You are on page 1of 22

Iklan Politik di Indonesia Kurang Berani

By Republika Newsroom Kamis, 19 Maret 2009 pukul 04:16:00 Font Size A A A EMAIL PRINT Facebook

JAKARTA -- Pakar Marketing Politik dari Universitas Indonesia (UI), Firmanzah, menilai, partai politik peserta Pemilu 2009 kurang berani dalam membuat iklan-iklan politiknya. Parpol hanya berani memaparkan ide-ide atau gagasan-gagasan politik internal mereka dan cenderung mengumbar klaim politik sepihak. Akibatnya, masyarakat hanya disuguhkan informasi yang klise dan fatamorgana politik. "Padahal iklan politik yang berani dan bergas mampu turut memancing masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya," ujar Firmanzah dalam diskusi bertema Mendorong Kampanye Cerdas dan Menghindari Kampanye Negatif di gedung DPD, Jakarta, Rabu (18/3). Dia melanjutkan, saat ini tak ada satu parpol pun yang meniru praktik iklan politik yang lazim digunakan parpol di negara-negara maju dalam demokrasi. Di negara-negara maju, kata Firmanzah, iklan politik sebuah partai yang menyerang serta membuka aib parpol lawan adalah pemandangan yang sudah biasa. Namun demikian, aib yang diungkapkan dalam iklan tentu didasarkan pada fakta-fakta yang benar-benar ada. "Bukan isapan jempol atau fitnah." Dengan membuat iklan yang berani mengumbar fakta untuk menjatuhkan lawan politik, sebenarnya parpol mempunyai keuntungan di mata publik. Dalam konteks kontestasi meraih simpati rakyat, pertarungan iklan politik menjadi wahana tersendiri untuk meyakinkan pemilih jika partainya adalah pilihan yang tepat untuk perjuangan aspirasi politik mereka. Firmanzah menduga, ketidakberanian parpol di Indonesia membuat iklan politik yang bergas dipicu ketakutan masing-masing elit partai yang umumnya masih terkait dengan Orde Baru. "Elit takut jika menyerang lawan maka dosa-dosa mereka semasa Orde Baru juga akan dibuka," imbuh Firmanzah. Dia mencontohkan, misalnya pimpinan parpol A membuka aib pimpinan parpol B, maka parpol B pun akan membuka aib parpol A. Dalam kondisi seperti itu, tentu mereka samasama tidak menginginkan aibnya diumbar ke publik. "Sadar akan hal ini, akhirnya mereka memilih untuk membuat iklan yang saling menjaga. Jadi sikap santunnya iklan politik disebabkan karena takut aibnya sendiri terbongkar," papar Firmanzah. Padahal, jika parpol mampu membuat iklan politik yang tegas, maka rakyat akan mendapat informasi yang benar tentang figur partai dan para tokoh yang ada di dalamnya. Selain itu, secara tidak langsung iklan politk juga menjadi paramater bagi sebuah partai untuk tidak

melakukan aib yang dihinanya dalam iklan. "Iklan politik menjadi alat serang terhadap lawan politk, sekaligus alat kontrol internal partai. Kalau dibiasakan, ini akan turut menciptakan kehidupan politik dan politisi yang semakin baik," tandas Firmanzah. - ade/ahi
http://koran.republika.co.id/berita/38470/Iklan_Politik_di_Indonesia_Kurang_Berani

Iklan Politik yang Mencerdaskan Sriwijaya Post - Kamis, 26 Maret 2009 13:36 WIB AMPANYE politik adalah suatu proses yang panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas, bahkan dianjurkan untuk dilakukan setiap hari dan berulang-ulang. Sebagai sarana pendidikan politik seharusnya kampanye dilakukan atas dasar pencerdasan pemilih agar menjadi warga yang memiliki kesadaran dalam penentuan pemimpin negara ke depan, dengan berpatokan kepada prilaku rasional ketimbang emosional. Untuk mempengaruhi prilaku pemilih, strategi kampanye bisa dilakukan secara langsung melalui pengumpulan massa atau mendatangi langsung (face to face communication). Bisa juga melalui media seperti baliho, poster, bendera, dan famplet atau dengan menggunakan media massa, baik cetak, seperti surat khabar, majalah, maupun media elektronik seperti radio dan televisi. Kampanye melalui iklan politik di televisi merupakan fenomena menarik pasca runtuhnya rejim Orde Baru. Pada Pemilu 1999 dan 2004, sudah muncul kampanye partai atau kandidat melalui media televisi yang merupakan metode baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Parpol, calon legislatif, calon presiden-wakil presiden maupun calon kepala daerah kini mengandalkan iklan politik sebagai cara membentuk pencitraan melalui televisi. Media televisi dianggap cukup efektif untuk mendongrak perolehan suara dalam setiap Pemilu ataupun Pemilukada. Iklan politik memainkan peranan penting untuk merebut popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Begitu pula menjelang Pemilu 2009, di mana terjadi dua perubahan mendasar dalam teknik pemilihan, yaitu teknik pemilihan dengan suara terbanyak yang mengharuskan para caleg mempromosikan figur dirinya, dan teknik pencontrengan yang menuntut sosialisasi lebih efektif kepada masyarakat pemilih. Masa kampanye legislatif Pemilu 2009 dimulai pada minggu ini. Para caleg dan partai politik semakin gencar menayangkan iklan politik di beberapa stasiun televisi lokal maupun nasional dan radio swasta lokal maupun nasional. Konten kampanye caleg dan parpol di media televisi pada Pemilu kali ini sudah menunjukkan perubahan berarti. Tema kampanye iklan televisi sudah mulai mengangkat isu dan program jika sang caleg terpilih sebagai wakil rakyat. Berbagai isu yang diangkat seperti pemberantasan korupsi, peningkatan anggaran pendidikan, kemiskinan, lapangan kerja, refomasi agararia, dan isu ekonomi kerakyatan, kerap menghiasi iklan kampanye politik caleg maupun parpol di berbagai media televisi nasional dan lokal. Begitu pula dengan program parpol sudah mengarah kepada visi dan misi peningkatan kesejahteraan rakyat seperti, visi karya yang diangkat oleh partai Golkar dan visi profesional yang dikampanyekan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Substansi tema iklan kampanye politik yang lebih menonjolkan isu dan program parpol merupakan salah satu gaya kampanye yang mencerdaskan publik serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat pemilih. Melalui isu dan program yang dijual paling tidak sudah menjanjikan kepada publik untuk berbuat sesuatu jika dia terpilih sebagai

wakil rakyat, sekaligus sebagai bentuk kontrak politik antara rakyat sebagai konstituen dan caleg sebagai calon wakil rakyat di parlemen. Tinggal lagi menunggu komitmen caleg terpilih untuk merealisasikan iklan kampanyenya sebagai bentuk akuntabilitas seorang wakil rakyat. Namun demikian masih banyak pula caleg dan parpol yang menggunakan gaya lama dalam tema iklan di media televisi yang lebih menonjolkan figur caleg dan ajakan dalam memilih atau mencontreng dalam Pemilu mendatang. Iklan Negatif Konten iklan yang demikian kurang berdampak pada pendidikan politik rakyat dan hanya menekankan pada ajakan memilih figur dirinya. Seperti iklan politik RHA-Barnas, DA-PDIP dan Y-Golkar yang hanya menampilkan sosok dan harapan jika terpilih. Konten iklan politik ini belum menyentuh isu dan program yang seharusnya lebih ditonjolkan. Iklan politik televisi di Indonesia sulit berkembang ke jenis iklan politik seperti hanya di Amerika Serikat. Iklan politik televisi di Indonesia lebih didominasi oleh iklan politik yang bersifat santun dan tidak berbentuk attack campaign. Hal ini dilatar belakangi oleh faktor kultural yang lebih menonjolkan sikap santun dalam berpolitik. Namun belakangan ini iklan negatif dan menyerang kebijakan sudah mulai muncul. Menjelang Pemilu 2009, Wiranto, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) mencoba mengenalkan bentuk iklan yang bersifat menyerang kebijakan pemerintah tentang masalah kemiskinan. Dalam iklan tersebut ditayangkan bagaimana rakyat sudah makan nasi aking, karena harga beras yang mahal, sebuah gambaran kondisi kemiskinan dengan menampilkan data Bank Dunia tahun 2006, 49 persen penduduk Indonesia dalam kondisi miskin. Selanjutnya iklan tersebut berisi ajakan Wiranto untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja, pendidikan murah, dan kesehatan berkualitas serta menumbuhkan ekonomi melalui pemerintahan yang kuat dan tegas. Konten iklan politik partai Hanura ini cukup memberikan pencedarsan publik, walaupun masih mengangkat isu yang klasik. Pada tingkat lokal, iklan politik PNBK di Palembang TV menarik untuk disimak. Iklan yang menampilkan gambar kartun juga menyerang caleg lain yang menggunakan politik uang dan membagi sembako kepada masyarakat. Iklan ini kemudian mengingatkan masih ada caleg yang murni memperjuangkan nasib rakyat jika dia terpilih. Tentu saja iklan ini cukup mengingatkan pemilih sebagai bagian dari pendidikan politik agar berhati-hati dalam menentukan pilihannya pada Pemilu mendatang, karena pilihannya akan mempengaruhi nasib rakyat pada masa mendatang. Iklan-iklan politik televisi di Indonesia, sebagaimana dikritik banyak pihak selama ini, tidak mengembangkan iklan-iklan politik televisi yang berorientasi pada isu dan program yang unik dari caleg dan parpol. Iklan-iklan politik kita masih lebih fokus untuk menjual kandidat atau parpol serta hanya sampai pada level meningkatkan awareness pemilih terhadap sang tokoh atau parpol yang bersangkutan (Danial, 2009). Namun pada Pemilu 2009, dalam iklaniklan politik televisi sudah mulai menyentuh isu dan program parpol, walaupun masih miskin kreativitas. Sebagai contoh isu yang diangkat oleh MHT-PAN tentang penegakan hukum, reformasi agararia, dan pendidikan murah berkualitas. Keberanian mengangkat isu seperti dalam tema iklan politik tentang kemiskinan dari partai Hanura dan Gerindra, serta tema pemberantasan korupsi dari partai Demokrat, sudah mengarah kepada muatan pendidikan politik yang mencerdaskan. Sebagai perbandingan, iklan politik televisi di AS telah lama didominasi oleh isu dan program serta bersifat menyerang kebijakan. Hal ini terkait dengan kultur kebebasan dan tingkat pendidikan rakyat yang memadai. Iklan politik televisi di Indonesia lebih bernuansa emosional yang memakai gambar dan bahasa yang membangkitkan emosi tertentu, seperti rasa gembira, partriotisme, kedaerahan, kebangggan, yang lebih disukai dan tegas. Kondisi ini terjadi karena masyarakat Asia termasuk Indonesia masih alergi untuk mencerna angka-angka dan data-data faktual. Iklan Macan Asia yang dibuat Prabowo sejak Pemilu 2004 hingga memasuki masa kampanye

Pemilu 2009, membangkitkan kebanggaan Indonesia akan masa lalu dinilai sebagai iklan paling mempengaruhi masyarakat. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan antara tanggal 8-20 September 2008 terhadap 1.249 responden berusia 17 tahun atau lebih di Indonesia, iklan Gerindra adalah iklan politik televisi yang paling banyak ditonton pemirsa televisi yakni sebanyak 66 persen. Iklan politik Gerindra juga menempati status iklan yang paling banyak diingat dalam memori masyarakat (51 persen) dibandingkan iklan politik televisi partai-partai lainnya (Danial, 2009). Gambaran hasil survei diatas bukan berarti asumsi perolehan suara akan signifikan dimenangkan Gerindra pada Pemilu 2009 mendatang, tetapi paling tidak, mengindikasikan bagaimana iklan politik televisi memberikan pengaruh signifikan terhadap prilaku pemilih. Namun di sisi lain konten tayangan iklan politik ditelevisi masih didominasi oleh slogan dan jargon yang kurang mendidik masyarakat. Harapan akan munculnya iklan politik yang mencerdaskan melalui pemilihan isu dan program partai masih sebatas hal-hal yang bersifat kontemporer, miskin kreativitas dan belum dirancang secara sistematik dalam jangka waktu lama. Lahirnya tema iklan politik yang mencerdaskan harus diikuti terlebih dahulu oleh kerja caleg atau partai yang berbuat untuk publik, sehingga apa yang diiklankan adalah sebuah fakta dan strategi dalam mengibarkan bendera pertarungan politik yang elegan di medan Pemilu. Caleg dan parpol yang mengusung tema iklan politik melalui televisi harus berani mengambil sikap bahwa pendidikan politik bagi masyarakat adalah sebuah pilihan rasional untuk mencerdaskan masyarakat pemilih agar mampu menentukan lahirnya kepemimpinan nasional dan lokal yang negarawan dan mampu merubah nasib bangsa. Semoga.
http://palembang.tribunnews.com/view/8904/iklan_politik_yang_mencerdaskan_

December 16, 2009 | Academic Writing | 1 Oleh Bedjo Riyanto ABSTRACT The direct election of the president and vice president is succeed democratitation process. People has their own sovereignity to decide their own choice. Shifting mass mobilitation from political machine party to the power of mass media machine is the consequences of it. In the age of image recently, press and television broadcast have become a deciding factor of candidate winning. Who takes the power by force of this factor, is the winner. The victory of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to be president and vice president in general election September 20th 2004 is the evident of the thesis. Keywords: political ad, the power of mass media, image building, candidate winning. PENDAHULUAN Tanggal 9 September 2004, bom kembali meledak mengguncang ibukota Jakarta meluluhlantakkan gedung-gedung pencakar langit sekitar jalan Kuningan di depan kedutaan besar Australia. Korban bergelimpangan bersimbah darah. Sembilan orang meninggal dunia dengan tubuh tercerai berai (mayoritas kaum Muslim seiman dengan para terorisnya) dan

ratusan orang menderita luka-luka berat dan ringan memenuhi ruang-ruang dan selasar rumah sakit ibukota. Meledaknya bom Kuningan melengkapi serangkaian teror bom dengan korban jiwa besar seperti bom di Sari Club Kuta Bali ataupun bom di depan hotel J.W. Marriot Jakarta, yang sangat merugikan bagi stabilitas keamanan pemerintahan presiden Megawati. Kasus itu merupakan tamparan keras dan jelas semakin memerosotkan kredibilitas politiknya pada saat menghadapi pertarungan dalam putaran terakhir pemilihan presiden melawan rival beratnya pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tanggal 20 September 2004. Di sela-sela gencarnya breaking news beberapa stasiun televisi swasta yang banyak menampilkan tayangan isak tangis dan erangan kesakitan korban-korban yang luka parah, tampil dengan gencarnya memenuhi waktu-waktu prime time iklan kampanye sang presiden. Dalam iklannya Megawati tampil dengan wajah melancholic dan senyum keibuannya diiringi backsound nyanyian paduan suara puja-puji beraroma kultus anak-anak dari berbagai suku bangsa yang melengking jernih, dengan lirik sebagai berikut: Wahai Ibu kami Banyak yang telah Ibu lakukan Harus selalu Ibu jaga dan teruskan Bagi kami Putra-putri Negeri Pendekatan kampanye ini agak mirip dengan maraknya upacara puja-puji kultus Bapak Pembangunan yang gencar ditayangkan televisi ketika Suharto terpilih sebagai presiden ketujuh kalinya pasca pemilu 1997 (rupanya menjadi jabatan terakhirnya). Lagu Bapak Pembangunan diciptakan dan dinyanyikan oleh komposer sekaligus penyanyi legendaris Indonesia Titik Puspa yang gencar ditayangkan oleh TVRI dan televisi swasta, menjadi satu bentuk dari model kebulatan tekat dari setiap elemen organisasi masyarakat untuk mendukung kultus pembangunan rezim Suharto. Dampak komunikasi dari iklan Megawati itu terasa paradoksal dengan situasi dan kondisi psikologis publik yang penuh keterancaman, ketakutan, kesedihan, dan paranoid akibat serangkaian teror bom yang memakan banyak korban itu. Mungkin timbul persepsi yang negatif dari publik atas miskinnya kepedulian sang presiden atas bencana yang dialami rakyatnya. Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto. Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan dianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada Pemilu 1999. Partai-partai besar seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Golkar, dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) telah banyak membelanjakan anggaran belanja kampanye dengan memasang iklan-iklan kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasional waktu itu.

Wajah dan sosok Abdurrachman Wahid (Gus Dur), Megawati, Akbar Tanjung, ataupun Amien Rais menjadi ikon iklan-iklan politik dari partai-partai politik yang bersaing telah meramaikan dinamika kehidupan dunia periklanan Indonesia pada waktu itu. Berbagai pendekatan dan strategi kreatif dilancarkan oleh para pengarah dan perancang iklan untuk mendapatkan simpati publik. Dalam kampanye Pemilu 2004 yang menjadi tonggak penting proses demokratisasi dengan diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk komunikasi persuasif iklan politik semakin mendapatkan lahan suburnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini, sejauh manakah konsep-konsep serta strategi kreatif mampu dirancang oleh para desainer ataupun pengarah kreatif periklanan kita di dalam mengkemas program-program serta pesan-pesan politik menjadi sajian iklan yang rasional, mendidik, artistik, dan komunikatif sehingga menjadi media penyadaran ataupun pembelajaran politik bagi warga bangsa? Apakah iklan-iklaniklan politik itu juga mampu mempengaruhi publik calon pemilih sehingga memberikan suaranya kepada para kandidat yang diiklankannya? KULTUS KEKUASAAN YANG GAGAL Image kemegahan dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi tema sentral dalam eksekusi kreatif iklan-iklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sosok Megawati banyak ditampilkan dalam upacara resmi kenegaraan yang berbau seremonial dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, sehingga mencitrakan kemapanan posisi politiknya. Sebagai putri proklamator dan presiden pertama RI Bung Karno pewaris darah biru dinasti politik Indonesia, merupakan faktor genetik yang diangkat sebagai kekuatan positioning dan selling point untuk mendulang suara para pendukung fanatik yang diasumsikan merupakan mayoritas rakyat indonesia, oleh tim kampanyenya. Triawan Munaf dari biro periklanan Adwork Euro sebagai koordinator tim kreatif iklan- iklan politik PDI Perjuangan memanfaatkan keunggulan komparatif Megawati sebagai presiden yang sedang menjabat (incumbent) dengan pendekatan dokumenter dan humanistik yang diperkirakan mampu menarik simpati publik. Meskipun keterbatasan waktu hanya memungkinkan tampilan iklan yang cenderung hard sell, namun iklan-iklan politik PDIP baik sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif maupun pemilihan langsung presiden dan wakilnya dinilai cukup artistik dan memikat dibanding kompetitornya. Pada satu versi iklan televisi yang ditayangkan pada saat kampanye putaran pertama pemilihan presiden ditampilkan dalam format medium close up wajah Megawati dengan senyum keibuannya dikerumuni anak-anak dengan wajah ceria, diiringi narasi sebagai backsound: Di balik kelembutan Tak kenal lelah Tegas Selalu Peduli Demi Ibu Pertiwi Dengan editing yang cepat mengalir rancak bak video klip, iklan ini menampilkan potonganpotongan stock-shoot dokumenter seremoni kenegaraan yang memperlihatkan adegan-

adegan Megawati sedang bersilaturahmi dengan para santri; mengunjungi korban-korban bom di Kuta Bali yang mayoritas wisatawan manca negara kulit putih; beraudiensi dengan Sri Paus Johannes Paulus II; melakukan inspeksi pasukan TNI diatas jeep terbuka pada upacara hari ulang tahun TNI; bersama para pekerja wanita yang sedang bekerja di pabrik; mengunjungi korban bencana alam; melakukan ibadah sholat (sebagai counter atas isu melakukan sembahyang secara Hindu di suatu Pura di Bali); dan ditutup dengan closing adegan melepaskan burung merpati ke angkasa sebagai simbol perdamaian. Pada versi-versi iklan yang lain, pendekatan statistikal yang bersifat kuantitatif yang dikemas untuk menyajikan prestasi pemerintahan Megawati. Konsep perubahan Rekomendasi 5 diusung oleh pasangan kandidat Megawati-Hasyim Muzadi untuk menjanjikan keberhasilan dan perubahan jika mereka diberi kepercayaan oleh pemilih. Lewat angka-angka target pembangunan yang justru dinilai publik kelewat optimistik dan over-convidence (kelewat percaya diri), iklan-iklan politik versi ini justru kontra produktif dan semakin mendeligitimasikan posisi pasangan ini. Pada satu versi iklan pemadatan Rekomendasi 5, Megawati sebagai spoke-person menyampaikan hasil prestasi dan target-target politiknya: Setelah 3 tahun berhasil memulihkan dasar-dasar ekonomi bangsa, saya bersama pak Hasyim Muzadi akan bekerja keras. Melalui Rekomendasi 5 kami akan pangkas kemiskinan sebanyak 45%, diikuti dengan teks caption Angka Kemiskinan Turun 45 % dan backsound narrator, Dan akan menciptakan 12.900.000 kesempatan kerja baru dalam kurun waktu 5 tahun. Gambar kembali ke wajah Megawati yang menyatakan: Kami akan tanamkan investasi kualitas sumber daya manusia, disusul suara narator Agar kualitas kehidupan bangsa ini secara keseluruhan dapat ditingkatkan. Sebagai closing slogan Pilih Mega Hasyim. Janji penciptaan lapangan kerja rata-rata 2.600.000 orang per tahun sungguh bertolak belakang dengan realitas empirik yang tersaji lewat pemberitaan baik dimedia televisi maupun media cetak tentang banyaknya relokasi industri-industri multi nasional meninggalkan Indonesia (seperti pabrik elektronik Sony, sepatu Nike, dan lain-lainnya), serta PHK masal akibat bangkrutnya beberapa BUMN dan perusahaan swasta dilanda krisis moneter yang belum pulih sampai sekarang (contoh kasus PT. Dirgantara Indonesia). Menurut pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia Effendi Ghazali yang dimuat pada majalah Cakram edisi bulan November 2004, halaman 44, fakta-fakta empirik yang disampaikan secara statistik pasangan Mega-Hasyim kurang dapat memenuhi ekspetasi rakyat pemilih. Fakta bahwa pemerintahan Megawati sudah melakukan perubahan-perubahan nyata dalam bidang stabilitas keamanan, stabilitas moneter, dan laju perekonomian nasional kurang dapat terkomunikasikan secara bernas dan efektif dalam media kampanye politiknya. Menurut hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) yang dikutip majalah Tempo edisi 21 Maret 2004 (di halaman 24-27), dan majalah Cakram edisi Juni 2004 (di halaman 20-21), untuk melangsungkan kesinambungan kultus kekuasaan tim kampanye

Megawati membelanjakan sekitar 104, 84 milyar rupiah keseluruhan biaya kampanye dari pemilu legislatif sampai 2 kali putaran pemihan presiden langsung. Untuk media televisi saja pada kampanye putaran I menghabiskan belanja iklan sekitar 40 milyar rupiah, sedangkan untuk kampanye putaran ke II menghabiskan dana sekitar 13 milyar rupiah. IKON PERUBAHAN: SANG PENANTANG Bersama Kita Bisa Pesan sederhana yang sangat kuat dan jelas dalam slogan yang menjadi kata kunci iklaniklan kampanye pasangan SBY-JK itu di tayangkan di media-media televisi nasional sehingga membentuk kesadaran di benak khalayak calon pemilihnya. Makna yang terkandung dari slogan ini adalah bersama-sama dengan rakyat apapun kesulitan yang di hadapi bangsa ini akan dapat di selesaikan. Apapun partai politiknya SBY presidennya. Menggandeng Subiakto Priosoedarsono presiden direktur Hotline Advertising sebagai kordinator kampanye politiknya, pasangan SBY-JK tampil dalam strategi komunikasi yang simple, komunikatif, dan efektif untuk mendongkrak citra dan membentuk opini positif publik calon pemilihnya. Subiakto dikenal sangat piawai mengemas keyword (kata kunci) sebagai kekuatan penyadaran akan keberadaan suatu merk di benak khalayak konsumen yang dibuktikan dengan sukses penjualan produk-produk yang menjadi client-nya seperti Xon Ce (dengann keyword Xon Ce nya Mana?), dan Sana Flu (dengan keyword Belum Tau Dia). Segmentasi publik calon pemilih dalam pemilihan umum presiden secara langsung yang bersifat heterogen, mayoritas tinggal di pedesaan, dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas yang masih rendah, terasa cocok dengan gaya iklan-iklan Subiakto yang simple dengan pilihan bahasa yang sederhana mudah difahami dan bersifat single-minded (tafsir tunggal). Mengusung konsep komunikasi brand building, figur SBY langsung diangkat sebagai brand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan mempertajam kekuatan personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture tubuhnya yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat intelektualitasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Teknologi Bogor), berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tidak boleh dilupakan sebagai mantan militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi dewasa ini. Di era image, kepiawaian tim kampanye yang dengan cerdik memanfaatkan kekuatan media masa sebagai pendukung publisitasnya, semakin memompa tingkat popularistasnya. Figur SBY merupakan jawaban akan kerinduan hadirnya seorang pemimpin, seorang bintang pujaan, sekaligus mitos seorang satrio piningit dari publik masyarakat penontonnya. Slogan Bersama Kita Bisa yang diangkat pada kampanye putaran I pemilihan presiden mengesankan bahwa SBY mengajak seluruh rakyat apapun pilihan partai politiknya untuk bersama bahu membahu mengatasi krisis dan membangun Indonesia. Ini merupakan strategi

yang tepat karena pada riil politiknya sang calon presiden hanya didukung oleh Partai Demokrat yang meraih suara lebih kurang 8 juta pemilih pada pemilihan legislatif. Ketika berhadapan langsung dengan Megawati presiden yang masih menjabat pada pemilihan presiden putaran ke II, tim kampanye SBY-JK mengangkat slogan Perubahan Kini Semakin Dekat sebagai kontras atas posisi Mega yang berada pada status-quo kekuasaan. Sebagai penantang, konsep perubahan yang dijanjikan lebih relevan dengan harapan masyarakat luas yang mendambakan perubahan lebih cepat dari kondisi stagnasi reformasi dan krisis multi dimensi ini. Kondisi psikologis publik pemilih yang mudah berubah (swingers voter), tidak sabaran, dan mudah kecewa merupakan lahan empuk bagi janji-janji perubahan. Lewat kemasan iklan-iklan testimonial dan versi-versi yang menonjolkan pasangan dwitunggal SBY-JK sebagai tali pemersatu perbedaan dari partai-partai yang gagal mengantarkan calon presidennya pada pemilihan putaran I, pasangan ini mendulang sukses berhasil tampil sebagai ikon perubahan (Cakram, November 2004: 46-48). Perubahan menjadi positioning sekaligus brand image pasangan SBY-JK yang kuat melekat di benak publik calon pemilihnya. Faktor terpenting lainnya adalah kesadaran tim kampanye untuk mengeksplorasi kegiatan public-relations (kehumasan) sebagai media pengelola isu (issues management) baik yang berdampak positif maupun negatif (black campaign) agar menguntungkan bagi pembentukan citra positif dan popularitas pasangan ini. Kegiatan publisitas (PR), pemanfaatan event-event strategis, dan periklanan merupakan rangkaian dari komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication) yang dilakukan oleh tim kampanye SBY-JK ternyata terbukti sangat menguntungkan dalam meng-endorce (mendorong) tercapainya brand awareness pasangan ini. Televisi sebagai primadona media komunikasi masa dimanfaatkan secara cermat. Hampir setiap acara yang melibatkan publik yang bernilai rating tinggi apakah itu berbentuk talk show, debat kandidat, wawancara, panel diskusi, paket acara keagamaan seperti yang diasuh Aa Gym, bahkan sampai program reality show yang sedang booming digandrungi segenap lapisan masyarakat seperti Akademi Fantasi (AFI) di stasiun TV Indosiar, dimanfaatkan dengan prima pasangan ini. Tampilnya SBY (bersama Wiranto kandidat dari partai Golkar) menyanyikan lagu hit band Jamrud, Pelangi Di Matamu pada malam grand-final AFI 2 berhasil mengundang simpati kalangan pemilih muda. Juga lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (polling centre) baik di media cetak maupun televisi mempunyai andil yang sangat penting dalam mendongkrak kemenangan pasangan SBY-JK. Hampir setiap hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga penyelenggara dimenangkan oleh pasangan SBY-JK, sehingga memberi kesan seolah-olah pasangan ini telah menang sebelum bertanding. Hasil akhirnya lebih kurang 60 % suara kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla, mengalahkan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi pada pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada tanggal 20 September 2004. Sejarah telah ditorehkan. ERA IMAGE DAN TIRANI MEDIA Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan suatu prestasi yang membanggakan dari segala carut marut reformasi dan proses

demokratisasi di negeri ini. Era kedaulatan rakyat benar-benar terwujud menggeser era kedaulatan elit yang hadir sepanjang sejarah kehidupan politik negeri ini sejak jaman Majapahit sampai Orde Baru. Dahulu para raja memegang puncak kuasanya secara turun temurun karena dianggap sebagai titisan para dewa. Pada masa republik modern telah didirikan presiden RI yang pertama Bung Karno dipilih dan dikukuhkan oleh para tokoh elit perjuangan kemerdekaan yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Bung Karno diangkat sebagai presiden seumur hidup Pemimpin Besar Revolusi oleh lembaga MPRS, setelah membubarkan Konstituante (parlemen yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 1955) dengan Dekrit Presiden pada tahun 1959. Berganti masa kekuasaan Orde baru, siklus teratur lima tahunan penyelenggaraan Pemilu hanya untuk memilih anggota DPR dan MPR yang berfungsi sebagai stempel pengukuh pengangkatan Suharto sebagai presiden secara terus menerus selama 7 periode tanpa rival sama sekali. Maka lembaga tertinggi negara seperti partai politik, DPR, dan MPR, menjadi lembaga demokrasi semu (demokrasi seolah-olah menurut istilah Gus Dur) yang hanya berperan sebagai mesin mobilisasi politik kekuasaan tunggal sang patron. Proses reformasi yang berujung pada lengser keprabon presiden Suharto 23 Mei 1998, mengakibatkan wakil presiden Prof.Dr. BJ.Habibie diangkat dan dilantik oleh Suharto sebagai presiden penggantinya. Dalam Pemilu pertama pasca Orde Baru tahun 1999 yang dinilai paling demokratis selama ini, dihasilkan anggota DPR dan MPR yang mengangkat Abdurrachman Wahid sebagai presiden RI ke 4 (padahal partai pemenang Pemilu adalah PDIP). Akibat krisis Bulog-gate maka MPR melakukan sidang istimewa dan mencopot jabatan presiden dari Gus Dur dan mengangkat Megawati (semula wakil presiden) sebagai penggantinya. Siklus kedaulatan elit baru terputus dengan terpilihnya pasangan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat secara langsung pada 20 September 2004 yang menjadi tonggak emas perjalanan kehidupan politik bangsa ini. Kedaulatan elit, kedaulatan partai, ataupun kedaulatan birokrasi tidak berjalan efektif dengan gagalnya Koalisi Kebangsaan yang dimotori partai-partai besar pemenang Pemilu 2004 seperti Golkar, PDIP, PPP, dan PDS mengusung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Pada era kedaulatan rakyat mesin politik yang digerakkan oleh elit partai kurang berjalan efektif, dan kekuatan pengerahan sumber daya politik lebih banyak di gerakkan oleh mesin media komunikasi masa industri-industri media seperti televisi, pers, ataupun media cyberinteraktif internet. Sebagai primadona televisi tumbuh sebagai kekuatan raksasa pembangun dan pembentuk opini publik yang paling berpengaruh dalam kehidupan politik kita. Hegemoni budaya layar (screen-culture) dalam ruang-ruang publik kita telah memungkinkan televisi menjadi kekuatan utama media pendidikan politik sampai di ruang-ruang keluarga, terutama disaat menjelang peristiwa penting politik seperti pemilihan umum. Sementara itu di sisi lain media televisi juga mampu bermetamorposis sebagai alat penghancur dan pembunuh karakter seorang aktor politik (carracter assasination) yang ganas tanpa ampun. Televisi bak monster dengan dua kutub wajah seperti tokoh Dr Jeckyll dan Mr. Hyde yaitu mampu sebagai kekuatan paedagogis yang positif juga sekaligus dapat sebagai mesin pembunuh dan ajang pengadilan politik yang tak kenal kompromi. Televisi mampu mengangkat citra dan

popularitas seorang aktor politik akan tetapi sekaligus juga mampu menjungkalkan serta memerosotkan kredibilitas dan legitimasinya sampai ke titik nadir. Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas semu hasil proses suntingan (editing) dari realitas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini mempunyai hukum, logika, dan dunianya sendiri (second reality atau hyper-reality), yang pada titik ekstrimnya di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya. Akhirnya kehidupan politik yang ditampilkan dan dibentuk lewat layar media menjadi semacam hiperpolitik (hyper-politics) yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ruang-ruang citraan (terutama televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik sesungguhnya di dunia nyata (politics of discontinuity) (Garin Nugroho, 2004: 61-67). Megawati merupakan contoh yang menarik bagaimana nasib seorang aktor politik dilambungkan dan akhirnya dihempaskan oleh kekuatan media ini. Seperti lika-liku plot cerita opera sabun, Megawati pernah meroket popularitasnya pada masa Orde Baru sebagai tokoh protagonis teraniaya oleh rezim kekuasaan yang otoriter Suharto. Sejak dirinya terpilih sebagai ketua umum PDI pada kongres di Medan yang tidak direstui oleh pemerintah ia diangkat media sebagai ikon perlawanan Orde Baru yang akhirnya mengantarkan kemenangan PDIP partai yang dipimpinnya dalam pemilihan umum 1999 dan akhirnya membuahkan kursi kepresidenan bagi dirinya. Demikian sebaliknya, pada pemilihan presiden langsung yang baru lalu ia diposisikan dan dipersepsikan oleh kalangan pers dan media sebagai tokoh antagonis yang mewakili citra status- quo kekuasaan. Di mata pers ia dianggap sulit berkomunikasi, lamban, antikritik, dan kebijakan- kebijakan politiknya tidak memihak wong cilik sebagai pendukung utamanya (sering diplesetkan dengan jauh dari wong cilik dekat dengan wong licik). Ia sering menjadi bulan-bulanan media seperti terlihat pada wawancara khususnya menjelang putaran kedua pemilihan presiden (seperti ketika tampil pada stasiun TV SCTV dan Metro). Wawancara berubah menjadi arena pengadilan politik dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu acara yang sering memojokkan dan memancing emosi Megawati sehingga menggerogoti image politiknya. Dalam beberapa pidato kenegaraan seperti saat menyambut hari ulang tahun Pers Indonesia, presiden Megawati menyindir kalangan pers yang dianggap kebablasan dan bersikap oposisi terhadap kebijakan dan program-program pemerintah. Sebaliknya sang penantang SBY dalam telenovela perpolitikan nasional diposisikan media sebagai tokoh protagonis baru. Popularitasnya terus meroket secara dramatis berkat dukungan suku-suku baru kontemporer (neotribal) penggemar opera sabun dan telenovela yang haus akan cerita-cerita dramatis, bintang-bintang pahlawan baru, pelakon-pelakon yang teraniaya dan berakhir dengan kemenangan dramatis. Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun televisi ketika SBY disingkirkan secara halus sebagai Menkopolkam dalam kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan pengunduran dirinya merupakan momentum penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas suami presiden Megawati, menjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan. Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pribadi SBY sebagai Jenderal yang kayak anak kecil, menjadi kotak pandora yang semakin melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang banyak menangguk simpati publik.

Dari analisis yang lebih cermat dapat disimpulkan bahwa kekuatan pencitraan sosok SBY sebagai ikon perubahan bukanlah semata-mata hanya bertumpu pada pengelolaan strategi periklanannya, melainkan lebih kepada teks personalnya sendiri yang memenuhi ekspetasi dan impian masyarakat penggemar yang cenderung eskapis. Popularitasnya dibentuk bersama oleh momentum sejarah, media masa, lembaga-lembaga jajak pendapat (polling centre), tim sukses kampanye, masyarakat penggemar penonton setia televisi, dan kelemahan pemerintahan Megawati. Cepatnya perubahan konstelasi politik di Indonesia memaksa para pelaku dan aktor-aktor politik yang mendambakan kekuasaan untuk merancang strategi komunikasi dan penguasaan media masa secara tepat, efektif, dan efisien guna menjaring semaksimal mungkin perolehan suaranya. Teori-teori pemasaran dan komunikasi modern menjadi pilihan disamping mobilisasi lewat organisasi partai politik dan ideologi. Mengacu pendapat Bruce I Newman dalam bukunya Handbook of Political Marketing (1999) yang dikutip oleh Eep Saefulloh Fatah pada esainya yang berjudul Dari Supporter ke Voter (dimuat dalam Tempo 19 September 2004)0: pada zaman cyber-space ini pertarungan politik membutuhkan jurus-jurus pemasaran seperti pemetaan segmentasi pemilih, demografi pemilih, psikografi pemilih, brand positioning kandidat, brand personality kandidat, tawar menawar, transaksi, public-relations, media planning, media buying, media placement, pengelolaan isu dan event-event penting, riset dan seterusnya. Para pemilih dipandang sebagai konsumen unsur terpenting dalam siklus kegiatan pemasaran. Laku dan gagalnya penjualan sang kandidat dalam pasar pemilihan umum tergantung pada kecanggihan dan kreativitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Menurut Newman, pasar politik dalam lahan demokrasi yang sehat membutuhkan prasyarat kebebasan berkompetisi, partisipasi, dan rasionalitas dari para pemilih (voters) yang menggantikan emosionalitas, kultus, fanatisme, dan model mobilisasi dari para pengikut (supporters).

Sumber dari esai Eep Saefulloh Fatah Dari Supporter ke Voter dalam Tempo 19 September 2004, halaman 116-117. Publik yang dikategorikan sebagai pemilih (voters) menggunakan analisa rasional, dengan kalkulasi yang cermat berkat pengetahuan yang memadai tentang kelayakan dan kepatutan kandidatnya. Mereka mau memilih jika merasa yakin bahwa kandidat tersebut mampu memperjuangkan aspirasinya secara baik.

Pemilih memposisikan kandidat sebagai sosok historis tidak berdasarkan mitos, kultus, ataupun hubungan hierarki genealogis (hubungan silsilah kekeluargaan dengan para elit politik). Mereka menyerahkan kepercayaan berdasarkan pertimbangan prestasi, track record, kompetensi, dan moralitas sang kandidat sebagai pengemban amanat rakyat. Pemilih akan memposisikan dirinya setara dengan kandidatnya, dan memberikan pilihannya tidak secara gratis. Ia akan selalu menuntut imbalan yaitu pelaksanaan janji-janji politik yang diberikan sang kandidat pada saat kampanye. Tugas pemilih tidak selesai begitu saja sesudah proses pencoblosan dilakukan, melainkan akan terus mengawal dan menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin pilihannya selama masa jabatan yang ditentukan. Mandat mereka bukanlah cek kosong belaka, dan janji politik harus diuji kebenaran pelaksanaannya oleh publik. Pemilih adalah subyek partisipasi bukan obyek mobilisasi, sehingga ia mempunyai kemandirian dalam membangun kesadaran, merumuskan pilihannya, dan mengekspresikan pilihannya. Dalam bahasa yang lain para pemilih merupakan rational voters yang mempunyai tanggung jawab, kesadaran, kalkulasi, rasionalitas, dan kemampuan kontrol yang kritis terhadap kandidat pilihannya, yang meninggalkan ciri-ciri traditional voters yang fanatik, primordial, dan irasional, serta berbeda dari swingers voters yang selalu ragu-ragu dan berpindah-pindah pilihan politiknya. Dalam pemasaran politik, pengelolaan dan penguasaan media komunikasi pemasaran modern merupakan ujung tombak aktivitasnya. Penguasaan media menjadi kunci kemenangan atas posisi politiknya. Tim pemasar politik harus mampu mengintegrasikan berbagai bentuk aktivitas komunikasi pemasaran dengan beragam bauran medianya (media mix) yang sering disebut sebagai Integrated Marketing Communication (IMC) secara kreatif, sinergis, dan efektif dalam membangun kepercayaan di benak calon pemilihnya. Bentuk-bentuk aktivitas IMC seperti, advertising, direct marketing, sales promotion, publicity/public-relations, personal selling, dan event atau sponsorship menjadi aneka pilihan untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan akurat dengan pertimbangan urgensi dan skala prioritasnya (George E. Belch &Michael A. Belch, 1998: 3-31). Pemanfaatan berbagai bauran media seperti above the line media (ATL), below the line media (BTL), serta trough the line media (TTL) secara kreatif, unik, strategis, dan akurat merupakan kunci yang lain dalam memenangkan pertarungan media. Pada tahap awal perintisan membangun citra positif sang kandidat sebagai kegiatan brandbuilding, merupakan tahapan yang paling krusial dan menjadi fondasi yang menentukan kelangsungan dan keberhasilannya. Dalam bukunya yang berjudul: The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations (2003), Al Ries dan Laura Ries memperkenalkan era public relations (The Public Relations Cometh), yang menggantikan era positioning (The Positioning Cometh)(Al Ries & Laura Ries, 2003: 2-4). Menurutnya periklanan sebagai bentuk puffery communication telah kehilangan kredibilitasnya. Periklanan dianggap sebagai kebohongan dan suara manipulatif dari perusahaan atau pihak-pihak yang ingin menjual produk maupun gagasannya.

Melalui serangkaian kasus-kasus penelitiannya dibuktikan bahwa program-program kampanye periklanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional itu justru berdampak menjatuhkan angka penjualan produk-produknya seperti: iklan bertema mobil mainan dari Nissan; iklan bertema Just Do It dari Nike; iklan kampanye Energizer Bunny; iklan Alka Seltzer; dan masih banyak lagi. Kesimpulan dari pengamatannya periklanan tidak membangun kesadaran terhadap sebuah merek (brand), melainkan publisitaslah yang membangun keberadaan sebuah merek. Periklanan hanya bisa memelihara keberlangsungan merek (bersifat remindering) yang telah diciptakan oleh kegiatan publisitas (PR). Dari hasil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Gallup terhadap persepsi publik atas kejujuran dan etika dari 32 macam profesi yang berbeda-beda, periklanan dan praktisi periklanan menempati peringkat nyaris terbawah persis diantara penjual asuransi dan penjual mobil. Resep kunci dari Al Ries janganlah sekali-kali meluncurkan program periklanan sebelum kemungkinan-kemungkinan publisitas (PR program) dikembangkan dan dieksplorasi. Public Relations merupakan batu fondasi yang menentukan kokohnya kesadaran mereka ditanamkan di benak konsumen, baru diikuti aktivitas komunikasi lainnya seperti periklanan.

Sumber dari Al Ries & Laura Ries, 2003. The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia, halaman 2. SIMPULAN Sebagai media komunikasi politik yang baru, iklan-iklan politik kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden baik pada putaran ke I maupun pada putaran ke II masih banyak yang menggunakan pendekatan emosional dalam mempengaruhi calon pemilih. Penonjolan

figur kandidat dengan segala sentuhan emosionalitasnya seperti eksploitasi kegantengan SBY, serta kharisma kelembutan keibuan Megawati mendominasi eksekusi iklan-iklan politik yang ditayangkan di media televisi maupun media pers nasional. Publik kurang mendapatkan informasi mengenai program-program pembangunan, serta konsep-konsep politik yang bersifat paradigmatik dan rasional dari setiap kandidat di dalam membangun bangsa Indonesia di masa depan setelah mereka terpilih. Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang YudhoyonoJusuf Kalla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan umum presiden secara langsung 20 September 2004 menjadi titik balik akan kesadaran baru keberadaan mesin media komunikasi masa sebagai kekuatan pembentuk sikap calon pemilih, disamping tentunya kekuatan mesin politik partai. Acara-acara pembentuk opini publik yang ditayangkan televisi nasional seperti talk show, debat kandidat, panel diskusi, polling (jajak pendapat), bahkan sampai bentuk-bentuk yang lebih longgar seperti program reality show yang banyak disukai kaum wanita dan anak muda banyak dimanfaatkan oleh tim kampanye para kandidat presiden dan wakil presiden. Pemilu 2004 ini telah memberikan kesadaran bagi para perancang komunikasi politik untuk menggunakan bauran berbagai media serta menerapkan komunikasi pemasaran terpadu (tidak hanya memanfaatkan iklan semata) demi keberhasilan program-program kampanye yang dilakukan untuk mendukung kandidatnya. KEPUSTAKAAN , Antara Pemilu dan Media dalam Cakram edisi Juni 2004. Belch, George E. & Belch, Michael A., Advertising and Promotion: An integrated Marketing Communications Perspective. Boston: Irwin McGraw-Hill, 1998. Eep Saefulloh Fatah, kolom Dari Supporter ke Voter dalam Tempo, 19 September 2004 Edisi Khusus Pemilihan Presiden. Garin Nugroho, Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti, 2004. , Iklan Sebagai Mesin Politik Baru dalam Cakram edisi November 2004. , Ingar-bingar Dana Kampanye dalam Tempo, edisi 21 Maret 2004. Ries, Al & Ries, Laura, The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia. 2003.

http://dgi-indonesia.com/iklan-politik-era-image-dan-kekuasaan-media/

Iklan Politik Berpotensi Ganggu Demokratik Media Massa Selasa, 14 April 2009

Jakarta (PWI News) - Iklan politik di Indonesia berpotensi menganggu demokratik media massa, bila pihak media berketergantungan ke pemasang iklan, media berupaya menyenangkan pemasang iklan, dan pemberitaan media menjadi bias tidak berpihak ke parpol kecil yang tidak mampu memasang iklan, kata pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Drs. Zulkarimein Nasution MA.

"Oleh karena itu, media massa harus mempertegas dinding api (firewall) antara berita yang menjunjung kode etik jurnalistik dengan iklannya, sehingga kebijakan redaksi tidak dipengaruhi keinginan pemasang iklan," katanya dalam Bedah Kasus di Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Jakarta, Selasa.

Setiap menjelang lima tahunan jelang pemilu rasanya wartawan dan pengelola media massa perlu diingatkan lagi mengenai etika jurnalistik menghadapi iklan politik, termasuk menghadapi pemilik media yang aktivis parpol, ujarnya dalam Bedah Kasus bertopik "Banjir Advertorial dan Iklan Politik Dalam Pemilu".

Ia mengingatkan, media massa perlu meneguhkan ketaatan terhadap kode etik jurnalistik, menegakkan akuntabilitas media, memperkokoh pengawasan internal, mencerdaskan khalayak dan dewan kehormatan organisasi profesi harus bersikap tegas terhadap anggotanya.

Zulkarimein mengemukakan, iklan politik di Indonesia agaknya muncul sejak 1999 saat Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) mempromosikan Golkar Baru, yang lepas dari bayang-bayang Orde Baru (Orba), di berbagai media massa.

Hanya saja, ia menilai, di Indonesia kecenderungan iklan politik jelang pemilihan umum (pemilu) 2009, menurut dia, ke arah gaya Amerika Serikat (AS), terutama meniru fenomena Presiden Barrack Hussein Obama Jr. saat berkampanye melawan teman sekaligus saingannya di Partai Demokrat, Hillary Clinton, dan pesaingnya dari Partai Republik, John Mcain.

"Hanya saja, rakyat Amerika betah mendengarkan pidato kampanye Obama, sedangkan di Indonesia politisi yang berkampanye lebih sering diselingi penampilan penyanyi dangdut. Bahkan, ada indikasi rakyat datang ke kampanye untuk menonton penyanyi dangdutnya dibanding dngarkan pidato politik," katanya menambahkan.

Kredibilitas media

Sementara itu, Saur Hutabarat dari Media Indonesia dan Metro TV (Media Grup) mengemukakan, tidak ada koran atau media massa yang mampu bertahan atau mempertahankan kredibilitasnya dengan hanya mengandalkan "durian runtuh" berupa iklan partai politik (parpol) setiap lima tahun sekali.

Ia menilai, parpol gurem sulit untuk menggoyahkan idealisme pers untuk bertahan terhadap kode etiknya. "Bahkan, parpol besar pun belum tentu bisa," ujarnya.

Menanggapi posisi pemilik media yang juga aktivis parpol, Saur menilai, memang satu hal yang sulit, tetapi kebijakan pemberitaan media massa harus menempatkan idealisme jurnalisme di atas kepentingan iklan parpol yang sesaat.

Surya Paloh sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar sekaligus pemilik Media Grup, menurut dia, jika tampil di medianya dalam kemasan berita, maka harus memiliki pula nilai berita.

Menanggapi kecenderungan pemilu 2014, Saur menilai, bakal banyak parpol menjadi merasa miskin untuk beriklan secara total di media massa. "Oleh karena, saat itu tarif iklan pasti sudah jauh lebih mahal dari sekarang. Belum tentu masih ada parpol berani beriklan layaknya Prabowo dari Partai Gerindra," ujarnya.

Ia juga mengemukakan, iklan parpol yang nilainya besar dari Partai Demokrat, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) perlu ditelaah lebih jauh berkaitan dengan perolehan suara dalam pemilu 2009.

Selain itu, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa calon legislator (caleg) yang dapat lolos ke parlemen berdasarkan suara terbanyak mengakibatkan uang beredar ke arah individu caleg, dan bukan ke dana parpol sebagai prioritas.

"Itu sebabnya iklan besaran uangnya ke individu caleg secara 'out door', di spanduk dan baliho caleg, lebih dominan ke daerah pemilihannya. Bukan ke arah media massa," ujarnya.

Dalam forum yang sama, Rikard Bagun selaku Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas, mempertanyakan: "Siapa bilang ada banjir uang di media massa dari iklan parpol?" Oleh karena, ia menilai, nilai pemberitaan politik media massa jauh lebih besar nilainya dibanding besaran iklan parpol.

Apalagi, ia mengemukakan, iklan parpol di media massa lebih sering menipu, karena menampilkan sesuatu yang dilebih-lebihkan, jauh dari realitas (hyper realita). "Ada dua hal, yang menyangkut uang dan 'hyper realita' ini harus diuji akuntabilitasnya," ujar Rikard.

Dalam beberapa tahun ini, ia menilai, ada pergeseran dari produksi ke konsumsi sehingga politisi berkejaran memasang iklan konsumtif, dan bukan memperlihatkan produktivitasnya.

"Di situ tidak ada kritik balik, dan masyarakat atau publik tidak diberi kesempatan menyampaikan kritik. Dalam hal inilah wartawan dan organisasi, seperti PWI perlu berperan menyampaikan kritik publik," katanya.

Dinding api orientasi industri pers, menurut dia, harus tegas untuk menjaga independensi terhadap godaan semacam iklan parpol yang memang bisa meroboh dinding tersebut. Padahal, ia menegaskan, kredibilitas jurnalisme kalau harus dikorbankan, maka habis pula bisnis media massa bersangkutan.

Rikard pun menilai, di Indonesia senantiasa digaungkan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.

"Padahal, ketiga pilar lainnya dibiayai negara, sedangkan pilar keempat yang namanya pers atau media massa harus membiayai dirinya sendiri," ujarnya.

Ia pun menolak anggapan bahwa iklan parpol adalah banjir uang bagi media massa, karena sering ada tokoh yang risau dan sulit menerima kenyataan bila dirinya dikritik media massa lantaran dirinya merasa sudah merasa memasang iklan.

"Hal ini bukan perkara mudah, tetapi media massa memang harus mampu mempertahankan idealisme pemberitaannya," demikian Rikard Bagun.

Bedah kasus Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dipandu Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Marah Sakti Siregar, itu dihadiri pula para tokoh pers nasional, antara lain DH Assegaff (Media Grup), Sofyan Lubis(Pos Kota), Tribuana Said (Waspada), Rusdy Effendi (Banjarmasin Post) dan Syafik Umar (Pikiran Rakyat), serta H. Margiono (Ketua PWI Pusat). (*) http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI/Iklan-Politik-Berpotensi-Ganggu-Demokratik-MediaMassa.html

Menyongsong pemilu sela 7 November, Partai Demokrat maupun Republik mengerahkan semua daya dan upaya untuk meraih simpati pemilih. Kedua kubu menggunakan iklan sebagai cara untuk saling menjatuhkan. Tapi pada pemilu kali ini kubu Demokrat lebih baik dalam mengatasi iklan-iklan serangan dari kubu Republik. Pertama-tama, kubu Republik berusaha menyerang kubu Demokrat dengan menyinggung masalah keamanan nasional, karena Demokrat dianggap terlalu lembut dalam mengatasi masalah terorisme. Namun cara seperti itu tidak berhasil, karena George W. Bush sendiri belum dapat menyelesaikan masalah terorisme. Lalu selanjutnya, Republik berusaha menyerang Demokrat dengan mengatakan Demokrat tidak bersikap tegas dan keras terhadap permasalahan imigran ilegal. Tetapi itu juga tidak berhasil karena Bush sendiri juga bersikap ramah terhadap masalah imigrasi, dan selain itu, orang-orang Republik yang ada di kongres juga gagal membuat persyaratan yang keras mengenai keimigrasian.

Beberapa minggu menjelang pemilu sela, kubu Republik membuat iklan yang mengatakan kalau Demokrat akan menaikkan tarif pajak. Tetapi usaha tersebut tidak berhasil mempengaruhi para pemilih, karena para pemilih memfokuskan perhatian mereka kepada masalah Irak dan Mark Foley. Kemudian Republik kembali mengeluarkan iklan yang lebih keras lagi yaitu iklan yang menggambarkan Demokrat sebagai gila seks, pendukung homoseksual, pembaca pornografi, dan dalam kasus salah satu kandidat senat dari Demokrat, Jim Webb, yang juga seorang penulis novel disebut sebagai penulis cerita-cerita porno yang menyesatkan. Iklan-iklan yang dikeluarkan oleh Republik menjadi bukti bahwa ancaman tidak selalu dapat mengarahkan perhatian. Terkadang iklan-iklan seperti itu hanya mengarah kepada kegilaan, keputusasaan.

Banyak media yang memusatkan perhatian pada kandidat senat dari Demokrat yang berasal dari Tennessee, Harold Ford Jr. Dia masih muda, menarik, dan berkulit hitam. Kesalahan Ford yang menjadi sasaran kubu Republik adalah kedatangannya, bersama-sama 3.000 orang ke pesta Super Bowl yang disponsori oleh Majalah Playboy tahun lalu. Hal ini menginspirasikan kubu Republik untuk membuat iklan yang menampilkan seorang wanita berpakaian seksi yang mengaku bertemu dengan Ford di pesta itu dan lalu, pada kalimat terakhir dalam iklan itu, wanita itu mengecupkan bibirnya, mengedipkan matanya, dan berbisik, Harold, telepon aku.

Iklan Republik berikutnya menyerang Ford dengan mengatakan Ford memiliki nilai-nilai Hollywood, karena ucapannya yang mendukung pernikahan gay dan pendistribusian pil pencegah kehamilan bagi para remaja. Dengan munculnya iklan itu, Ford tidak tinggal diam dan segera memberi respon dengan iklan yang menampilan penduduk Tennesse yang mengekspresikan kejijikan mereka atas kubu Republik. Seorang wanita bernama Maura Satchell mengatakan,Hidup anak saya sedang dipertaruhkan di Irak, dan mereka memasang iklan ini hanya untuk mengecoh perhatian kita saja. Respon yang cepat kepada serangan Republik menjadi kunci keberhasilan Ford untuk mendapatkan kekuatan suara di Tennessee. Pada awal bulan Oktober ini, sebagai contoh, Kandidat Republik, Bob Corker, menuduh Ford mendukung pemberian keringanan hukuman bagi para imigran. Ford segera memberi respon dengan membuat iklan yang mengklaim Perusahaan Konstruksi milik Corker telah mempekerjakan imigran asing. Respon yang cepat adalah peraturan yang saya buat bagi seluruh kandidat pada tahun ini, ujar Senator Charles Schumer dari New York, seorang dewan direksi Komite Kampanye Kesenatoran Demokrat. Jika anda menginginkan dukungan finansial dari kami, anda harus memberi respon dalam 24 jam setelah anda diserang. Sungguh jelas, kubu Demokrat telah belajar dari kesalahan yang dilakukan kandidiat presiden dari Demokrat, John Kerry, pada tahun 2004 yang bertindak lambat ketika berespon terhadap serangan Republik. Tetapi Schumer belajar sesuatu dari perjalanannya ke kursi senat yang ia lakukan pada tahun 1998 dimana ia bersaing melawan Alfonse DAmato. Fonzi menyerang saya karena saya dianggap tidak tegas terhadap kejahatan, dan kami kembali menyerang dia dengan serangkaian iklan yang keras dengan kalimat: Alfonse DAmato: terlalu banyak kebohongan selama ini. Schumer mengatakan bahwa iklan terpenting yang dibuat oleh Demokrat pada tahun ini adalah iklan yang muncul pada bulan Juli dalam persaingan perebutan kursi Senat di Ohio. Kandidiat dari Republik, Mike DeWine, memasang iklan yang intinya mempertanyakan catatan kandidat dari Demokrat, Sherrod Brown, pada masalah keamanan nasional dengan menampilkan Gedung World Trade Canter dalam kedaan diserang teroris. Republik menggunakan iklan seperti itu karena Brown adalah orang yang selalu berulang-ulang kali memilih tidak menaikkan dana bagi keintelijenan. Namun kubu Demokrat telah dapat memprediksi iklan seperti itu. Para kandidat kami merasa kuatir mengatasi kubu Republik yang mengungkit masalah kemanan nasional, ujar J.B. Poersch, direktur eksekutif Komite Kampanye Kesenatoran Demokrat. Iklan seperti ini berhasil mengalahkan kami pada tahun 2002 dan 2004.

Tetapi Brown memberikan perlawanan dengan iklan yang dimulai dengan kalimat: Sungguh menyedihkan. Mike DeWine mengeksploitasi peristiwa 9/11 untuk memfitnah Sherrod Brown dan selanjutnya iklan itu beralih pada topik yang menjadi kesukaan Brown: (DeWine) mendukung perjanjian dagang dengan Cina, meskipun setelah ribuan orang kehilangan pekerjaan dan pemindahan sejumlah teknologi militer yang sensitif Hasilnya polling menunjukkan iklan itu memiliki pengaruh yang menyebar. Kandidat kami yang lain melihat keberhasilan Brown, ujar Poersch, dan sekarang mereka percaya diri kalau mereka dapat mengatasi Republik apabila mereka kembali menggunakan isu keamanan nasional. Sebagai hasilnya, fenomena iklan politik pada tahun 2006 ini merupakan serangan balik kubu Demokrat. DAP,MLP (Berita Indonesia 25)

Rakyat Amerika Memilih Rakyat Amerika Serikat Selasa (7/11) memberikan suaranya dalam pemilihan umum sela untuk mengisi 435 kursi di DPR (House of Representatives) dan 33 kursi Senat. Lebih dari 200 juta warga AS berhak memilih dalam pemilu kali ini, namun berdasarkan pengalaman sebelumnya, jumlah pemilih yang datang ke TPS kurang dari 50 persen, kecuali pemilu presiden tahun 2004 di mana jumlah pemilih mencapai 63 persen. Pemilu sela tahun ini tampaknya sedikit "istimewa" karena banyak yang menganggapnya sebagai "referendum" terhadap kepemimpinan Bush sebab rakyat AS telah menanggung serangkaian kekecewaan terhadap pemerintahan Bush.

Tiga Iklan Politik 'Terpanas' 1. "Lawan politikku berpesta bersama 'kelinci' model playboy yang berpakaian dalam! Dan kemudian pergi ke Gereja!" Kalimat di atas adalah pesan iklan politik yang menyerang kandidat senat kubu Demokrat dari Tennessee, Harold Ford. Iklan ini merupakan iklan balasan dari kubu Republik terhadap iklan kubu Demokrat sebelumnya. Iklan Demokrat sebelumnya itu menampilkan Ford sedang berjalan di antara kursi-kursi Gereja. Ford kemudian berkata, "Di sini saya belajar mengenai mana yang benar dan mana yang salah," ucapnya dengan menampilkan wajah yang tulus. Kemudian Ford menjelaskan mengenai lawan politiknya dari kubu Republik, Corker, yang berkata hal-hal bohong mengenai dirinya. Kubu Republik membuat iklan balasan: "Orang seperti apa yang pergi berpesta dengan model playboy berpakaian dalam dan kemudian membuat iklan di antara kursi-kursi Gereja? Iklan ini menyindir Ford yang beberapa bulan lalu pergi ke pesta yang diadakan oleh Majalah Playboy. Iklan ini kemudian dibalas lagi oleh iklan dari kubu Demokrat yang menunjukkan kekayaan yang dimiliki Corker tetapi tidak memberi apa-apa kepada polisi dan pemadam kebakaran. 2. "Kita akan semakin bahagia!" Mike DeWine dari kubu Republik suka berkata: "Kita semua harus bekerja sama: Demokrat dan Republik. Kemudian kubu Demokrat membuat iklan yang menyinggung perkataan DeWine tersebut. Iklan ini dimulai dengan sebuah kalimat: "Senator DeWine menghabiskan 92% waktunya dengan Presiden Bush." Kemudian diikuti dengan paduan suara anak-anak yang bernyanyi: "Semakin kita bekerja sama, kita akan semakin bahagia." Selanjutnya

tampak wajah DeWine sedang merangkul Presiden Bush yang disertai tulisan: Hutang Negara Meningkat 9 Triliun Dollar, Pemotongan Pajak Bagi Perusahaan Minyak, Pemotongan Pajak Bagi Perusahaan Yang Bekerja di Luar Negeri, dan diakhiri dengan: Mike DeWine senang dapat bekerja sama dengan George Bush. 3. "Hi, seksi!" Sebuah bayangan penari seronok yang kemudian disusul dengan gambar Michael Arcuri sedang tersenyum, seorang kandidat dari kubu Demokrat. Kemudian terdengar suara yang berkata: "Nomor telepon layanan percakapan fantasi muncul di dalam tagihan telepon Michael Arcuri ketika ia menginap di Hotel New York untuk keperluan bisnis. Siapa yang menelepon percakapan fantasi dan membebani pembayar pajak? Lalu terdengar suara penari seronok: "Telepon nakal!" Apa yang tidak dikatakan oleh iklan itu adalah bahwa panggilan telepon itu hanya berlangsung kurang dari semenit, dan sebenarnya panggilan tersebut terjadi karena Arcuri salah menekan nomor. Arcuri sebenarnya ingin menelepon Departemen Keadilan, yang secara kebetulan bernomor sama dengan layanan telepon fantasi tapi berbeda kode area.
http://www.beritaindonesia.co.id/mancanegara/saling-menjatuhkan-lewat-iklan-politik

You might also like