You are on page 1of 22

Kontroversi Euthanasia dalam Bidang Kesehatan di Indonesia Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika

Keperawatan

oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. FEBRIANA DEWI PURWANTI IKA WAHYUNINGSIH NISIA ELVANDARI U RIMA NOVYATRI SARIFATUL MARAH VITA IGA PRAMUDITA 2011.1346 2011.1349 2011.1363 2011.1374 2011.1378 2011.1388

AKADEMI KEPERAWATAN PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang hanya karena limpahan karunianya kami dapat menyusun makalah dengan judul EUTHANASIA dengan baik. Didalam makalah i Makalah ini dususun secara sistematis mengenai uraian singkat tentang pengertian eutahanasia yang masih pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pada kesempatan ini,penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr.Sukirno selaku Diriktur AKPER PKU Muhammadiyah Surakarta 2. Weny astuti S.Kep M.Kes dan Tri lestari S.Kep,M.Kes selaku dosen pengampu mata kuliah etika keperawatan. 3. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharap saran dan kritik yang membangan dari pembaca.

Surakarta, April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................. C. Tujuan .................................................................................... BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Euthanasia ........................................................... B. Alasan Dilakukan Euthanasia ................................................ C. Euthanasia Sama Dengan Aborsi .......................................... D. Macam-Macam Euthasania ................................................... E. Etika Keperawatan Pada Euthanasia ..................................... F. Syarat-syarat Dilakukan Euthanasia ......................................
G. Euthanasia Dari Segi Agama .................................................

H. Euthanasia Dari Segi Hukum Negara .................................... BAB III PENUTUP A. Saran ...................................................................................... B. Kesimpulan ............................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Dunia kesehatan akan selalu berkembang seiring perkembangan zaman. Semakin banyak penemuan yang dilakukan oleh para ilmuan untuk memperkaya dunia kesehatan. Salah satunya euthanasia istilah ini digunakan untuk menyebutkan sesuatu tindakan mempercepat proses kematian seseorang secara wajar. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri penderitaan si pasien dengan syarat ada persetujuan dan sesuai prosedur. Sekitar tahun 400 sebelum Masehi,sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan The Aippocratie Oath.mengatakan saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun,atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20,Hukum adat inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya : Lebih jelasnya,selama lebih dari 700 tahun,Orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu. Tahun 1955,Belanda sebagai Negara pertama yang mengeluarkan UU yang menyetujui euthanansia dan diikuti oleh Australia yang melegalkan di tahun yang sama,setelah dua Negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanansia beberapa Negara masih menganggapnya sebagai konflik,namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama,Hal ini akan dibahas lebih lanjut dibab berikutnya. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan euthanasia? 2. Apa sajakah hukum yang mengatur euthanasia? 3. Mengapa dilakukan euthanasia? 4. Apakah perbedaan euthanasia dengan aborsi? 5. Apa saja macam macam eutanasia? 6. Apakah hubungan euthanasia dengan etika keperawatan?

7. Apakah syarat syarat dilakukannya euthanasia? C. Tujuan Dalam penyusunan makalah ini penulis memiliki tujuan : 1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang euthanasia dalam dunia kesehatan. 2. Menjelaskan kepada pembaca tentang hukum yang mengatur euthanasia. 3. Menjelaskan kepada pembaca tentang alasan - alasan dilakukannya euthanasia. 4. Pembaca mampu membedakan antara euthanasia dan aborsi 5. Menjelaskan kepada pembaca tentang jenis-jenis euthanasia. 6. Menjelaskan para pembaca tentang euthanasia menurut etika keperawatan 7. Menjelaskan para pembaca tentang syarat syarat dilakukannya euthanasia

BAB II TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan thanatos, yang berarti kematian (Utomo, 2003;177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga euthanasia berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya ;(Hasan, 1995;145). Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003;176). Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan

pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003;178).

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176). Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003;177). Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003;178).

B.

ALASAN DILAKUKAN EUTHANASIA Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang kareana itu dilakukanya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari

beberapa survei negara dan penyaringan sumber. Berikut ini adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan. 1. Rasa sakit yang tudak tertahankan Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penuman semakin gencar untuk mengetasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung meningkatkan presentase assistea suicede berkurang. Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stres yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yan g dinamakan drugged state atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karean pengaruh obat. Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan mengirim seseorang kedalam keadan rasa sakit tapi mereka tetap di euthanasiakan karena cara tersebut tidak terpuji. Hampir semua rasa sakit dihilangkan,adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurangi jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik.Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut.Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien,apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien. Meskipun begitu,beberapa dokter tidak dibekali dengan pain management atau cara medis menghilangkan rasa sakit,sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi,hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu,bukan yang akan membunuh sang pasien.Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang,namun juga dapat

mengatasi depresi penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut. 2. Hak untuk melakuakan bunuh diri Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangka hal paling dasar dari semuanya,yaitu HAK . Tapi jika kita teliti lebih dalam,yang kita bicarakan disini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang di bunuh,tetepi memberikan hak kepada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain,euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati,tetapi hak untuk membunuh. Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya,tapi sebaliknya,ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter,kerabat,atauorang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang. Manusia memang punya hak untuk bunuh diri,hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh didi adalah suatu tragedi,aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi,melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Inibisa mengarah ke suatu tindakan panyiksaan pada akhirnya. 3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup? Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakanbahwa apapun akan dilakukan untuk

mempertahankan pasien untuk tetap hidup.Desakan, melawan permintaan pasien,menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan,tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis. Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah,bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

C. EUTHANASIA SAMA DENGAN ABORSI

Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara. Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain. Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer menandaskan, the doctrine of the sanctity of human life is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan

mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai ke infanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan. Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja. Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan pengertiankesucian kehidupan. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama Kristen saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama Ibrahimik: Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama ini mempunyai konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan kedudukan istimewa manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Tidak bisa dipungkiri, pandangan agama amat cocok dengan kesucian kehidupan. Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham kesucian kehidupan ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam pandangan moral. Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh-pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi juga dalam penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi manusia dan demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral kita kini di bidang sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di mana antara lain agama berperanan juga. Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis pengertian kesucian kehidupan mempunyai akar lebih mendalam daripada agama Kristen saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama etika profesi medis, yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke4 SM) yang dijuluki bapak ilmu kedokteran bukan saja memberi dasar ilmiah kepada profesi kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral yang teguh bagi profesi ini. Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi medis menjadi profesi pertama yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat pendek, Aku tidak akan memberikan

obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson phthoron). Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku. Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi antieuthanasia dan anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti kini tentu belum lama dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah mengembangkan tradisi anti-pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut hakikatnya, profesi ini harus memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah memihak kematian. Sebaliknya, praktik aborsi sudah dikenal sepanjang sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno sekitar Hippokrates aborsi malah diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak Hippokrates profesi medis mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang berlangsung terus sampai zaman modern. Faham kesucian kehidupan itu sendiri belum ditemukan dalam sumpah Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan dengan kalimat pertama dan kedua, maka kemurnian dan kesucian profesi medis itu berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan kalimat pertama dan kedua. Kalau begitu, kesucian kehidupan adalah faham yang mudah bisa muncul. Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu kita menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang baru hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh untuk membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun penderitaannya besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai. Perbedaan ini cukup mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia tidak ada mercy killing seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah ditemukan beberapa pengecualian. Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan

memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh peradaban manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat dimengerti karena alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi mempunyai kepercayaan, keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia meninggal. Karena itu justru dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka dibiarkan berkembang sampai kondisinya parah. Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat untuk kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu melampaui batas kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan. Hewan membiarkan saja bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka, tetapi manusia tidak begitu. Para antropolog melaporkan, manusia sudah menguburkan sesamanya setidaknya sejak 100.000 tahun lalu (Neandertaler). Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa hormat terhadap manusia melalui jenazah yang merupakan peninggalannya? Serentak juga kubur menjadi tanda peringatan akan manusia yang unik ini. Semua itu tidak berarti, di pinggiran kehidupan tidak bisa timbul dilema-dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau suntikan mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda atau kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila dilakukan dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya tersedia alternatif lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan demikian kehormatan untuk kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika prinsip ini ditinggalkan, kita menghancurkan kebudayaan kita sendiri.

D. MACAM-MACAM EUTHANASIA

Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.

Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu. Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:
1. Euthanasia sukarela Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk

diakhiri hidupnya.
2. Euthanasia non-sukarela qApabila pesien tersebut tidak mengajukan

permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.


3. Involuntary Euthanasia Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-

sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4.

Assisted suicide Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, physician assisted suicide.

5.

Euthanasia dengan aksi Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.

6. Euthanasia dengan penghilangan Dengan sengaja menyebabkan kematian

seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus

yang

dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar. Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia. Beberapanegara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum. Euthanasia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. Euthanasia aktif Menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia. 2. Euthanasia pasif Menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.

E.

ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTHANASIA 1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan

menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. 2) Perawat senantiasa menghormati dalam memberikan pelayanan keperawatan yang dan

memelihara nilai-nilai

suasana budaya,

lingkungan adat istiadat

kelangsungan hidup beragama klien. 3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. 4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang

dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 5) Dalam menghadapi pasien dalam kondisi kritis yang mengharuskan euthanasia maka sebagai seorang perawat kita harus membimbing baik pasien maupun keluarga dengan bimbingan baik moril maupun spiritual 6) memberikan pengetahuan tentang tindakan euthanasia kepada pihak keluarga.

7) Perawat tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan euthanasia kecuali ada intruksi dari dokter.

F.

SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuah Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukan Euthanasia, yaitu: 1. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan mengajukan permintaan tersebut dengan serius. 2. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekat dengan kematiannya. 3. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri. 4. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan. 5. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya. 6. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi.

G. EUTHANASIA DARI SEGI AGAMA

Dalam Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati(QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang

membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir almaut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . a. Eutanasia Aktif Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia aktif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit (karena kasih saying) yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori

pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang

Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba adjal yang telah ditetapkan- Nya. b. Eutanasia Pasif Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa

diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebabakibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada 18okum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam SyafiI dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah)..

H. EUTHANASIA DARI SEGI HUKUM NEGARA

Euthanasia Ditinjau Berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana Kematian adalah suatu fenomena yang diatur oleh Sang Pencipta. Tidak ada seorangpun yang dapat menunda kematian meskipun iImn pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Berbicara mengenai kematian, dikenal adanya istilah "euthanasia", yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertologan atau tidak dengan pertolongan dokter. Euthanasia ini sudah ada sejak para pelaku kesehatan mengahadapi penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan, Dalam keadaan seperti itu tidak jarang pasien ataupun keluarga pasien meminta kepada dokter untuk segera dilakukannya euthanasia. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Didalam KUHP pengaturan masalah euthanasia ini diatur di dalam Pasal 344. Pasal ini melarang adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian.

Disisi lain Undang-undang No.39 Tahun 1999 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa hak yang paling utama yang dimiliki manusia adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 33 ayat 3, dimana didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula didalamya hak untuk mati, meskipun hak tersebut tidak mutlak. Jika dikaitkan dengan pidana mati, maka dapat dilihat suatu keganjilan, yaitu dimana seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati oleh Hakim. Pada umunmya si tertuduh tersebut juga masih ingin mempertahankan

kelangsungan hidupnya terns. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebenamya masih ingin hidup terns. Sedangkan pada euthanasia, seorang pasien yang menghendaki kernatian atas dirinya justru malah dilarang dan dihalang-halangi. Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terns walaupun dengan penderitaan yang tiada menentu. Salah satu kasus euthanasia yang masih hangar dibicarakan di Indonesia adalah kasus yang dialami oleh Hasan Kesuma yang meminta diIakukannya euthanasia atas istri tercintanya Agian lsna Nauli, yang tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi caesar. Namun permintaan tersebut banyak mendapat kecaman dan perdebatan dari berbagi pihak karena jelas bertentangan dengan peraturan yang berlakn di Indonesia serta melanggar kode etik kedokteran serta yang paling utama adalah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dalam menangani dan menanggulangi masalah ini sangatlah dituntut peranan pemerintah dan penegak hukum untuk mencermati permasalahan tersebut sehingga tidak menimbulkan perdebatan perselisihan di berbagai kalangan.

BAB III PENUTUP

C. SARAN 1. Saran Untuk Pembaca Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih berpikir secara rasional akan dampak tindakan euthanasia itu sendiri . Jadi sebelum melakukan tindakan euthanasia lebih baik meminta persetujuan dari keluarga terdekatnya. 2. Saran Untuk Pemerintah Pemerintah Merupakan aspek yang sangat fundamental dalam kelangsungan suatu Negara harus mampu secara tegas dalam menangani dan mengatur UU yang mencantumkan tentang hukum euthanasia Menegakkan segala aturan sesuai dengan norma hokum yang berlaku didalam masyarakat Indonesia. Misalnya dengan membuat UU yang lebih mengacu pada kasus euthanasia. 3. Saran Untuk Ahli Medis Ahli medis adalah sebagai sarana dalam penyembuhan penyakit seorang pasien. Untuk kasus euthanasia,seorang Ahli medis harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam melakukan euthanasia agar tidak dikategorikan sebagai kasus mal praktik.

D. KESIMPULAN Euthanasia merupankan suatu proses penghilangan nyawa seseorang baik dengan penghentian tindakan medis atau memberikan suntikan mati yang dapat mempercepat kematian secara wajar. Masalah euthanasia masih dalam pro dan kontra dikalangan pemuka agama maupun hukum negara. Sebagai tenaga medis dalam melakukan euthanasia harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3. Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7. Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3. Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998. Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993. Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers. Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7. Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9. Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercykilling' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958). Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950. Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)

Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997. Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957. Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers. PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O. Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986. Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269. Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican. Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.

You might also like