You are on page 1of 21

Laporan Kasus

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Rumah Sakit Panti Wilasa, Semarang

1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat Agama : AN. A : 10 tahun : Laki-laki : SD : Semarang : kristen

2. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 5 Februari 2012, pukul 16.00 WIB Keluhan utama : Sering nyeri menelan sejak 1 bulan SMRS Keluhan tambahan : pilek, napas bau, badan terasa lemas Riwayat Penyakit Sekarang : 1 bulan SMRS, pasien mengeluh sering nyeri menelan yang hilang timbul. Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh nyeri menelan disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lendir putih yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat, Keluhan nyeri menelan jika mengkonsumsi makanan padat seperti nasi, tetapi tidak ada keluhan jika mengkonsumsi cairan. Keluhan dirasa semakin hebat bila pasien mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan. Menurut orang tuanya, pasien saat tidur mengorok tetapi tidak sampai terbangun, ada malas belajar dan lesu. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang pendengaran, tidak gemerebek dan tidak ada sakit kepala. Oleh orangtuanya, pasien diberi obat flu yang dibeli di warung, pasien merasa baikan namun kambuh lagi. 2 minggu SMRS, pasien pergi berobat ke dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, pasien diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan

untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel. Namun pasien belum mau dioperasi dan lebih memilih untuk diberi pengobatan mengurangi gejala. 3 hari SMRS, pasien masih sering nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Tidak ada keluhan pilek dan hidung tersumbat, Tidak ada keluhan nyeri hebat yang menyebabkan sulit membuka mulut ataupun suara yang serak. Tidak ada keluhan telinga berdenging, terasa penuh, nyeri telinga, ataupun pendengaran berkurang. Tidak ada keluhan pada mata, seperti pandangan ganda dan visus turun. 1 hari SMRS, pasien memutuskan untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel.. Sejak 3 tahun SMRS, pasien mengeluh nyeri menelan yang hilang timbul. Nyeri menelan terutama dirasakan saat menelan makanan padat disertai demam, batuk, pilek yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat selama 3 tahun dalam setahun lebih dari enam kali serangan.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat alergi obat (-), asma (-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus(-).

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus (-).

3. PEMERIKSAAN OBYEKTIF Status Presens Keadaan umum Kesadaran Status Gizi Nadi Tensi RR Suhu : Baik : Compos mentis : Cukup : 80 x/menit : 120/80 x/menit : 20 x/menit : 36,3 O C

Kepala dan Leher Kepala Wajah Leher anterior Leher posterior : normocephal : Simetris : KGB tidak teraba membesar : KGB tidak teraba membesar

Status Lokalis 1. Telinga Dextra Auricula Bentuk (N), Nyeri tekan (-) Preauricula Fistel (-), Abses (-), Hiperemis (-), Nyeri tekan (-) Tragus pain (-) Sinistra Bentuk (N), Nyeri tekan (-) Fistel (-), Abses (-), Hiperemis (-), Nyeri tekan (-), Tragus pain (-)

Retroauricula

Hiperemis (-), udema (-), Nyeri tekan (-)

Hiperemis (-), udema (-), Nyeri tekan (-) Hiperemis (-), udema (-), Nyeri tekan (-) Hiperemis (-), udema (-), Corpus alineum (-) Discharge (-)

Mastoid

Hiperemis (-), udema (-), Nyeri tekan (-)

CAE

Hiperemis (-), udema (-), Corpus alineum (-) Discharge (-)

Membran tympani : Dextra Perforasi Reflex cahaya Warna Bentuk (-), MT Intak (+) Putih keabu-abuan Normal, bulging(-) Sinistra (-), MT Intak (+) Putih keabu-abuan Normal, bulging(-)

Pemeriksaan rutin khusus

: Tidak dilakukan pemeriksaan.

2. Hidung dan sinus paranasal a. Hidung Dextra Hidung Sekret Mukosa konka media Bentuk normal Mukoserous Hiperemis(-), hipertrofi (-) Mukosa konka inferior Meatus media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi (-) Meatus inferior Hiperemis(-), hipertrofi (-) Septum Massa Deviasi (-) (-) Sinistra Bentuk normal Mukoserous Hiperemis(-), hipertrofi(-) Hiperemis(-), hipertrofi(-) Hiperemis(-), hipertrofi(-) Hiperemis(-), hipertrofi(-) Deviasi (-) (-)

Pemeriksaan rutin khusus : tidak dilakukan pemeriksaan

b. Sinus Paranasal Dextra Infraorbita Supraorbita Glabella : : : Tidak dilakukan pemeriksaan Sinistra

Diafanoskopi : Lain-lain :

3. Tenggorok Orofaring Mukosa bucal Ginggiva Gigi geligi : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar : Warna kuning gading, caries (-), gangren(-) Lidah 2/3 anterior : Dalam batas normal Arkus faring : Simetris (+), hiperemis (-)

Palatum

: Warna merah muda

Dinding posterior orofaring : Hiperemis (-), granulasi (-)

Tonsil : Dextra Ukuran Kripte Permukaan Warna Detritus Fixative Peritonsil Pilar anterior T3 Melebar Tidak rata Hiperemis (+) (+) (-) Abses (-) Kemerahan Sinistra T3 Melebar Tidak rata Hiperemis (+) (+) (-) Abses (-) Kemerahan

Pemeriksaan rutin khusus : Tidak dilakukan

Nasofaring Discharge Mukosa Adenoid Massa : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak hipertrofi : (-)

Laringofaring Mukosa Massa Lain-lain : : : Tidak dilakukan pemeriksaan

Laring Epiglotis :

Plica vocalis : Gerakan Posisi Tumor : : : :


5

Tidak dilakukan pemeriksaan

Massa

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG : Pemeriksaan darah rutin Hb : 12,9 g/dl Leukosit : 8,9 10^3/ ul Ht : 39 Trombosit 288000/ul LED 1 jam : 9 mm/jam 2 jam : 10 mm/jam Kimia GDS 97 mg/dl Sero Imunologi HBsAg negatif

5. RESUME Pemeriksaan Subjektif : Seorang anak laki-laki usia 10 tahun datang dengan

keluhan residifitas 3 tahun : Odinofagia residif, frekuensi > 6 kali/tahun, perasaan tenggorokan tidak nyaman (+), batuk dan pilek (+), febris (+). Sulit konsentrasi (+), Nyeri menelan saat makanan padat (+), Tidak nyeri menelan saat mengkonsumsi cairan. cephalgia (-), malaise (+), snoring (+), sleep apneu(-), halitosis (+). Riwayat rhinorea (-), obstruksi cavum nasi (-), trismus (-), disfonia (-), tinitus low frequence (-), otalgia (-), hearing loss(-).RPD: Riwayat alergi obat (-), asma (-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus(-).Riwayat Penyakit Keluarga :Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus (-). Pemeriksaan objektif = Tonsil : T3/T3 hiperemis, kripte melebar, tidak rata, detritus+ Pemeriksaan lab = Pemeriksaan darah rutin = Hb : 12,9 g/dl, Leukosit : 8,9 10^3/ ul, Ht : 39, Trombosit 288000/ul, Kimia : GDS 97 mg/dl.

6. DIAGNOSA BANDING Tonsilitis kronis Tonsilofaringitis kronis

7. DIAGNOSA SEMENTARA Tonsilitis kronis

Dasar diagnosis : Odinofagia residif selama 3 tahun dengan frekuensi > 6 kali/tahun, perasaan tenggorokan tidak nyaman (+), batuk dan pilek (+), febris (+). Sulit konsentrasi (+), Nyeri menelan saat makanan padat (+), Tidak nyeri menelan saat mengkonsumsi cairan. malaise (+), snoring (+), sleep apneu(-), halitosis (+). Pemeriksaan Fisik :Tonsil : T3/T3 hiperemis, kripte melebar, tidak rata, detritus+

8. ANJURAN Tonsilektomi

9. PROGNOSIS Ad Sanationam Ad Functionam Ad Vitam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam

10. PENATALAKSANAAN Medika Mentosa pre operatif: cefixim 3 x 250 mg Metil prednisolon 3 x 2 tablet (1 tab = 8mg) Asam mefenamat 3 x 500 mg.

Non Medika Mentosa post operatif : Diet lunak Tirah baring

Medikamentosa post operatif : Antibiotika cefixim 3 x 250 mg Antiinflamasi : Metil prednisolon 3 x 2 tablet (1 tab = 8mg) Analgesik : Asam mefenamat 3 x 500 mg

11. KOMPLIKASI Abses peritonsiler (Tonsilo) Faringitis Oklusi tuba kronik : OMA, OMSK. Adenotonsilitis, rhinitis kronik, sinusitis
7

TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA (1). Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan
(2)

. Berdasarkan data

epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 Tahun jumlah kunjungan (4). Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang (5). Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik (4,6). Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi belajarnya
(7) (3)

. Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997

sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh

. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai

fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman (8). Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat meningkatkan prestasi belajar pada anak yang menderita penyakit amandel (tonsil) sehingga banyak orang tua yang menginginkan operasi amandel untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, meskipun belum tentu tonsilnya sakit (8). Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang dapat menghasilkan perubahan berupa kecakapan baru pada diri individu. Proses dan hasil belajar dipengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain kondisi fisiologis dan psikologis diri individu. Perubahan perilaku akibat belajar tersebut menandai keberhasilan proses belajar dan mengajar dan digunakan sebagai indikator prestasi belajar. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat mengganggu kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat mengganggu proses belajar (9).

BAB II EMBRIOLOGI DAN ANATOMI TONSIL 2. 1 EMBRIOLOGI TONSIL Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik. Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).9

Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil

2.2 ANATOMI TONSIL Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.

10

Gambar 2 : Cincin Waldeyer Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs). 9,10 Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.

Gambar 3. Tonsil Palatina Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 1. Anterior : arcus palatoglossus
11

2. 3. 4. 5. 6.

Posterior : arcus palatopharyngeus Superior : palatum mole Inferior : 1/3 posterior lidah Medial : ruang orofaring Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.

A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral. Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.

12

Gambar 5. Adenoid Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.9 Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk septa. 9 Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.9 Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan
13

plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 9,10

Gambar 6. Pendarahan Tonsil Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX).
9,10

14

Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.

15

BAB III TONSILITIS KRONIS 3.1 Definisi Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. 10

Gambar 8. Tonsilitis

3.2 Etiologi Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on
Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana

dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut : 25% disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada

masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita. 25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak

menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza.

3.3 Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 10 Rangsangan kronis (rokok, makanan)
16

Higiene mulut yang buruk Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah) Alergi (iritasi kronis dari allergen) Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik) Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.

3.4 Patologi Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula. 10

3.5 Manifestasi Klinis Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni : 1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju. 2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 10

17

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

3.6 Diagnosis Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut 1. Anamnesa Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2. Pemeriksaan Fisik Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta. 3. Pemeriksaan Penunjang Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. 10

3.7 Komplikasi Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 10 1. Komplikasi sekitar tonsila Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
18

Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Kista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur. 2. Komplikasi Organ jauh Demam rematik dan penyakit jantung rematik Glomerulonefritis Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura Artritis dan fibrositis.

3.8 Penatalaksanaan Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi

19

gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-ulang. Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).

KESIMPULAN Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsilitis.Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang. Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
20

DAFTAR PUSTAKA 1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan

Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71. 2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan saluran Nafas

Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994 : 194224. 3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah

dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12. 4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP

Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55. 5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus

tonsil dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi. Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 193205. 6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed..

Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57. 7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome

:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002. 8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive sleep

apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000; 123:9-16 9.


th

Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368

10.

Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183

21

You might also like