You are on page 1of 7

1.

PENGERTIAN GOOD AND CLEAN GOVERNANCE Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum pengertiab good and clean governance adalah segala hal yang terkait dengan tindakan yang bersifat mengarah. Mengendalikan atau mempengaruhi urusan public untuk mewujudkan nilainilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Andi Faisal Bakti good and clean governance adalah pengejawentahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintah yang berkeadapan melalui wujud pemerintah yang suci dan damai. Dalam kontek Indonesia substansi good and clean governance di padankan dengan pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa. Menurut Santoso sebagaimana didefinisikan UNDP good and clean governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Pelaksanaan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsive terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan trasparan. 2. PRINSIP-PRINSIP GOOD AND CLEAN GOVERNANCE Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akutanbel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental yaitu : Partisipasi Penegaan hukum Transparansi Rensponsif Orientasi kesepakatan Keadilan Efektifitas dan efesiensi Akutanbilitas Visi strategis a. Partisipasi Semua warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan. [1] Dan Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi,jaksa,hakim,advokat). Dalam pasal 1,ayat 1,PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga

swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut. [2] b. Penegakan hukum Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintah harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum. Sehubungan dengan itu Santoso menegaskan harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain: Supremasi hukum Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya)

Kepastian hukum Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya. Hukum yang reponsif Aturan-aturan hukum itu disusun berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik Penegakan hukum yang konsisten dan non diskrimatis Bahwa penegakan hukum berlaku untuk semua islam Independensi peradilan Bahwa peradilan tidak dipengaruhi oleh penguasa c. Trasparansi Hal ini mutlak dilakukan untuk menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah. Mengutip kesimpulan Syed Husain Alatas, Kumorotomo menyimpulkan 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia, yaitu: Transactive corruption Yaitu korupsi yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara. Investive corruption Yakni investasi yang belum memiliki kepastian keuntungannya. Neposistive corruption Yakni pemberian pekerjaan pada keluarga sehingga mengurang efektifitas kontrol. Defensive corruption Yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.

Autogenic corruption yakni korupsi yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat menguntungkan dirinya.

Supportive corruption yakni korupsi untuk melindungi korupsi yang lain yang telah dilakukannya. Menurut Gaffar terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan, yaitu: Penetapan posisi dan jabatan Kekayaan pejabat publik Pemberian penghargaan Penetapan kebijakan Kesehatan Moralitas pejabat Keamanan dan ketertiban Kebijakan strategis d. Rensponsif Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu keinginannya tetapi secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum. Sesuai asas rensponsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etika yaitu: Etika individual Yakni kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Etika sosial Yakni menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Pemerintah bisa dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit birokrasi. Terkait asas rensponsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijaka-kebijakan pembangunan terhadap semu kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dlam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak ada program yang dilakukan pemerintah tetapi secara kultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan. e. Konsensus

Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintah karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntanbilitas dari proses pengelolaan tugastugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan, pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu: Optimistik Yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Keberanian Yakni keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa atau organisasi tertentu. Keadilan yang berwatak kemurahan hati Yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik. f. Kesetaraan Yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majmuk baik etnis, agama dan budaya. g. Efektifitas dan Efisiensi Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar kepentingan masyarakat. Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien. h. Akutanbilitas Akutanbilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas bertujuan agar para pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik selalu terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan. Secara teoritik akutanbilitas menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan akutanbilitas horisontal. Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Pemegang kekuasaan dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada masyarakat apa yang telah dilakukan, sedang dan akan yang dilakukan dimasa mendatang. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada atasan yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya kepada gubernur.

Sedangkan akutanbilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik kepada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD II. i. Visi strategis Visi strategis adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan kemajuan tegnoliginya begitu cepat. Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.

B.3. PENGERTIAN KORUPSI Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umumatau negara.

b.

Dampak korupsi

Beberapa hal yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan: Kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah. Menular kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan berlebihan, menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta. Kenaikan harga administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa kalilipat untuk pelayanan yang sama. Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik. Merusak moral aparat pemerintah. Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah. Pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk kemakmuran bersama di masa mendatang.

B.3. HUBUNGAN ANTARA CLEAN AND GOOD GOVERNANCE DENGAN GERAKAN ANTI KORUPSI Clean and good governance meniscayakan adanya transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi Didin S Damanhuri menyusun grand design:

Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan politik. Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas. Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera. [4] B.4. HUBUNGAN ANTARA GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DENGAN DENGAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK Dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran. Penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008 bukan hanya tanggungjawab BPKP tetapi seluruh instansi pemerintah guna mewujudkan Good Governance untuk menuju Clean Government. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) PP 60 tahun 2008 jelas bahwa BPKP mempunyai tugas yang cukup berat. Tentu bukan soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut.[5] Dengan tiga pilar pelayanan public menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean and good governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni: Pelayanan publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah. Pelayanan publik tempat dimana berbagai aspek Clean and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.

Pelayanan publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.

You might also like