You are on page 1of 59

Asuransi Takaful Keluarga, Indonesia Brand Champion 2011 Written by Rusni on at 23:05

PT. Asuransi Takaful Keluarga (ATK) mengokohkan posisinya sebagai perusahaan asuransi syariah pilihan masyarakat Indonesia dengan diraihnya penghargaan INDONESIA BRAND CHAMPION 2011 Kategori The Best Customer Choice of Islamic Life Insurance yang diberikan oleh MarkPlus, Inc. Takaful adalah perusahaan asurasi syariah yang berkomitmen tinggi terhadap kehalalan transaksi keuangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, dengan hanya memasarkan produk-produk asuransi syariah sejak 24 Februari 1994 hingga saat ini. Categories: Artikel Menarik, asuransi syariah, Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, PT Asuransi Takaful Indonesia Share this post - Email This

PT Asuransi Takaful Indonesia


Assalamu'alaikum wr wb & salam kenal.

Dengan berlandaskan Al Quran surat Al Maidah ayat 2. Kami bertekad memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan risiko bagi umat dengan menawarkan jasa TAKAFUL dan keuangan syariah yang dikelola secara PROFESSIONAL, ADIL, TULUS dan AMANAH. Semua jenis asuransi SYARIAH ada di TAKAFUL Asuransi untuk pendidikan anak, investasi, pensiun DENGAN atau TANPA LINK, asuransi untuk kumpulan (kesehatan karyawan, pensiun). asuransi umum (kendaraan bermotor, rumah/ruko/apartement, pengangkutan, cargo, kebakaran dll) ada di Takaful. Maka mulailah sekarang juga BERHIJRAH ke TAKAFUL, asuransi pertama dan terbaik SYARIAH. Lebih Berpengalaman lebih Menguntungkan . . . Terima kasih & wassalam.
rusni_takaful@yahoo.com Ph : 081315256839 / 021 98615909

www.takaful99.blogspot.com, Www.asuransi-terbaik-syariah.blogspot.com dengan syariah hidup menjadi lebih berkah

Tentang PT Asuransi Takaful Keluarga


PT Asuransi Takaful Keluarga, asuransi pertama dan terbaik syariah Sekarang banyak asuransi berlabelkan syariah bermunculan, HATI2, jangan terjebak. Karena HANYA Takaful yang benar2 murni syariah : dari mulai pemilik modal, sumber dana, perusahaan, jenis/ragam asuransi, management s/d agent semua benar2 murni syariah, Islami. TAKAFUL, AMANAH dan PROFFESSIONAL, dengan niat memajukan perekonomian islam, pengemban amanah, dan tetap mengutamakan professional, semua jenis asuransi di kelola secara syariah, baik untuk pendidikan anak (yg tradisional & modern), asuransi kesehatan (untuk kumpulan, keluarga ataupun individu), asuransi jiwa, tabungan untuk hari tua, haji, dll TAKAFUL, asuransi syariah yang paling berpengalaman, dengan budaya islam sebagai culture dan agen2 yang amanah dan professional

Related Categories di JAKARTA



Asuransi Asuransi jiwa asuransi syariah investasi Jasa keuangan

Kategori Yang Berkaitan



Asuransi Asuransi jiwa Asuransi kesehatan syariah asuransi syariah asuransisyariah investasi -

Jasa keuangan

Apakah ini perusahaan anda? Ubah Sekarang Print halaman ini Link sponsor Mencari Jodoh Pria Asing Mencari Wanita Indonesia Untuk Menikah, Coba Sekarang. www.IndonesianCupid.com Hemat BBM, Kurangi Polusi Kewajiban kita menghemat perjalanan Cek info lalu lintas sebelum pergi lewatmana.com Info jaminan kerja asuransi Ratusan lowongan Kerja tersedia, Temukan Posisi impianmu sekarang! www.berniaga.com [23355525] Link sponsor Trading Forex yg Aman? Pilihlah yg benar & berijin Pialang Awas terjebak dgn regulasi Palsu! www.GainScope.com Cari program studi Anda Universitas, college dan sekolah di Perth, Australia www.pertheducationcity.com.au/id Bursa motor baru & bekas Merek, tipe, kondisi mulus Cek dan pilih sekarang! motor.tokobagus.com Rate Jual Beli LR Terbaik Bandingkan dengan changer lainnya Kami memiliki rate terbaik utk anda wsschanger.com "Menurut saya, listing di HotFrog adalah media yang ideal untuk seluruh perusahaan yang ingin mempromosi produk dan layanannya melalui internet" Gary Bryant, Accuweigh, Australia

Asuransi Takaful Indonesia

Dana Pensiun, Dana Pendidikan Anak, Dana Sakit Kritis, Dana Haji, Rawat Inap (Cashless), dan asuransi jiwa

Skip to content

Home Produk Dana Pendidikan (Takafulink Salam Cendekia)Dana PensiunDana Pendidikan (Fulnadi)Takafulink SALAMTakaful KeluargaTakaful Kecelakaan DiriTakaful UkhuwahTakaful Al KhairatTakaful Kecelakaan DiriTakaful Kecelakaan SiswaTakaful Wisata & PerjalananTakaful PembiayaanFulMedicareAsuransi Takaful Co-BrandingTakaful SafariTakaful Investa CendekiaFulprotekTakafulink Salam Dana AliaLandasan Konsultasi Landasan HukumFatwa MUITabarru Asuransi SyariahTips Memilih AsuransiTips Memilih Unit LinkTipe-tipe InvestorDisclaimer Simulasi Pendaftaran Agen Hubungi Kami

Sedekah Setiap Hari dan Puasa Senin-Kamis


Posted on 30 January 2012 by administrator

Republika, 24 Januari 2012 Sedekah Setiap Hari dan Puasa Senin-Kamis Ada joke di Asuransi Takaful Keluarga. Setiap kali mau menunaikan shalat Zuhur dan Ashar berjamaah, para jamaah melihat dulu apakah dirut ada atau tidak. Kalau dirut tidak ke luar kantor atau ke luar kota, berarti dirut yang menjadi imam. Hal itu diungkapkan Dirut Asuransi Takaful Keluarga Trihadi Deriyanto saat berbincang dengan wartawan Republika, Irwan Kelana, di kantornya, Jakarta, Rabu (18/1). Bagaimana lelaki yang akrab dipanggil Deri itu membangun roh spiritual di perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia itu? Apa hikmah yang sudah dipetiknya? Berikut penuturannya. Ada pemandangan yang menyejukkan hati setiap kali shalat Zuhur dan

Ashar berjamaah di kantor pusat Asuransi Takaful Keluarga, Mampang Prapatan, Jakarta. Yang menjadi imamnya adalah sang direktur utama, Trihadi Deriyanto. Barulah pada shalat Maghrib dan Isya berjamaah, yang memimpin adalah imam rawatib dan dirut menjadi orang kedua yang berada di belakang imam. Kami ingin menjadi role model bisnis syariah. Dan, hal itu kami mulai dari diri sendiri

Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur, PT PT. Asuransi Bringin Sejahtera Arthamakmur (BSAM) yang lebih di kenal dengan nama Bringin General Insurance adalah sebuah perusahaan Asuransi Umum Nasional yang didirikan oleh Yayasan Dana Pensiun PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) . Perusahaan tersebut didirikan pada tanggal 17 April 1989 berdasarkan akta notaris Muhaini Salim SH. Di Jakarta dengan no 121 dan disahkan dengan penetapan Menteri Kehakiman RI pada tanggal 3 Mei 1989 No.C2.4160.HT.01.01 Tahun 1989. Pada Tanggal 26 Agustus 1989 perusahaan memperoleh ijin lisensi Dagang dari Menteri Keuangan RI dengan pengesahan NO.KEP 128 /ILM/ 13/1989 tanggal 26 agustus 1989. Pada mulanya tujuan didirikannya Perusahaan Ansuransi Umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh dana pensiun PT Bank Rakyat Indonesia tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan perlindungan asset PT. Bank Rakyat Indonesia beserta nasabah PT. Bank Rakyat Indonesia yang menjadi agunan. Namun dalam perkembanganya , Bringin General Insurance telah memperluas pangsa pasarnya tidak sekedar di area pasar sendiri (Bank Rakyat Indonesia dan sekitarnya) melainkan juga melayani masyarakat luas, para pengusaha, perorangan , BUMN/D , Perusahaan Swasta asing/nasional maupun pemerintah.Pada Tanggal 8 Januari 1998 , Anggaran dasar perusahaan perseroan telah dirubah oleh notaris Siti Rubiah Zulhaimi , SH di Jakarta , dengan nomor perubahan 8 dan telah disahkan oleh Menteri kehakiman RI No.C2.4162.HT.01.04 Tahun 1998. pada tanggal 23 April 1998.
Kategori: Bank & Finansial / Asuransi

Alamat: D.P BRI Building 4 th Floor, Jl. Veteran II No. 15 Nomor Telepon: +62213840001 Nomor Fax: +62213457037, +62213442482

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering berhubungan dengan lembaga perbankan, baik untuk keperluan menyimpan uang maupun untuk keperluan meminjam uang. Dalam hal ini orang yang menyimpan uang disebut nasabah. (Dahlan Siamat dalam Mashudi dan Moch Chidir Ali, 2003:2). Banyak alasan yang membuat orang jadi nasabah bank, baik nasabah penyimpan maupun nasabah peminjam. Ditinjau dari segi nasabah penyimpan (penabung), alasan nasabah menyimpan uangnya di bank antara lain keamanan uangnya lebih terjamin dari pada disimpan sendiri di dalam rumah, selain itu nasabah mempunyai keuntungan berupa bunga, yang diterima nasabah setiap periode sesuai dengan besarnya uang yang di tabung di bank. Ditinjau dari segi nasabah peminjam, alasan nasabah meminjam di bank antara lain bunga yang relatif kecil dibanding jika nasabah meminjam uang pada lintah darat yang banyak terdapat di dalam masyarakat. Dengan berbagai alasan inilah maka banyak orang yang menjadi nasabah bank.

Keberadaan nasabah bagi pihak bank menjadi suatu kebutuhan karena sumber keuntungan bank berasal dari nasabah, baik yang berasal dari bunga pinjaman nasabah maupun yang berasal dari uang nasabah yang di tabung di bank yang kemudian dipinjamkan ulang oleh bank kepada nasabah lain. Dalam operasional usahanya dalam pinjam meminjam uang, setiap saat bank dituntut untuk menyediakan uang tunai. Sumber dana berasal dari bank itu sendiri (dana Intern), masyarakat luas (dana ekstern) dan dari lembaga lainnya. Uang tunai ini diperlukan untuk keperluan peminjaman uang kepada nasabah, keperluan memenuhi penarikan uang tunai yang dilakukan oleh nasabah serta untuk biaya operasional usahanya.

Dalam hubungannya dengan penyediaan uang tunai ini bank senantiasa menghadapi resiko, yang berupa pailit atau dilikuidasi, resiko kehilangan, kecurian, perampokan dan risikorisiko lain yang setiap saat dapat mengancam uang tunai tersebut. Apabila risiko ini menjadi kenyataan, maka bank akan mengalami kerugian. Dalam hal ini bank tidak mau menanggung kerugian itu sendirian. Untuk itu bank berusaha mengalihkan risiko-risiko itu kepada pihak lain yang bersedia untuk itu. Adapun pihak lain yang bersedia menanggung kerugian itu adalah Lembaga Penjamin Simpanan dan perusahaan asuransi.

Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya disingkat LPS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2009. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS bertanggung jawab membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun sisa simpanan yang tidak dijamin, akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Hal ini disebabkan bank yang melakukan kegiatan usaha adalah sebagai

peserta penjaminan. Dengan adanya pembayaran premi oleh bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan maka telah terjadi peralihan risiko dari bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan.

Pihak lain yang menjamin uang nasabah selain LPS adalah perusahaan asuransi. Jenis-jenis asuransi yang ditawarkan perusahaan asuransi bermacam-macam, diantaranya asuransi uang, yang merupakan jenis asuransi yang menyediakan diri untuk menanggung kerugian yang menimpa uang tunai. Untuk program asuransi uang, bank harus menjadi nasabah perusahaan asuransi yang menyelenggarakan asuransi uang tersebut. Adapun caranya dengan mengadakan penutupan asuransi uang. Dengan ditutupnya asuransi uang, maka jika terjadi kerugian atas uang tunai milik bank, maka akan mendapatkan penggantian dari perusahaan yang bersangkutan. Di dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dijelaskan ada 3 jenis asuransi yaitu asuransi kerugian, asuransi jiwa dan reasuransi.

Asuransi uang termasuk dalam asuransi kerugian, yang merupakan jenis asuransi yang menyediakan diri untuk menanggung kerugian yang menimpa uang tunai. Untuk program asuransi uang, bank harus menjadi tertanggung dari perusahaan asuransi yang menyelenggarakan asuransi uang tersebut. Adapun caranya dengan mengadakan penutupan asuransi uang. Dengan ditutupnya asuransi uang, maka jika terjadi kerugian atas uang tunai milik bank, maka akan mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi yang bersangkutan. Salah satu contoh kasusnya adalah perampokan mesin ATM Bank Rakyat Indonesia di kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Lampung pada tanggal 17 Juni 2009 pukul 03.00 WIB. (sumber: www.suaramerdeka.com, diunduh tanggal 30 Juli 2009)

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai asuransi uang dalam praktek perbankan, khususnya pada Bank Rakyat Indonesia. Untuk itu

penulis akan mengadakan penelitian akan hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Uang Pada PT Bringin Sejahtera Arta Makmur Perwakilan Lampung Oleh Bank Rakyat Indonesia Cabang Teluk Betung.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan perjanjian asuransi uang oleh Bank Rakyat Indonesia pada PT Bringin Sejahtera Arta Makmur? Untuk itu pokok bahasan penelitian ini meliputi: 1. Syarat dan prosedur perjanjian asuransi uang oleh Bank Rakyat Indonesia pada PT Asuransi Bringin Sejahtera Arta Makmur. 2. Hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian asuransi uang oleh Bank Rakyat Indonesia pada PT Asuransi Bringin Sejahtera Arta Makmur. 3. Pelaksanaan pemenuhan klaim ganti rugi yang berhubungan dengan uang.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi lingkup bidang ilmu dan lingkup pembahasan. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini membahas tentang perlindungan hukum terhadap uang tunai di bank oleh perusahaan asuransi. Sedangkan lingkup bidang ilmu ialah bidang hukum keperdataan khususnya hukum ekonomi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Maksud dan tujuan diadakannya penelitian adalah: 1. Tujuan Penelitian a. Untuk menganalisis syarat dan prosedur perjanjian asuransi uang oleh Bank Rakyat Indonesia pada PT Bringin Sejahtera Arta Makmur. b. Untuk menganalisis hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian asuransi uang oleh Bank Rakyat Indonesia pada PT Bringin Sejahtera Arta Makmur. c. Untuk menganalisis pelaksanaan pemenuhan klaim ganti rugi yang berhubungan dengan uang. 2. Kegunaan Penelitian a. Untuk menyumbangkan hasil penelitian kepada Universitas Lampung, khususnya yang berhubungan dengan bidang hukum perasuransian dalam praktek perbankan. b. Untuk memenuhi sebagian syarat yang diperlukan guna meraih gelar Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Advertisement

Home Personal Business Engineering Marine Liability Quotes News Laws Clauses

Learn More Training Claims Directory

Home Insurance News AAUI genjot sertifikasi agen asuransi umum

AAUI genjot sertifikasi agen asuransi umum


Tuesday, February 16, 2010, 20:22 Insurance News 6 comments

JAKARTA (Bisnis.com): Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) terus menggenjot sertifikasi agen asuransi umum dengan menggelar ujian di Jakarta dan Semarang dalam waktu dekat ini.

Sektor asuransi umum terus mengejar ketertinggalannya dari sektor asuransi jiwa dalam hal penanganan agen. AAUI mulai tahun lalu menggenjot ujian keagenan yang hingga akhir tahun sudah berhasil menghasilkan 2.800 agen berlisensi. Ketua AAUI Kornelius Simanjuntak mengatakan lisensi agen ini akan dilakukan bertahap. Paling tidak tahap awal ini dia mempunyai bahan ilmu pengenalan asuransi. Berikut-berikutnya kan kita bisa isi mereka dan setiap perusahaan sebenarnya mempunyai tanggung jawab untuk itu, jangan semua dibebankan ke asosiasi, katanya di Jakarta, hari ini. Ketua Bidang Pendidikan, Pengembangan dan Keagenan AAUI Budi Hartono mengatakan tahun 2010 regulator sempat meminta asosiasi untuk mencetak 7.500 orang yang kemudian direvisi menjadi 10.000 orang. Kalau 7.500 kami optimistis bisa, tetapi kalau 10.000 sepertinya kami perlu tenaga tambahan, tuturnya. Selain Jakarta dan Semarang, dalam waktu dekat AAUI akan kembali menggelar ujian keagenan di Jakarta, Makasar, Pontianak, dan Palembang. Di sektor asuransi jiwa, penataan agen sebagai ujung tombak industri jasa keuangan itu sudah semakin matang. Regulator dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) bahkan memberlakukan penghapusan lisensi sementara. Saat ini, sekitar 98.000 agen asuransi jiwa masih memegang sertifikat sementara (TLC), namun asosiasi optimistis angka itu akan segera ditekan dengan kebijakan penghapusan lisensi sementara tersebut. Asosiasi asuransi mencatatkan jumlah agen asuransi jiwa yang dari awal Januari telah mengantongi lisensi penuh (FLC) baru berkisar 41.000.

Tahapan pertama penghapusan lisensi agen yaitu setiap agen baru atau rookie agen yang mulai direkrut dan berpraktik sejak 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2008 berhak atas lisensi sementara dengan masa berlaku selama 6 bulan. Tahap kedua yakni setiap agen baru yang mulai direkrut dan berpraktik sejak 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2009 berhak atas lisensi sementara dengan masa berlaku 3 bulan. Industri sudah melewati tahap ketiga atau tahap terakhir yakni terhitung sejak 1 Januari 2010, lisensi sementara dihapuskan. Namun, pemerintah memperkenankan para agen memegang lisensi sementara dengan masa tenggang hingga 31 Maret 2010.(yn)

Senin, 15/02/2010 17:44:44 WIBOleh: Hanna Prabandari http://web.bisnis.com/keuangan/asuransi/1id161666.html

Share

Tags: AAUI, Agen Asuransi About the Author

IMAM MUSJAB has written 349 stories on this site.

6 Comments on AAUI genjot sertifikasi agen asuransi umum

purwati wrote on 26 March, 2010, 20:37

saya berminta mengikuti ujian sertifikasi keagenan. apa syaratnya dan mohon informasi kapan ujian sertifikasi keagenan dilaksanakan di jakarta atau di palembang. terimakasih. No. HP saya : 0858-40000-467. IMAM MUSJAB: hampir setiap bulan ada ujian ibu, tapi biasanya agen dikirim dan dibiayai oleh perusahaan asuransinya masing-masing

Rais wrote on 18 January, 2011, 9:08

sy mau nanya jadwal ujian sertifikaasi agenn asuransi umum utk thn 2011.

marsudi wrote on 26 February, 2011, 23:36

Maaf pak..sama dengan teman-teman yg lain..saya juga ingin menanyakan jadwal ujian sertifikasi agen asuransi di tahun 2011..thanks

Lukman wrote on 19 May, 2011, 15:43

klu di Pontianak dimana pak pelatihannya ? Terima kash

deli nofianti wrote on 23 February, 2012, 2:10

saya berminat mengikuti ujian sertifikasi keagenan yang dilaksanakan dipalembang atau jakarta, mohon jadwal ujiannya 2012 atau kemana saya bisa mendapatkan info lebih lanjut? mohon petunjuk. tks IMAM MUSJAB : Ujian berikutnya bulan April Pak, Silakan Bapak daftar ke perusahaan dimana bapak menjadi agennya, nanti semua persyaratan administrasinya mereka urusin, tapi ujiannya bayar sendir (ada juga yang perusahaan asuransinya yang bayarin)

korindo wrote on 31 March, 2012, 19:54

sekarang memang menjadi agen asuransi mempunyai prospek yang cerah, apalagi banyak PT.asuransi yang mengeluarkan produk unit link yang sekarang menjadi andalan dalam

promosi mereka,karena produk unit link konvensional ataupun syariah memberikan keuntungan investasi juga,selain memang karena manfaat asuransi jiwanya.
\

Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur, PT PT. Asuransi Bringin Sejahtera Arthamakmur (BSAM) yang lebih di kenal dengan nama Bringin General Insurance adalah sebuah perusahaan Asuransi Umum Nasional yang didirikan oleh Yayasan Dana Pensiun PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) . Perusahaan tersebut didirikan pada tanggal 17 April 1989 berdasarkan akta notaris Muhaini Salim SH. Di Jakarta dengan no 121 dan disahkan dengan penetapan Menteri Kehakiman RI pada tanggal 3 Mei 1989 No.C2.4160.HT.01.01 Tahun 1989. Pada Tanggal 26 Agustus 1989 perusahaan memperoleh ijin lisensi Dagang dari Menteri Keuangan RI dengan pengesahan NO.KEP 128 /ILM/ 13/1989 tanggal 26 agustus 1989. Pada mulanya tujuan didirikannya Perusahaan Ansuransi Umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh dana pensiun PT Bank Rakyat Indonesia tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan perlindungan asset PT. Bank Rakyat Indonesia beserta nasabah PT. Bank Rakyat Indonesia yang menjadi agunan. Namun dalam perkembanganya , Bringin General Insurance telah memperluas pangsa pasarnya tidak sekedar di area pasar sendiri (Bank Rakyat Indonesia dan sekitarnya) melainkan juga melayani masyarakat luas, para pengusaha, perorangan , BUMN/D , Perusahaan Swasta asing/nasional maupun pemerintah.Pada Tanggal 8 Januari 1998 , Anggaran dasar perusahaan perseroan telah dirubah oleh notaris Siti Rubiah Zulhaimi , SH di Jakarta , dengan nomor perubahan 8 dan telah disahkan oleh Menteri kehakiman RI No.C2.4162.HT.01.04 Tahun 1998. pada tanggal 23 April 1998.
Kategori: Bank & Finansial / Asuransi Alamat: D.P BRI Building 4 th Floor, Jl. Veteran II No. 15 Nomor Telepon: +62213840001 Nomor Fax: +62213457037, +62213442482 Homepage URL: http://www.bringininsurance.com/ Peta:

Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur, PT D.P BRI Building 4 th Floor, Jl. Veteran II No. 15 Petunjuk Arah:

Dasar Berlakunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia


Bab 1 Dasar Berlakunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia

A. PENDAHULUAN Dalam literatur Ilmu Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah "Hukum Perikatan" untuk menggambarkan ketentuan hukum yang meng-atur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah "Hukum Perutangan", "Hukum Perjanjian" ataupun "Hukum Kontrak". Masing-masing istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan lainnya. Istilah Hukum Perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntut-menuntut.1 Hukum Perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya transaksi. Perjanjian menurut Prof. Subekti, SH., adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.2 Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis, orang juga sering menyebutnya sebagai Hukum Kontrak.3 Sedangkan digunakan Hukum Perikatan untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul dari adanya perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku di luar perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu. Di sini tampak, bahwa Hukum Perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar Hukum Perjanjian. Istilah Hukum Perikatan Islam dipakai dalam buku ini, dimaksudkan sebagai padanan pengertian dari Hukum Perikatan dalam Hukum Perdata Barat yang dikaji berdasarkan ketentuan Hukum Islam. Tidak berbeda dengan Hukum Perdata Barat tersebut, dalam pengertian Hukum Perikatan Islam di sini juga dimaksudkan sebagai cakupan yang lebih luas dari sekadar "Hukum Perjanjian" .5 Walaupun dalam bentuk tradisional, materi bahasan tentang Hukum Perikatan Islam ini merupakan bagian dari bidang Hukum muamalah dalam Kitab-kitab Fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan sebagainya, namun pada materi Hukum Perikatan Islam di buku ini hanya mencakup perikatan yang berhubungan dengan bidang perniagaan atau kegiatan usaha (bisnis).6 1. Pengertian Hukum Perikatan Islam Hukum Perikatan Islam yang dimaksud di sini, adalah bagian dariHukurr^ Islam bidang muamalah yarig mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah (Al-Hadits), danAr-Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih menge-nai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.7 Lebih lanjut beliau menerangkan, bahwa kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan

konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah yang bersumber darj Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fiqih berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama mazhab) yang merupakan suatu benruk dari ijtihad.8 Pada masa sekarang ini, bentuk ijtihad di lapangan Hukum Perikatan ini dilaksanakan secara kolektif oleh para ulama yang berkompeten di bidangnya.9 Dari ketiga sumber tersebut, umat Islam di mana pun berada dapat mempraktikkan kegiatan usahanya dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengertian tersebut di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara Hukum Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sifat "religius transendental" yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi Hukum Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan pencerminan otoritas Allah SWT. Tuhan Yang Maha Mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam hubungan antarsesamanya.10 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa substansi dari Hukum Perikatan Islam lebih luas dari materi yang terdapat pada Hukum Perikatan Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keter-kaitan antara Hukum Perikatan itu sendiri dengan Hukum Islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah SWT) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan Hubungan Vertikal dart Horizontal.11 Secara skematis dapat digambarkan seperti pada gambar 1 di halaman berikut ini. Sebagai cerminan dari ketentuan yang bersumber dari Tuhan YME., ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan dalam Hukum Perikatan Islam ini mengandung pjroteksi, yaitu dimaksudkan untuk memberi perlindungan-perlindungan kepada manusia, terhadap kelemahan sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling menguasai atau melampaui batas-batas hak orang lain. Hukum Perikatan Islam sebagai bagian dari Hukum Islam di bidang muamalah/juga memiliki sif at yang sama dengan induknya, yaitu bersifat "terbuka" yang berarti segala sesuatu di bidang muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan 2. Alasan Hukum Perikatan Islam Diajarkan di Fafcultas Hukum Ada beberapa alasan mengapa Hukum Perikatan Islam perlu diajarkan di Fakultas Hukum. Alasan-alasan tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Alasan Sosiologis . Mayoritas penduduk Indonesia mengaku beragama Islam. Untuk melayani kebutuhan umat Islam Indonesia dalam menjalankan muamalah mereka di bidang perikatan, khu-susnya dalam perniagaan dan kegiatan usaha. Untuk itu, diperlukan wawasan yang luas bagi para calon ahli hukum yang kelak akan bertugas dalam penyusunan kontrak, penyele-saian perkara yang berhubungan dengan kebendaan, maupun pelaksanaan pendirian kegiatan usaha agar tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Islam yang mereka yakini. b. Alasan Yuridis Hukum Perikatan Islam merupakan salah satu sumber dari hukum nasional di bidang perikatan, di samping Hukum Perikatan Adat dan Hukum Perikatan menurut KUH Perdata. Walaupun secara formal yuridis hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri tentang Hukum Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan

atas dasar keyakinan agama mereka. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan nasional sudah tampak pasal-pasal undang-undang yang mengatur tentang berlakunya Hukum Perikatan Islam, seperti Pasal 1 butir 13 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sehingga dalam produk legislasi nasional pun Hukum Perikatan Islam sudah diakui dan dapat dipraktikan. Di samping itu, karena perikatan Islam juga muncul di masya-rakat dalam praktik kehidupan sehari-hari, maka secara normatif Hukum Perikatan Islam juga telah berlaku di tanah air . kita. Untuk pemenuhan pembentukan tatanan Hukum Nasional kita, maka Hukum Perikatan Islam pun perlu dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah pada Fakultas Hukum. c. Alasan Praktis Dengan telah banyak berdirinya bank-bank atau lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang menggunakan sistem Islam dalam bentuk-bentuk transaksi mereka dengan para nasabahnya serta majunya perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah yang menggunakan sistem Islam dalam bertransaksi, maka telah pula menjadi kebutuhan praktis bagi para mahasiswa di Fakultas Hukum untuk mempelajari salah satu sistem transaksi yang kini berkembang dalam praktik perniagaan di tanah air dan dunia internasional. B. DASAR FILOSOFIS BERLAKUNYA HUKUM PERIKATAN ISLAM DI INDONESIA Menurut Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH., ada_dua hal besar yang mendasari berlakunya Hukum Perikatan Islam.13 Dasar pertama adalah Akidah, yaitu keyakinan yang memaksa pelak-sanaannya dalam bertransaksi, dan dasar kedua adalah Syariah, sepanjang mengenai norma atau aturan-aturan hukum yang mem-punyai dua dimensi, yaitu dimensi "transendental" atau vertikal. Dimensi transendental ini dikenal dengan sebutan "hablum-mina-llah" yang merupakan pertanggungjawaban individu maupun kolektif kepada Allah. Sedangkan dimensi lainnya adalah dimensi horizontal yang dikenal dengan sebutan "hablum-minan-naas" yang mengatur interaksi sosial di antara manusia. Kedua dimensi inilah yang memengaruhi perilaku umat Islam dalam aktivitas transaksi-nya sehari-hari. Sebagai contoh atas berlakunya kedua dimensi tersebut dalam penerapannya di masyarakat muslim Indonesia, misalnya dalam jual beli, para pihak harus jujur, jika berbohong, maka akan ber-tanggung jawab kepada Allah. Sebagai konsekuensi dari terlaksana-nya kedua dimensi tersebut, maka pada saat interaksi terjadi, norma ikut mengatur dan merekayasa agar masyarakat mengikuti norma tersebut. Dalam praktik di masyarakat, secara normatif Hukum Perikatan Islam telah dilaksanakan. Contohnya dapat kita lihat pada transaksi jual beli yang terjadi di desa-desa yang menggunakan cara ijab kabul dan bersalaman yang menandakan adanya saling ridha antara kedua belah pihak. Hal ini merupakan pelaksanaan Hukum Perikatan Islam mengenai asas "suka sama suka" (antaradhin) yang bcrsumber dari ketentuan al-Qur'an surat an-Nisaa (4) ayat 29 (QS. 4: 29). Contoh, cara perjanjian dengan bersalaman atau peletakan tangan satu di atas yang lain ini juga merupakan pe-nerapan sunnah Nabi SAW sebagaimana dilakukan beliau dalam "bai'atur-ridwan" sebelum peristiwa perjanjian Shulhul Hudaibiyah yang digambarkan dalam QS. 48: 10.14 Pada ayat ini juga tampak adanya kesertaan Tuhan dalam tiap transaksi yang dilakukan hamba-Nya. Keberlakuan Hukum Perikatan dalam kehidupan umat Islam seperti yang digambarkan di atas, diakui dan dihargai oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara kita, yang pada Pasal 29 memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama bagi tiap penduduk negara. Hal ini terutama dilandasi oleh Sila Pertama Panrasila sebagai dasar falsafah negara kita, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa". Penerapan Hukum Perikatan Islam ini merupakan pelaksanaan ibadah dalam arti luas bagi pemeluk

agama Islam sebagaimana ditetapkan dalam ajaran Islam (addin-al-Islam) sesuai dengan bunyi Pasal 29 UUD 1945 dan Sila Pertama dari Pancasila dasar negara kita tersebut. Membicarakan mengenai Hukum Perikatan Islam, berarti kita hams mengkaji kerangka dasar dinul-Islam yang terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak. Pada bagian syariah terbagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Salah satu sistem dalam bidang muamalah adalah hukum. Di lingkungan masyarakat Islam berlaku tiga kategori hukum, yaitu 1) Syariat; 2) Ficjih; dan 3) Siyasah Syariyah.15 Syariat atau hukum syarak adalah ketentuan Allah yang ber-kaitan dengan perbuatan subjek hukum, yaitu berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang. fiqih adalah ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syarak yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan Siyasah Syar'iyah merupakan kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatannya, melalui aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil ter-tentu. Definisi-definisi di atas dapat diberikan penegasan berikut. Syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya yang secara jelas terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits. Fiqih adalah hukum-hukum hasil pemahaman ulama mujtahid dan dalil-dalilnya yang rinci (terutama ayat-ayat AlQur'an dan Hadits). Siyasah Syar'iyah adalah al qawanin (peraturan perundang-undang-an yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syariat (agama). Syariat mempunyai sifat tetap, tidak berubah, dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat. Shalat, Zakat, Puasa Ra-madhan, dan Haji adalah syariat. Demikian pula musyawarah dan bersikap adil sebagai prinsip adalah syariat, karena secara jelas di-perintahkan Allah dalam firman-Nya. Ijtihad dan pemahaman ulama terhadap dalil-dalil hukum (terutama ayat Al-Qur'an dan Hadits) melahirkan fiqih, yang mempunyai sifat berkembang dan menerima perbedaan pendapat. Siyasah Syar'iyah lebih terbuka dari fiqih dalam menerima perkembangan dan perbedaan pendapat. Perbedaan kondisi dan perkembangan zaman berpengaruh terhadap Siyasah Syar'iyah. Musyawarah yang dilihat dari prinsip-prinsipnya adalah syariat, dilihat dari pemahaman (fiqih) berbedabeda. Dilihat dari kebijakan umara, untuk mengatur rincian dan pelaksanaan musyawarah pasti lebih berbeda-beda lagi, baik karena pengaruh kondisi tempat dan zaman, maupun karena kecenderungan, dan kemampuan yang menyusun dan melaksanakannya.16 Dilihat dari keabsahannya, siyasah (peraturan buatan manu-sia) oleh Prof. A.W. Khallaf dibagi atas dua macam, yakni siyasah yang adil dan siyasah yang zalim.17 Tolok ukur keabsahan ini adalah wahyu (agama). Siyasah yang adil adalah siyasah yang haq (benar). Yaitu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan agama, apakah peraturan itu bersumber dari syariat atau bersumber dari manusia sendiri dan lingkungannya. Siyasah yang zalim adalah siyasah yang batil, yaitu peraturan perundang-undangan buatan manusia yang bertentangan dengan agama.18 Jadi, setiap ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perikatan yang berlaku di Indonesia dapat dikategorikan sebagai siyasah syar'iyah bila perundang-undangan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam, yang berarti siyasah yang bersifat adil. Misalnya, Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak, bila dilaksanakan sesuai syariat Islam, maka merupakan Siyasah Syar'iyah. c. KEDUDUKAN HUKUM PERIKATAN ISLAM DALAM TATA HUKUM INDONESIA Sebelum kita membicarakan mengenai kedudukan Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ada baiknya kita melihat kedudukan Hukum Islam di Indonesia berdasarkan periode sejarah, yaitu sebagai berikut.19

1. Sebelum Kedatangan Belanda Awal proses islamisasi kepulauan Indonesia dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan. Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar di-gantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini. 2. Setelah Kedatangan Belanda a. Masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) (1602-1800), berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintahan, karena dalam praktiknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada Hukum Belanda tidak dapat berjalan. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. D. W. Freijer menyusun kompendium yang memuat Hukum Perkawinan dan Kewaris-an Islam yang digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam (Compendium Freijer). Selain itu, ada kitab Hukum Mogharaer yang digunakan pada Pengadilan Negeri Semarang, dan Pepakem Cirebon. b. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, sikap terhadap hukum Islam mulai berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut: 1) Pada masa Pemerintahan Belanda/Deandels (1808-1811) terdapat pemahaman umum bahwa "Hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi". 2) Pada masa Pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811-1816) juga terdapat anggapan bahwa "Hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah Hukum Islam". 3) Setelah Indonesia kembali pada Belanda, ada usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia. 4) Untuk mengekalkan kekuasaannya, Belanda melaksanakan politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. M. R. Scholten Van Oud Haarlem menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda. la berpendapat bahwa "untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan bahkan mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap orang Bumiputra & agama Islam, maka harus diikhtiarkan agar mereka dapat tetap dalam lingkungan Hukum Agama serta adat istiadat mereka". Pendapat ini menyebabkan: Pasal 75 KR/Regering Reglement menjadi dasar bagi Pemerintahan Belanda menjalankan kekuasaannya di Indonesia, dengan menginstruksikan pengadilan untuk menggunakan Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan mereka bila golongan Bumiputra yang bersengketa selama Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan umum. Pasal 78 (2) RR mendorong Pemerintah Hindia Belanda men-dirikan Pengadilan Agama (Pries terrad/Pengadilan Pendeta) di Jawa dan Madura yang direalisasikan pada tahun 1882 dengan dikeluarkannya S. 1882 No. 152. 5) Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam, yaitu antara lain dikemuka-kan oleh Salomon Keyzer. Kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg berpendapat, bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku bagi-nya. Pendapatnya dikenal dengan teori Receptio in Complexu yaitu orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan.

Cristian Snouck Hourgronje menentang teori Receptio in Complexu, dan berpendapat, bahwa yang berlaku bagi orang Islam bukanlah Hukum Islam tetapi Hukum Adat. Dalam Hukum Adat telah masuk pengaruh Hukum Islam tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum bila telah benar-benar diterima oleh Hukum Adat (berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo). Pendapat ini dikenal dengan Theorie Receptie yang diikuti oleh Cornells Van Vollenhoven dan Bertrand Ter Haar. Melalui Theorie Receptie ini Belanda mulai membiasakan penggunaan Hukum Belanda di Indonesia terutama di bidang hukum perikatan, dengan jalan mengeluarkan Hukum Islam bidang perikatan dari aktivitas perdagangan karena dianggap tidak lagi berlaku di Indonesia. 3. Setelah Indonesia Merdeka Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi dalam dua periode yaitu: a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif; b) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif. Sumber persuasif ialah sumber yang terhadapnya orang hams yakin dan menerimanya, sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (autority).20 ad. a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945walaupun di dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakartamaka teori resepsi kehilangan dasar hukum-nya. Sebab, dasar hukum teori resepsi adalah Pasal 134 (2) Indische Slants Regeling (IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi. Teori ini mendapat kritikan dari para ahli Hukum Islam di Indonesia, antara lain oleh Hazairin dan Sajuti Thalib21 yang berpendapat, bahwa Hukum Adat baru berlaku biL: tidak bertentangan dengan Hukum Islam (Receptio a Contrario). Menurut Hazairin, teori resepsi bertujuan politik yaitu: untuk menghapuskan Hukum Islam di Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang dijiwai oleh Hukum Islam. UUD 1945, Aturan Peralihan Pasal II memang menyatakan, "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Namun demikian, dasar hukum yang di-tetapkan oleh suatu Undang-Undang Dasar yang sudah tidak berlaku, tidak dapat dijadikan dasar hukum suatu Undang-Undang Dasar baru. Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 29 UUD 1945. Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, ketentuan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" adalah sumber persuasif. Sebagai-mana halnya semua hasil sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah sumber persuasif bagi UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI juga merupakan sumber persuasif UUD 1945. ad. b) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif Barulah dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka Piagam Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap Hukum Islam menjadi sumber otoritah/dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekadar sumber persuasif. Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pendahuluan dalam suatu konstitusi dan konside-

rans (pertimbangan) dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sebagaimana kita ketahui, semula Piagam Jakarta adalah pembuka-an rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam konsiderans Dekrit Presiden ditetapkan, "Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut". Politik hukum negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan Hukum Agama dalam kehidupan Hukum Nasional. Dengan berpangkal pada teori Friederich Julius Stahl dan Hazairin, Tahir Azhary, mengemukakan teori "lingkaran Konsentris" yang menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, Hukum, dan Negara,22 seperti pada gambar di bawah ini. Teori ini dapat dipakai sebagai teropong untuk melihat negara Republik Indonesia sebagai negara berdasarkan atas hukum yang bercita hukum Pancasila pada masa mendatang. Negara berdasarkan atas hukum yang berfalsafah negara Pancasila, me-lindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasuk- kan ajaran dan Hukum Agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Hatta, salah seorang the founding fathers RI, menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syariat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syariat yang sesuai dengan kondisi Indonesia.23 Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional Indonesia24. Dalam Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berlaku Hukum Agama dan toleransi antar-umat beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara me-nyangkut keyakinan agama, ibadah agama, dan Hukum Agama. Sila Pertama Pancasila, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 Ayat (1), menunjuk-kan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia meletakkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai hukum dasar yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara. Pancasila sebagai Falsafah Negara, Dasar Negara, dan Hukum Dasar mendudukkan agama dan Hukum Agama pada kedudukan fundamental. Karenanya, Unifikasi hukum dalam Hukum Nasional hanya dapat diwujudkan dalam bidang-bidang tertentu, dan agama tidak memberikan ajaran, atau ketentuan sendiri.25 Menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sistem Hukum Nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari beberapa sistem hukum, yaitu: 1) Hukum Islam; 2) Hukum produk kolonial; 3) Hukum adat; dan 4) Hukum produk legislasi nasional. Menurut Prof. Dr. H. A. Gani Abdullah, SH., sistem pem-bentukan hukum nasional yang dipilih adalah sistem unifikasi daripada sistem diferensiasi. Hal ini disebabkan karena adanya ke-ragaman etnik dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya keragaman hukum, keragaman keyakinan (penundukan hukum sesuai agama), dan keragaman golongan masyarakat Indonesia, maka diberlakukan norma hukum yang dapat berlaku bagi seluruh masyarakat karena adanya ketiga hal tersebut.26 Namun, sistem diferensiasi masih digunakan untuk Hukum Nasional karena adanya pluralitas agama

yang dianut. Ketentuan perundang-undangan yang membenarkan sistem diferensiasi adalah: a) Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: Perkawinan berlaku sah jika dilakukan menurut kepercayaan agama masing-masing. b) Pasal 49 Ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960: Badan-badan agama diakui haknya, hal-hal mengenai wakaf dalam Hukum Islam diakui, dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. c) PP No. 28 Tahun 1977, merupakan PP yang mengatur mengenai wakaf. d) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dibuat untuk golongan masyarakat tertentu, yaitu Islam. Dilihat dari UU ini, golongan warga negara Indonesia terdiri dari: (1) golongan Islam (2) golongan Non-Islam e) Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 butir 13 UU No. 10 Tahun 1998, menjelaskan tentang pengertian Prinsip Syariah dalam No Hukum Adat Hukum Islam Hukum Barat 1 Keadaan Telah lama ada di Setelah Islam Bersamaan

Indonesia, tidak dapat ditentukan dengan pasti. datang ke Indonesia, Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan oleh dengan kedatangan orang-orang Belanda untuk

para pemeluknya. Kedatangan Islam ke Indonesia ada berdagang di Nusantara ini.

dua pendapat, yaitu Abad ke -1 Hijriah atau ke -7 Hijriah.

2' Bentuk Hukum yang tidak tertulis. Tidak tertulis dalam bentuk Tertulis dalam bahasa Belanda.

perundang-undangan. Dipatuhi masyarakat Islam karena kesadaran Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia tidak mempunyai kekuatan

dan keyakinan mereka. mengikat seperti undang-undang. Dalam praktik di Indonesia,

Hukum Perdata

Barat telah

menjadi hukum tidak tertulis

secara tidak

dinyatakan dengan sadar. 3 Tujuan Untuk menyelenggara-kan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera. Untuk melaksanakan perintah dan kehendak Allah serta menjauhi larangannya. Menurut Abu Kepastian dan Keadilan Hukum.

Ishaq as Shatibi; lima tujuan Hukum Islam, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan

harta benda.

No Hukum Adat Hukum Islam Hukum Barat 4 umber a) Sumber a)Sumber a) Sumber

Pengenal: Pengenal: Pengenal:

1) Menurut Al-Qur'an dan Segala

Ter Haar: kitab Hadits, peraturan

Keputusan Kitab-kitab Fiqih. perundang-

Penguasa b)Sumber isi: undangan sejak

Adat. Kemauan Allah zaman kolonial

2) Menurut (AI Qur'an), (Staatsblad).

Koesno: Sunnah Rasul :>) Somber Isi:

Apa yang (Kitab Hadits), Kemauan

benar-benar dan akal pikiran pembentuk

terlaksana orang yang undang undang

di dalam memenuhi di negeri

pergaulan. syarat untuk Belanda di masa

Hukum berijtihad. lalu.

dalam c)Sumbei Peiigikat c) Sumber

masyarkat iman dan tingkat Pengikat:

yang ketakwaan Kekuasaan

bersangSeorang muslim. negara yang

kutan membentuk

(konsep undang-undang

Hukum yang melalui

Adat itu aturan peralihan

sendiri). UUD 1945

b)Sumber isi: masih

Kesadarandilanjutkan

hukum yang hingga kini.

hidup dalam

masyarakat

adat.

c) Sumber

Perigikat:

Kesadaran

hukum

anggota

masyarakat

adat tersebut.

5 Struktur Contoh: di Terdiii dari AlKilab Undang-

Minangkabau, Qur'an, Sunnah undang yang

Adat nan sabana Rasul, Hasil Ijtihad, dibuat olch

adat, Adat dan lembaga legislatif,

pusaka, Adat pelaksanaannya. Keputusan Hakim

Istiadat, Adat nan dan, Amalan

teradat, dan Adat Keputusan.

rtari diadatkan.

No Hukum Adat Hukum Islam Hukum Barat 6 Lingkup Masalah Hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat. Tidak hanya mengatur hubungan antara ' manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat, namun juga mengatur hubungan antar -manusia dengan Allah. Hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat. 7 Pembidangan Tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik Terdapat Pembidangan antara Ibadah dan muamalah Dikenal pembidangan perdata dan hukum publik 8 Hak dan Kewajiban Kewajiban lebih diutamakan dari-pada Hak Hak didahulukan dari Kewajiban 9 Norma atau Kaidah Hukum Fard (kewajiban), Sunnat (anjuran), Jaiz, Mubah (kebolehan), Makruh (celaan), dan Haram (larangan) Impere (Perintah), Prohibere (Larangan), Permittere (yang dibolehkan)

Bila kita telah mempelajari dan memahami perbedaan pokok antara Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Perdata Barat tersebut di atas, maka kita lebih mudah memahami perbedaannya di bidang Hukum Perikatan yang merupakan bagian dari masing-masing sistem hukum tersebut. Perbedaan pokok antara Hukum Perikatan Islam (HPI), Hukum Perikatan Perdata Barat (HPPB), dan Hukum Perikatan Adat dalam beberapa aspek dapat digambarkan pada tabel di halaman berikut ini.29 Perbedaan Perikatan Islam Perikatan Barat Perikatan Adat Landasan Filosofis :leligius Transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah) Sekuler (tidak ada nilai agama) Religo-magis (ada nilai kepercayaan yang dituangkan dalam simbol-simbol) Sifat V^a^V^ ^ S. ^ '***Individual Proporsional Individual/liberal Komunal Ruang lingkup (Substansi) Hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal) Hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal) Hubungan horizontal saja Proses Terbentuknya Adanya pengertian al-Ahdu (perjanjian)-persetujuan-fl/-afcdw (perikatan) (QS. 3: 76: QS 5:1) Adanya pengertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis) (1313 dan 1233 BW) Perjanjian, Persetujuan, Perbuatan simbolis, Perikatan Sahnya Perikatan l.Halal 2.Sepakat 3. Cakap 4.TanpaPaksaan 5. Ijab & Kabul l.Sepakat 2. Cakap S.Haltertentu 4. Halal (1320 BW) 1. Terang 2.Tunai Sumber 1 . Sikap tindak yang didasarkan Syariat 2. Persetujuan yang tidak melanggar Syariat 1 . Persetujuan 2. Undang-undang (1233 BW)

1 . Perjanjian 2. Sikap tindak tertentu (tolong-menolong, gotong royong) 3. Penyelewengan . Perdata

Bab 2 Karafcteristik Hukum Perikatan Islam Islam merupakan ajaran Allah SWT yang mengatur seluruh bidang kehidupan manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Salah satu bidang yang diatur adalah hukum. Karakteristik hukum dalam Islam berbeda dengan hukum-hukum lain yang berlaku di masyarakat. Menurut Yusuf Qardhawi, karakteristik hukum dalam Islam adalah komprehensivitas dan realisme} Komprehensivitas dapat terlihat dari keberlakuan hukum dalam Islam di masyarakat, yaitu seperti yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi berikut ini: la [hukum, pen.] tidak ditetapkan hanya untuk seorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).2 Dari segi materi, Hukum Islam mencakup Hukum Ibadat dan Hukum Muamalat. Hukum Ibadat mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT. Hukum ini tidak terdapat pada hukum positif yang lain. Sedangkan Hukum Muamalat yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, benda, dan alam semesta mencakup bidang keluarga, sipil dan perdata, pidana, kepemerintahan, dan internasional. Komprehensivitas Hukum Islam pun dapat terlihat dalam implikasi hukumnya yang menyentuh sampai pada inti terdalam berbagai permasalahan, faktor yang memengaruhi hukum, dan yang terpengaruh oleh hukum.3 Karakteristik hukum lainnya adalah realisms dinyatakan oleh Yusuf Qardhawi, seperti berikut ini: la [hukum, pen.] tidak mengabaikan kenyataan (realita) dalam setiap apa yang dihalalkan dan yang diharamkannya dan juga tidak mengabaikan realita ini dalam setiap apa yang ditetapkan-nya dari peraturan dan hukum bagi individu, keluarga, masya-rakat, negara, dan seluruh umat manusia.4 Penghalalan dan pengharaman (pembolehan dan pelarang-an) ini merupakan hal yang sangat memerhatikan untuk ke-pentingan manusia itu sendiri. Selain itu, Hukum Islam pun cen-derung kepada kemudahan dan keringanan yang dapat sesuai dengan setiap situasi dan kondisinya di setiap zaman dan tempat. Hal itu dapat dilihat dalam sejarahnya, bahwa pemberlakuan suatu ketentuan dilaksanakan secara bertahap.5 A. ASPEK-ASPEK HUKUM ISLAM Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (Hukum Muamalat), seperti yang diatur dalam Hukum Barat. Namun, hukum dalam Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur dalam hukum lainnya. Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, membagi aspek-aspek hukum Islam dalam tujuh kelompok, yaitu:6 1. Hukum Ibadat. Hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah, seperti: shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas, dan sebagainya. 2. Hukum Keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan keluarga, seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan, nafkah keluarga, kewajiban

anak terhadap orang tua, dan sebagainya. 3. Hukum Muamalat (dalam arti sempit, pen.). Hukum-hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup dalam masya-rakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaanpersengketaan, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai, hibah, dan sebagainya. 4. Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau As-Siyasah Asy-Syar'iyah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara, seperti: hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan kepala negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik, dan sebagainya. 5. Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti: macammacam perbuatan pidana dan ancaman pidana. 6. Hukum Antarnegara (As-Siyar). Hukurn-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang. 7. Hukum Sopan Santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik, dan buruk, seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang yang berselisih, dan sebagainya. Pendapat lain dari Abdul Wahab Khalaf, bahwa ahkam 'amaliyah (hukum-hukum amal) yang berkaitan dengan seluruh tindakan atau perbuatan mukallaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan masalah belanja terbagi atas dua bagian, yaitu ahkamu 'l-'ibadat (hukum-hukum ibadah) dan ahkamu'lmu'amalat (hukum-hukum muamalat).7 Ahkamu'l-mu'amalat terbagi ke dalam tujuh macam hukum, yaitu:8 1. Hukum keluarga (ahkamu'lahwali asy-syakhshiyyah), rneng-atur hubungan suami istri dan famili scrta antara satu dengan lainnya. 2. Hukum perdata (ahkamu'l-madaniyah), mcngatur hubungan individu dan masyarakat dalarn kaitannya dengan urusan kekayaan dan memelihara hak-hak masing-masing. 3. Hukum pidana (ahkamu'l-Jinaiyah), mengatur pemeliharaan ketenteraman hidup manusia dan harta kekayaan, kehormat-an, dan hak kewajiban. Hal ini berkaitan dengan kejahatan dan sanksinya. 4. Hukum acara (ahkamu'l-murafa'at), berkaitan dengan tata aturan tentang kesanggupan melaksanakan prinsip keadilan antarumat manusia. 5. Hukum perundang-undangan (ahkamu'd-dus turiyah), berkaitan dengan aturan undang-undang dan dasar-dasarnya yang memberikan ketentuan kctentuan bagi hakim dan terdakwa, serta penetapan hakhak pribadi, dan hak masyarakat. 6. Hukum ketatanegaraan (ahkamu'd-dauliyah), berkaitan dengan hubungan antara negara Islam dan negara Non Islam, serta aturan pergaulan antara umat Islam dengan Non Islam di dalam negara Islam. 7. Hukum ekonomi dan harta benda (ahkamu'l-Iqtihadiyah wa'l-maliyah), mengatur hubungan keuangan antara pihak kaya dan pihak miskin, atau antara negara dan individu. Masih banyak lagi para ahli fiqih melakukan pengelompok-kan hukum dalam Islam dengan cara yang berbeda. Seperti halnya yang dilakukan oleh H. M. Rasjidi dan juga Mohammad Daud Ali.9 Narnun, perbedaan ini tidak menjadi suatu masalah yang perlu diperdebatkan. Hukum dalam Islam didasarkan pada kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Penetapan Hukum Muamalat dalam Islam tidak bersifat lahiriah atau duniawi saja. Meskipun Hukum Muamalat mengatur

hubungan manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual atau akhirat.10 Sebagai contoh adalah jual beli. Jual beli adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam. Secara lahiriah, jual beli merupakan pertukaran hak milik atas suatu benda dengan harga atas benda tersebut. Secara batiniah, jual beli dapat menjadi wajib hukumnya apabila dalam keadaan terpaksa, misalnya wali yang terpaksa menjual harta anak yatim, atau kadi yang menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada harta-nya). Jual beli dapat menjadi haram hukumnya apabila objeknya adalah barang najis, seperti minuman keras, bangkai, dan babi.11 Apabila jual beli itu dilakukan kepada orang yang membutuhkan barang itu, maka hukumnya adalah sunnah.12 Bagian yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai Hukum Muamalat (dalam arti sempit) atau ahkamu'l-madaniyah (istilah yang digunakan oleh Abdul Wahab Khalaf), yaitu hal-hal yang mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat yang berkaitan dengan kebendaan dan hak dan kewajibannya. B. ASAS-ASAS HUKUM PfiRIKATAN ISLAM Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.13 Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, ber-tindak, dan sebagainya.14 Mohammad Daud Ali, mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.15 Dalam kaitannya dengan Hukum Perikatan Islam, Fathur-rahman Djamil mengemukakan enam asas, yaitu asas kebebasan, asas persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asas kerelaan, asas kejujuran dan kebenaran, dan asas tertulis.16 Namun, ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk per-buatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid. 1. Asas Ilahiah Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS. al-Hadid (57): 4, bahwa "Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."17 Kegiatan muamalat, termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, manu-sia memiliki tanggung jawab akan hal ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, ka-rena segala perbuatannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.18 2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah) Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, bahwa "Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan

yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama."19 Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 1 "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akadakad itu."20 Dan QS. al-Hijr (15): 29 "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."21 Dalam bidang muamalat ini terdapat kaidah fiqih yang ber-isikan bahwa "asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya."22 Kaidah fiqih ini bersumber pada dua Hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini: a. HR. al-Bazar dan at-Thabrani Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram dan apaapa yang didiamkan dimaafkan. Maka, terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.23 b. HR. Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi Sesungguhnya Allah telah mcwajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia; dan Allah telah meng-haramkan sesuatu, maka janganlah kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada-mu, Dia tidak lupa, maka janganlah kamu perbincangkandia.24 Isi kaidah fiqih tersebut menunjukkan, bahwa segala sesuatu-nya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Kaidah ini berlaku untuk bidang muamalat, tetapi tidak berlaku untuk bidang ibadat. Kebolehan di bidang muamalat ini dapat terlihat dari Hadits Rasulullah bahwa "Kamu sekalian adalah lebih mengetahui dengan urusan keduniaanmu."25 Sedangkan di bidang ibadat dapat dilihat dalam QS. asy-Syura (42): 21, yang terjemahannya adalah "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?".26 3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (AI-Musawati) Suatu perbuatan muamalah merupakan salah saru jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bering kali terjadi, bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Seperti yang ter-cantum dalam QS. an-Nahl (16): 71, bahwa "Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki."27 Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk me-lakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut. Dalam QS. al-Hujuraat (49): 13, "Hai manusia, sesungguhnya Kami men-ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal."28 4. Asas Keadilan (Al-'Adalah) Dalam QS. al-Hadid (57): 25 disebutkan, bahwa Allah berfirman "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-

Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan."29 Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkan dalam Al-Qur'an. Bersikap adil sering kali Allah SWT tekankan kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada takwa. Dalam QS. al-A'raaf (7): 29, disebutkan bahwa "Katakanlah: "Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil"."30 Dan dalam QS. al-Maidah (5): 8, disebutkan berikut ini. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Danjanganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.31 Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah ke-seimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan masyarakat, dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariah Islam.32 Dalam asas ini, para pihak yang melakukan perikatan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 177 berikut ini. ... dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.33 Dan juga dalam QS. al-Mu'minuun (23): 8-11 berikut ini. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.34 Dalam QS. an-Nahl (16): 90, Allah SWT berfirman "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ke-bajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan."35 Sikap adil harus tercermin dalam perbuatan muamalat. Oleh karena itu, Islam mengatur hal-hal yang bertentangan dengan sikap adil yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Hal ini disebut juga dengan kezaliman.36 Beberapa hal yang termasuk dalam kezaliman, antara lain adalah perbuatan riba, timbangan yang tidak adil, penangguhan pembayaran utang bagi yang mampu, dan masih banyak lagi perbuatan zalim lainnya. Riba adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT seperti yang tercantum dalam QS. al-Baqarah (2): 275, bahwa "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."37 Yusuf Qardhawi, berpendapat sebagai berikut: Riba adalah memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan kemungkinan mendapatkan risiko, mendapatkan harta bukan sebagai imbalan kerja atau jasa, menjilat orang-orang kaya dengan mengorbankan kaum miskin, dan mengabaikan aspek perikemanusiaan demi penghasilan materi.38 Mereka yang menakar atau menimbang dengan tidak adil mendapat ancaman dari Allah SWT seperti yang tercantum dalam QS. al-Muthaffifiin (83): 1-6 berikut ini. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguh-nya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ?39 Penangguhan pembayaran utang bagi mereka yang mampu adalah suatu perbuatan zalim pula, karena

ia telah mengingkari janji (pelunasan) dan menahan hak orang lain yang menjadi kewajiban bagi dirinya. Dalam dua Hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini terlihat bahwa Allah tidak menyukai atas perbuatan ini. a. HR. Jamaah dari Abu Hurairah Penangguhan pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.40 b. HR. Nasa'i Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad Mengundur-undur pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah menghalalkan harga dirinya (untuk dihinakan) dan hukuman kepadanya.41 5. Asas Kerelaan (AI-Ridha) Dalam QS. an-Nisa (4): 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan, dan misstatement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil (al-akl bil bathil).42 Berikut isi dari QS. an-Nisa (4): 29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.43 Ayat di atas menunjukkan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan bahwa suatu perbuatan muamalat, perdagangan misalnya, dilakukan dengan pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur sukarela ini menunjukkan keikhlasan dan iktikad baik dari para pihak. 6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq) Kejujurari rnerupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kchidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak ditcrapkan dalam perikatari, maka akan merusak legalitas perikalan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, akan mcnimbulkan perselisihan di antara para pihak. Dalam QS. al-Ahzab (33): 70, disebutkan bahwa "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar."4Perbuatan muamalat dapat dikdtakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan madharat adalah dilarang. Dalam QS. al-Isra (17): 27, Allah SWT berfirman "Sesungguh-nya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."45 Pernborosan adalah suatu hal yang menyia-nyiakan harta yang membuat harta tersebut menjadi tidak bermanfaat. Akibatnya, pemborosan ini dapat memberikan madharat kepada yang mclakukannya. 1. Asas Tertulis (Al-Kitabzh) Dalam QS. al-Baqarah (2): 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manucia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan dibcrikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara runai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi, dan/atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut. C. SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN ISLAM Sumber Hukum Islam berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur'an dan Hadits (sebagai dua sumber

utama), serta ar-ra'yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Hadits Mu'az.46 Terdapat pula pendapat lain mengenai sumber Hukum Islam ini yang didasarkan pada QS. an-Nisaa (4): 59, bahwa sumber Hukum Islam adalah Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijtihad, dan Qiyas. Dalam tulisan ini, diuraikan sumber Hukum Perikatan Islam berasal dari Al-Qur'an, Al-Hadits, dan Ijtihad. 1. Al-Qur'an Sebagai salah satu sumber Hukum Islam utama yang pertama, dalam Hukum Perikatan Islam ini, sebagian besar Al-Qur'an hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini: a. QS. al-Baqarah (2): 188 Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu denganjalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.47 QS. al-Baqarah (2): 275 Padahal Allah telah menghalalkan jual belidan mengharamkan riba.48 QS. al-Baqarah (2): 282 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksi-kanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecualijika muamalah itu perdagangan tunai yang kamujalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling'sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.49 d. QS. al-Baqarah (2): 283 Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penults, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; danjanganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang tnenyembunyi-kannya, maka

sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.50 e. QS. an-Nisa (4): 29 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan per-niagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.51 f. QS. al-Maidah (5): 1 Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.52 g. QS. al-Maidah (5): 2 Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa, dan pelang-garan.53 h. QS. al-Jumu'ah (62): 9 Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari ]umat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.54 i. QS. al-Muthaffifiin (83): 1-6 Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orangyang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakaratau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguh-nya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?55 Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur'an yang mengatur mengenai perbuatan muamalat secara umum. 2. Hadits Dalam hadits, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat lebih terperinci daripada Al-Qur'an. Namun, perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadits-hadits tersebut antara lain dapat terlihat di bawah ini. a. HR. Abu Dawud dan Hakim Allah SWT telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), 'Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang di antaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduamja. "56 b. Hadits Nabi Muhammad SAW Dari Jabir bin Abdullah. Rasulullah SAW berkata, "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi, dan berhala." Pendengar bertanya, "Bagaimana dengan lemak bangkai, ya Rasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu." Jawab beliau, "Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya."57 c. Hadits Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah Rasulullah SAW telah bersabda, "Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain. "58 d. HR. Muslim dari Abu Hurairah Bahwasanya Rasulullah SAW pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata, "Apakah ini?" Jawab yang puny a

makanan, "Basah karena hujan, ya Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa tidak engkau taruh di bagian atas supaya dapat dilihat orang? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan umatku."59 e. HR. Ahmad dan Baihaqi Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka, apabila salah seorang di antara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar.60 f. HR. Bukhari dan Muslim Siapa saja yang melakukan jual beli Salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu.61 g. HR. Abu Ya'la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tarmidzi Berilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.62 3. Ijtihad Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilaku-kan dengan menggunakan akal atau arra'yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah SWT menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan untuk mema-hami, mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu, dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petun-juk itu telah diatur oleh Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadits. Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti yang terdapat pada Hadits Mu'az bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam ketentuan QS. an-Nisa (4): 59, Mohammad Daud Ali memberikan definisi ijtihad adalah sebagai berikut: Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kernampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belumjelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah.63 Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits bersifat umum. Sedangkan dalam pelaksanaannya di masyarakat, kegiatan muamalat selalu berkembang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ayat dan hadits hukum yang rnenjadi objek ijtihad hanyalah yangzhanni64 sifamya. Ijtihad dapat pula dilakukan terhadap hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur'an dan Hadits dan juga mengenai masalah hukum baru yang timbul dan berkembang di masyarakat.65 Hazairin berpendapat, bahwa ketentuan yang berasal dari ijtihad ulil amri terbagi dua, yaitu sebagai berikut:66 a. Berwujud pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepat-tepatnya untuk diterapkan pada suatu perkara atau kasus tertentu yang mungkin langsung diambil dari ayat-ayat hukum dalam AlQur'an, mungkin pula ditimbulkan dari perkataan (penjelasan) atau teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad, dan b. Ketentuan yang berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum baru bagi keadaan-keadaan baru menurut tempat dan waktu, dcngan berpedoman kepada kaidah hukum yang telah ada dalam AlQur'an dan Sunnah Rasul. Di Indonesia, pada bulan April 2000 tclah terbcntuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dcwan Syariah Nasional ini adalah dewan yang menangani

masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. Tugas DSN di antaranya adalah mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan, produk, dan jasa keuangan syariah.67 Hingga tulisan ini dibuat, fatwa yang telah diterbitkan oleh DSN sudah lebih dari 35 buah. Tentunya, hal ini menjadi salah satu langkah dalam melaksanakan dan mengembangkan syariat Islam di Indonesia. Selain itu pula, ijtihad mengenai Hukum Perikatan Islam dila-kukan oleh para Imam Mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Ketentuan-ketentuan dari masing-masing pendapat di-uraikan dalam bab-bab berikutnya. Bab 3 Konsep Perikatan (Akad) dalam Hukum Islam A. PENGERTIAN PERIKATAN (AKAD) Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur'an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-'aqdu (akad) dan al-'ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.1 Kata al-'aqdu terdapat dalam QS. alMaidah (5): 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-'aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.2 Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.3 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76, yaitu "sebenarnya siapa yang menepati janji [huruf tebal dari penulis] (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."4 Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai: "pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya."5 Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-'acjdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut:6 1. Al 'Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3): 76. 2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. 3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan 'akdu' oleh Al-Qur'an yang terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 1. Maka, yang mengikat masing-masing

pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau 'ahdu itu, tetapi 'akdu. Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap 'ahdu. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh A, maka terjadi perikatan atau 'akdu di antara keduanya. Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Sybekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Subekti memberi pengertian perikatan adalah "suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu."7 Sedangkan, pengertian perjanjian menurut Subekti adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksana-kan sesuatu hal."8 Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubung-an di antara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka. Menurut A. Gani Abdullah, dalam Hukum Perikatan Islam titik tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah 'aqdu (perikatan).9 B. UNSUR-UNSUR AKAD Telah disebutkan sebelumnya, bahwa definisi akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:10 1. Pertalian ijab dan kabul Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujiV) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qaabil). Ijab dan kabul ini hams ada dalam melaksanakan suatu perikatan. Bentuk dari ijab dan kabul ini beraneka ragam dan diuraikan pada bagian rukun akad. 2. Dibenarkan oleh syara' Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan, akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu perikatan yang mengan-dung riba atau objek perikatan yang tidak halal (seperti minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut Hukum Islam. 3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga mem-berikan konsekuensi hak dan

kewajiban yang mengikat para pihak. Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Musthafa Az-Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah "segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara' menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).11 Menurut Mustafa azZarqa, tasharruf me-miliki dua bentuk, yaitu sebagai berikut:12 a. Tasharruf fi'li (perbuatan). Tasharruf fi'li adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus atau mengelola tanah yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya. b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar dari lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada suatu akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut: 1) Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan kabul. Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini disebut dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan di antara mereka. 2) Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat akad atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini ada yang berupa pernyataan dan ada yang berupa perwujudan. (a) Perkataan yang berupa pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak, pemberian hibah. Namun, ada juga yang tidak sependapat mengenai hal ini, bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah bukanlah suatu akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya ada pernyataan ijab saja tanpa ada pernyataan kabul, kedua tasharrufini tetap termasuk dalam tasharrufyang bersifat akad. (b) Perkataan yang berupa perwujudan, yaitu dengan melakukan penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya akibat hukum. Sebagai contoh, gugatan, pengakuan di depan hakim, sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat, sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan hukum. C. RUKUN DAN SYARAT PERIKATAN ISLAM Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"13 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus di-indahkan dan dilakukan."14 Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah "suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu."15 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."16 Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.17 Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. Ia merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah. Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad

hanya sighat al-'aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-'aqidain (subjek akad) dan mahallul 'aqd (objek akad). Alasannya adalah al-'aqidain dan mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-'aqidain dan mahallul 'aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.18 Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-'aqidain, mahallul 'aqd, dan sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu'ul 'aqd (tujuan akad). la tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat 'aqd (unsur-unsur penegak akad).19 Sedangkan menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponenkomponen yang harus dipenuhi untuk terben-tuknya suatu akad.20 l. Subjefc Perifcatan (Al-'Aqidain) Al-'aqidam adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah se-bagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan mengenai manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam. a. Manusia Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata "Mukallaf" berasal dari bahasa Arab yang berarti "yang dibebani hukum", yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.21 Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity). Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqh telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 (empat) tahap Subjek Hukum (Stages of Legal Capacity):22 1. Marhalah al-Janin (Embryonic Stage) Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subjek hukum, janin disebut "Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah". Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak, namun tidak meng-emban kewajiban hukum. Misalnya janin dapat hak waris pada saat orang tuanya meninggal dunia, dapat menerima hibah, dan sebagainya. 2. Marhalah al-Saba (Childhood Stage) Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut "Al-Sabiy Ghayr Al-Mumayyiz". Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui wali-nya (guardian). Misalnya mengenai pengelolaan harta tersebut dan pembayaran zakatnya. 3. Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage) Tahapan ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Acjil-Baligh). Pada

tahap ini seseorang disebut "Al-Sabiy Al-Mumayyiz" (telah bisa membedakan yang baik dan buruk). Seseorang yang mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum (tanpa izin dari walinya). Oleh karena itu, segala aktivitas/ transaksi penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid), misalnya menerima hibah atau sedekah. Sedangkan transaksi yang mungkin merugikan/ mengurangi haknya, misalnya menghibahkan atau berwasiat, adalah "non-valid" kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,23 seorang mumayyiz sudah memiliki kecakapan bertindak hukum meski-pun masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut ahliyyah al-ada' an-naqisah. Sehingga tindakan hukum atau transaksi yang dilakukan oleh seorang anak yang mumayyiz ini dapat dianggap sah selama tidak dibatalkan oleh walinya. 4. Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty) Pada tahap ini seseorang telah mencapai Aqil Baligh dan dalam keadaan normal ia dianggap telah menjadi Mukallaf. Kapari seseorang dianggap telah baligh ini tcrdapat perbcdaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama menyebutkan usia 15 tahun, sedangkan sebagian kecil ulama mazhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun, ada yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tandatanda fisik, yaitu ketika seorang. perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah inenga-lami perubahan-perubahan suara dan fisiknya. Seseorang yang sudah pada tahap ini disebut "Ahliyyah Al-Ada Al Kamilah". Orang tersebut telah memperoleh kapasitas penuh sebagai subjek hukum. Intelektualitasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya. Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang lagi sebagai tahapan ke-5 (lima) yaitu: 5. Daur al-Rushd (Stage of Prudence) Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/ bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijaksanaan (rushd/pnidence) seseorang dapat dicapai secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh, bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan berdasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis, usaha atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar-Rushd ini disebut orang yang Rasyid. Diperkirakan tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19, 20, atau 21 tahun.24 Jadi, dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk:25 a. Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat jiwa, cacat mental, anak kecil yang belum . niumayyiz. b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh. c. Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf. Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan. Tindakan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya halangan-halangan (impediments) sebagai berikut: 1. Minors (masih di bawah umur) atau safih;

2. Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila); 3. Idiocy/'Atah (idiot); 4. Prodigality/Safah (royal, boros); 5. Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran); 6. Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidur gelap); 7. Error/Khata dan Forgetfulness/Nisyan (kesalahan dan terlupa); dan 8. Acquired Defects/'Awarid Muktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan (akal) atau kehilangan). Kerusakan atau terganggu-nya akal seseorang dapat dikarenakan oleh intoxication/sukr Islam (mabuk, keracunan obat, dan sebagainya) atau karena ignorance! jahl (ketidaktahuan atau kelalaian). Oleh karena itu, selain dilihat dari tahapan kedewasaan sese-orang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad. Hamzah Ya'cub, mengemukakan syarat-syarat subjek akad adalah sebagai berikut:26 a) Aqil (berakal) Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih di bawah umur, sehingga dapat mempertanggung-jawabkan transaksi yang dibuatnya. b) Tamyiz (dapat membedakan) Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda ke-sadarannya sewaktu bertransaksi. c) Mukhtar (bebas dari paksaan) Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. an-Nisaa (4): 29 dan Hadits Nabi SAW yang mengemukakan prinsip an-taradhin (rela-sama rela). Hal ini berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan, dan tekanan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah sebagai berikut: 1) Baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti yang tercantum dalam Hadits dari Ibnu Umar yaitu 15 tahun. Dalam Hadits tersebut diceritakan, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Nabi Muhammad SAW, untuk ikut berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya mencapai 15 tahun, ia diizin-kan untuk turut berperang (Perang Khandaq).27 -Terhadap orang yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum to/ch/ atau sudah dapat bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,28 ia sudah berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada' al-kamilah). 2) Berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain. Seseorang yang gila, sedang marah, sedang sakit, atau sedang tidur, tidak dapat menjadi subjek hukum yang sempurna. Nabi Muhammad SAW bersabda; "Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh" (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmi/i, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan ad-Daruqutni dari Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Talib).29 Selain hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan al-'aqidain terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan), dan ivakalah (perwakilan).30 1) Ahliyah

(kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua macam: a) Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan. Manusia dapat memiliki hak sejak dalam kan-dungan untuk hak tertentu, yaitu hak waris. Hak ini akan selalu ada selama manusia hidup. b) Ahliyah ada' adalah kecakapan memiliki tasharruf dan dikenai tanggung jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah SWT atau hak manusia. Ahliyah ada' terbagi lagi atas dua macam berikut ini: (1) Ahliyah ada' al naqishah, yaitu kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mumayyiz dan berakal sehat. la dapat ber-tas/zarra/tetapi tidak cakap melakukan akarl (2) Ahliyah ada' al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. la dapat ber-tasharrufdan cakap untuk melakukan akad. 2) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemilik-nya dapat ber-tasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap ber-tasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang kecakapan bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain untuk melakukan tasharruf.31 a) Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepenting-an dirinya sendiri. b) Niyabah al-Syar'iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untuk melakukan tasharruf atas nama orang lain (biasanya disebut dengan wali). Biasanya hal ini terjadi karena maula 'alaih tidak memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna, seperti anak kecil, perempuan dalam melakukan pernikahan. Kewenangan ini dapat di-dasarkan pada ikhtiyariyah (memilih menentukan sendiri) atau pada ijbariyah (keputusan hakim). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali dalam mendapatkan wilayah ini adalah sebagai berikut:32 (1) Mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharruf. (2) Memiliki agama yang sama (Islam) antara wali dan maula 'alaihi (yang diwakili). (3) Mempunyai sifat adil, yaitu istiqamah dalam menjalan-kan ajaran agama dan berakhlak mulia. (4) Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya. (5) Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya. 3) Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil, dan muwakil (yang diwakili) harus memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna dan dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan kabul. Dengan demikian, harus jelas objek dan tujuan akad tersebut. Biasanya, wakil memiliki hak'untuk mendapatkan upah (ketentuan wakalah ini dapat dilihat lebih lanjut pada bab tentang bentuk-bentuk akad). b. Badan Hukum Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hakhak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.33 Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus

badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum menurut R. Wirjono Prodjodikoro34 adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orangorang, perusahaan, atau yayasan. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. an-Nisaa (4): 12, QS. Shaad (38): 24, dan Hadits Qudsi. Pada QS. an-Nisaa (4): 12, disebutkan "Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ,..."35 Pada QS. Shaad (38): 24, bahwa "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman ,..."36 Pada Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda; 'Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya."37 (huruf tebal dari penulis). Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. TM Hasbi Ash Shiddieqy,38 menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut: 1) Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka, dan lain-lain. 2) Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaramya tidak terpenuhi lagi. 3) Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum. 4) Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu. 5) Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang. 6) Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata. Kedudukan negara, menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy, dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah. Dalam hal negara sebagai badan hukum, kepala negara atau pegawai-pegawai pemerintah dapat melakukan tindakan hukum atas nama negara sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan. 5. Objek Perifcatan (Mahallul 'Aqd) Mahallul 'aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud, seperti manfaat. Syarat- syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul 'aqd adalah sebagai berikut:39 a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti, menjual anak hewan yang masih di dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bcrgantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian, terdapat pengc cualian terhadap bentuk akad akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah (bentuk akad ini diuraikan

pada bab tentang bentuk-bentuk akad) yang objek akadnya diperkira kan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini di-dasarkan pada istishsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat. b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci, seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesudan objek akad. Dengan demikian, jual beli kulit bangkai diboleh-kan sepanjang memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelas dinyatakan dalam nash, seperti, khamar, daging babi, bangkai, dan darah. Selain itu, jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan,40 adalah tidak dapat dibenarkan pula, batal. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa, benda yang bukari milik seseorang pun tidak boleh dijadikan objek perikatan. Hal ini tidak dibenarkan dalam syari'ah.41 c. Objek akad harus jelas dan dikenali Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh 'aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi, dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harus diberitahu-kan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampil-an, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli, terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam Hadits riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar (penipuan) dan jual beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lempar-an batu dari penjual mengenai baju itu).42 d. Objek dapat diserahterimakan Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkan-nya kepada pihak kedua. Burung di udara, ikan di laut, tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek perikatan yang berupa manfaat, maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan. 3. Tujuan Perikatan (Maudhu'ul 'Aqd) Maudhu'ul 'aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariat-kan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari'ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.43 Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan Hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai contoh, A menjual anggur kepada B. A mengetahui, bahwa tujuan B membeli

anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan, karena minuman keras adalah haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti A turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian, jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam QS. alMaidah (5): 2, bahwa "dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."44 Namun, apabila Abenar-benar tidak mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut, maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan.45 Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut:46 1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan; 2) Tujuan harus berlangsung adanya hin

HUKUM PERIKATAN (AKAD) ISLAM DI INDONESIA (Studi Komparatif Antara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)) Oleh: Hermanto Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis syariah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku bisnis yang berlandaskan syariah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum (fikih) semata. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kendatipun Pengadilan Agama telah lama diakui eksistensinya namun hakimnya masih belum memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama layaknya KUHP, apalagi kewenangan di bidang ekonomi syariah adalah kewenangan yang baru, praktis Hakim Pengadilan Agama masih mengandalkan kitab-kitab fikih produk ijtihad para Imam Madzhab sebagai bahan rujukan utama. Padahal menurut Joseph Schacht kitab-kitab fikih madzhab yang diakui mempunyai otoritas yang mapan bukan merupakan kitab hukum, cakupan hukum Islam di situ bukan menjadikan kitab fikih tersebut menjadi undang-undang (a corpus of legislation), tetapi merupakan hasil yang hidup dari ilmu hukum. Tanpa suatu standarisasi atau keseragaman landasan hakim dalam menyelesaikan sengketa, akibatnya banyak putusan yang berbeda dari kasus yang sama dari masing-masing hakim antar Pengadilan Agama, sehingga muncul ungkapan different judge different sentence (lain Hakim lain pendapat dan putusannya). Dari sudut teori hukum berarti produkproduk putusan Pengadilan Agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (Munawir Sadzali, 1993, hal. 2). Apabila putusan Pengadilan Agama selalu didasarkan pada doktrin fikih, maka para pihak yang berperkara dalam kesempatan yang diberikan oleh Majelis Hakim bisa saja mengajukan dalih dan

dalil ikhtilafi dan mereka menuntut hakim untuk mengadili menurut pendapat dan doktrin madzhab tertentu yang diikutinya. Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah. Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus peluang bagi lembaga Peradilan Agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah, sehingga kalau pun sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syariah , maka bagi lembaga Peradilan Agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang terkait dengan persoalan ekonomi syariah. Ketika UU No. 3 Tahun 2006 disahkan pada Maret 2006, ternyata hukum materiil dimaksud belum ada. Kalaupun ada, ia begitu mentah. Misalnya Fikih Muamalah yang dapat dijumpai di kitab kuning. Atau, ada juga yang setengah matang, yaitu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa tersebut menjadi rujukan bagi BI untuk menyusun Peraturan BI atau Surat Edaran BI. Mahkamah Agung (MA) pun menyadari perlunya mengolah bahan-bahan itu menjadi hukum positif agar bisa diterapkan di Pengadilan Agama. Untuk itu dibutuhkan sebuah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Karena berbentuk kompilasi, aturan itu harus mencakup banyak ragam ekonomi syariah. Tak sekedar soal perbankan syariah, tapi juga soal wakaf, zakat, dan praktik ekonomi syariah lainnya (http://hukumonline.com Artikel yang berjudul: Menguntit Jejak Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah). Tanggal 10 September 2008 Ketua Mahkamah Agung telah menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah merupakan perangkat peraturan yang menjadi lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung RI N0. 02 Tahun 2008, fungsinya adalah sebagai Pedoman bagi para Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, sehingga dengan demikian ia merupakan tindak lanjut dari adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang menetapkan adanya kewenangan baru dari Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Substansi materi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dirangkum dari berbagai bahan referensi baik dari beberapa kitab fikih terutama Fikih Muamalah, Kodifikasi Hukum Islam yang berlaku di Turki yang dikenal dengan sebutan Majalat al ahkam al adillah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional dan hasil studi banding pada berbagai Negara yang menerapkan ekonomi syariah. Secara sistematik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) terbagi dalam 4 buku masing-masing: 1. Tentang Subjek Hukum dan Amwal, terdiri atas 3 bab (pasal 1-19) 2. Tentang Akad terdiri dari 29 bab (pasal 20-673) 3. Tentang Zakat dan Hibah yang terdiri atas 4 bab (pasal 674-734) 4. tentang Akuntansi Syariah yang terdiri atas 7 bab (pasal 735-796) (PERMA Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah). Dilihat dari kandungan isi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di atas, dari 796 pasal, sejumlah 653 pasal (80 %) adalah berkenaan dengan akad atau perjanjian, dengan demikian materi terbanyak dari

ketentuan-ketentuan tentang ekonomi syariah adalah berkenaan dengan hukum perikatan (akad). Pembahasan mengenai Hukum perikatan inilah yang menjadi pembahasan mendasar pada penelitian ini. Dalam sistem hukum Indonesia berlaku pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan peninggalan pemerintah Hindia-Belanda yang dahulu disebut Burgerlijk Wetboek (BW). Yang secara formal masih diterapkan dalam praktik terutama Buku ke III tentang perikatan (Verbintenissen). Dalam praktiknya ketentuan KUHPerdata ini juga dipergunakan dalam berbagai transaksi syariah seperti dalam perbankan syariah di Indonesia. Penggunaan bahan hukum ini dapat dimaklumi karena pada masa-masa sebelumnya transaksi-transaksi perbankan dan keuangan lainnya menggunakan KUHPerdata sebagai rujukannya disamping belum diterapkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam transaksi dimaksud. Dalam literatur ilmu hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan disamping istilah Hukum Perikatan untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah Hukum Perutangan, Hukum Perjanjian ataupun Hukum Kontrak. Masing-masing istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan lainnya. Istilah Hukum Perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntut-menuntut. Hukum Perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya transaksi. Perjanjian menurut Prof. Subekti, SH., adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Subekti, 2001: 1). Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis, orang juga sering menyebutnya sebagai Hukum Kontrak. Sedangkan digunakan Hukum Perikatan untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul dari adanya perjanjian antara pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku diluar perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu, di sini tampak bahwa hukum perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar hukum perjanjian (Subekti, 2001: 3).. Istilah Hukum Perikatan Islam dipakai dalam penulisan ini adalah dimaksudkan sebagai padanan pengertian dari Hukum Perikatan dalam Hukum Perdata Barat (BW) yang dikaji berdasarkan hukum Islam. Tidak berbeda dengan Hukum Perdata Barat tersebut, dalam pengertian Hukum Perikatan Islam di sini juga dimaksud sebagai cakupan yang lebih luas dari sekedar Hukum Perjanjian. Materi bahasan tentang Hukum Perikatan Islam ini merupakan bagian dari bidang hukum muamalah dalam kitab-kitab fikih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan sebagainya. Namun yang dimaksud dengan Hukum Perikatan (akad) Islam dalam penulisan tesis ini adalah bagian dari Hukum Islam bidang Muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Rayu (ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi (Gemala Dewi, at. al., 2006: 3). Dari pengertian tersebut di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara Hukum Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sifat

religius transendental yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi Hukum Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan pencerminan otoritas Allah SWT. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa substansi dari Hukum Perikatan Islam lebih luas materi yang terdapat pada Hukum Perikatan Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara Hukum Perikatan itu sendiri dengan hukum Islam yang melingkupinya yang semata-mata tidak mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tetapi juga hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta Allah SWT dan dengan alam lingkungannya, sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan Vertikal dan Horizontal. Oleh sebab itu pada penelitian ini penulis tertarik membahas masalah Hukum Perikatan (Akad) dalam Islam yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang nantinya akan dikomparasikan dengan KUHPerdata. Untuk itu penelitian ini membahas tentang: Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia (Studi Komparatif Antara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dengan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KHUPerdata)). Rumusan Masalah 1. Bagaimana Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)? 2. Apa Persamaan dan Perbedaan Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menelaah norma hukum positif dan hukum Islam yang mengatur perikatan (Akad) dalam Islam, sehingga dapat mencapai pengetahuan dan pemahaman tentang perikatan (Akad) dalam Islam yang didasarkan metode ilmiah, serta dapat memberikan penjelasan mengenai: 1. Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 2. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Manfaat Penelitian Penelitian tentang Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia (Studi Komparatif antara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ini diharapkan memiliki manfaat tertentu. Manfaat tersebut sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu: 1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk : a. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, khususnya para pelaku bisnis syariah tentang Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). b. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum dalam hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya yang berkaitan dengan Perikatan (Akad) di Indonesia

menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 2. Manfaat akademik (academic value) a. Diharapkan penulisan tesis tentang Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia (Studi Komparatif antara Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)) ini dapat dijadikan sebagai pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Hukum Islam pada Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang. b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah khazanah keilmuan dalam bidang ekonomi syariah. Tinjauan Pustaka Dari penelusuran referensi yang ada belum banyak dijumpai karya-karya ilmiyah yang membahas persoalan Hukum Perikatan (Akad) Syariah di Indonesia yang ditinjau dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hal ini bisa pahami karena persoalan ini relatif masih baru, apalagi pembahasan yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya dengan pembahasan ini dapat dijumpai pada beberapa karya ilmiyah, diantaranya adalah: Buku yang ditulis oleh Gemala Dewi, SH., LL.,M et al. Yang berjudul Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Dalam buku ini hanya menjelaskan konsep perikatan atau akad dalam tatanan hukum Islam yang merupakan intisari dari pendapat beberapa ulama fikih, dan diahir pembahasan buku ini dijelaskan juga bagaimana kedudukan hukum perikatan Islam dalam lembaga-lembaga syariah di Indonesia seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksa Dana Syariah dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Kesemua pembahasan tersebut merupakan hasil paparan dari Dewan Syariah Nasional yang telah membahas persoalan tersebut. Dalam buku ini tidak ada sedikitpun menyentuh tatanan hukum tentang konsep hukum perikatan (Akad) yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hal ini dapat dipahami bahwa permasalahan tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan permasalahan yang sangat baru. Tulisan yang berjudul Bentuk-Bentuk Perikatan (Akad) dalam Ekonomi Syariah yang ditulis oleh: Hasanudin (hal: 138-169) dalam Buku yang berjudul: Kapita Selekta Perbankan Syariah Menyongsong Berlakunya UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU. No. 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama) buku ini diterbitkan oleh PUSDIKLAT TEKNIS PERADILAN BALITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI TAHUN 2008. dalam tulisan ini menjelaskan konsep akad menurut Islam yang dimuat dalam buku Fikih Muamalah. Pembahasannya lebih banyak mengulas tentang pendapat para ulama fikih dan perbedaan pendapat dari para ulama fikih tersebut yang selanjutnya disebut dengan mazahib. Mazhab Syafii berpendapat bahwa masalah Muamalah hanyalah membahas masalah Kitab Buyu atau masalah jual beli. Sementara ulama lain berpendapat, bahwa Muamalah tidak terbatas hanya pada masalah jual beli, namun mencakup semua bidang hukum yang mengatur hubungan antar manusia yang berkaitan dengan benda atau mal seperti; jual beli, sewa menyewa, wakaf, hibah, rahn, hiwalah (pengalihan hutang) dan sebagainya. Dalam tulisan ini masalah akad merupakan permasalahan sentral yang ditulis oleh penulis yang semuaya pada tatanan hukum Islam murni dan belum membahasnya dalam Bingkai Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Dalam Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah yang memuat 12 judul dan salah satunya buku yang ke 12 berjudul: Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah. Dengan Tim Penyunting: Dr. Muhammad

Firdaus, NH. et al., buku ini merupakan buku pedoman untuk memahami konsep ekonomi syariah yang dipecah menjadi 12 judul dan buku. Dalam buku yang ke 12 ini dibahas masalah konsep akad menurut Islam yang isinya tidak jauh berbeda dari buku-buku yang telah ada. Di sini dijelaskan dengan gamblang permasalahan akad dan dilengkapi dengan pendapat para ulama fikih. Dan di sini juga belum ada pembahsan tentang akad atau hukum perikatan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Definisi Operasional Akad secara bahasa berarti ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak dari satu sisi atau dari dua sisi (Firdaus NH, 2005: 12). Sedangkan menurut M. Hasbi Ashiddieqy adalah mengikat yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satu yang lain, sehingga bersambung kemudian keduanya menjadi satu benda, pada sisi lain akad diartikan sebagai janji. (Mujahidin, Mimbar Hukum: Journal of Islamic Law, 2008: 89). Sedangkan menurut terminologi (istilah) umum, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. Lebih spesifik akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya (Firdaus NH, 2005: 13). Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda verbintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum( legal relation). Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law). Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. Perikatan yang terdapat dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut: a. Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. b. Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya. c. Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya. d. Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya (Gemala Dewi, 2006: 47). Perikatan yang dibicarakan dalam tesis ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang-bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan, perniagaan atau kegiatan usaha (bisnis) saja, yang menurut sistematika Kitab Undang-

Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) terdapat dalam buku II tentang akad. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah perangkat peraturan yang menjadi lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung RI N0. 02 Tahun 2008, fungsinya adalah sebagai Pedoman bagi para Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, dan merupakan tindak lanjut dari adanya Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 yang menetapkan adanya kewenangan baru dari Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah kitab berisikan undang-undang yang merupakan pedoman bagi para Hakim (hukum materiil) untuk menyelesaikan sengketa keperdataan dan buku ini merupakan peninggalan pemerintah Hindia-Belanda yang dahulu disebut Burgerlijk Wetboek (BW). Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang dilakukan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang bertitik tolak pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang membahas dan mengatur tentang perikatan (Akad) Syariah di Indonesia yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 2. Sumber Data Mengingat penelitian ini memusatkan pada penelitian hukum yang menganalisis peraturan perundangundangan yang mengatur tentang hukum perikatan (akad) syariah di Indonesia maka data yang dibutuhkan adalah data yang bersifat kualitatif yang sepenuhnya akan diperoleh dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta buku-buku lain yang memuat masalah hukum perikatan (akad). Oleh karena itu sumber data Primernya adalah: yang diperoleh dari Al-Quran dan al-Hadist sebagai sumber hukum tertinggi bagi hukum Islam, kemudian Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Fikih Muamalah, kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sendiri. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang membahas tentang akad atau hukum perikatan dalam Islam dan buku-buku teks lainnya serta peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun data yang diperoleh dari studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, serta literaturliteratur lainnya yang membahas dan mengatur tentang perikatan (Akad) Syariah di Indonesia yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan yang dijelaskan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Seluruh data tersebut akan dikumpulkan dan ditelaah kemudian akan diklasifikasikan sesuai dengan pembahasan masing-masing. 4. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasikan akan dianalisis melalui sistem induktif yakni menguraikan data dari bentuk data umum menjadi khusus. Dalam proses pelaksanaannya dilakukan

dengan motede Content Analisis yaitu menganalisa pesan-pesan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia serta Persamaan dan Perbedaan Pengaturan dan Penerapan Hukum Perikatan (Akad) Islam di Indonesia. Sistematika Pembahasan Supaya lebih terarahnya dalam penulisan ini, maka dalam kajian ini penulis menyusun sistematika pembahasan dalam V (Lima) Bab yang didalamnya terdapat sub bab, seperti yang dijelaskan berikut: Bab Pertama, merupakan Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Defenisi Operasional, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. Bab Kedua, pada Bab ini akan dibahas Konsep Perikatan (Akad) Syariah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Dalam sub bahasannya adalah: Pengertian Perikatan (Akad), Unsur-Unsur Akad, Rukun dan Syarat Perikatan (Akad) Syariah dalam sub bahasan ini akan dijelaskan mengenai Subjek Perikatan (Al-Aqidain), Objek Perikatan Mahallul Aqdi), Tujuan Perikatan (Maudhuul Aqd), Ijab dan Qabul (Sighat al-Aqd), selanjutnya akan dibahas Hak dan Kewajiban para Pihak, Penyelesaian Perselisihan, dan Berakhirnya Akad. Bab Ketiga, pada Bab ini akan dibahas Konsep Perikatan (Akad) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata). Dalam sub bahasannya adalah: Pengertian Perikatan (Akad), Unsur-Unsur Akad, Rukun dan Syarat Perikatan (Akad) Hak dan Kewajiban para Pihak, Penyelesaian Perselisihan, dan Berakhirnya Akad. Bab Keempat, Pada bagian ini merupakan inti atau pembahasan yang paling utama pada penulisan tesis ini, yaitu melihat persamaan dan perbedaan konsep perikatan (Akad) dalam perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata). Sub bahasannya adalah: Pengertian Perikatan (Akad), Unsur-Unsur Akad, Rukun dan Syarat Perikatan (Akad) Hak dan Kewajiban para Pihak, Penyelesaian Perselisihan, dan Berakhirnya Akad. Bab Kelima, Pada bab ini secara umum akan memberikan Kesimpulan dari apa yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu serta saran-saran yang menunjang dari hasil penelitian ini.

You might also like