You are on page 1of 3

Komersialisasi Pendidikan Keluhan bertubi-tubi datang.

Orang tua mengadu tentang besarnya biaya sekolah negeri dan swasta yang sama-sama ganas melakukan pungutan. dengan tahun lalu, keluhan komersialisasi tahun ini lebih masif. Unjuk rasa masyarakat menggarisbawahi keluhan orang tua. Penegasan pemerintah, pungutan boleh dilakukan asal terkendali dan tidak komersial, bisa kontraproduktif. Penegasan itu dianggap bukan pelarangan, tetapi pembenaran. Sekolah negeri, juga perguruan tinggi negeri tidak kalah mahal dibandingkan swasta. Sebagai contoh, uang penerimaan siswa baru SMA negeri di Jakarta Timur Rp 7.375.000, sementara di SMA swasta di Jakarta pusat Rp 11.718.000. Istilah komersialisasi pendidikan marak belakangan ini. Berbeda Bangku sekolah dijualbelikan! Keresahan orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Meski Indonesia sudah merdeka lebih dari 60 tahun, belum pernah masalah pendidikan ditangani serius. Belum selesai soal ujian, muncul soal buku, kurikulum, merosotnya mutu, dan seterusnya. Memang setelah reformasi dibanding era sebelumnya, ada langkah maju setapak. Dulu baru sebatas penegasan pentingnya pendidikan (pengembangan SDM), sekarang penambahan alokasi 20 persen dari total anggaran nasional. Sampai tahun ini, baru terealisasi 8 persen. Pro dan kontra masih riuh, di antaranya daya dukung manajemen Depdiknas. Oleh karena itu, tak perlu kaget ketika Jepang mengalokasikan anggaran pendidikan 100 kali lipat dibanding Indonesia. Sebaliknya, harus kaget ketika Banglades, negara kecil dan miskin, mengalokasikan anggaran 2,9 persen dari anggaran nasional mereka; sementara Indonesia di era bersamaan hanya 1,4 persen. Pendidikan adalah tugas masyarakat dan pemerintah. Ketika praksis pendidikan tidak lagi dominan sebagai kegiatan sosial tetapi bisnis, hukum dagang ada rupa ada harga berkembang subur. Menyelenggarakan lembaga pendidikan serupa lembaga bisnis. Memang dari sana pula lembaga pendidikan swasta berkembang. Ketika pemerintah juga melakukan praktik yang sama, timbul pertanyaan, negeri dan swasta kok sama? Lembaga-lembaga sekolah negeri ikut ganas melakukan berbagai pungutan. Parodi pendidikan hanya menghasilkan air mata memperoleh pembenaran. ........ http://dewapancasakti.blogspot.com/2011/11/prosa-nonfiksi.html

30 April 2010
Tajuk Rencana Kompas; Evaluasi Ujian Nasional

Hasil ujian nasional tingkat sekolah menengah atas tahun ini mengejutkan. Persentase kelulusan melorot dibandingkan dengan tahun lalu. Ada 267 sekolah yang seluruh pesertanya tidak lulus. Kita hargai keinginan mengevaluasi. Mungkin ini pertama kali terjadi setelah dari tahun ke tahun kita sibuk berdebat pro dan kontra UN. Setidaknya inilah pertama kali terpikir mengevaluasi bentuk soal begitu hasil UN diumumkan. Dari mana evaluasi dimulai? Kita ambil pengantar Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh. Evaluasi harus menyeluruh, menyangkut praksis pengajaran, sarana belajar mengajar, dan soal ujian nasional. Faktor sarana sekolah dan praksis pendidikan di kelas sudah kita tahu plusminusnya. Sudah tahu dari mana perbaikan perlu dimulai. Plus-minus sudah ada perbaikan. Mengenai faktor soal UN, evaluasi hendaknya tidak hanya menyangkut bentuk pilihan berganda (multiple choice), tetapi juga materi soal yang diturunkan dari silabus. Terjawab mengapa soal UN memberi kesan mengecoh atau terasa aneh ketika nilai Bahasa Indonesia merosot tajam di berbagai tempat. Banyak kritik tentang bentuk soal pilihan berganda. Bentuk ini hanya mampu menilai aspek kognitif, padahal praksis pendidikan selain sisi kognitif juga menyangkut sisi naratif dan afektif. Bahkan, karena bentuk pilihan berganda itu, kegiatan belajar mengajar pun difokuskan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif. Yang ideal, sisi pilihan berganda dipadu esai. Pilihan berganda memungkinkan celah mengisi teka-teki silang. Esai sebaliknya, memberi kemungkinan pengukuran aspek afektif dan naratif. Akan tetapi, yang ideal tidak gampang dipraktikkan. Dalam konteks plus-minus itu perlu dilakukan pengujian hasil belajar, bahkan tes masuk secara massal. Yang dilakukan adalah membuat berbagai versi soalmemperkecil kemungkinan bocorserta membuat berbagai pertanyaan dan pernyataan dengan tingkat perbedaan sekecil mungkin. Tanpa keluar dari pedoman kurikulum dan skala kompetensi lulus, bentuk pilihan berganda dengan koreksi mesin pun dipilih sebagai cara yang lebih praktis. Melorotnya persentase kelulusan UN tidak serta-merta disebabkan faktor soal. Tidak ada salahnya masyarakat tahu proses penyusunan soal UN. Tujuannya memberikan keyakinan, bahwa arahan dan proses pembuatan soal ditempuh dengan benar. Kita tinggalkan faktor isu kebocoran sebagai isu UN. Butuh keterbukaan, pilihan UN ada di jalur yang benar. Dalam waktu bersamaan terus dilakukan perbaikan sarana-prasarana belajar, termasuk faktor guru sebagai kunci. Kita evaluasi UN yang melibatkan berbagai pihak dengan hati tulus, tidak dalam konteks memolitisasi kegagalan. Kita lakukan demi perbaikan praksis pendidikanbatu sendi dan batu penjuru mutu masa depan manusia, yang hari-hari ini tidak memperoleh contoh baik dari orangtua mereka. - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/30/04480235/tajuk.rencana

"Jangan Sampai Menyesal seperti Membanjirnya Buah Impor"


Rabu, 15 Februari 2012 13:09 | Berita Pendidikan Author: Admin |

Pemerintah akan tetap mempertahankan sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Keberadaan RSBI dibutuhkan untuk menghadapi membanjirnya sekolah-sekolah dari luar negeri yang akan masuk bersamaan dengan dimulainya era perdagangan bebas. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suyanto mengatakan hal itu seusai pembukaan Olimpiade Sains Nasional Sekolah Menengah Pertama RSBI Ke-3 di Kota Solo, Selasa (14/2). Kegiatan ini diikuti 1.336 siswa dari 334 SMP RSBI dari seluruh Indonesia. RSBI penting karena jika suatu ketika Indonesia kebanjiran sekolah kualitas unggul dari luar negeri, masyarakat akan menyesal seumur-umur seperti halnya sekarang kita lihat membanjirnya buah impor. Padahal, negara kita kaya buah-buahan, tetapi justru menjadi surganya buah impor. Itu karena kita tidak punya desain atau blue print untuk pengembangan buah agar menjadi raja di negeri sendiri. Begitu pula dengan pendidikan. RSBI harus menjadi raja di negerinya sendiri, papar Suyanto. Saat sambutannya, Suyanto bahkan mengimbau agar kepala sekolah, guru, dan orangtua yang menyekolahkan anaknya di RSBI melakukan tindakan mendukung RSBI, misalnya menggelar audiensi dengan DPR atau membuat artikel di media massa. Pihaknya sendiri akan berupaya meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa RSBI memiliki semangat citacita luhur membangun pusat keunggulan sehingga bisa menjadi contoh bagi sekolah lain di sekitarnya. Pada awal Januari 2012, Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk memohonkan uji materi atas Pasal 50 Ayat 3 UU Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi dasar penyelenggaraan RSBI. Kalau RSBI dihapus, kerjaan kita selama bertahun-tahun hilang begitu saja. Tolong asosiasi kepala sekolah, guru memikirkan cara untuk mempertahankan RSBI. Sekolah agar perhatikan betul bisa menerima 20 persen dari siswa miskin. Orangtua juga, suarakan bahwa sekolah di RSBI tidak rugi membayar kualitas, kata Suyanto. Menurut dia, pihaknya meminta agar RSBI diberi waktu untuk membuktikan diri. Pihaknya menetapkan RSBI punya waktu tujuh tahun untuk mempersiapkan diri menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Setelah waktu itu sekolah gagal mencapai persyaratan sebagai SBI, status sekolah akan dikembalikan seperti sebelumnya, yakni sekolah standar nasional. Salah satu guru SMP RSBI, Abdurrahman, mengatakan, semestinya semua sekolah yang termasuk RSBI harus terus didorong untuk menghasilkan kualitas lulusan yang baik. Ia mengakui, hal ini sangat bergantung pada cara pikir semua pihak, seperti kepala sekolah dan guru. (eki) Sumber : Kompas.com, 15 Februari 2012

You might also like