You are on page 1of 48

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2006). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang

dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga

pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ). Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007). Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada

masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2005). Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan

dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang

menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP. Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008). Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya

perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005). Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007). Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah

ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007). Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan

menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007). Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai

prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008). Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005). Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta

faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005). Di provinsi gorontalo angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75% dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan gorontalo tahun 2008. Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten Boalemo yaitu 11.657 jiwa, dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa. Data mengenai status gizi balita di Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas Dulupi. Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk 2005). 6

Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi. Di Wilayah Kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang

pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan

kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 3. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi dengan kejadian

gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 4. Berapa besar faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua dengan

kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 5. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan dengan kejadian gizi

kurang di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009.

2.

Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap

kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi

ibu terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. c. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap

kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. d. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua

terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. e. Untuk mengetahui faktor risiko pendapatan terhadap

kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Boalemo khususnya bagi Puskesmas Dulupi serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita. 3. Manfaat Praktis Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang . Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Suwiji,2006). 2. Penilaian status gizi

10

Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

a.

Penilaian secara langsung 1) Antropometri Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk., 2006). Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).

2)

Klinis

11

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, dkk.,2006). Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, gusi,bibir, lidah, mata (Arisman dalam Yuliaty, 2008). 3) Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, dkk., 2006). 4) Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, dkk., 2006). b. Penilaian secara tidak langsung 1) Survei konsumsi makanan

12

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara lain : a) Metode recall 24 jam b) Metode esthimated food record c) Metode penimbangan makanan (food weighting) d)Metode dietary history e) Metode frekuensi makanan (food frequency). 2) Statistik vital Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa, dkk., 2006). 3) Faktor ekologi Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, dkk., 2006). 3. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gizi Kurang

13

Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang telah ditemukan sebelumnya yaitu beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang pada balita. a. Tentang Pola Makan Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji, 2006). Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubah-ubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian padi , masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Suwiji, 2006). Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh

14

beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2005). Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2007). Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-

15

makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana ia/mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh : 1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir,

berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan. 2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, dan sifat-sifatnya. 3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya. 4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan tingkat,

biologi, system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya. 5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh

kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain-lain), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah. 6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang

menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya. Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup

16

terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2007). b. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2006). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

1.

Tahu (Know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2.

Memahami (Comprehension) Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

3.

Aplikasi (Aplication) Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

4.

Analisis (Analysis)

17

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (Synthesis) Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation) Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2006). Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya

pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : a) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

18

b) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. c) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan seharihari. Rendahnya pengetahuan dalam dan gizi dapat mempengaruhi selanjutnya pangan.

ketersediaan mempengaruhi

pangan

keluarga, kualitas

yang

kuantitas

konsumsi

Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2005). c. Penyakit Infeksi Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak

19

kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Himawan, 2006). Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi, 2005). Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendirisendiri maupun bersamaan, yaitu : 1. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan,

menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit. 2.Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus. 3.Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh. Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan

20

zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang

lebih berat. Ini dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut (Supariasa, 2006). Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes dalam Yuliaty 2008). d. Pekerjaan Orang Tua Dinegara seperti Indonesia yang jumlah pendapatan penduduk sebagian besar adalah golongan rendah dan menengah akan berdampak kepada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. Hal ini berkaitan erat dengan jenis pekerjaan dari orang tua. Sebagian besar masyarakat memiliki pekerjaan hanya sebagai

21

petani dan nelayan tradisional, sehingga tingkat penghasilan rendah. Keterbatasan ekonomi yang berarti ketidakmampuan daya beli keluarga yang berarti tidak mampu membeli bahan makanan yang berkualitas baik, maka pemenuhan gizi pada balitanya juga akan terganggu. Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan.

Kemiskinan

merupakan

penghambat

keluarga

untuk

memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab kekurangan gizi di atas, tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pengalaman selama ini

menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40% (1976) menjadi 11% (1996). Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat (Soekirman, 2001). e. Tingkat Pendapatan

22

Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006). Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat berdampak rendahnya daya beli keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya tingkat pendapatan keluarga , sangat berdampak terhadap rendahnya rata-rata tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan perilaku (khususnya pengetahuan dan perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga , yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2007). Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu fasilitas perumahan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi. Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008). 4. Faktor-faktor penyebab gizi kurang

23

Gizi kurang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu, ada tiga hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit (Mardiansyah, 2008). Gizi kurang dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi. a. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain : 1) Tidak tersedianya makanan secara adekuat, Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang,

maupunkebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi

24

berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi. 2) Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. 3) Pola makan yang salah, Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat

25

masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.

b. Sering sakit (frequent infection) Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygine yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik seperti misalnya tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi

dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskaan karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh. 5. Patofisiologi gizi kurang Patofisiologi gizi kurang pada balita yaitu anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik sperti

26

suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini meurpakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bida membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin. Tugor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendo patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan VLDL dan LDL. Karena penurunan VLDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar. Yang khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema.

Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma

27

ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel. Untuk kembalinya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008). 6. Gejala klinis gizi kurang Gejala klinis gizi kurang secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor, atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur atau melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat / gizi buruk tipe kwashiorkor. a. Kwashiorkor 1) Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki. 2) Wajah membulat 3) Pandangan mata sayu 4) Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit atau rontok

5) Perubahan status mental, apatis, dan rewel 6) Pembesaran hati 7) Otot mengecil ( hipotrofi ), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk.

28

8) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas. 9) Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare. b. Marasmus a) Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit b) Wajah seperti orangtua c) Cengeng, rewel d) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.

e) Sering disertai : penyakit infeksi ( umumnya kronis berulang ) f) Diare kronis atau konstipasi / susah buang air c. Marasmik-Kwashiorkor Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHONCHS disertai edema yang tidak mencolok. 7. Dampak gizi kurang Gizi kurang bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi kurang ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi kurang akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap

29

mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi kurang bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi kurang terhadap pertumbuhan sangat merugikan

performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi vital karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi kurang terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

30

Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi kurang pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi kurang pada anak: 1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun. 2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat. 3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter. 4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit. 5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali

31

membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.

B. Kerangka Konsep Anak balita juga merupakan kelompok umur yang rawan gizi. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi, dan jumlahnya dalam populasi besar. Status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung berupa asupan makanan/ tingkat konsumsi dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung berupa faktor sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan keluarga, pola asuh makan, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan. Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang pada balita adalah rendahnya tingkat pengetahuan gizi keluarga, yang disertai dengan rendahnya perilaku gizi keluarga. Ada beberapa faktor domain yang saling berhubungan dalam mempengaruhi konsumsi pangan dan gizi keluarga adalah pengetahuan gizi keluarga (khususnya ibu) dan penyakit infeksi. Untuk mencapai status gizi baik, harus ditunjang oleh tingkat pengetahuan gizi yang baik serta pendapatan yang memadai. Pada penelitian ini, yang menjadi variabel bebas yang diteliti adalah pola makan, pengetahuan

32

gizi ibu, penyakit infeksi, pekerjaan orang tua dan pendapatan. Sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah kejadian gizi kurang pada balita. Adapun kerangka konsep secara lengkap dapat dilihat pada gambar 1.

Pola Makan

Pengetahuan gizi ibu

Penyakit Infeksi

Kejadian Gizi Kurang

Pekerjaam Orang Tua

Pendapatan

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan : : Variabel Independen

33

: Variabel Dependen

C. Hipotesis 1. Hipotesis Alternatif (Ha) a. Pola makan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. b.Tingkat pengetahuan gizi ibu merupakan faktor risiko kejadian kurang pada balita. c. Penyakit infeksi merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. d. Tingkat pekerjaan orang tua merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. e. Tingkat pendapatan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurag pada balita 2. Hipotesis Nol (Ho) a. Pola makan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. b. Pengetahuan ibu tentang gizi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. gizi

34

c. Penyakit infeksi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. d. Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. e. Pendapatan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-juni tahun 2010. 2. Tempat penelitian Penelitian dilaksanakan Di Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo B. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah analitik observasional dengan rancangan case control study yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko ditelusuri dengan menggunakan pendekatan retrospektif yaitu efek (gizi kurang pada balita) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi dengan membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Rancangan bergerak dari akibat/efek (penyakit) kemudian ditelusuri faktor risiko atau penyebabnya.

35

Pola Makan Pengetahuan Gizi Ibu Penyakit Infeksi Pendapatan

+ + + + Kasus : Gizi kurang kurangKur

Pekerjaan Orang Tua +

Pola Makan Penyakit Infeksi Pendapatan

Matching

Pengetahuan Gizi Ibu Pekerjaan Orang Tua -

umur Pola Makan Penyakit Infeksi Pendapatan + + + Kontrol : Gizi baik Pola Makan Penyakit Infeksi Pendapatan -

Sampel

Pengetahuan Gizi Ibu + Pekerjaan Orang Tua +

Pengetahuan Gizi Ibu 36 Pekerjaan Orang Tua -

Gambar 2. Desain Penelitian Case Control

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah semua balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2010 berjumlah 802 jiwa balita 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi, pada penelitian ini sampel terdiri dari : Kasus Kontrol : Gizi Kurang yang ada di kecamatan Dulupi tahun 2009 : Gizi Baik yang ada di kecamatan paguyaman Dulupi tahun 2009 Tehnik pengambilan sampel dilakukan secara non random sampling dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Sampel kasus dan kontrol yang diambil berdasrkan data yang ada di puskesmas yang ada di Kecamatan Dulupi tahun 2009

37

2. sampel kontrol dipilih dalam bentuk berpasangan (matching) dengan sampel kasus. 3. Macthing yang digunakan adalah macthing umur. 4. Penentuan besar sampel mengacu pada jumlah kasus yang tercatat di Puskesmas yang ada di Kecamatan Dulupi yaitu 136 kasus.

5.

Besar sampel yang di ambil menggunakan rumus Sopiyudin dahlan yaitu sesuai kriteria variabel penelitian yang digunakan dan memperbanyak jumlah pembanding (kontrol) dengan perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:2 dengan rumus sebagai berikut : N (C+1) n= 2C Sumber : Sopiyudin dahlan, 2005 Keterangan n = besar sampel N = jumlah kasus yang tercatat di rekam medik C = jumlah perbandingan sehingga besar sampel adalah : 136(2+1) n= 2x2

136x3 n= 4 n = 102 38

Jadi besar sampel kasus Berjumlah 102, sampel kontrol berjumlah 204. D. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Variabel Penelitian a. Variabel bebas (independent variable) yaitu pola makan, pengetahuan gizi ibu penyakit infeksi, pekerjaan orang tua dan pendapatan. b. Variabel terikat (dependent variable) yaitu kejadian gizi kurang pada balita. 2. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif a. Status Gizi Status gizi adalah suatu keadaan keseimbangan antara jumlah zat gizi yang masuk kedalam tubuh dengan jumlah zat gizi yang butuhkan oleh tubuh itu sendiri. Kriteria Objektif Gizi baik : Apabila berat badan balita/anak menurut umurnya lebih dari 89 % standard WHO. Gizi kurang : Apabila berat badan bayi/anak menurut umur berada di antara 60 % - 69,9 % standard WHO b. Pola makan Pola makan adalah kombinasi gizi seimbang yang dikonsumsi oleh ibu baik makanan sehari-hari yang bergizi dan sesuai dengan standar kesehatan dimana dilihat berdasarkan kuisioner. Kriteria Objektif Risiko Tinggi : Apabila kurang mengkonsumsi makanan gizi seimbang yang mengandung 3 fungsi pokok zat gizi.

39

Risiko Rendah

Apabila sehari-hari mengkonsumsi makanan gizi seimbang yang mengandung 3 fungsi pokok zat gizi yaitu sumber energi, zat pembangun dan zat pengatur (pelindung) proses tubuh.

c. Pengetahuan Ibu Yang dimaksud dengan pengetahuan ibu dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang gizi, di peroleh dengan jumlah jawaban yang benar dari semua pertanyaan yang ada yang di beri nilai dengan skor kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen. Kriteria Obyektif Kurang : Jika presentase jawaban responden <75% cukup : Jika presentase jawaban responden 75% d. Penyakit infeksi Penyakit infeksi adalah Riwayat penyakit yang pernah diderita oleh anak yang menyebabkan terganggunya status gizi Balita, seperti Diare, ISPA, dll selama 1 bulan terakhir sampai dilakukan penelitian. Criteria objektif Risiko tinggi : Jika anak balita pernah menderita penyakit

infeksi seperti Diare, ISPA, Dll. Risiko rendah : Jika anak balita tidak pernah menderita penyakit infeksi tersebut.

40

e.

Pekerjaan orang tua : segala usaha yang dilakukan oleh orangtua yang menjadi sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya.

f.

Pendapatan adalah upah / penghasilan keluarga dalam satu bulan. Risiko tinggi : Jika pendapatan keluarga responden < Rp.500.000 Risiko rendah : Jika pendapatan keluarga responden Rp.500.000

E. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Diperoleh melalui daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan. Kemudian pertanyaan tersebut ditanyakan kepada responden. 2. Data Sekunder Diperoleh dari Puskesmas, penelusuran internet, dan dari instansi terkait lainnya. F. Tehnik Analisis Data 1. Pengolahan Data Pangolahan data dilakukan secara manual dan elektronik dengan menggunkan kalkulator dan komputer dengan program SPSS 2. Penyajian Data

41

Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi disertai dengan penjelasan dan tabel untuk melihat pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.

3. Analisis data Tekhnik analisis data yang digunakan adalah dengan uji kemaknaan = 95% uji statistik yang digunakan adalah Odds Ratio, untuk menentukan basar faktor risiko variabel independen dengan rumus : Tabel 4.1 Tabel Kontingensi 2 x 2 Faktor Risiko Kelompok Studi Kasus Positif (+) Negatif(-) Jumlah Sumber : Chandra B, 1996 ad OR = bc Keterangan : a b c d = Jumlah kasus dengan risiko positif (+) = Jumlah kontrol dengan risiko positif (-) = Jumlah kasus dengan risiko negatif (+) = Jumlah kontrol dengan risiko negatif (-) 42 a c a+c Kontrol b d b+d a+b c+d a+b+c+d Jumlah

Interpestasi : 1. Jika OR > 1, variabel independen merupakan faktor risiko kejadian kurang gizi

2.

Jika OR = 1, variabel independen bukan merupakan faktor risiko kejadian kurang gizi 3. Jika OR < 1, variabel independen merupakan faktor protektif kejadian kurang gizi 4. Jika nilai lower limit dan upper limit tidak melalui atau mencakup nilai 1 maka OR dianggap bermakna, sebaliknya jika nilai upper limit dan lower limit melalui nilai 1 berarti OR dianggap tidak bermakna.

43

DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y dan Tri Hastuti, 2002. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. UI-Press. Jakarta. Almatsier, S, 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ariani, M, 2007. Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.Bogor. Astawan, M, 2007. Gizi dan Kesehatan Manula. Medyatama Sarana Pustaka. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta. Chandra, 2006. Pengantar Prinsip dan Metodologi Epidemiologi. Penerbit EGC. Jakarta. Cookeyzone, 2009. Pengertian Profesi dan Pekerjaan. Blogspot. Com. Irwandy, 2007. Sulawesi Selatan Daerah Penghasil Pangan dan Gizi Buruk. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar. Kartasapoetra, G, 2007. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). PT. Rineka Cipta. Jakarta. Khomsan, dkk, 2006. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta. Komsiah, S, 2008. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana. Jakarta. Malik, A, 2008. Gizi Buruk Tewaskan www.lifestyle.okezone.com. 3,5 Juta Balita Per tahun.

44

Mangkunegara, A.P, 2005. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Refika Aditama. Bandung.

Mardiansyah, L, 2008. Gizi Buruk di Indonesia. SMP 167. Jakarta. Nency, Y., 2005, Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang, http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=113, 5 November 2005 Noor, N, 1997. Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka Cipta. Jakarta. Notoadmodjo, S, 2006. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Pudjiadi, S, 2005. Ilmu Gizi Khusus Pada Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Rasifa, 2006. Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Tinggi Badan Menurut Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Betoambari, Kec. Betoambari Kota Bau Bau Tahun 2006. Skripsi yang tidak diterbitkan Universitas Haluoleo. Kendari. Sadewa, A.L., 2008, Makalah KEP,http://ayahaja.wordress.com, 28 November 2008. Santoso, S dan Anne Lies Ranti, 2004. Kesehatan dan Gizi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Suhardjo, 2006. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. , 2006. Perencanaan Pangan dan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Supariasa, dkk, 2005. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta. Yuliati, 2008. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Kecamatan Mandonga Kota Kendari Tahun 2008. Skripsi yang tidak diterbitkan Universitas Haluoleo. Kendari.

45

KUESIONER FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI PUSKESMAS WONGKADITI KOTA GORONTALO TAHUN 2010 A. IDENTITAS RESPONDEN 1. a. b. c. d. e. f. 2. a. b. c. Nama Umur : : Nama Umur Pekerjaan Pendidikan terakhir Agama Alamat : : : : : : Balita IBU

Anak Ke : B. Pola makan 1. Bagaimana susunan hidangan / makanan ibu sehari-hari ? a. b. c. d. e. Nasi + Lauk pauk Nasi + Lauk pauk + Sayuran Nasi + Lauk pauk + buah-buahan Nasi + Lauk Pauk + Sayuran + buah-buahan Nasi + Lauk Pauk + Sayuran + buah-buahan + susu

2. Berapa kali makan dalam sehari ? a. 1 kali b. 2 Kali

46

c. 3 Kali

C. Tingkat Pengetahuan Gizi 1. Menurut Ibu, susunan hidangan makanan sehari-hari yang memenuhi syarat gizi terdiri dari : a. b. c. d. e. f. a. b. c. d. e. Nasi / makanan pokok saja Nasi / makanan pokok + lauk pauk Nasi / makanan pokok + lauk pauk + sayur Nasi / makanan pokok + lauk pauk + buah Nasi / makanan pokok + lauk pauk + Sayur + buah Lain-lain (Sebutkan ..................) Lebih banyak dari biasanya (sebelum hamil) Lebih sedikit dari biasanya (sebelum hamil) Sama saja seperti biasanya (sebelum hamil) Tidak tahu Lain-lain (Sebutkan ...........................)

2. Menurut Ibu, jumlah makanan yang kita makan sebaiknya :

3. Menurut Ibu, pola makan yang baik itu, yaitu dalam sehari frekuensi makan kita sebaiknya : a. b. c. d. e. a. b. c. d. Ibu + Janin Ibu + Janin + Plasenta Lain-lain (Sebutkan ...........................) 3 kali makan utama + 2 kali makanan selingan 3 kali makanan utama tanpa makanan selingan 2 kali makanan utama + 2 kali makanan selingan 2 kali makanan utama tanpa makanan selingan Lain-lain (Sebutkan ...........................)

4. Menurut Ibu, apa yang dimaksud makanan 4 sehat 5 sempurna?

47

5. Menurut Ibu, makanan pokok yang kita konsumsi sehari-hari berfungsi sebagai : a. b. c. d. e. Sumber Energi / tenaga Zat Pembangun Zat Pengatur / Pelindung Tidak tahu Lain-lain (Sebutkan ...........................)

D. Penyakit infeksi 1. Apakah balita pernah sakit dalam 1 bulan terakhir? a. Ya (ke soal no. 2) b. Tidak 2. Apakah dengan gejala batuk, pilek tanpa panas timbul pada kondisi tertentu? a. Ya b. Tidak 3. Apakah balita pernah mengalami diare/mencret? a. Ya (ke soal no 4) b. Tidak 4. a. b. Dalam sehari berapa kali buang air besar/mecret?

Kurang dari 3X Lebih dari 3X D. Pekerjaan Orang Tua

E. Pendapatan

48

You might also like