You are on page 1of 21

HUKUM DAKWAH DALAM AL-QUR' AN DAN HADIS

HUKUM DAKWAH DALAM AL-QUR' AN DAN HADIS (Hs. Hasibuan) A. Pendahuluan Dakwah merupakan aktivitas yang sangat penting dan inheren dengan Islam. Oleh Awis Karni, sangat sulit memisahkan dakwah dengan Islam karena Islam itu berkembang dengan lewat dakwah. Dakwah adalah suatu upaya mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar yang dilarang oleh Agama Islam. Dengan dakwah, segala kegiatan yang melanggar aturan agama Islam dapat dihindarkan dan disana pula ajaran Islam dapat diterima oleh manusia. Islam yang disyariatkan melalui kegiatan dakwah yang berfungsi untuk menata kehidupan yang agamis dan penuh dengan keredhaan Allah SWT. Karena pentingnya dakwah itu, maka kegiatan dakwah bukanlah pekerjaan yang dipikirkan dan dikerjakan sambil lalu saja melainkan suatu pekerjaan yang mesti direncanakan dengan matang, dilakukan secara sustainable, dan dilaksankan secara konsisten. 1 Pada dasarnya setiap muslim perlu berdakwah untuk memberi nasehat atau peringatan terhadap sesamanya. Dakwah bukan hanya sekedar tugas kemanusiaan biasa, akan tetapi jauh dari itu dakwah merupakan tugas kehalifahan yang diperintahkan Allah kepada manusia. Bukti bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berdakwah dapat dilihat pada surat ali Imran: 104. Hanya saja tugas dakwah lebih lanjut perlu dikaji secara hukum, apakah hukum berdakwah bagi setiap individu, kelompok atau organisasi menurut persfektif al-Quran dan hadits? Untuk itu secara lebih lanjut pada makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang bagaimana pandangan al-Quran dan hadits tentang kewajiban dakwah. B. Pembahasan 1. Hukum Dakwah dalam al-Qur'an Hukum dakwah terdiri dari dua kata yaitu hukum dan dakwah. Hukum menurut M.H. Tirtaatmadja ialah semua aturtan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakantindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan ituakan membahayakan diri sendiri atau harta. Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto berpendapat bahwa hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturanperaturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu. Pengertian dakwah secara bahasa berasal dari bahasa Arab, ,, yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata. Sedangkan secara istilah pengertian dakwah mengalami perkembangan dan perbedaan makna sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian pengertian hukum dakwah adalah aturan-aturan yang memuat tentang kewajiban dan tata-cara dakwah sesuai dengan hukum Islam. Ditinjau dari segi fiqh hukum itu sendiri terdiri dari beberapa pembagian yaitu: hukum akli, hukum syari dan hukum adi. Mengenai pembagiannnya diterangkan berikut ini: a. Hukum Akli. Hukum akli adalah hukum yang berkaitan dan dapat dipahami melalui pendekatan fikiran. Berkaitan dengan ini ada tiga bentuk hukum fikli yaitu: 1) wajib akli, yaitu hal-hal yang mesti/wajib difikirkan/diputuskan melalui pendekatan akal, 2) harus akli, yaitu hal-hal yang lebih baik memutuskan atau menetapkan sesuatu melalui pendekatan akal, 3) mustahil akli yaitu hal-hal yang tidak mungkin mengunakan akal dalam memutuskan atau menetapkan sesuatu. b. Hukum sari. Yaitu seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum sari dapat dibagi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Pertama, hukum taklifi adalah titah (perintah Allah) langsung mengenai perbuatan orang mukallaf. Hukum ini terbagi pula menjadi enam bagian yaitu: 1) tuntutan mengerjakan secara pasti ditetapkan melalui dalil yang qathi atau pasti, disebut fardu, 2) bila dalil yang menetapkannya bersifat tidak pasti (zhanni), hukumnya disebut wajib, 3) Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Terhadap yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa, tuntutan ini disebut nadb atau mandub, 4) tuntutan untuk meninggalkan secara pasti dengan arti yang dituntut harus meninggalkannya. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim, sedangkan perbuatan yang dilarang secara pasti itu disebut haram, 5) tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tuntutan seperti ini diusebut dengan makruh, 6) titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Tuntutan ini disebut dengan mubah. Kedua hukum wadhi. hukum ini bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. Hukum wadhi itu sendiri menurut Amir Syarifuddin dapat dibagi menjadi tujuh bagian yaitu: 1) sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Hukum ini disebut dengan hukum asbab, 2) sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Hukum ini disebut dengan hukum syarat, 3) sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi, disebut dengan mani, 4) akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani, disebut shah, 5) akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi

sebab atau syarat; atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani, disebut dengan batal, 6) pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, disebut azimah, 7) pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu, disebut rukshah. c. Hukum Adi. Yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum dalam hal ini pemerintah untuk mengatur kemaslahatan orang banyak dalam sebuah negara atau wilayah yang lebih besar. Hukum dalam bentuk ini misalnya Undang-undang Dasar, UU, PP, Kepres, kepmen, dll. Dari beberapa pembagian hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dakwah itu adalah hukum wajib ain, yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap ummat Islam sesuai dengan kemampuan dan kapasistas masing-masing. Kesimpulan penulis ini di dasarkan pada beberapa pertimbangan: 1. petunjuk ayat yang menyatakan tentang kewajiban dakwah adalah menggunakan piil amar yang berarti wajib untuk dikerjakan 2. kegiatan dakwah adalah kegiatan yang pada prinsipnya menyampaikan kebenaran dan kebaikan oleh karena itu menyampaikan kebaikan dan kebenaran itu adalah menjadi tugas seluruh umat Islam sesuai dengan kemampuan masing-masing 3. adanya pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban dakwah adalah fardu kifayah, sepanjang pengamatan penulis telah mengkerdilkan makna dakwah, menjadi sesuatu yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan tujuan dan prinsip dakwah yaitu menyampaikan kebenaran. 4. untuk mengembalikan fungsi dakwah dan menegakkan kebenaran di muka bumi maka tugas dakwah mestilah dimasukkan kepada hukum fardu ain yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap muslim yang telah baliqh.
Gbr. 1 Gambar Pembagian Hukum Fiqh

Pembagian Hukum Adi Wajib Fikli UU PP UUD

Kepres Kepmen Akal Wajib Fikli Harus akli Mustahil akli Wajib akli POSISI HUKUM DAKWAH Fardu Wajib nadb haram makruh mubah Talifi Syar,i Wadi Asbab Syarat Mani Shah Batal Azimah

Rukhsoh Aini Kifayah

Berdasarkan ayat al-Qur'an, ulama sepakat bahwa hukum dakwah itu secara umum adalah wajib, sedangkan yang menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu dibebankan kepada individu muslim atau hanya dibebankan kepada kelompok orang saja dari secara keseluruhan, perbedaan pendapat mengenai hukum berdakwah disebabkan perbedaan cara pemahaman mereka terhadap dalil-dalil nakli disamping kenyataan kondisi setiap muslim yang berbeda pengetahuan dan kemampuan. Ayat yang menjadi pokok pangkal pendapat itu adalah surat Ali-Imran ayat 104.

( ) :
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar . merekalah orang-orang yang beruntung. Pada ayat tersebut terdapat tiga kewajiban yang dihadapi. Yang dua berpusat kepada yang satu. Yang satu ialah mengajak kepada kebaikan. Dan menimbulkan dua tugas. Pertama menyuruh berbuat maruf dan kedua melarang berbuat munkar. Yang baik dua kata kerja yang disuruh oleh Allah kepada manusia yaitu berbuat maruf dan mencegah yang munkar. Di dalam tafsir Jamaluddin al-Qasimi dinyatakan pada surat Ali-Imran ayat 104 memberikan alasan tentang wajib untuk menyeru kepada makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mewajibkan kepadamu sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur'an dan sunnah. Ahmad Mustafa Al- Maraghi dalam menafsirkan surat Ali Imran: 104 memebedakan antara dan .Kata adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama (prinsip ajaran agama) dan duniawi. Kata adalah apa yang dianggap baik oleh oleh syariat dah akal. Disini Allah SWT., memerintahkan agar melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu anggotaanggota masyarakatdan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah syariat serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagai pengukuhan terhadap mereka untuk memelihara hukum-hukum syariat dalam rangka memlihara syari;at dan undang-undang. Jadi hendaklah didalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada kebaikan dan berpegang teguh kepada syariat. Menurut Imam Khazin sebagaimana yang dikutib oleh Moh. Ali Azis menyatakan bahwa arti mim dalam surat Ali-Imran ayat 104 adalah berfungsi sebagai penjelas (Iil bayan) bukan menunjukkan arti sebagai (littab'iidh), sebab Allah telah mewajibkan dakwah kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya ("Kamu sebagian adalah sebaik-baik umat (Ali-Imran: 110), dan karena itu arti yang tepat untuk ayat 104 ayat Ali-Imran di atas adalah hendaklah kamu semua menjadi umat yang selau mengajak kepada kebaikan memerintah yang makruf

dan mencegah yang mungkar. Penjelasan Imam Khazin yang menyatakan, bahwa arti mim yang mempunyai fungsi sebagai penjelas, yaitu dakwah adalah kewajiban dan tanggung jawab setiap muslim dan dikhususkan kepada seorang kaum muslim saja, namun siapa yang merasa muslim adalah yang wajib melaksanakan dakwah tergantung atas kemampuannya sendiri. Menurut M. Quraish Sihab, kata minkum pada ayat 104 surat Ali-Imran menyatakan bahwa ada ulama yang memahami dalam artian sebagian dengan demikian perintah dakwah yang dipesankan oleh ayat itu tidak tertuju kepada setiap orang. Bagi yang memahaminya demikian, maka ayat ini buat mereka yang mengandung dua macam perintah. Perintah pertama kepada seluruh umat Islam untuk membentuk dan menyiapkan suatu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah kepada kebaikan dan makruf serta mencegah kemungkaran. Perintah pertama dalam hal ini bisa jadi suatu lembaga kemasyarakatan yang tugasnya adalah untuk melaksanakan dakwah dan ada kegiatan-kegiatan khusus olehnya untuk melancarkan dakwah. Perintah kedua adalah dakwah yang dilancarkan ini menyangkut kepada dakwah kepada kebaikan dan makruf nahi mungkar. Keterangan minkum yang menyebabkan dua kewajiban ini hanya memposisikan hukum dakwah wajib hanya mempunyai cakupan yang kecil, yaitu kelompok. Kalau kita kembali kepada persoalan sebelumnya, yang menyatakan bahwa huruf mim dan dalam kata minkum merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim yang merupakan penjelas, menurut Quraish Shihab adalah ini merupakan perintah kepada muslim untuk melaksanakan tugas dakwah yang masing-masing sesuai dengan kemampuannya, memang dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang sempurna, maka tentu saja tidak semua orang dapat melaksanakannya. Disisi lain, kebutuhan masyarakat dewasa ini, bahkan perang informasi yang demikian pesat dengan sajian nilai-nilai baru sering kali membingungkan, semua itu menuntut adanya kelompok khusus yang menangani dakwah dan membendung informasi yang menyesatkan, karena itu adalah lebih tepat memahami kata minkum pada ayat di atas dalam artian sebagian dari kamu tanpa menuntut kewajiban setiap muslim untuk saling ingat mengingatkan, bukan berdasarkan firman Allah pada surat aI-Ashar yang menilai semua muslim kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan ketabahan. Dari semua keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli tafsir menyatakan bahwa kata minkum adalah sebagai penjelas (lil bayan) dan ada yang mengatakan bahwa kata minkum adalah sebagian (littab'iidh), namun sebenarnya keduanya bisa dipakai dalam status hukum dakwah dan tergantung kemana posisi hukum ini diletakkan. Kalau seandainya lil bayan, maka dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali sesuai dengan kemampuan mereka, namun kalau berada dalam posisi littab'idah atau sebagian adalah ada kelompok yang bertugas untuk melaksanaka dakwah, maka kedua makna antara lil bayan dan littab 'idah adalah penempatan hukum dakwah sesuai dengan kemampuan umat muslim dalam menegakkan kebenaran, bisa jadi Iil bayan adalah umat muslim yang mempunyai otoritas (kekuasaan). Menurut Ar-Razi, perkataan minkum mengatakan "seseorang diantara kamu" sesungguhnya (min) menurut Dalalain adalah (pertama) sesungguhnya Allah Ta'ala mewajibkan kepada sekalian seperti yang dikatakan "engkau adalah sebagian ummat. .... ",

sedangkan yang kedua adalah dia sesungguhnya tidak berarti tanggung jawab melainkan kewajiban keduanya, menyeru "kepada yang makruf dan mencegah keapada yang mungkar, ada kalanya dengan tangan, atau lisan atau dengan hati - maka ayat ini suatu yang ada pada umat yang menyeru kepada kebaikan memerintahkan yang makruf mencegah yang mungkar. Fuad Mohm. Facruddin dan Ali al-Syamsi al Nasyar, sebagaimana yang dikutip oleh Salmadanis mengatakan bahwa melaksanakan amar makruj nahi mungkar adalah suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua golongan tertentu saja, juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sarna dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik. Kewajiban al-amr bi al-makruf wa al-hahy an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lain. Dikatakan demikian sangat kuat bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah sebuah tanggung jawab penuh bagi semua umat muslim kepada kepada seorang muslim lainnya, dan dengan melaksanakan kegiatan amar makruf nahi mungkar akan menyebabkan semua lapisan masyarakat akan mampu mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan penuh dengan redha Allah SWT, dengan demikian palaksanaannya juga harus sesuai dengan kapasitas kemampuanya, dan tidak menuntut para individu dalam malaksanakan dakwah diluar kemampuan mereka. Sedangkan mengenai dakwah, ada dua kata yang berada dalam rangka perintah melaksanakan dakwah yaitu yad'una yakni mengajak dan yang kedua yaitu ya'muru yakni memerintahkan, Menurut Sayyid Qhutub sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab "Perbedaan itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok masyarakat Islam, kelompok pertama yang bertugas mangajak, dan kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang, maka kedua kelompok itulah yang memilkiki kekuasaan di muka bumi, ajaran illahi bukanlah nasehat, pertunjuk dan penjelasan. Sedangkan kekuasaan memerintah dan melarang agar makruf dapat terwujud dan kemungkaran dapat sirna. Lebih lanjut M. Natsir mengatakan bahwa kewajiban dakwah merupakan tanggungjawab kaum muslimin dan muslimat. Dan tidak boleh seorang muslim/muslimah pun dapat menghindarkan diri dari padanya. Kemudian Toha Jahya Omar mengungkapkan bahwa hukum dakwah adalah wajib sesuai dengan surat an-Nahl: 125. Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk Kewajiban dakwah menurut Toha Jahya Omar pada ayat di atas, di dasarkan pada kata-kata udu yang diterjemahkan dengan ajaklah adalah fiil amar. Menurut aturan Ushul Fiqh amar menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada sunat dan lain-lainnya.

Lebih lanjut M. Natsir menyatakan bahwa tugas umat secara keseluruhan bukan hanya memonopoli golongan yang disebut dengan ulama atau cerdik pandai dan cendikiawan. Bagaimana suatu masyarakat akan mendapat suatu kemajuan apabila para anggota memiliki ilmu yang sedikit atau banyak atau ilmu agama atau ilmu dunia tidak tersedia mengembangkan apa yang ada pada diri mereka untuk selamanya. Suatu ilmu yang bermanfaat bagi tiap-tiap yang khair, dan yang makruf, yang baik, patut dan pantas dan terbit bagi tiap orang, dan tiap-tiap benih kebenaran itu memiliki daya kemampuan, sendiri dan tinggal lagi menaburkan dan memupuknnya dan bagaimana pula suatu masyarakat akan selamat bila anggotanya sama-sama diam, masa bodoh terhadap kemungkaran, tiap-tiap bibit kemungkaran memiliki daya geraknya sendiri, di waktu masih kecil ia ibarat seperti bara yang sukar dimatikan. 2. Hukum Dakwah Dalam Hadis Selain al-Quran, di dalam hadits juga terdapat perintah atau suruhan untuk melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga akan berbeda pada setiap orang tergantung situasi dan kondisi yang dialami orang tersebut dalam pandangan hukum. Abu Said AlKhudry ra. Berkata, Aku Mendengar Rasulullah SAW., bersabda Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekerasan atau kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu (dengan lidahnya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim). Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut menurut penulis ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum secara umum dan hukum secara khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan kegiatan dakwah ditetapkan sebagai kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin semua orang memiliki potensi sebagai muballigh dan dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara khusus adalah ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari hukum fardu kifayah, disebabkan oleh tingkatan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang. Ada tiga cara dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan atau dengan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan atau wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan menyeganinya. Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran yang dilontarkan kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus mempunyai mental yang cukup kuat dan dalam melakukan tindakan pencegahan kemungkaran. Ketiga dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk menasehati orang lain yaitu merupakan selemah-lemah keadaan seseorang, setidak-tidaknya ia masih tetap berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya kalau ia masih dianggap Allah sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang paling lemah, yakni mentalnya tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran. Penolakan kemungkaran dengan hati merupakan batas minimal dan benteng tempat penghabisan dari upaya pencegahan kemungkaran. Menurut penulis pada cara pertama ketika seseorang memiliki power dan kemampuan untuk mengendalikan orang lain pada jalan yang benar maka jatuh hukum wajib baginya yang dilakukan secara konsep kifayah untuk mencegah kemungkaran dengan kekuatannya.

Hal ini juga memberi pengertian bahwa wajib bagi orang yang memiliki power untuk berdakwah mencegah kemungkaran dengan kekuatan maupun dengan menggunakan lisan. Akan tetapi jika dia memiliki kekuasaan tetapi tidak dapat mampu mengendalikan kekuasaan tersebut, atau dengan kata lain dia berada dalam kendali orang lain, maka hukum dakwah secara pribadi dan khusus menjadi tidak wajib baginya akan tetapi dapat berubah fungsi menjadi hukum yang lain. Kemudian pada keadaan yang kedua di mana seseorang dengan keberaniannya mampu mencegah kemungkaran dengan cara lisannya, dengan siap mental menanggung resiko apapun yang akan terjadi karena tindakannya. Maka menurut penulis jatuh hukum sunat padanya untuk mencegah kemungkaran. Artinya, hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang yang tidak mempunyai power tetapi dia memiliki kemampuan mental untuk berdakwah dan dia mengetahui bahwa resiko akan terjadi sebagai akibat dari tindakannya maka sunat baginya berdakwah. Selanjutnya pada keadaan yang ketiga di mana seseorang tidak memiliki kemampuan, dan juga tidak siap secara mental untuk mencegah kemungkaran maka jatuh hukum mubah baginya untuk tidak mencegah kemungkaran asalkan di dalam jiwanya berkata bahwa dia tidak setuju dengan kemungkaran yang dilihatnya. Dengan demikian hal ini juga dipahami bahwa ketiak seseorang tidak memiliki kekuasaan, kemampuan secara lisan dan tidak memiliki kesiapan mental maka jatuhlah hukum mubah untuk tidak berdakwah baginya. Meskipun para ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum dakwah secara umum adalah fardu kifayah, namun demikian menurut penulis hukum dakwah seperti yang diuraikan di atas mestilah dikembalikan pada hukum fardu ain agar setiap orang berbuat dan menyampaikan kebenaran. Hadis di atas juga ditegaskan oleh hadis lain bahwa Khuzaifah ra. Nabi SAW. Bersabda "Demi zat yang menguasai diriku, haruslah kamu menegakkan kepada kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang mungkar, atau Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo'a kepada-Nya dimana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu (HR. Turmudzi). Hadits di atas tidak menjelaskan hukum dakwah secara jelas, akan tetapi surahan untuk mengerjakan dakwah jelas dikatakan. Hal ini juga membuktikan bahwa menurut penulis hukum dakwah itu sangat berkaitan sekali dengan kondisi dan keadaan seseorang. Hadis ini telah didahului dengan sumpah Nabi SA W. Bagi umat Islam yang merupakan pilihan bagi mereka akan mendapat siksa dari Allah, karena mereka telah dianggap oleh-Nya telah mengabaikan tugas agama yang sagant penting dan wajib ini. Sehingga kemurkaan Allah bukan kepada orang yang melakukan kemungkaran, namun terhadap umat secara keseluruhan seperti finnan-Nya "Dan peliharalah dirimu dari siksa Allah yang tidak khusus akan menimpa orang yang zalim saja diantara kamu dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya (QS. AI-Anfal: 25) C. Penutup

Kesimpulan tulisan di atas adalah: 1. Al-Quran dan hadits menyuruh umat muslim dan muslimat untuk berdakwah 2. Menurut kebanyakan ulama secara umum hukum dakwah adalah fardu kifayah 3. Menurut penulis hukum dakwah adalah fardu ain agar setiap muslim berbuat, menegakkan dan menyampaikan kebenaran. Dakwah adalah upaya mengumpulkan manusia-manusia dalam kebaikan, menunjuki mereka jalan yang benar dengan cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan amalan. Kemudian M. Masyhur Amin, berpendapat dakwah adalah suatu aktivitas yang mendorong manusia mememeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana dengan materi ajaran Islam agar mereka mendapat kesejahteraan di duna dan kebahagiaan di akhirat. Lihat: Fathul Bari an-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Dai (Jakarta: Amzah, 2007), h. 19-22. Kemudian M. Quraisy Shihab mendefenisikan dakwah sebagai seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), h. 194. Bandingkan dengan Ali Mahfuzd, Hidayah al Mursyidin, (Beirut: Dar al Maarif, tt), h. 17, Amrullah Ahmad, Dakwah Sebagai Ilmu (Suatu Pendekatan Epistimologi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1994), h. 6, Thoha Jahya Omar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1967), h. 1, dan Duski Samad, Imam, Khatib dan Muballigh dalam Penataan Dakwah di Masjid, (Padang: Makalah, 2008), h. 1 Awis Karni, Dakwah Masyarakat Kota, (Jakarta: The Minangkabau Fondations, 2006), h. 2 Lenggam Masturah, Metode Dakwah Allati Hiya Ahsan, (Padang: Makalah Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2009), h. Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 12 Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mujam Muqayyis al Lughat, (Mesir: Musthafa al Baabi al-Halabi, 1996) dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003), h. 76 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Ciputat, Lgos Wacana Ilmu: 1997), h. 281 Pada dasarnya al-Quran dari segi penjelasannya ada dua model, yaitu muhkam (jelas) dan mutasyabihat (samar). Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang terang artinya, jelas maksudnya, dan tidak mengandung keraguan, serta tidak mengandung pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat dalam lafazh ayat al-Quran tersebut. Sedanghkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak jelas artinya, sehingga terbuka kemungkinan adnya berbagai penafsiran dan pemahaman. Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 84 al-Quran yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qathi (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung al-Quran adakalanya bersifat qathi dan

adakalanya bersifat zhanni (relatif benar). Lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1983), h. 37. Lihat juga Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputata: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 33 Makruf adalah mencakup segala apa yang dikenal bahwa ia patut, baik dan benar, mengenai akhlak, adat istiadat, segala perbuatan yang berpaedah dan barakahnya kembali kepada pribadi dan masyarakat, dan dilamnya tidak terdapat pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan segala hal buruk lainnya. Lihat A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 302. Munkar adalah segala apa yang dikenal bahwa ia jahat dan keji, mengenai akhlak, adapt istiadat, segala perbuatan yang bencana kemudratannya kembali kepada pribadi dan masyarakat, dan didalamnya terdapat pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan segala hal buruk lainnya. Ibid Hamka, Tafsir, al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h 31 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 104 Lebih lanjut lihat: Ahmad Musthafa Al-Mraghi, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4 (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 35 Muhammad Ali Azis, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 43 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 73 Ibid. Ibid, h. 174 Al Iman Muhammad ar_Razi, Tafsir Fakhrur ar-Razi, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1415 H), h. 182-183 Salmadanis, Dakwah dalam Persfektif al-Quran dan Hadis, (Jakarta: TMF, 2000), h.65 Al Iman Muhammad ar_Razi, Tafsir Fakhrur ar-Razi, op.cit. 174 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 45 Ibid, h. 44-45 M. Natsir, Fiqud Dakwah, (Semarang:Roma Ahani, 1989), h. 111 Mustafa Dieb Al-Bugha Muhyidin Mistu, Syarah Kitab Arbain An-Nawawiyah, (Jakarta: 1998), h. 289

Hukum-Hukum Dakwah Hukum Berdakwah Dan Keutamaannya, Prioritas Dan Pokok-Pokok Utama Dakwah Tidak Berubah Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Hukumnya, telah ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah tentang wajibnya berdakwah mengajak menusia ke jalan Allah Subhanahu wa Taala yaitu bahwa berdakwah termasuk kewajiban. Dalilnya sangat banyak, di antaranya, firman Allah Subhanahu wa Taala Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. [Ali Imran : 104] Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. [An-Nahl : 125] Dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu, danjanganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb. [Al-Qashash : 87] Katakanlah, Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. [Yusuf : 108] Allah Subhanahu wa Taala menjelaskan, bahwa para pengikut Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah para dai dan para pemilik ilmu yang mapan. Dan yang wajib sebagaimana diketahui, adalah mengikutinya dan menempuh cara yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al-Ahzab : 21] Para ulama menjelaskan, bahwa mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Taala hukumnya fardhu kifayah di negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang sudah ada para dainya yang melaksanakannya. Jadi, setiap negeri dan setiap wilayah memerlukan dakwah dan aktifitasnya, maka hukumnya fardhu kifayah jika telah ada orang yang mencukupi pelaksanaannya sehingga menggugurkan kewajiban ini terhadap yang lainnya dan hanya berhukum sunnah muakkadah dan sebagai suatu amalan yang agung. Jika di suatu negeri atau suatu wilayah tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah dengan sempurna, semuanya berdosa, dan wajib atas semuanya, yaitu atas setiap orang untuk melaksanakan dakwah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Adapun secara nasional, wajib adanya segolongan yang konsisten melaksanakan dakwah di seluruh penjuru negeri dengan menyampaikan risalah-risalah Allah dan menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu

wa Taala dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengutus para dai dan berkirim surat kepada para pembesar dan para raja untuk mengajak mereka ke jalan Allah Subhanahu wa Taala PRIORITAS DAN POKOK-POKOK UTAMA DAKWAH TIDAK BERUBAH Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Prioritas dakwah Islamiyah berubah-rubah dari masa ke masa dan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya? Apakah menyerukan aqidah yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Saw, harus pula dilakukan oleh para dai di setiap zaman? Tidak diragukan lagi, bahwa prioritas dan pokok-pokok dakwah Islamiyah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hingga hari Kiamat tetap sama, tidak berubah karena perubahan zaman. Adakalanya sebagian pokok-pokok itu telah terealisasi pada suatu kaum dan tidak ada hal yang menggugurkannya atau mengurangi bobotnya, pada kondisi seperti ini, sang dai harus membahas perkara-perkara lainnya yang dipandang masih kurang. Kendati demikian, pokok-pokok dakwah Islamiyah sama sekali tidak berubah. Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda. Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalam. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka. [HR. Al-Bukhari dalam Az-Zakah (1458), Muslim dalam AlIman(19)] Itulah pokok-pokok dakwah yang harus diurutkan seperti demikian ketika kita mendakwahi orang kafir. Tapi jika kita mendakwahi kaum muslimin yang telah mengetahui pokok pertama, yaitu tauhid dan tidak ada hal yang menggugurkan atau menguranginya, maka kita menyerukan kepada mereka pokok-pokok selanjutnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits tadi. Sumber: [Kitabud Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/154-155)] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq] http://www.almanhaj.or.id/content/2407/slash/0 [Majalah At-Buhuts Al-lslamiyyah, edisi 40 hal. 135-136]

BAB I A. HUKUM GAMBAR Kalau kita membaca komik, melihat kartun, atau berbagai animasi atau ilustrasi di berbagai media, rasanya gatal untuk kembali corat-coret. Apalagi ketika melihat komik-komik zaman sekarang yang tidak jauh beda dengan film pornoblue filmkalau kata orang-orang. Entah, apakah UU Pornografi berhasil menghentikan peredaran komik-komik tersebut atau tidak. Yang pasti, rasa prihatin seolah membuncah ingin berkarya di bidang ini agar dakwah dan pendidikan pun mampu digemari seperti Naruto, Conan, dan lainnya digandrungi orang-orang. Tak hanya itu, ingin rasanya membuat sebuah game edukasi dan dakwah yang digandrungi seperti Sims, Final Destination, dan berbagai permainan baik online maupun tidak. Menurut fatwa Yusuf Qaradhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3 yang diterbitkan Gema Insani Press cetakan pertama (2002) Menurut beliau, yang mendukung pendapat para ulama klasik (salaf) berdasarkan dalil-dalil syara, gambar-gambar yang diharamkan adalah gambar yang mempunyai bayangan dan mempunyai bentuk, atau yang disebut patung. Seperti dalam sebuah hadists (tidak diberitahukan siapa yang merawikannya): Siapakah yang lebih zalim dari orang yang menciptakan sesuatu seperti ciptaan-Ku? Hanya lukisan yang berbentuk yang bisa dibayangkan akan ditiupkan ruh ke dalamnya pada hari kiamat. Padahal sang pelukis selamanya tidak akan mampu melakukannya. Patung dibolehkan untuk mainan anak-anak, misal boneka. Alasannya, karena mainan merupakan kebutuhan anak-anak, tidak ada unsur penyakralan dari patung atau gambar-gambar tersebut. B. TUJUAN PENULISAN 1. Apa efek Gambar dan film kartun terhadap anak didi? 2. Gambar dan kartun apa saja yang boleh kita gunakan sebagai saranan dakwah? 3. Bagaimana hokumnya menggunakan gambar dan film kartun dalam sarana dakwah?

BAB II PEMBAHASAN

A. EFEK-EFEK GAMBAR DAN FILM KARTUN Berbicara tentang efek media massa, ada satu saat ketika media massa dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika media massa dianggap sedikit, bahkan hampir tidak ada pengaruhnya. Perbedaan pandangan ini tidak saja disebabkan karena perbedaan latar belakang teoritis, tetapi juga karena perbedaan mengartikan kata efek. Seperti yang dinyatakan Donald K. Robert, bahwa ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa. Namun demikian, membatasi efek hanya selama berkaitan dengan pesan media, akan mengesampingkan pengaruh media massa itu sendiri. Menurut Steven M. Chaffee, pendekatan pertama adalah melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun media itu sendiri. Pendekatan kedua adalah melihat melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa seperti penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku atau dalam istilah lain perubahan kognitif, afektif dan behavioral. Pendekatan ketiga meninjau satuan observasi yang dikenai efek komunikasi massa yaitu individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau bangsa.

Pada umumnya seseorang ingin tahu bukan untuk apa ia membaca surat kabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana surat kabar dan televisi menambah pengetahuan dan sikap, atau menggerakkan perilaku seseorang. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa. Efek komunikasi massa terbagi menjadi tiga, yaitu : a. Efek Kognitif Wilbur Scrhramm mendefinisikan informasi sebagai segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi. Sedangkan pengurangan ketidakpastian tersebut melalui citra. Citra merupakan peta tentang dunia. Citra adalah dunia dalam persepsi kita dan merupakan gambaran tentang realitas walaupun tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Singkatnya citra terbentuk berdasarkan informasi yang telah diterima. Lebih jauh, ketika surat kabar, radio dan televisi menyampaikan informasi atau nilai-nilai yang berguna bagi khalayak maka hal inilah yang biasa disebut sebagai efek prososial kognitif. Lebih dari itu, siaran pendidikan televisi yang menggabungkan unsur hiburan dengan informasi pada dasarnya telah berhasil menanamkan pengetahuan, pengertian dan ketrampilan. Dari sini jelas bahwa sarana teknologi komunikasilah dalam hal ini televisi yang mampu mengubah dan

membentuk pengetahuan kita tentang dunia. Semisal, televisi menyebabkan audien lebih mengerti tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar, artinya televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Singkatnya dapat dikatakan bahwa efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi oleh khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi.

b. Efek Afektif 1. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum : Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok. 2. Karena faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change 3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada konversi (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain. 4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial. 5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh.

Lebih jauh Asch menjelaskan bahwa semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan yang dimiliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, atau orang. Hubungan individu dengan individu lainnya pada dasarnya dilandasi pada informasi yang diperoleh tentang sifat-sifat individu tersebut. Dengan kata lain, sikap pada seseorang atau seseuatu bergantung pada citra tentang atau objek tersebut. Secara singkat, sikap ditentukan oleh citra. Pada gilirannya, citra ditentukan oleh sumber-sumber informasi. Diantara sumber informasi yang paling penting dalam kehidupan modern adalah media massa. Media massa tidak mengubah sikap secara langsung melainkan mengubah dulu citra, dan citra mendasari sikap. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci oleh khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau nilai. Dalam kajian tentang media, efek afektif komunikasi massa dalam hal ini televisi juga dapat berfungsi menanamkan

ideologi. Apabila yang disajikan televisi itu ternyata cocok dengan apa yang disaksikan permirsanya pada lingkungannya, maka daya penanaman ideologi dari televisi makin kuat. Misalnya, semakin sering seseorang menonton televisi, semaikin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan oleh televisi. Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi ini disebut cultivation analysis seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Fiske merupakan salah satu tokoh yang mencoba menjelaskan bagaimana audien televisi menonton televisi dan bagaimana mereka menikmati kesenangan dari aktivitas mereka tersebut. Artinya ia lebih membatasi perhatiannya pada makna yang mengelilingi teks media. Makna ini berputar-putar di sekitar persoalan antara dimensi ideologis dari teks media serta bagaimana makna itu diolah kembali dan ditantang oleh audiennya. Sebagai contoh tayangan opera sabun melakukan penguatan terhadap ideologi ibu rumah tangga. Fiske menjelaskan bahwa baginya teks televisi dipahami dalam hubungannya dengan ideologi. Ia membangun analisanya berdasarkan hipotesis bahwa teks adalah tempat terjadinya konflik antara kekuatan produksi dan model penerimaan. C. Efek Behavioral Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal seperti orangtua, teman, pelatih, atau guru. Pada dunia modern, sebagian tugas pendidik telah juga dilakukan oleh media massa. Hal ini biasa disebut efek prososial media massa. Untuk menjelaskan efek prososial tersebut maka perlu menggunakan teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura, seseorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Menurutnya proses belajar sosial dalam empat tahapan proses : proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Selanjutnya Bandura menjelaskan bahwa agar suatu peristiwa yang dilihat dapat diteladani, maka tidak hanya harus merekamnya dalam memori tetapi juga harus mampu membayangkan secara mental bagaimana agar dapat menjalankan tindakan teladan tersebut. Akhirnya tindakan teladan akan dilakukan dengan sendirinya bila dari dalam diri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu timbul dari perasaan puas, senang atau dipenuhi citra diri yang ideal. Edward Thorndike, tokoh behaviorisme yang lain berpendapat bahwa perilaku

manusia mengikuti hukum sebab-akibat yang dapat dikontrol dan diciptakan oleh lingkungan. Berangkat dari penjelasan tersebut, jelas bahwa dimensi behavioral ini merupakan salah satu dimensi yang dimasuki oleh televisi untuk mempengaruhi perilaku khalayak khususnya anakanak yang cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pada titik ini, disatu sisi televisi menjadi orangtua kedua bagi anak-anak, guru bagi penontonnya, dan pemimpin spritual yang dengan halus menyampaikan nilai-nilai dan mitos-mitos tentang lingkungan. Namun disisi yang lain sikap dan pendidikan anak, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di keluarga seperti pendidikan religius pada anak tidak sertamerta ada sejak ia dilahirkan melainkan melalui orangtuanya, wali, atau melalui pendidikan lingkungan sekitar, bukan berbentuk pengajaran, melainkan melalui keteladanan dan peragaan hidup secara riil. Tak terlepas dari hal itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku. Namun demikian, kebiasaan berprilaku dan bertindak tidak sertamerta langsung tergerak segera setelah menonton suatu tayangan. Ambil contoh tayangan bencana kelaparan di Ethiopia. Walaupun Keith Tester seorang pegiat kajian media merasa sangat tergugah dan sedih karena tayangan tersebut, namun pada kenyataannya ia tidak melakukan apaapa. Ignatieff dalam tulisannya tentang The Ethic of Television menjelaskan bahwa gambar yang kita lihat di televisi, pada dirinya sendiri, tidak mampu menegaskan apapun. Pada dirinya tidak ada pesan moral, kecuali pesan moral yang dipilih untuk dilihat dan diambil darinya. Ignatieff dan Fiske berpendapat bahwa sebuah program televisi hanya bisa menjadi teks yang mempunyai makna ketika ia dibaca oleh audien. Inilah inti persoalan kenapa tayangan gambar bencana kelaparan yang menyedihkan akhirnya menggiring Keith tester untuk tidak melakukan apa-apa kecuali kembali duduk dan bertambah gemuk. Terlepas dari hal itu, berkaitan dengan pengaruh tayangan media terhadap anak, Pieget dalam penelitiannya mengenai perkembangan anak mengemukakan bahwa perkembangan anak dibagi menjadi tiga yaitu : perkembangan kognitif, psikomotorik dan afektif. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, artinya tingkah laku-tingkah laku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengetahuan. Psikomotorik adalah keterampilan untuk menggunakan organ-organ tubuh seperti otot, syarat dan kelenjar. Sedangkan afeksi adalah perasaan senang, kasih sayang, cinta, atau bisa dikatakan satu kelas yang luas dari proses-proses

mental, termasuk perasaan emosi, suasana hati dan tempramen. Definisi lain dari afeksi adalah kemampuan mengolah kepekaan rasa dan emosi. Adegan atau gambar dalam komunikasi massa khususnya film kartun dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan afektif anak. Secara singkat dapat disimpulakan bahwa efek pesan media massa meliputi aspek kognitif, aspek afektif dan aspek behavioral. Efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi oleh khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci oleh khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau nilai. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku.

BAB III PENUTUP G. KESIMPULAN Kerja Ada hubungan antara antara intensitas menonton tayangan serial kartun Upin & Ipin dengan tingkat religiusitas anak di dusun Papringan desa Caturtunggal kecamatan Depok kabupaten Sleman Yogyakarta a. Makin sering anak menonton film kartun Upin & Ipin maka makin tinggi tingkat religiusitasnya.

b. Makin sering anak menonton film kartun Upin & Ipin maka makin tinggi frekuensinya dalam menjalankan ibadah agama. (Dimensi peribadatan) c. Makin sering anak menonton film kartun Upin & Ipin maka makin meningkat pengetahuannya tentang ajaran agama Islam. (Dimensi pengetahuan) d. Makin sering anak menonton film kartun Upin & Ipin maka makin tinggi tingkat pengamalan ajaran agama Islam. (Dimensi pengamalan) e. Berdasarkan hala-hal positif diatas maka hokum menggunakan gambar dan kartun film boleh asalkan tidak mengandur unsure-unsur pengkaburan aqidah, seperti Krisna kecil dll.

Adapun gambar dan film kartun, hukumnya boleh. Adapun hal tambahan yang meringankan hukum dalam masalah ini adalah: 1. Gambar dan film kartun, bukanlah gambar yang sempurna, yang tidak berbentuk sebagaimana patung. 2. Gambar tersebut digunakan sebagai sarana dakwah dan pendidikan. Sedangkan anak-anak sangat menggemari dan bisa terpengaruh karenanya. 3. Sejak dulu, umat lain sudah memanfaatkan sarana ini untuk menyerang kita dengan gencar melalui berbagai saluran televisi.

You might also like