You are on page 1of 12

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.htmlhttp://kolombiografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.

html Biografi Imam Hanafi Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Numan bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.

Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri. Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafii Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh . karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia. Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok : 1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum. 2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran. 3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. 4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah. 5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash. 6. Ijma yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu. 7. Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat. Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduads/12/03/09/m0louo-pendiri-mazhab-imam-hanafi-daripedagang-menjadi-imam-besar-1 REPUBLIKA.CO.ID, Postur tubuhnya ideal. Tutur katanya santun, jelas, dan indah bagai mutiara. Selalu tampil rapi dengan aroma harum yang menyerbak. Penuh kasih sayang, cerdas, berwibawa, baik dalam pergaulan, tidak senang membicarakan hal-hal yang tak berguna. Begitulah gambaran sosok Imam Hanafi, salah satu imam mazhab dalam dunia Islam. Ia punya garis keturunan Persia, yang berarti satu-satunya imam mazhab yang bukan orang Arab. Namun, di dalam Islam tidak mengenal perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab. Semua imam mazhab berjuang untuk menegakkan ajaran Alquran dan sunah Nabi SAW. Selain dikenal dengan nama Imam Hanafi, ia juga masyhur disebut Abu Hanifah. Soal nama ini, para ahli sejarah punya beragam pandangan. Ada yang menyatakan, kemasyhuran nama itu karena ia memiliki seorang anak lakilaki yang bernama Hanifah. Sebab itu, ia diberi julukan dengan Abu Hanifah, yang berarti ayah dari si Hanifah. Pandangan lain menyebut, karena sejak kecil ia sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya sehingga ia dianggap seorang yang hanif (sikap yang lurus) pada agama. Ada pula yang menerjemahkan kata hanifah berarti tinta dalam bahasa Persia. Ini berkaitan dengan kebiasaan beliau yang selalu membawa tinta ke manapun pergi. Pedagang Minyak Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriah bertepatan dengan 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya namanya adalah Numan bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi, bergelar Al-Imam Al-A'zham. Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umaiyyah. Hanafi hidup dalam keluarga yang saleh. Sudah hafal Alquran sejak masih usia kanak-kanak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Saat masih kecil, Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera. Bahkan dia memiliki toko untuk berdagang kain. Menurut riwayat, Imam Hanafi pernah diajak oleh ayahnya, Tsabit, bertemu dengan Ali bin Ali Thalib. Sebelum Imam Hanafi kembali ke negerinya, Ali bin Ali Thalib berdoa untuknya, Mudah-mudahan di antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang baik-baik dan berderajat luhur. Kisah ini juga pernah dituturkan Ismail bin Hamad bin Abu Hanifa, cucu Imam Hanafi. Doa Ali bin Ali Thalib ternyata terbukti. Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi kemudian menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadits, di samping ilmu kesusastraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak bidang ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit. Yazid bin Harun berujar, Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah. Kalimat yang hampir sama juga terlontar dari Imam Syafi'i, Tidak seorang pun mencari ilmu fikih kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya sesuai apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.

http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/imam-abu-hanifah-80-150h.htmlhttp://www.kisah.web.id/tokoh-islam/imam-abu-hanifah-80-150-h.html Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Numan bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Imam Abu Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab: 1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah. 2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah. 3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah. Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah. Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau. Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut Sebahagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mahu merosak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat. Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya. Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.

Pada waktu yang lain Gabenor Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan. Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya. Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gabenor. Ketika itu gabenor menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gabenor. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gabenor dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan. Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mahu menjadi pegawai kerajaan dan tidak mahu campur tangan dalam urusan negara. Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh gabenor. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gabenor menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan. Walaupun demikian ketika Imam Hanafi diseksa ia sempat berkata. Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti. Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah. Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan. Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu? Dijawab oleh Imam Hanafi Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya. Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa. Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?

Dijawab oleh Imam Hanafi: Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu. Baginda berkata lagi: Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu. Dijawab oleh Imam Hanafi: Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya. Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masingmasing diberi surat pelantikan tersebut. Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan. Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri. Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat. Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun. Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan. Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafiiy. sumber: http://www.geocities.com/Athens/Acropolis/9672/imam4.htm Popularity: 17% [?]

MAZHAB HANAFI
{ Februari 13, 2009 @ 4:24 pm } { Pengantar Fiqh } a. Profil Imam Mazhab (Imam Abu Hanifah r.a) Lengkapnya, nama Imam Abu Hanifah adalah Numan bin Tsabit bin Zutha, lahir pada tahun 80 H di kota Kufah dan meniggal tahun 150 H (tahun lahirnya Imam Syafii). Ketika beliau lahir umat Islam berada dibawah kekhalifahan Bani Umayyah, tepatnya khalifah Malik bin Marwan, sedang di Irak sendiri yang menjadi walinya adalah al-Hajjaj ats-Tsaqafi. Di waktu muda beliau juga merasakan keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan hidup beliau terus berlanjut ketika Bani Umayyah jatuh dan digantikan oleh Bani Abbasiyah. Jadi bisa dikatakan bahwa beliau sangat mengetahui tentang polemik, kemajuan dan kemunduran kekhalifahan Bani Umayyah. Sedangkan ketika beliau wafat umat Islam berada dibawah kekhalifahan al-Manshur dari Bani Abbasiyah. Beliau termasuk kalangan Tabiin, sebab waktu itu beberapa Shahabat masih hidup, seperti Anas bin Malik r.a di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Abu Thufail Amir bin Wailah di Makkah dan Sahal bin Saad bin Saidi di Madinah, namun beliau tidak pernah bertemu dengan seorangpun diantara mereka. Dengan demikian mazhab ini adalah mazhab yang tertua diantara mazhab-mazhab Ahlu Sunnah. MENUNTUT ILMU Seperti kebiasaan ulama lainya, masa kecilnya dilalui dengan menghafal al-Quran kemudian beberapa hadits-hadits penting. Sedang kehidupan ilmiyahnya dimulai dengan menekuni Ilmu Kalam, mungkin dikarenakan kondisi masyarakat Irak yang saat itu banyak perbedaan dan perdebatan masalah akidah sehingga memberikan pengaruh terhadap kecenderungan Abu Hanifah muda. Namun lama-kelamaan beliau menyadari bahwa selama ini ia telah mengikuti jalan yang tidak pernah diikuti para salafuna ashshalih dan sibuk dengan perdebatan-perdebatan yang tidak jelas manfaatnya. Inilah yang menjadi faktor asasi perubahan haluan ilmu beliau ke bidang Fiqh yang lebih nampak manfaatnya di tengah masyarakat. Dalam belajar Fiqh, Imam Abu Hanifah mengambil Fiqh ulama Kufah dari berbagai aliran dan metode yang ada di sana, sementara sebagaimana yang kita ketahui bahwa Fiqh Kufah secara umum bermuara pada metode beberapa orang tokoh seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Alqamah (murid Ibnu Masud) dan Ibrahim an-Nakhai, metode mereka itu diistilahkan dengan Fiqh al-Qiyas wa at-Takhrij. Disamping itu beliau juga sempat mendengar pengajaran ulama besar Tabiin seperti Atha bin Abi Rabah, Nafi Maula Ibnu Umar dan Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah beberapa lama mengembara mendengar dan belajar dari ulama-ulama Kufah, akhirnya Imam Abu Hanifah r.a mengambil sikap untuk belajar Fiqh secara khusus dari seorang ulama saja atau yang dikenal dengan istilah mulazamah, dalam hal ini beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman r.a yang merupakan murid Alqamah bin Qais r.a (murid Ibnu Masud r.a) sekitar awal abad ke dua hijriyah. Imam Hammad sendiri waktu itu adalah salah seorang ulama besar kalangan Tabiin di Kufah. Dan disebutkan dalam banyak buku bahwa Imam Abu Hanifah selalu menyertai gurunya ini sampai akhir hayatnya, yaitu selama 18 tahun. Bahkan beliau menyamakan posisi gurunya ini dengan orang tuanya. ABU HANIFAH SEORANG GURU Paca meniggalnya Imam Hammad bin Abi Sulaiman pada tahun 120 H., posisinya digantikan oleh Imam Abu Hanifah. Dalam mengajar beliau sering mengemukakan hal-hal baru dan sering juga mendebat banyak pendapat, bahkan dalam mengajar tidak sekali beliau menggunakan metode diskusi dengan murid-muridnya, dan jika sebuah pembahasan sampai kepermasalahan adat, mashlahah dan masalah

keadilan, semuanya terdiam. Namun di saat yang sama beliau juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak diam, menghargai pendapat orang lain, ahli ibadah, zuhud, wara dan tawadhu. Dengan demikian beliau menggabungkan dua dunia; dunia pasar dan dunia ilmu, dari dunia pasar beliau mendapatkan kekuatan berdebat dan logika, dan dari dunia ilmu beliau mendapat sinar ke-tawadhu-an. Dengan segala kelebihan yang dimilikinya menyebabkan banyak orang yang mengikuti majlis ilmu dan metodenya dalam Fiqh. Dan tidak sedikit juga pujian datang baik itu secara terang-terangan disampaikan kepada beliau maupun yang tidak, baik dari yang sealiran maupun tidak, dari khalifah sampai masyarakat biasa. Dalam mengajar, metode beliau mirip dengan metode yang dipakai Socrates. Beliau tidak sekedar menyampaikan ceramah, bahkan lebih banyak mengemukakan masalah-masalah dan dilemparkan kepada murid-muridnya sembari memberikan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum, kemudian mereka berdiskusi dan berdebat bersamanya, dan di akhir beliau baru mengeluarkan pendapatnya. Metode seperti ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar dan memiliki kepribadian yang kuat, karena ia satu saat akan berada di posisi murid dan di saat yang lain berada di posisi guru. Dan tujuan dari metode ini adalah untuk meluaskan wawasan, menguatkan ilmu murid dan guru dalam waktu yang bersamaan. Bagi Imam Abu Hanifah, murid-muridnya merupakan orang-orang yang paling beliau cintai, seperti hubungan bapak dengan anak. Bahkan ketika Abu Yusuf terlambat menghadiri majlis beliau karena membantu orang tuanya dalam mencari nafkah hidup, beliau panggil dan setelah mengetahui alasannya beliau tidak sungkan-sungkan memberikan 100 dirham agar Abu Yusuf tidak lari lagi dari majlis beliau, dan hal ini tidak terjadi sekali saja!. METODE FIQH ABU HANIFAH Adapun metodenya dalam Fiqh sebagaimana perkataan beliau sendiri: Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudaian saya tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim, Syabi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Said bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. Metode yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Quran; Sunnah, Ijma, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan Urf (Adat). 1. Al-Quran, Abu Hanifah memandang al-Quran sebagai sumber pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) al-Quran tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah. 2. Sunnah/Hadits, Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah alQuran sebagaimana imam-mam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penrimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati. 3. Ijma, Imam Abu Hanifah mengambil Ijma secara mutlak tanpa memilah-milih, namun setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma tersebut.

4. Perkataan Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Shahabah yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan Tabiin beliau lebih cenderung berijtihad sendiri. 5. Qiyas, belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum. 6. Istihsan, dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling seirng menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum. 7.Urf, dalam masalh ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai urf dalam masalah-masalah furu Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat. IMAM ABU HANIFAH DAN ULAMA YANG SEMASA DENGANNYA Diantara ulama-ulama yang semasa dengannya di Kufah adalah Imam Sufyan ats-Tsauri r.a (ulama Hadits), Imam Syarik bin Abdillah an-Nakhai (ulama Fiqh) dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila (ulama Fiqh). Hubungan antara Imam Abu Hanifah dengan mereka tidak terlalu baik, perbedaan antara Ahli Hadits dengan Ahli Rayi berpengaruh kepada hubungan beliau dengan Imam ats-Tsauri r.a, sedangkan dengan Imam Ibnu Abi Laila r.a, yang waktu itu menjadi Qadhi di Kufah, kurang harmonis juga karena beliau sering mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan Imam Ibnu Abi Laila r.a, sehingga kadang-kadang ada peringatan dari pemimpin negeri agar Imam Abu Hanifah tidak mengeluarkan Fatwa, sementara dengan Imam Syarik r.a ada sedikit persaingan karena satu masa. Meskipun demikian Imam Abu Hanifah r.a tetap memiliki kharisma yang tinggi di kalangan masyarakat, terbukti banyak sekali murid-muridnya yang menjadi ulama besar, diantara muridnya yang terkenal adalah Imam Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim al-Anshari, Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani (kemudian dikenal sebagai shahiba Abi Hanifah ulama besar mazhab Hanafi), Imam Zufar bin Hudzail bin Qais al-Kufi dan Imam Hasan bin Ziyad al-Lului. b. Profil Rigkas Imam Abu Yusuf Lengkapnya beliau bernama Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari. Lahir kira-kira tahun 113 H dan meninggal tahun 182 H. Banyak ulama yang menganggap beliau adalah seorang mujtahid muthlaq, setara dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal. Guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan dan pembinaan ilmu beliau adalah Imam Muhammad Ibnu Abi Laila al-Qadhi dan kemudian Imam Abu Hanifah sendiri. Abu Yusuf mengambil Fiqh dan belajar banyak dari Abu Hanifah, disebutkan sekitar 17 tahun lamanya Abu Yusuf melakukan mulazamah dengan Abu Hanifah dan bisa dikatakan Abu Hanifahlah yang mengisi pundi-pundi ilmu Abu Yusuf sehingga menjadi seorang yang tidak kalah hebatnya dri Abu Hanifah sendiri, sedang dari Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf banyak belajar tentang Qadha (hukum dan kehakiman), dengan demikian Abu Yusuf telah mendapatkan Fiqh secara ilmu dan praktek sekaligus dari dua tokoh tersebut. Namun demikian Imam Abu Hanifah tetap orang yang paling berpengaruh pada dirinya bahkan beliau menganggap Abu Hanifah lebih dari orang tua dan keluarganya sendiri. Disamping belajar khusus dari kedua Imam di atas, Abu Yusuf juga belajar dari banyak ulama-ulama besar lainnya, seperti Abu Ishaq asy-Syaibani, Abdul Malik bin Juraih, al-Hajjaj bin Arthah, Sufyan bin Uyaynah, Ubaidillah bin Umar, Abdullah bin Umar, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq (pengarang al-Maghazi), dan ulama-ulama lainnya dari Hijaz, Irak dan negeri-negeri lain. Maka tidaklah mengherankan jika beliau dikatakan lebih faqih dari Abu Hanifah, kita saksikan sendiri bagaimana Imam Abu Yusuf mengambil ilmu dari dua aliran besar Fiqh ketika itu, Madrasah ar-Rayi dan Madrasah al-

Hadits. Yahya bin Main berkomentar: Saya tidak pernah melihat di kalangan ashhab ar-rayi yang paling tsabit (kuat) dalam masalah hadits, paling kuat hafalan (ahfazh) dan paling shahih riwayatnya dari Abu Yusuf. Dan tentang pengaruh beliau di kalangan masyarakat kita cukupkan dengan komentar Imam Ahmad bin Hanbal: Dalam menulis/mengambil hadits awalnya saya sering mendatangi Abu Yusuf dan saya menulis hadits darinya, kemudian saya mendatangi orang banyak dan mereka berkata: Abu Yusuf lebih kami senangi dari Abu Hanifah dan Muhammad (Ibn Hasan). Banyak sekali kisah dan komentar dari para ulama yang menempatkan Abu Yusuf sebagai figur ulama besar umat ini, yang memang pantas memangku gelar Qadhi al-Qudhah untuk pertama kalinya di masa Harun al-Rasyid dan terus berlanjut sampai masa al-Mahdi dan al-Hadi. Beliau termasuk ulama yang banyak mengarang buku, akan tetapi karangan beliau yang masih bertahan sampai saat ini hanya beberapa saja seperti buku al-Atsar, Ikhtilaf Ibni Abi Laila Wa Abi Hanifah, arRadd Ala Siyar al-Auzai, dan karangan monumental beliau al-Kharraj, yang sampai saat ini banyak dipelajari pakar ekonomi dunia. c. Profil Ringkas Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani Beliau adalah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad asy-Syaibani, lahir di daerah Wasith (di Irak) tahun 132 H, dan tumbuh di Kufah sehingga kemudian belajar dari Imam Abu Hanifah. Selain Abu Hanifah, Imam Muhammad juga belajar dari Musir bin Kidam, Sufyan ats-Tsauri, Umar bin Dzar, Malik bin Maghul, Malik bin Anas, al-Auzai, Zamah bin Shalih, Bakir bin Ammar dan Abu Yusuf. Sedangkan diantara ulama-ulama yang pernah belajar kepada beliau seperti Imam Syafii r.a, Abu Sulaiman al-Jauzjani (guru Imam Tirmidzi), Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lan sebagainya. Beliau meninggal pada hari yang sama dengan Imam al-Kasai tahun 189 H di Ray, sehinga Khalifah Harun ar-Rasyid berkata: Telah pergi hari ini Lughah dan Fiqh. Imam Muhammad bin Hasan banyak menulis buku dibanding ulama lain yang semasa dengannya dan buku-bukunya tersebut juga banyak yang masih ditemukan saat ini. Buku-buku tersebut di kemudian hari dijadikan sebagai referensi utama Mazhab Hanafi sebagaimana yang diungkapkan Syeikh al-Kautsari . Yang monumental adalah kitab al-Mabsuth, dan disebutkan juga bahwa seorang ahli hikmah dari kalangan Ahli Kitab memeluk Islam setelah membaca buku ini. d. Tingkatan Ahli Fiqh Mazhab Hanafi (Thabaqat Fuqaha al-Hanafiyah) Mengetahui tingkatan-tingkatan dalam sebuah mazhab sangat berguna dalam bermazhab, sehingga seorang yang bermazhab bisa memposisikan dirinya dan bisa melakukan pemilihan-pemilihan (tarjih) yang benar jika terjadi pertentangan pendapat di dalam satu mazhab, karena mengikuti yang rajih (pendapat yang kuat) merupakan sebuah kemestian baik bagi mujtahid maupun muqallid, terlebih lagi dalam menghukum dan berfatwa. Imam Muhammad bin Sulaiman (Ibnu Kamal Basya) membagi Ahli Fiqh secara umum kepada tujuh tingkatan: 1. Tingkatan Mujtahid Agama yaitu ulama yang mampu merumuskan kaedah-kaedah ushul dan mampu menetapkan hukum furu dari empat sumber (dalil) utama secara independen, tanpa taqlid (mengikut) kepada siapapun, seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah r.a, Imam Malik r.a, Imam Syafii r.a dan Imam Ahmad bin Hanbal r.a). 2. Tingkatan Mujtahid Mazhab yaitu ulama yang mampu mengolah dalil-dalil dan kemudian menghasilkan hukum dengan bantuan kaedah yang telah ditetapkan guru-guru mereka, jadi meskipun di sebagian permasalahan mereka berbeda dengan sang guru, akan tetapi meereka masih mengikut (taqlid)

dari sisi kaedah ushul. Dalam hal ini dalam mazhab Hanafi seperti Imam Abu Yusuf r.a, Muhammad bin Hasan r.a dan murid-murid Abu Hanifah r.a lainnya. 3. Tingkatan Mujtahid dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan riwayat atau sumber langsung dari shahib al-madzhab (Imam Abu Hanifah r.a), namun mereka tidak mampu menyalahi pendapat Imam, baik dalam segi ushul maupun furu, hanya saja mereka menetapkan hukum-hukum dengan menggunakan kaedah ushul yang ditetapkan Imam. Ulama tingkatan ini seperti al-Khashaf (w. 261 H), Abu Jafar ath-Thahawi (w. 321 H), Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), Syamsul Aimmah alHelwani (w. 448 H), Syamsul Aimmah as-Sarkhasi (w. 500 H), Fakhrul Islam al-Bazdawi (w. 482 H), Fakhruddin Qadhikhan (w. 593 H) dan lain sebagainya. 4. Tingkatan Ashhab at-Takhrij dari golongan muqallidin (lawan mujtahid) yaitu ulama yang belum mampu berijtihad dalam masalah ushul, akan tetapi dengan kemampuan mereka menguasai permasalahan ushul dan kaedah ushul, mereka mampu menjelaskan ungkapan atau istilah yang bersifat umum yang memiliki beberapa kemungkinan makna dan menjelaskan hukum yang memiliki dua kemungkinan, apakah hukum ini dari shahib al-mazhab atau dari murid-muridnya, kemampuan mereka ini ditopang juga dengan kekuatan logika dan nalar mereka terhadap ushul dan kaedah-kaedah, dan kemudian mereka bisa menerapkannya ke dalam permasalahan furu yang semisal atau tergolong kedalam kategorinya. Ulama tingkatan ini seperti Imam Ahmad bin Ali bin Abu Bakar ar-Razi yang lebih dikenal dengan Imam Jashash, pengarang Ahkam al-Quran (w. 370 H) 5. Tingkatan Ashhab at-Takhrij juga, namun tingkatan ini mereka hanya baru mampu memilih-milih riwayat-riwayat/perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, biasanya mereka sering menggunakan kata-kata hadza aula (inilah yang lebih utama), hadza ashahur riwayah (ini riwayat yang paling benar), hadza audhah (ini yang paling jelas), hadza aufaq lil qiyas (ini yang paling sesuai dengan qiyas) atau hadza arfaq lin nas (ini yang paling ringan bagi manusia). Contoh ulama Hanafi jenis ini seperti Imam Abu Hasan al-Qadduri dan Imam al-Marghinani, pengarang al-Hidayah (w. 593 H) 6. Tingkatan Pengikut (Muqallid) yang mampu membedakan antara al-aqwa (yang paling kuat), al-qawi (yang kuat), adh-dhaif (yang lemah), zhahir ar-riwayah, zhahir al-mazhab dan riwayah nadirah, biasanya mereka tidak mengutip perkataan-perkataan yang ditolak dalam mazhab dan riwayat-riwayat yang lemah. Mereka adalah ulama-lama pengarang matan yang sering dipakai di kalangan mazhab, seperti pengarang kitab al-kanz, pengarang kitab al-mukhtar, pengarang kitab al-wiqayah,dan pengarang kitab al-majma. 7. Tingkatan Muqallid yang tidak mampu melakukan hal-hal yang di atas, dan mengenai kelompok ini Ibnu Kamal Basya mengomentari: Celakalah siapa yang mengikuti mereka ini!. e. Tingkatan Jenis Permasalahan Dan Buku Referensi Dalam Mazhab Hanafi Salah satu ciri khas mazhab Hanafi adalah dalam metode pengajaran dan penulisan buku, mereka biasa mengumpulkan masalah-masalah furu untuk kemudian dicarikan hukumnya dan diwariskan disetiap generasi, dari masalah-masalah itulah mereka menghasilkan kaidah-kaidah umum baik dalam bidang Ilmu Ushul maupun Ilmu Fiqh, jadi yang diwariskan dari imam-imam mereka bukanlah kaidah-kaidah yang baku sebagaimana yang lazim di mazhab lain, melainkan sekumpulan permasalahan. Inilah yang dikemudian hari menjadikan mereka membentuk satu aliran besar dalam bidang Ushul Fiqh, Aliran Hanafiyah atau Aliran Fuqaha. Dan budaya ini juga yang menempatkan mereka sebagai perintis lahirnya Ilmu Qawaid Fiqhiyah. Terdapat 3 jenis permasalahan yang diriwayatkan dalam buku-buku referensi mazhab Hanafi: a. Permasalahan Zhahir ar-Riwayah (masalah asasi/ushul), yaitu masalah-masalah yang diriwayatkan dari Ashhab al-Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) atau yang dikenal juga dengan sebutan Ulama yang tiga, di beberapa kesempatan kadang juga memasukkan murid-murid

Abu Hanifah yang lainnya. Masalah-masalh ini dapat dijumpai dalam karangan-karangan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani seperti al-Mabsuth (al-Ashlu), az-Ziyadat, al-Jami ash-Shaghir, alJami al-Kabir, as-Siyar ash-Shaghir dan as-Siyar al-Kabir. Permasalahan ini disebut zhahir ar-Riwayah karena diriwayatkan dari Imam Muhammad secara yakin dan pasti, mutawatir atau paling kurang masyhur. Ada satu buku lain yang juga dikenal sebagai buku asasi yaitu buku al-Kafi karangan Imam Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi al-Balkhi, buku ini merupakan buku referensi utama dalam mazhab. b. Permasalahan Nawadir, yaitu masalah-masalah yang diriwayatkan dari Ashhab al-Mazhab namun bukan dari buku-buku yang disebutkan di jenis pertama, bisa jadi di buku-buku karangan Imam Muhammad yang lain seperti al-Kisaniyat, al-Haruniyat, al-Jurjaniyat dan ar-Riqqiyat c. Permasalahan al-Fatawi wa al-Waqiat, yaitu masalah-masalah yang dihasilkan para mujtahid generasi belakangan ketika ditanya namun tidak mendapatkan jawaban pada riwayat-riwayat yang ada dari Ashhab al-Madzhab. Contoh buku-buku yang tergolong jenis ini seperti an-Nawazil karangan Abu Laits asSamarqandi, Majmu an-Nawazil Wa al-Hawadits Wa al-Waqiat karangan Ahmad bin Musa al-Kasyi, al-Waqiat karangan Abul Abbas Ahmad bin Ahmad ar-Razi, al-Muhith karangan Radhiyuddin asSarkhasi dan lain-lain. Jika terjadi pertentangan antara masalah-masalah tersebut maka didahulukanlah yang dahulu berdasarkan urutan di atas. Pembagian jenis permasalahn tersebut sekaligus menjelaskan urutan buku dan referensi yang digunakan di dalam Mazhab Hanafi. Diantara buku-buku penting yang juga menjadi pegangan pokok seperti kitab al-Hidayah Syarh Bidayah al-Mubtadi karangan Syeikhul Islam al-Marghinani, adz-Dzakhirah al-Burhaniyah yang juga karangan beliau, dan Badai ash-Shanai karangan Imam al-Kasani. Akan tetapi, disamping buku-buku diatas, masih banyak buku-buku lain yang menjadi referensi penting dalam Fiqh Hanafi, baik itu berupa mutun, mukhtashar, maupun syuruh. f. Penyebaran Mazhab Hanafi Mazhab Hanafi banyak berkembang awalnya di Baghdad dan Kuffah, namun kemudian terus meluas sampai ke daerah-daerah lain, khususnya yang pernah berada di bawah kekuasaan Abbasiyah, seperti Mesir, Syam, Tunis, Jazair, Tripoli, Yaman, India, Parsi, Romawi, Cina, Bukhara, Afghan, Turkistan bahkan Brazil. Sampai saat ini bisa dikatakan Mazhab Hanafi banyak dipakai di Irak, Syam/Syiria, India, Turkistan, negera-negara Kaukasia, Turki, Albania dan di kawasan Balkan. Diantara poin penting yang menjadikan penyebaran Mahzab ini ke banyak negeri adalah: 1. Banyaknya murid Abu Hanifah dan perhatian mereka dalam menyebarkan dan menjelaskan pendapatpendapat Imam mereka. 2. Mazhab Hanafi dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan Abbasiyah. 3. Pengangkatan Imam Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhah (hakim tertinggi) yang memiliki kekuatan dalam memilih qudhahi (hakim-hakim) di daerah-daerah, dan para hakim tersebut selalu memakai pendapat Imam Abu Yusuf dalam memutuskan perkara-perkara. 4. Perhatian besar ulama-ulama Mazhab ini dalam percepatan pertumbuhan Mazhab Hanafi dengan mencurahkan kemampuan mereka dalam mencari ilat hukum dan sekaligus mempraktekkannya dalam banyak masalah-masalah baru yang timbul. Hal ini menjadi Mazhab ini selalu memiliki solusi-solusi dalam setiap permasalahan

You might also like