama adalah meningkatkan kualitas layanan yang ada, yang kedua adalah upaya untuk memperluas akses layanan, dan ketiga adalah pengembangan daerah layanan baru. Dengan demikian, upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan layanan air memang lebih ditujukan untuk memperluas layanan dan pengembangan daerah layanan baru akibat keterbatasan anggaran. Hal lain yang juga perlu dicermati terkait dengan kebijakan PSP adalah bentukbentuk kerjasama antara pemerintah dan swasta seperti yang tertuang dalam tabel 4. Dengan memecah (unbundling) industri penyediaan air minum, maka keterlibatan sektor swasta dapat dilakukan dalam semua bagian industri, baik supply air baku, water treatment plan, supply air olahan, dan distribusi. Dan juga dapat dilakukan dalam semua bentuk partisipasi sektor swasta seperti service contract, management contract, BOT/BOO, maupun konsesi. Permasalahannya adalah dengan melihat kebutuhan investasi yang besar di sektor penyediaan air bersih maka pilihan terhadap partisipasi sektor swasta menjadi sangat terbatas. Investasi swasta hanya dimungkinkan jika bentuk kerjasama yang dilakukan adalah BOT/BOO atau konsesi. Sehingga apabila pilihan yang diambil adalah management contract, kontrak layanan, ataupun lease contract kebutuhan akan investasi tetap berasal dari pemerintah. Pada sisi yang lain, harus diakui bahwa partisipasi sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Lebih kurang ada 20 proyek kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih.

10

Tabel 8 Project PSP yang sedang berjalan di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Model dan Lokasi BOT Medan Konsesi Batam BOT Jambi BOT Palembang BOO Serang Utara Konsesi Jakarta Bagian Timur JO Cisadane BOT Serpong BOT Lippo Karawaci BOO Bintaro Jaya BOT Cikampek BOO Bekasi BOO Hyundai Industrial Area BOO Kota Legenda BOO Bukit Cikarang Indah BOT Bawen BOT Kabupaten Sidoarjo BOT Badung & Denpasar BOT Samarinda Konsesi Jakarta Bagian Barat Total Investasi (million) US$ 5 US$ 50 US$ 2 US$ 5 US$ 5 US$ 225 US$ 2,5 US$ 10 US$ 10 US$ 0,5 US$ 2,5 US$ 5 US$ 2,5 US$ 10 US$ 10 US$ 2,5 US$ 10 US$ 5 Periode 2000-2025 1996-2021 1996-2021 1998 1993-2018 1997-2022 1998-2023 1997-2022 1999-2024 1980-2005 2000-2025 1993-2018 1994-2019 1995-2020 1998 1998-2023 25 tahun 2002-2022 1997-2022 Investor Lyonnaise Des Eaux Cascal BV &Bangun Cipta Sarana PT. Noviantama PT. Bangun Cipta Sarana PT. Sauh Bahtera Samudra PT.Thames PAM Jaya Tirta Cisadane Bintang Jaya Lippo Karawaci Pembangunan Jaya PT WATTS PT.Kemang Pratama PT. Cikarang Permai PT. Bukit Indah APAC INTI PT. Vivendi PT. Tirta Artha Buana WATTS Lyonnaise Des Eaux (PT.Palyja)

Dari tabel di atas terlihat bahwa PSP dala penyediaan air bersih sudah dilakukan sejak tahun 1993. Kemudian karakteristik dari PSP tersebut di atas adalah berada di daerah industri ataupun kota besar dengan model kerjasama yang sebagain besar dilakukan adalah BOT. Dari tabel tersebut di atas dapat diturunkan untuk melihat dampak dari PSP terhadap kinerja PDAM secara keseluruhan. Tabel berikut menjelaskan kondisi PDAM secara keseluruhan yang sudah melakukan PSP.

11

Tabel 9 Kondisi PDAM yang sudah melakukan PSP PDAM Kota Medan (Lyonnaise Des Eaux) Kota Jambi (PT. Noviantama) Kota Palembang (PT. Bangun Cipta Sarana) Kota Jakarta (Palyja dan TPJ) Kota Batam (Cascal BV &Bangun Cipta Sarana) Kabupaten Semarang (APAC INTI) Kabupaten Purwakarta (WATTS) Kabupaten Sidoarjo (PT. Vivendi) Kabupaten Badung (PT. Tirta Artha Buana) Kota Denpasar (PT. Tirta Artha Buana) Kota Samarinda (WATTS) Sumber: Departemen PU 2005 Kondisi Sehat Kurang sehat Tidak sehat Kurang sehat Sehat Kurang sehat Kurang sehat

Dari tabel 8 di atas menunjukkan tidak ada bukti nyata bahwa dengan privatisasi ataupun private sector participation (PSP) dapat meningkatkan kinerja PDAM. Hanya PDAM Kota Medan dan Kabupaten Sidoarjo yang berada dalam kondisi sehat. Kondisi ini sesuai dengan beberapa studi yang pernah dilakukan, seperti studi yang dilakukan oleh Willner dan Parker (2002)10 yang menyatakakan bahwa it appears from empirical evidence that a change of ownership from public to private is not necessarily a cure for an under-performing organisations. Kondisi ini juga diakui oleh IMF dan World Bank. IMF menyatakan bahwa It cannot be taken for granted that PPPs are more efficient than public investment and government supply of servicesMuch of the case for PPPs rests on the relative efficiency of the private sector. While there is an extensive literature on this subject, the theory is ambigious and the empirical evidence is mixed..11. Sedangkan World Bank menyatakan World Bank officials have now decided it doesnt matter so much whether infrastructure is in public or private hands12.

Lihat Hall dan Lobina dalam The Relative Efficiency of Public and Private Sector Water, www.psiru.org Ibid 12 Ibid
10 11

12

World Development Movement13 dalam laporannya juga menyimpulkan bahwa, most private contracts, notably lease and management contracts, involve no investment by the private company in extensions to unconnected households, concession contracts do involve investment by private companies to extend the network; however, the investment commitments agreed when these contracts are created are invariably revised, abandoned or missed. 2. Regionalisasi PDAM Kebijakan lain yang juga sedang dikembangkan oleh Pemerintah adalah regionalisasi PDAM. Kebanyakan PDAM di Indonesia memiliki jumlah sambungan di bawah 10.000 koneksi. Dalam Urban Water Supply Sector Policy Framework (Bappenas, 1997), dijelaskan bahwa many examples throughout the world show that water supply services can efficiently be provided by public or private companies that serve areas much larger than municipal territories, or even cover the entire national territory. Dengan demikian salah satu tujuan dari regionalisasi PDAM adalah untuk membuat PDAM beroperasi lebih efisien. Secara teoritis, banyak definisi tentang regionalisasi seperti yang disampaikan oleh American Work Association (1979)14, regionalization refers to large, physically united systems or coordinated management of two or more management system. Sedangkan Whitlatch dan Re Velle (1990)15 menyatakan bahwa regionalization is the integration or coordination of the physical, economic, social, information, or personnel structure, of water resources project to better (address) national, regional, and local societal objectives and constraints. Jika dikaitkan dengan kebijakan PSP, kebijakan regionalisasi adalah salah satu upaya untuk menarik sektor swasta. Hal ini bisa terlihat dalam Selecting an Option for Private Sector Participation (World Bank, 1997), dimana dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa Yet smaller municipalities have just as much need for better water and sanitation services and can also benefit from private participation. But their financial, economic, institutional, and technical conditions present difficult problemsand smaller systems offer fewer opportunities to exploit economies of scale, making it harder for private sector to reduce operating costs and achieve operating efficienciesseveral small towns can be grouped into a single service area large enough to provide the economies necessary to attract private investment while keeping tariff affordable. Dengan melihat kondisi PDAM saat ini, pada dasarnya tidak semua PDAM kecil (< 10.000 koneksi) beroperasi dengan tidak efisien. Tabel 9 di bawah ini mencoba membandingkan kondisi PDAM besar dan kecil.

13 Pipe Dreams; The Failure of the private sector to invest in water services in developing countries, March 2006, www.world-psi.org

14

Lihat Janice A. Beecher, et al, The Regionalization of Water Utilities: Perspectives, Literature Review, and Annotated Bibliography, The National Regulatory Research Institute, The Ohio State University, July 1996 15 Ibid

13

Tabel 10 Perbandingan Jumlah sambungan untuk PDAM yang dikategorikan sehat PDAM Besar Kota Medan Kab. Bogor Kota Magelang Kota Surabaya Jumlah Sambungan (SR) 266.402 67.952 18.642 255.536 Kondisi PDAM Kecil Jumlah Sambungan (SR) Kondisi

Sehat Sehat Sehat Sehat

Kota Padang 4.350 Panjang Kota Bitung Kab. Pati Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah) 10.658 5.979 5.687

Sehat Sehat Sehat Sehat

Sumber: Departemen PU 2005 Dari table 9 di atas menunjukkan bahwa tidak semua PDAM kecil beroperasi secara tidak sehat, demikian pula sebaliknya dimana tidak semua PDAM besar beroperasi secara sehat. Dengan demikian biasa dikatakan bahwa kebijakan regionalisasi untuk PDAM memang lebih diarahkan untuk meningkatka skala ekonomi PDAM sehingga dapat menarik bagi private sector untuk terlibat dalam penyediaan layanan air. Upaya Pemecahan Masalah Penyediaan Air Bersih di Indonesia Dari uraian sebelumnya, harus diakui bahwa permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan layanan air bersih sangat komplek. Keterbatasan anggaran, inefisiensi layanan, kelangkaan air, intervensi politik merupakan sebagian dari masalah-masalah yang dihadapi oleh PDAM. Permasalahan-permasalahan tersebut pada dasarnya muncul akibat rendahnya investasi public untuk penyediaan layanan air di masa yang lalu, dimana pembangunan infrastruktur sumberdaya air lebih difokuskan pada infrastruktur yang mendukung pembangunan pertanian. Dengan kondisi demikian pelibatan sector swasta dalam penyediaan layanan air memang menjadi salah satu alternative untuk mengatasi permasalahan keterbatasan anggaran dan inefisiensi layanan. Namun pada sisi yang lain, bukanlah persoalan mudah untuk menarik sector swasta untuk terlibat dalam penyediaan air bersih yang disebabkan karakteristik pembangunan infrastruktur, dan keterbatasan pilihan atas PSP itu sendiri. Selain itu sampai saat ini belum ada bukti empiric yang menunjukkan bahwa penyediaan layanan air oleh swasta selalu lebih baik dari sector public.

14

Berdasarkan kondisi yang ada, kebutuhan atas sumber-sumber pembiayaan alternative sangat diperlukan. Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sumber pembiayaan tersebut adalah (1) Penghapusan hutang PDAM, hutang PDAM sampai dengan tahun 2002 sebesar Rp. 4,032 triliun sedangkan hutang yang belum jatuh tempo adalah sebesar Rp 2,63 triliun. (2) Enterprise fund, dalam konteks penyediaan air bersih, ada dua sumber pembiayaan utama yaitu dari pemerintah dan user fee. Enterprise fund merupakan dana yang berasal dari user fee. Dengan demikian dana yang berasal dari user fee harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan PDAM. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata kelola layanan. Upaya ini harus diawali dengan perubahan cara pandang dimana penyediaan air bersih harus dipahami sebagai bagian dari kontrak social antara pemerintah dengan masyarakat. Sehingga ada kewajiban hukum pemerintah untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan air masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan karena asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan sector swasta dalam penyediaan layanan air tidak semuanya benar. Bahwa sebagian besar tariff PDAM berada di bawah biaya produksi dan kenyataan bahwa kebanyakan PDAM beroperasi dengan jumlah koneksi di bawah skala ekonomi. Namun dengan kondisi tersebut bukan berarti bahwa semua PDAM beroperasi secara tidak sehat. Meskipun sangat sedikit sekali PDAM yang beroperasi dengan sehat, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pada dasarnya sector public mampu menyediakan air bagi masyarakat. Dengan demikian yang dibutuhkan bukan hanya upaya untuk meningkatkan kualitas dan perluasan layanan dengan mengedepankan partisipasi sector swasta, tetapi juga upaya-upaya peningkatan kualitas dan perluasan layanan yang didasarkan atas peningkatan kemampuan dan kapasitas dari penyedia layanan itu sendiri. Dengan perubahan cara pandang tersebut diharapkan ada perubahan terhadap bagaimana utilitas layanan air harus dikelola. Banyak model terhadap pengelolaan penyediaan layanan air, salah satunya adalah memisahkan antara kepemilikan dengan manajemen (korporatisasi). Namun sekali lagi, tanpa ada perubahan cara pandang terhadap penyediaan air bersih maka korporatisasi juga tidak akan berjalan dengan baik. Korporatisasi juga harus diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Penyediaan air di Brazil merupakan salah satu contoh dari korporatisasi yang juga diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Dengan korporatisasi diharapkan juga akan mendorong munculnya enterprise fund. Model pengelolaan lain adalah Public Public Partnerships (PuP). . Meskipun tidak ada definisi mutlak soal PUPs namun secara umum PUPs dapat dibedakan menurut type partner yang terlibat dan tujuan dari PUPs itu sendiri. Tabel di bawah ini menjelaskan type-type dari partner yang terlibat

15

Tabel 11 Typology of PUPs according to types of partner

Type Otoritas Publik-Otoritas Publik Otoritas Publik-Masyarakat Development Partnership Internasional PUPs

Sub Type Inter-Municipal Government-Municipal Otoritas Publik-Masyarakat Otoritas Publik-NGOs Otoritas Publik-Serikat Pekerja Otoritas publik negara berpendapatan tinggiOtoritas publik negara berpendapatan rendah Public authorities from different countries Public authorities from neighbouring countries

Sumber: Hall, Public-Public Partnerships in Health and Essential Services, July 2005, www.psiru.org

Model lain yang juga bisa dikembangkan adalah community-public partnership, dimana air dan infrastruktur disediakan dan dibangun oleh pemerintah sedangkan masyarakat yang mengelola dan memelihara infrastruktur tersebut. Model ini pada dasarnya sudah dilakukan oleh kebanyakan PDAM melalui mekanisme hidran umum. Model ini pada dasarnya cukup membantu bagi kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan air.

16

17

You might also like