You are on page 1of 25

Resume Standar Akuntansi Internasional 16 Aset Tetap

Posted by Michael Simbolon on Januari 15, 2011 Tinggalkan sebuah Komentar


Tujuan
Tujuan dari standar ini adalah untuk mengatur perlakuan akuntansi aset tetap sehingga
pengguna laporan keuangan dapat memahami informasi mengenai investasi entitas yang
berupa aktiva tetap dan perubahan dalam investasi tersebut.

Pengakuan
Biaya dari suatu aset tetap harus diakui sebagai aset jika, dan hanya jika:
1. Besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut
akan mengalir ke entitas
2. biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

Standar ini tidak menetapkan satuan ukuran untuk pengakuan, yaitu apa saja yang merupakan
jenis aktiva tetap. Dengan demikian, pengambilan keputusan dibutuhkan dalam menerapkan
kriteria pengakuan bagi entitas tertentu.

Entitas mengevaluasi berdasarkan prinsip pengakuan semua biaya aktiva tetap pada saat
terjadinya. Biaya ini meliputi
1. biaya awal (untuk memperoleh atau membangun unit aktiva tetap), dan
2. biaya yang terjadi selanjutnya setelah perolehan (untuk menambah, mengganti bagian
aktiva tetap, dan pemeliharaannya.)

Pengukuran atas Pengakuan
Suatu aset tetap yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai aset harus diukur sebesar biaya
perolehan.

Elemen Biaya
Biaya dari suatu aset tetap terdiri dari:
1. biaya perolehan, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh
dikreditkan setelah dikurangi dengan diskon pembelian dan potongan lain
2. biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi
dan kondisi yang diinginkan agar aset sesuai dengan keinginan dan maksud
manajemen.
1. estimasi biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi asset.
Contoh biaya yang secara langsung terkait adalah:
1. biaya imbalan kerja (sebagaimana didefinisikan dalam IAS 19 Imbalan Kerja) yang
timbul langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap
2. biaya persiapan lokasi,
3. biaya pengiriman awal dan penanganan;
4. biaya instalasi dan perakitan;
5. biaya pengujian apakah aset tersebut berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil
penjualan setiap item yang diproduksi, dan
6. biaya/komisi profesional

Contoh biaya yang tidak termasuk biaya aset tetap adalah:
1. biaya pembukaan fasilitas baru,
2. biaya memperkenalkan produk baru atau jasa (termasuk biaya iklan dan kegiatan
promosi),
3. biaya untuk menjalankan usaha di lokasi baru atau dengan lingkup pelanggan baru
(termasuk biaya pelatihan staf), dan
4. administrasi dan biaya umum lainnya


Pengukuran Biaya
Biaya perolehan aset tetap adalah harga setara kas pada Tanggal pengakuan. Satu atau
beberapa jenis aset tetap dapat diperoleh dalam pertukaran untuk aktiva non-moneter, atau
kombinasi aktiva non-moneter dan moneter.

Biaya seperti aset tetap tetap diukur sebesar nilai wajar, kecuali
1. transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial, atau
2. nilai wajar aktiva yang diterima atau diberikan tidak terukur secara andal.

Model Biaya
Setelah pengakuan sebagai aset, suatu aset tetap harus dicatat sebesar biaya dikurangi
akumulasi penyusutan dan kerugian akumulasi penurunan.

Model Revaluasi
Setelah pengakuan sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara
andal harus dicatat sebesar jumlah yang dinilai kembali, yang nilai wajarnya pada tanggal
penilaian kembali tersebut dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi penurunan
nilai. Revaluasi harus dilakukan dengan secara teratur untuk memastikan bahwa jumlah
tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang akan ditentukan dengan menggunakan
nilai wajar pada tanggal neraca.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan dari bukti yang berbasis pasar dengan
penilaian yang biasanya dilakukan oleh penilai yang berkualifikasi profesional. Nilai wajar
asset tetap biasanya sebesar nilai pasar yang ditentukan oleh penilai.
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke
ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui di dalam
laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah
dilakukan sebelumnya dalam laporan laba rugi.
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba
rugi. Namun penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke dalam ekuitas pada
bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus
revaluasi untuk aset tersebut.

Penyusutan
Setiap bagian dari suatu aset tetap dengan biaya yang signifikan dalam hubungannya dengan
total biaya barang harus disusutkan secara terpisah. Penyusutan yang dibebankan untuk setiap
periode harus diakui dalam laporan laba rugi kecuali termasuk dalam nilai tercatat aktiva lain.

Penyusutan yang dibebankan untuk periode biasanya diakui dalam laporan laba rugi. Namun,
terkadang, manfaat ekonomi masa depan aset tetap diserap untuk memproduksi aset lainnya.
Demikian pula, penyusutan aktiva tetap dan peralatan yang digunakan untuk kegiatan
pembangunan dapat dimasukkan dalam biaya aset tidak berwujud. Nilai sisa dan masa
manfaat aset harus direview setidaknya setiap akhir tahun keuangan.

Penyusutan diakui walaupun nilai wajar aktiva tersebut melebihi jumlah yang tercatat sebagai
residu nilai aktiva selama tidak melebihi nilai tercatat. Perbaikan dan pemeliharaan aset tidak
meniadakan kebutuhan untuk depresiasi itu.

Tanah dan bangunan adalah aset dipisahkan dan dicatat secara terpisah, bahkan ketika
mereka diperoleh bersama-sama. Dengan beberapa pengecualian, seperti tambang dan situs
yang digunakan untuk TPA, tanah tersebut mempunyai masa manfaat terbatas dan karena itu
tidak disusutkan. Sedangkan bangunan memiliki masa manfaat yang terbatas, karena itu
merupakan aset depresiasi. Peningkatan nilai tanah di mana bangunan berdiri tidak
mempengaruhi penentuan nilai aset bangunan.

Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang digunakan harus mencerminkan manfaat ekonomi asset diharapkan
untuk dikonsumsi oleh entitas di masa depan.

Metode penyusutan yang diterapkan untuk aset harus direview minimum setiap keuangan
akhir tahun dan, jika ada telah terjadi perubahan signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi
manfaat ekonomi masa depan aset, metode harus berubah untuk mencerminkan pola
berubah. Perubahan tersebut harus dicatat sebagai perubahan estimasi akuntansi.

Berbagai metode depresiasi dapat digunakan untuk mengalokasikan nilai aset aktiva pada
secara sistematis selama masa manfaatnya. Metode ini termasuk
1. metode garis lurus,
2. metode saldo menurun, dan
3. metode unit produksi.

Metode tersebut diterapkan secara konsisten dari waktu ke waktu kecuali ada perubahan pada
pola konsumsi manfaat ekonomi aset di masa depan.

Nilai tercatat suatu aset tetap harus dihapus jika:
- pelepasan,
- tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari yang menggunakan
- pembuangan.

Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian pengakuan aktiva dan peralatan
harus dimasukkan dalam laba atau rugi ketika aset tersebut tidak lagi diakui. Keuntungan
tidak akan diklasifikasikan sebagai pendapatan.

Pembuangan suatu aset tetap dapat terjadi dalam berbagai cara (misalnya dengan penjualan,
dengan memasukkan ke dalam sewa pembiayaan atau sumbangan). Dalam menentukan
tanggal pelepasan item.

Penyingkapan
Laporan keuangan untuk setiap kelompok aktiva tetap harus mengungkapkan,:
1. pengukuran yang digunakan untuk menentukan jumlah tercatat bruto;
2. metode penyusutan yang digunakan;
3. masa manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan;
4. jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan (agregat dan akumulasi penurunan
nilai) pada awal dan akhir periode; dan
5. Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan:
- Penambahan
- Penjualan
- akuisisi melalui penggabungan usaha
- kenaikan atau penurunan yang dihasilkan dari revaluasi dan dari kerugian penurunan
nilai yang diakui
- penurunan nilai diakui dalam laporan laba rugi
- penyusutan
- selisih kurs bersih yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari mata uang
fungsional ke dalam suatu mata uang yang berbeda, termasuk penjabaran kegiatan usaha
asing ke mata uang penyajian entitas pelaporan;

(Sumber : Standar Akuntansi Internasional)





Revaluasi Asset tetap menurut standar akuntansi
Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan
PSAK No. 16 (1994) adalah dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK
No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau
model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut
terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model
biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan
dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model
biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang sudah ada sebelumnya.
Sedangkan pada model revaluasian, setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang
nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai
wajar pada tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan
keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara
material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.
Sedangkan dalam PSAK No.16 suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model
biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian
lebih lanjut mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat
pengecualian yaitu suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva tetap
sepanjang revaluasi tersebut dilakukan dengan mengikuti peraturan pemerintah. Dalam hal
ini peraturan pemerintah yang relevan adalah peraturan dibidang perpajakan. Kewajiban
tersebut diantaranya adalah pengenaan pajak penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap
sebagai hasil revaluasi dan pencatatan atas hasil revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini
dilakukan untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan apabila suatu entitas melakukan
revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan No.486/KMK/.03/2002
mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap dicatat dalam akun selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. Oleh karena itu salah satu pertimbangan penting
dalam melakukan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah bagaimana
dampak perpajakannya.
Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap
dalam rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan.
Suatu entitas yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau
tidak atas hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak
melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi beda
temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga pengaruh pajak
tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung.
Beberapa paragraf dalam PSAK 16 (2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada
saat revaluasian. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang
dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar. Jika
tidak ada nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan,
kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas dapat menggunakan pendekatan
penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih
lanjut mengenai bagaimana suatu entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar.
Bahkan dalam kasus penentuan nilai wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung
menyerahkan kepada profesi penilai. Sehingga dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas
laporan keuangan.
PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai
wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material
dari jumlah yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset tetap
yang mengalami perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu dilakukan revaluasi
setiap tahun. Sedangkan untuk perubahan nilai wajar yang tidak signifikan tidak perlu
dilakukan revaluasi setiap tahun. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi
setiap tiga atau lima tahun sekali.




Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas
pada saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu
aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset
yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari
kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara,
kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi
akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-
kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.
Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan
untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai
lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara
bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan
secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.
Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut
langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya
pernah diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi, maka terhadap
kenaikan aset tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan laba rugi sebesar nilai
penurunan yang diakui sebelumnya. Sisa nilai setelah sebagian diakui dalam laporan laba
rugi tersebut dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak
tangguhan perlu dihitung dan disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi
tersebut.
Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut
diakui dalam laporan laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah
dilakukan revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas maka
terhadap penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke ekuitas pada bagian
surplus revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat didebet adalah sebesar saldo
surplus revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan ke laporan laba rugi.

Dampak atas pajak penghasilan, jika ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat
hasil revaluasi harus diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau
penurunan revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau laporan
laba rugi mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.
Pada saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat
diperlakukan dengan salah satu cara yaitu:
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah
tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan
jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara
memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.
2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto Metode
ini sering digunakan untukbangunan setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar
jumlah revaluasian dari aset tersebut.
Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan
tersebut membentuk bagian kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam
mekanisme pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya.
Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas
dapat dilakukan pada saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat
pelepasan. Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan
penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih jumlah
penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian dengan jumlah
penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun pemindahan surplus revaluasi
tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui laporan laba rugi.





Periode transisi
PSAK 16 (2007) mengatur periode transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu
entitas yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan
kemudian memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset
tetap maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost).
PSAK ini juga mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai deem cost adalah
nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei
2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai
dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh
diakui sebagai deem cost.
Demikian juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini
belum diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi
seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.
Dalam kaitannya dengan PSAK 30 (2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan
tidak diatur secara jelas apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset
dilakukan revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai
PSAK 16 (2007) bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam
proses produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau
untuk tujuan administrasi dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
Selain difinisi tersebut, PSAK 16 (2007) juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus
direvaluasi seluruhnya secara bersamaan adalah merupakan kelompok aset yang memiliki
sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Karena itu aset tetap dari
leasing menurut penulis termasuk kategori Sebagai aset tetap.
PSAK 13 (2007) mengenai properti investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal
dilakukannya pngukuran setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat
dengan menggunakan model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung.
Kenaikan atau penurunan atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan laba rugi.






&v| ot; PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model
biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan
menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.
Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap
dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang
sudah ada sebelumnya.
&v| ot; Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan
bertujuan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan
dan nilai lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi
secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat
diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi
dimutakhirkan.
&v| ot; saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat
diperlakukan dengan salah satu cara yaitu disajikan kembali secara proporsional sehingga
dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah
revaluasi sama dengan jumlah revaluasian dandieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari
aset dan jumlah tercatat neto Metode ini sering digunakan untukbangunan setelah dieliminasi
disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut.


Referensi : Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pancasakti Tegal







REVALUASI ASET TETAP: SUATU TINJAUAN DARI ASPEK AKUNTANSI DAN ASPEK PERATURAN
PERPAJAKAN
Ditulis oleh Tarko Sunaryo
Tuesday, 26 August 2008

Pada tahun 2007 Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia
mengesahkan tiga Exposure Draft menjadi PSAK yaitu PSAK No 13 (revisi 2007) Properti Investasi,
PSAK No. 16 (revisi 2007) Aset Tetap dan PSAK No. 30 (revisi 2007) Sewa. Ketiga PSAK tersebut
berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1
Januari 2008. Ketiga PSAK tersebut terutama membahas mengenai standar perlakuan akuntansi
untuk aset tetap. Pengesahan ketiga PSAK tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses konvergensi
PSAK terhadap International Financial Reporting Standard (IFRS). Oleh karena itu materi PSAK baru
tersebut diambil seluruhnya dari IFRS dengan beberapa penyesuaian karena ada beberapa nomor
IFRS yang belum diadopsi di dalam PSAK.

Dengan berlaku secara efektif ketiga PSAK tersebut maka PSAK lama yaitu PSAK No. 13 (1994)
Akuntansi untuk Investasi, PSAK No. 16 (1994) Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain, PSAK No. 17 (1994)
Akuntansi Penyusutan dan PSAK No. 30 (1990) Akuntansi Sewa Guna Usaha menjadi tidak berlaku
untuk penyusunan laporan keuangan sebuah entitas. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2008 Menteri
Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 (PMK
79/2008) tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. PMK
79/2008 ini menggantikan peraturan sejenis yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
486/KMK.03/2002.

Tulisan ini akan membahas mengenai revaluasi aset tetap terkait dengan adanya standar akuntansi
baru tersebut dan bagaimana hubungannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Revaluasi Aset Tetap Menurut Standar Akuntansi

Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan PSAK No. 16
(1994) adalah dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan
bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan
akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam
kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset,
suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan
akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi
yang sudah ada sebelumnya.


Sedangkan pada model revaluasian, setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang nilai
wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada
tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang
terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular
untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan
dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.

Sedangkan dalam PSAK No.16 (1994) suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya
dan tidak diperkenankan menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian lebih lanjut
mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat pengecualian yaitu
suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva tetap sepanjang revaluasi tersebut
dilakukan dengan mengikuti peraturan pemerintah. Dalam hal ini peraturan pemerintah yang
relevan adalah peraturan dibidang perpajakan. Kewajiban tersebut diantaranya adalah pengenaan
pajak penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap sebagai hasil revaluasi dan pencatatan atas hasil
revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini dilakukan untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan
apabila suatu entitas melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan
No.486/KMK/.03/2002 mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap dicatat dalam
akun selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. Oleh karena itu salah satu
pertimbangan penting dalam melakukan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah
bagaimana dampak perpajakannya.

Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap dalam
rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan. Suatu entitas
yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau tidak atas hasil revaluasi
untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak melaporkan hasil revaluasian tersebut
untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan
fiskalnya sehingga pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung.

Beberapa paragraf dalam PSAK 16 (2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada saat
revaluasian. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan
oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar. Jika tidak ada nilai wajar
karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari
bisnis yang berkelanjutan, entitas dapat menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya
pengganti yang telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih lanjut mengenai bagaimana suatu
entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar. Bahkan dalam kasus penentuan nilai
wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung menyerahkan kepada profesi penilai. Sehingga
dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas laporan keuangan.

PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai wajar
dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material dari jumlah
yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset tetap yang mengalami
perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Sedangkan
untuk perubahan nilai wajar yang tidak signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi setiap tahun.
Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas pada
saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu aset tetap
direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang
memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset
yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan
bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu
entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap
sesuai dengan PSAK ini.

Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk
menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada
saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian (rolling
basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam
waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut
langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya pernah
diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi, maka terhadap kenaikan aset
tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan laba rugi sebesar nilai penurunan yang diakui
sebelumnya. Sisa nilai setelah sebagian diakui dalam laporan laba rugi tersebut dicatat sebagai
kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak tangguhan perlu dihitung dan
disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi tersebut.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut diakui
dalam laporan laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah dilakukan
revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas maka terhadap
penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke ekuitas pada bagian surplus
revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat didebet adalah sebesar saldo surplus
revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan ke laporan laba rugi.

Dampak atas pajak penghasilan, jika ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat hasil
revaluasi harus diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau penurunan
revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau laporan laba rugi
mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.

Pada saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan
dengan salah satu cara yaitu:
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto
dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode
ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan
biaya pengganti yang telah disusutkan.

2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah dieliminasi
disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk
bangunan.

Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan
tersebut membentuk bagian kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam
mekanisme pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.

Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat
dilakukan pada saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan.
Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan penggunaan aset oleh
entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan
berdasarkan nilai revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset
tersebut. Namun pemindahan surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak
melalui laporan laba rugi.

Periode transisi

PSAK 16 (2007) mengatur periode transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu entitas
yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian
memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetap maka nilai
revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost). PSAK ini juga mengatur
bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai deem cost adalah nilai revaluasi pada saat PSAK
ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi
aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal
penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai deem cost.


Demikian juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini belum
diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo
selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.

Dalam kaitannya dengan PSAK 30 (2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan tidak diatur
secara jelas apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset dilakukan
revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai PSAK 16 (2007) bahwa
aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam proses produksi atau
penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi dan
diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Selain difinisi tersebut, PSAK 16 (2007)
juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus direvaluasi seluruhnya secara bersamaan adalah
merupakan kelompok aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal
entitas. Karena itu aset tetap dari leasing menurut penulis termasuk kategori sebagai aset tetap.

PSAK 13 (2007) mengenai properti investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal dilakukannya
pngukuran setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat dengan menggunakan
model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung. Kenaikan atau penurunan
atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan laba rugi.

Revaluasi Menurut Peraturan Perpajakan

Peraturan perpajakan yang terkait dengan dengan revaluasi aset tetap adalah Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk
Tujuan Perpajakan yang berlaku pada tanggal ditetapkan 23 Mei 2008. PMK 79 ini menggantikan
KMK 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002. Perbedaan pokok antara peraturan baru dengan
peraturan lama dijelaskan dalam paragraf berikut ini.

1. Cakupan aktiva yang dapat dilakukan penilaian kembali.
Dua alternatif diatur dalam PMK 79 ketiak perusahaan melakukan penilaian aktiva tetap yaitu: (a)
dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak
guna bangunan, atau (b) terhadap seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak
atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Sedangkan dalam KMK 486, penilaian kembali aktiva tetap dapat meliputi seluruh atau sebagian
aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian
kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Dengan demikian PMK 79 hanya memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah.
Sedangkan dalam KMK 486 perusahaan bebas untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan
penilaian kembali.

2. Jangka waktu penilaian
PMK 79 mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah
melewati jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir
yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Oleh karena itu jika pada tanggal 31 Desember 2008
perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan maka revaluasi tersebut
dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013.
Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan paling
banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama.

3. Dasar pengenaan pajak penghasilan final
Terhadap kenaikan hasil dari penilaian kembali aktiva tetap dikenakan pajak penghasilan final 10%.
Dalam PMK 79 diatur bahwa pengenaan PPh final 10% dihitung dari selisih lebih penilaian kembali
aktiva tetap diatas nilai buku fiscal semula. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa pengenaan Ph
final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kompensasi sisa kerugian fiscal dari tahun-tahun
sebelumnya yang masih dapat dipergunakan.

Dengan demikian, jika perusahaan masih mempunyai sisa kerugian fiscal dari tahun sebelumnya
maka tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai pengurang hasil revaluasi aset tetap.

4. Pembayaran PPh final secara angsuran
Terhadap PPh final yang terhutang, PMK 79 hanya memberikan waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan dalam hal terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan kondisi keuangan sehingga tidak
memungkinkan untuk melunasi sekaligus. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa besarnya
angsuran atas PPh final tersebut dapat dilakukan secara bertahap sampai dengan maksimal 2 (dua)
tahun untuk nilai PPh lebih dari Rp 2 triliun sampai dengan Rp 4 triliun, diatas Rp 4 triliun sampai
dengan Rp 6 triliun selama 3 (tiga) tahun, untuk nilai diatas Rp 6 triliun sampai dengan Rp 8 triliun
selama 4 (empat) tahun dan diatas Rp 8 triliun maksimal selama 5 (lima) tahun.

5. Pengenaan tambahan pajak penghasilan final atas pengalihan aktiva tetap yang direvaluasi
PMK 79 mengatur bahwa apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru sebagai hasil
revaluasian, perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang
telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas
nilai sisa buku fiscal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif
tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Demikian juga apabila perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat),
bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka
waktu 10(sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal
semula, dikenakan tambahan PPh final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh badan dalam negeri
yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Sedangkan dalam KMK 486 disebutkan bahwa dalam hal wajib pajak melakukan pengalihan aktiva
tetap yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat
baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh final sebesar 20% dari selisih lebih
penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian
fiscal tahun-tahun sebelumnya.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, baik PMK 79 maupun KMK 486 mengharuskan perusahaan
untuk mencatat selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku
komersial semula setelah dikurangi dengan pajak penghasilannya pada neraca komersial pada
perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap perusahaan
tanggal.

Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan
semakin diperketat dan cenderung menjadi kurang menarik. Penilaian kembali aktiva tanah menjadi
tidak menarik karena tidak dapat dikurangkan lagi dengan sisa rugi fiscal dan tidak ada manfaat tax
saving dari penyusutan. Sehingga perusahaan akan cenderung tidak melakukan penilaian aktiva
tanah sampai dengan terjadi realisasi pelepasan tanah.

Sedangkan aktiva tetap lainnya, manfaat yang ada adalah berupa tax saving berupa peningkatan
besaran total biaya penyusutan seiring dengan adanya kenaikan nilai aktiva tetap. Namun demikian
kenaikan tersebut juga diiringi dengan bertambahnya umur manfaat secara fiscal aktiva tetap
tersebut. Sehingga besar kemungkinan pada saat dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap akan
terjadi penurunan biaya penyusutan setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan apabila tidak
dilakukan penilaian kembali aktiva tetap. Selain itu dengan adanya kewajiban untuk melakukan
penilaian kembali terhadap seluruh aktiva tetap (kecuali tanah) dan jarak antara dua penilaian
kembali harus selama 5 tahun, maka perusahaan tidak bisa membuat kombinasi aktiva tetap
sehingga menghasilkan pilihan yang optimal pada saat dilakukan penilaian kembali. Oleh karena itu
penilaian kembali aktiva tetap akan menarik bagi perusahaan yang sedang mengalami penurunan
omset atau mempunyai aktiva tetap yang sebagian besar sudah mendekati habis umur fiskalnya
namun aktiva tersebut masih mampu berproduksi secara baik dan jangka panjang mempunyai
prospek bisnis yang lebih baik. Dalam hal ini perlu dilakukan perencanaan yang tepat kapan
dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan.

Model Biaya dan Model Revaluasi Untuk Properti Investasi Tidak Dapat Melakukan Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan?

Uraian berikut ini merupakan penjelasan mengenai keterkaitan antara peraturan perpajakan dengan
standar akuntansi.

Mengacu kepada penjelasan mengenai standar akuntansi dan peraturan perpajakan tersebut diatas,
dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai revaluasi aset tetap antara
standar akuntansi dengan peraturan perpajakan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah periode
kapan dapat dilakukan revaluasi, cakupan aset yang dapat dilakukan revaluasi dan bagaimana
mencatat perubahan nilai atas hasil revaluasi.
PSAK 16 (2007) tidak membatasi kapan dilakukannya revaluasi aset tetap. Revaluasi dapat dilakukan
setiap periode tertentu untuk kelompok aset tertentu. PSAK ini juga mengijinkan revaluasi dilakukan
secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda. Sedangkan dalam PMK 79 tahun 2008
penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan setelah melewati jangka waktu lima tahun
sejak penilaian terakhir menurut PMK tersebut. Demikian pula ketika dilakukan penilaian aktiva
tetap harus dilakukan untuk seluruh aktiva tetap dengan atau tanpa tanah, dan tidak dapat lagi
dilakukan secara parsial. Untuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease (PSAK No.30 2007),
ketika dalam kelompok aset tersebut dilakukan revaluasi menurut PSAK 16 2007 maka seluruh aset
tetap dalam kelompok tersebut seluruhnya termasuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease
tersebut juga direvaluasi. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan dimana revaluasi hanya
untuk aktiva tetap selain aktiva tetap leasing, karena aktiva tetap leasing perlakuan perpajakan
diatur berbeda. Dalam hal pencatatan, PSAK 16 (2007) mengharuskan perusahaan untuk memilih
model biaya atau model revaluasian sebagai kebijakan akuntansinya. Sedangkan dalam PMK 79
diatur mengenai kenaikan atas hasil penilaian kembali aktiva tetap sebagai bagian dari ekuitas.
Dalam perspektif standar akuntansi maka model pencatatan dalam PMK 79 tahun 2008 adalah
model revaluasian. Sedangkan untuk model biaya PMK 79 tahun 2008 tidak mengaturnya.

Oleh karena itu dengan terbitnya PSAK 16 (2007) maka terdapat dua tujuan yang berbeda dalam hal
revaluasi aset tetap, yaitu untuk tujuan pelaporan keuangan atau untuk tujuan perpajakan. Hal ini
berbeda dengan PSAK 16 (1994) dimana tidak ada perbedaan tujuan antara standar akuntansi
dengan peraturan perpajakan karena PSAK 16 (1994) yang sebenarnya melarang revaluasi, namun
memberikan ruang bagi revaluasi aset tetap yang dilakukan menurut ketentuan perpajakan. Karena
itu setiap kali melakukan revaluasi untuk tujuan laporan keuangan maka harus sesuai dengan
ketentuan perpajakan. Demikian juga sebaliknya, revaluasi untuk tujuan perpajakan juga akan
tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.

Bagi perusahaan yang memilih model revaluasian untuk kebijakan akuntansi setelah perolehan awal
maka dalam laporan keuangan aset tetap akan disajikan sebesar nilai wajar. Namun demikian dalam
mekanisme perpajakan revaluasi atas aset tetap tersebut tidak harus mengajukan permohonan
persetujuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk tujuan perpajakan.
Apalagi terdapat ketentuan dalam PMK 79 bahwa revaluasi untuk perpajakan hanya dapat dilakukan
setelah lewat lima tahun, maka setiap revaluasi aset tetap yang dilakukan dalam periode tertentu
yang disajikan dalam laporan keuangan tidak bisa diajukan permohonan kepada Dirjen Pajak. Selain
itu perbedaan dalam hal aset mana saja yang direvaluasi antara standar akuntansi dengan ketentuan
pajak juga menimbulkan kebutuhan akan revaluasi yang berbeda. Oleh karena itu mekanisme
koreksi fiscal dan pengakuan pajak tangguhan atas beda temporer yang muncul akan menjembatani
perbedaan tersebut.

Demikian pula mengenai revaluasi atas properti investasi maka akan terdapat perbedaan antara
standar akuntansi dengan peraturan perpajakan.. Dalam PMK 79 tahun 2008, tidak mengatur secara
spesifik mengenai properti investasi. Selain PMK tersebut, penulis belum menemukan peraturan lain
yang mengatur mengenai revaluasi aktiva tetap (properti investasi) untuk tujuan perpajakan.
Sehingga PMK 79 tahun 2008 menjadi satu-satunya peraturan mengenai revaluasi aset. Karena itu
apabila properti investasi akan dilakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan maka peraturan yang
relevan adalah PMK 79 tahun 2008 ini. Namun demikian terdapat permasalahan sehingga besar
kemungkinan revaluasi properti investasi untuk tujuan perpajakan tidak dapat dilakukan. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan pencatatan hasil kenaikan penilaian kembali aktiva tetap. Menurut
PMK 79 tahun 2008 hasil penilaian kembali akan dicatat dalam neraca sebagai selisih lebih penilaian
kembali aktiva tetap dan mengharuskan dilakukan penyusutan atas aktiva tetap tersebut. Hal ini
berbeda dengan PSAK 13 (2007), revaluasi atas properti investasi merupakan pilihan model sebagai
kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan secara konsisten. Dalam hal terjadi revaluasi maka
atas hasil revaluasi tersebut dicatat sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi
sehingga perlu dilakukan secara tahunan. Selain itu dengan model revaluasi, maka terhadap properti
investasi tersebut tidak dilakukan penyusutan. Perbedaan disusutkan atau tidaknya properti
investasi dapat direkonsiliasi sebagi koreksi fiscal, namun demikian perbedaan dalam mekanisme
mencatat kenaikan revaluasi merupakan perbedaan yang belum ada solusinya.

Demikian pula bagi perusahaan yang memilih model biaya sebagai kebijakan akuntansi untuk
pengukuran setelah tanggal perolehan aset tetap dan properti investasi akan menghadapi kendala
apabila bermaksud melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan.
Perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan PMK 79 tahun 2008 karena
neraca dalam laporan keuangan tidak akan pernah tercatat selisih kenaikan atas penilaian kembali
aktiva tetap sebagai komponen dalam ekuitas. Karena itu besar kemungkinan jika melakukan
revaluasi akan ditolak permohonannya oleh Dirjen Pajak. Alternatif dengan mengubah kebijakan
pengukuran dengan model revaluasian bukan merupakan langkah yang tepat.
Meskipun PSAK ini memperbolehkan untuk mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke
model revaluasian namun hal ini bukan merupakan alternatif yang bijak. Karena pilihan kebijakan
akuntansi adalah pilihan profesional yang sesuai dengan kondisi bisnis suatu entitas untuk
mengukur, mencatat dan melaporkan kondisi keuangannya. Beberapa perusahaan seperti industri
manufaktur lebih cocok memilih model biaya karena terkait dengan penilaian persediaan.

Pasal 9 PMK 79 Tahun 2008 Perlu Direvisi?

Revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar
perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan
model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana sebuah perusahaan mencatat dalam
neraca komersial selisih lebih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap. Pengaturan mekanisme
pencatatan tersebut yang menghambat perusahaan manufaktur yang menggunakan model biaya
untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Demikian pula dengan
perusahaan perhotelan misalnya, yang menggunakan model revaluasian untuk mencatat properti
investasinya akan mengalami kendala dalam hal yang sama. Bagaimana mencatat suatu transaksi
dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar
akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun
melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas
serta melibatkan semua stakeholdernya.

Model revaluasian dan model biaya dalam standar akuntansi keuangan (PSAK 16 2007 dan PSAK 13
2007) telah menyediakan standar yang jelas mengenai bagaimana mengukur, mencatat dan
melaporkan revaluasi aset tetap. Termasuk model biaya, meskipun dalam neraca tidak mencatat
mengenai harga aset tetap setelah revaluasian, namun dalam model tersebut terdapat mekanisme
bagaimana melaporkan nilai wajar suatu aset tetap. Karena itu, jika seandainya Pasal 9 PMK 79
tahun 2008 dihapuskan pun maka masih ada standar akuntansi yang pasti akan menjadi rujukan
pada saat menyusun laporan keuangan. Jikalaupun direvisi, maka salah satu alternatif yang bijaksana
adalah bagaimana membukukan selisih hasil revaluasi aset tetap dicatat dan dilaporkan harus sesuai
dengan standar akuntansi yang berlaku.
Hal ini berbeda ketika suatu entitas masih mengacu kepada PSAK 16 (1994) karena dalam PSAK
tersebut tidak memperkenankan model revaluasian kecuali mengikuti peraturan pemerintah yang
berlaku. Jika tidak diharuskan sesuai dengan Pasal 9 KMK 486/KMK.03/2002 maka atas hasil
revaluasi tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan.














Revaluasi Aktiva Tetap Dalam Perspektif Akuntansi dan Perpajakan
Minggu, 28 Juni 2009 09.00 WIB
Oleh: Iin Caratri
(Vibizmanagement Tax) Pada bulan Desember 2003, IASB (International Accounting
Standards Board) mengeluarkan IAS (International Accounting Standards) tentang
Property, plant and Equipment yang memberikan 2 alternatif untuk membukukan aktiva
tetap, yaitu dengan menggunakan model harga perolehan dan revaluasi. Model harga
perolehan mengharuskan aktiva tetap dicatat berdasarkan harga perolehannya dan tidak
membenarkan adanya revaluasi, sedangkan model revaluasi mengharuskan pembukuan
terhadap penurunan dan kenaikan nilai aktiva tetap atau revaluasi secara rutin. Kenaikan nilai
aktiva tetap dibukukan sebagai surplus revaluasi sebagai bagian dari ekuitas. Jika aktiva
tetap mengalami penurunan, selisih penurunan akan diakui sebagai rugi akibat penurunan
nilai aktiva tetap.

PSAK kemudian melakukan adopsi atas IAS 16 dengan mengeluarkan PSAK 16R, Aset
Tetap yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008. Sama seperti IAS 16, PSAK 16R
mengijinkan entitas-entitas bisnis menggunakan model revaluasi dan model harga perolehan
dalam menilai aktiva tetap.Penggunaan salah satu dari kedua model ini harus dilakukan
secara konsisten. Jika model revaluasi digunakan, maka minimal setiap tahun harus dilakukan
penilaian kembali aktiva tetap dengan menggunakan nilai wajar.

Revaluasi Aktiva Tetap
Revaluasi dapat diartikan sebagai penilaian kembali aktiva tetap yang dilakukan karena nilai
aktiva tetap dianggap tidak lagi mencerminkan nilai yang sesungguhnya. Revaluasi dapat
menyebabkan kenaikan atau penurunan nilai aktiva tetap. Nilai wajar yang digunakan dalam
menerapkan model revaluasi ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Tentukan nilai pasar aktiva yang bersangkutan
Jika tidak mendapat nilai pasar aktiva yang bersangkutan, tentukan nilai pasar aktiva sejenis
Jika tidak terdapat nilai pasar aktiva sejenis, lakukan penilaian dengan menggunakan
teknik-teknik penilaian yang diterima secara umum, atau dengan menggunakan jasa penilai
independen.

Perspektif Perpajakan
Sedangkan dalam perspektif perpajakan, UU No. 36 th 2008 pasal 3 ayat 1 menjelaskan
bahwa selisih lebih karena penilaian kembali merupakan obyek pajak penghasilan. Selain itu
UU ini juga menyebutkan bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan dalam
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi
ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
Kemudian dikeluarkan juga Peraturan menteri Keuangan - PMK RI No. 79/PMK. 03/2008
tanggal 23 Mei 2008, tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan
Perpajakan , yang berlaku efektif sejak tanggal 23 Mei 2008.
PMK ini menjelaskan bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan apabila
Direktorat Jendral Pajak (DJP) memberikan ijin. Aktiva tetap yang dapat direvaluasi adalah
aktiva tetap yang digunakan untuk operasi perusahaan yaitu aktiva tetap yang digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek pajak.
Revaluasi yang dimaksud hanya dapat dilakukan dalam sekali lima tahun dengan mengacu
kepada nilai pasar atau nilai wajar aktiva tersebut.

Yang perlu diingat dalam melakukan revaluasi berdasarkan PMK RI No. 79 ini adalah bahwa
aturan tersebut ditujukan untuk revaluasi aktiva tetap yang mengakibatkan bertambahnya
nilai aktiva tetap, bukan penurunan aktiva tetap. Setiap penambahan aktiva tetap yang berasal
dari revaluasi akan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%. Selain itu
revaluasi aktiva tetap berdasarkan UU dan PMK ini ditujukan untuk pelaporan perpajakan,
bukan pelaporan keuangan untuk tujuan komersial.


Iin Caratri/ET/vbm (dari berbagai sumber)























Revaluation Model
Filed under: Akuntansi Tags: depreciated replacement cost, model revaluasi, Penyusutan,
revaluasi, revaluasi naik, revaluasi turun, revaluation, revaluation model, transfer revaluasi surplus
michaelorstedsatahi @ 4:50 pm
Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) dengan PSAK No. 16 (1994) adalah
dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa
suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan
akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam
kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai
aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan
dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar
akuntansi yang sudah ada sebelumnya.
Revaluation model
Metode revaluasi yaitu metode pengukuran suatu aset tetap sesuai nilai wajarnya secara andal
pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.
Revaluasi atas aset tetap harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk
memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan
dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.
Penentuan nilai aset dengan menggunakan nilai wajar pada umumnya dilakukan oleh penilai
yang memiliki kualifikasi profesional. Untuk melakukan penilaian terhadap tanah dan
bangunan biasanya penilai menggunakan bukti pasar. sedangkan untuk penilaian aset tetap
lain seperti pabrik dan peralatan penilai akan menentukan sendiri nilai pasar wajarnya. Dalam
hal tidak ada pasar yang memperjualbelikan aset tetap yang serupa.
Penentuan nilai pasar wajar dapat dilakukan dengan pendekatan penghasilan atau biaya
pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach). Frekuensi
pelaksanaan revaluasi sendiri tergantung pada perubahan nilai wajar suatu aset. Jika nilai
wajar yang tercatat berbeda secara material dengan nilai revaluasi, maka revaluasi lanjutan
perlu dilaksanakan. Untuk aset tetap yang mempunyai perubahan nilai wajar secara fluktuatif
dan sifatnya signifikan, revaluasi dapat dilaksanakan tiap tahun. Sedangkan untuk beberapa
aset lain yang tidak mengalami perubahan secara fluktuatif dan signifikan, revaluasi tidak
perlu dilaksanakan setiap tahun. Untuk aset seperti itu revaluasi dapat dilakukan setiap tiga
tahun atau lima tahun.
Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas
pada saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu
aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset
yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari
kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara,
kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi
akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-
kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.
Revaluasi yang dilakukan pada sekelompok aset dengan kegunaan yang serupa dilaksanakan
secara bersamaan. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari perlakuan revaluasi secara
selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainnya pada saat yang berbeda-beda.
Namun revaluasi dalam kelompok aset dapat dilakukan secara bergantian (rolling) sepanjang
keseluruhan revaluasi dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi
dimutakhirkan.
Revaluasi naik ; Revaluasi turun
Pengakuan terhadap kenaikan atau penurunan nilai akibat revaluasi dilakukan langsung pada
kenaikan atau penurunan akibat revaluasi, kecuali jika revaluasi dilakukan pada tahun-tahun
berikutnya. Apabila revaluasi dilakukan untuk yang kedua kali dan seterusnya, terdapat
perlakuan yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah:
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke
ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui di dalam
laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah
dilakukan sebelumnya dalam laporan laba rugi.
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan
laba rugi. Namun penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke dalam ekuitas
pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus
revaluasi untuk aset tersebut.
Penyusutan
Untuk metode revaluasi, perlakuan terhadap akumulasi penyusutan aset tetap pada tanggal
revaluasi dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut:
1. Disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dan jumlah tercatat secara bruto
dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian.
Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberi indek untuk
menentukan biaya pengganti yang disusutkan (depreciated replacement cost).
2. Dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah
eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering
digunakan untuk bangunan
Penyusutan dalam aset tetap merupakan alokasi secara sistematis atas biaya pada saat awal
perolehan dan biaya setelah perolehan yang dapat dikapitalisasi. Penyusutan dilakukan
selama masa manfaat dari aset tersebut. Jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset adalah
sejumlah tercatatnya (baik model biaya maupun model revaluasi) dikurangi dengan nilai
residu aset tersebut. Jumlah tercatat tersebut disusutkan dengan pilihan berbagai metode
penyusutan. Metode penyusutan sendiri harus mencerminkan ekspektasi pada konsumsi
manfaat ekonomis masa depan dari aset oleh entitas. Beban penyusutan akan diakui dalam
laporan laba rugi periode tersebut kecuali jika beban tersebut dimasukkan ke dalam jumlah
tercatat aset lainnya.
Transfer revaluasi surplus
Sebagaimana dijelaskan sedikit diatas, Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba
ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat dilakukan pada saat aset tetap tersebut
dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan. Namun, sebagian surplus revaluasi
dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut
dilakukan sebesar selisih jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai
revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun
pemindahan surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui
laporan laba rugi.

You might also like