You are on page 1of 17

1

MASIH EKSISKAH KARAKTER BANGSA (INDONESIA)


Oleh: Lukas Sugiharto *)

Abtrak Setiap individu atau setiap bangsa memiliki karakter yang sering diterjemahkan jati diri atau kepribadian. Jati diri inilah yang membedakan individu yang satu dengan individu yang lain atau bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Oleh karena itu, jati diri menjadi sangat urgens bagi suatu bangsa untuk tetap eksis sebagai suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Memasuki era globalisasi jati diri pun mengalami transformasi. Ketika memasuki proses transformasi Talcott Pearson memberikan rambu-rambu yang diangkat melalui teorinya yang berjudul social system. Dalam teori ini dia menyatakan bahwa bila suatu masyarakat ingin tetap eksis dengan jati dirinya, masyarakat tersebut harus memiliki kemampuan untuk menjaga jati dirinya.

Kata kunci : jati diri, globalisasi, urgens.

1. Pendahuluan Jati diri penting bagi manusia atau bangsa, karena jati diri merupakan identitas dirinya baik dia sebagai manusia individu maupun sebagai bangsa, karena pentingnya jati diri ini Sokrates pada sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi (SM) mengajarkan pada masyarakatnya dengan suatu pernyataan kenalilah dirimu sendiri. Demikian pula dalam perwayangan ketika Werkudoro akan menerima Tirta Kamandaru dari Dewa Ruci, Dewa Ruci telah mengawali nasihatnya dengan ungkapan, Engkau harus mengerti siapakah sebenarnya dirimu. Gambaran di atas menunjukkan betapa pentingnya jati diri bagi diri manusia sebagai individu maupun sebagai bangsa.

*) Penulis adalah Dosen Pancasila, FIS Unesa Surabaya.

Jati diri diartikan oleh Naja Sudjana (2003:2) sebagai segala sifat, watak, faham, rasa, kesadaran, dan kekuatan pikiran yang merupakan hasil dari proses belajar yang lama dari nilai-nilai sosial budaya yang kemudian muncul dalam aktualisasi diri dan pola perilaku. Dalam dunia empiris jati diri menjadi sumber untuk menentukan nilai realitas, kebenaran, kebaikan, dan nilai kehidupan manusia, bangsa, dan negara. Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa jati diri adalah hasil internalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, yang melekat dalam diri pribadi manusia atau bangsa, sehingga dapat membedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya. Bagaimana jati diri tetap eksis? Barangkali ada baiknya kita memperhatikan teori yang diungkap oleh seseorang Sosiolog Talcott Parsons (dalam Husodo 2005:90-91) yang mengatakan bahwa bila suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi yang harus terus-menerus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan meliputi : Pertama : Patern Maintenance merupakan kemampuan menjaga / melindungi jati dirinya, memelihara system nilai budaya yang dianut, karena budaya adalah endapan dari perilaku manusia. Budaya masyarakat itu sendiri akan berubah karena akan terjadi tranformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi perlu tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain, bukan kelanjutan dari masyarakat sebelumnya. Kedua : Kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia tetapi masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang muncul akan unggul. Ketiga : Adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beraneka ragam secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang semakin menyatukan masyarakat tersebut.

3 Keempat : Masyarakat perlu memiliki tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus-menerus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh putra pemimpinnya. Pandangan Talcott Parsons di atas dapat ditarik simpulan bahwa jati diri pada diri manusia atau bangsa itu tidak steril tetapi akan selalu berkembang karena pengaruh dinamika masyarakat baik dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Bagaimana bangsa yang bersangkutan memelihara jati dirinya ? Talcott Parsons menyatakan bahwa bangsa tersebut harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia yang berkembang dengan cepat. Bila mana bangsa yang bersangkutan tidak mampu beradaptasi persis apa yang diutarakan oleh Siswono Yudo Husodo (2005 : 90) bahwa sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang, karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Barangkali dapat dicontohkan Negara adidaya Uni Soviet Sosialis Rusia (USSR) yang berusaha mengikuti arus Demokrasi dengan menerapkan Demokratisasi, Glasnost dan Perestroika telah menyebabkan kehilangan jati dirinya yang mengakibatkan tercerai berainya USSR menjadi banyak negara . Karena itu bangsa yang mampu beradabtasi dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang muncul akan menjadi bangsa yang unggul. Koentjaraningrat (1974 : 133) mengungkapkan kita harus berusaha menjaga sifat kekhususan kita sama seperti nenek moyang kita di zaman Sriwijaya yang dalam usaha modernisasi mereka menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi orang India atau dapat dicontohkan orang Vietnam (zaman dahulu), yang dalam usaha modernisasi mereka menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi orang Cina. Oleh karena itu dalam melakukan adaptasi Koencaraningrat (1974 : 133, 135) membedakan dua macam perilaku sebagai berikut : (1) Modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Makna yang dapat kita tangkap adalah mengubah berbagai sifat di dalam mentalitet yang tidak cocok dengan kehidupan zaman sekarang dan membiasakan diri dengan beberapa sifat mental antara lain menilai tinggi orientasi ke masa depan, bersifat hemat lebih menilai tinggi

4 hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi, menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya serta menilai tinggi mentalitet berusaha atas kemampuan sendiri percaya pada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri. (2) Westernisasi adalah usaha meniru gaya hidup orang barat atau Amerika. Meniru gaya hidup berarti meniru secara berlebihan pada orang / budaya barat. Memang dalam era globalisasi tidak ada satu negara yang mampu membendung arus globalisasi termasuk nyawa individu. Oleh karena itu tepat sekali yang diutarakan oleh Koentjaraningrat bahwa bangsa Indonesia soal ini harus banyak belajar perilaku nenek moyang kita, ketika jaman kerajaan-kerajaan khususnya kerajaan Sriwijaya, mereka selalu menjaga sifat kekhususanya. Artinya yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus harus memiliki perilaku modernisasi bukan westernisasi.

2. Pancasila sebagai Karakter Kepribadian Jati Diri Bangsa (Indonesia) Pancasila ditinjau dari fungsinya memiliki 2 fungsi pokok sebagai berikut : (1) Fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila dalam pengertian ini sering disebut dasar falsafah negara dalam arti Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur

penyelenggaraan negara. (2) Fungsi sebagai pandangan hidup bangsa. Pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila Way of Life, Wectansehuung, pandangan / pedoman hidup. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan hidup dan kehidupan dalam berbagai bidang. Dengan demikian semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai semua sila-sila Pancasila. Dari fungsi pokok tersebut mengalirlah fungsi-fungsi yang lain, salah satunya adalah fungsi Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa (Indonesia), artinya Pancasila menjadi ciri khas perilaku individu bangsa Indonesia. Fungsi ini membawa konsepsi terhadap konsekwensi bahwa Pancasila harus menjadi pengarah dan pedoman sikap, tindakan dan ucapan

5 dari setiap individu bangsa Indonesia. Tindakannya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang terekspresikan sebagai berikut: Tindakan yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memberikan pemahaman bahwa manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan memunculkan kesadaran untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa manusia Indonesia harus menjalankan semua perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan Tuhan, perintah dan larangan Tuhan dapat ditemukan dalam ajaran agama. Sila ini memberi motivasi pada manusia untuk beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Melalui ibadahnya terbentuk perilaku saling toleransi antarpemeluk agama dan sekaligus terwujud kerukunan hidup. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa membentuk manusia Indonesia religius yang dapat membangun realitas keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta. Naya Sudjana (2006 : 34 42) menawarkan hendaknya manusia Indonesia dalam kaitannya dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki sifat-sifat kepribadian dan perilaku religius dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut. (a) Memiliki emosi religius dan iman yang kuat. (b) Menyatakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta dari segala sesuatu. (c) Memiliki semangat solidaritas dan kerukunan. (d) Bersikap dan berperilaku etik dan akhlak sesuai dengan ajaran agama. (e) Melakukan ritual-ritual keagamaan yang sesuai dengan ajaran agama. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, ada pandangan yang pernah beredar dalam masyarakat bahwa indikasi perilaku manusia Indonesia yang tampil antara lain : (a) Manusia Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing. (b) Manusia Indonesia wajib mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (c) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

6 (d) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. (e) Manusia Indonesia tidak melakukan perilaku memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Bila dicermati Sila 1 Pancasila sesuai uraian di atas, manusia atau bangsa Indonesia memancarkan perilaku percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan ini melahirkan manusia Indonesia yang religius yang dapat mengembangan sikap toleransi sehingga mewujudkan kerukunan hidup. Pada tindakan manusia Indonesia yang dijiwai oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab terkonstruksi perilaku yang menghargai harkat dan martabat manusia. Indikator dari perilaku ini antara lain : (a) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. (b) Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban azasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, keturunan warna kulit, dan kedudukan sosial. (c) Manusia Indonesia mampu mengembangkan sikap untuk saling mencintai sesama manusia terlebih perilaku ini telah diperintahkan oleh ajaran agama dan manusia Indonesia adalah manusia yang religius yang sekaligus mengembangkan sikap tenggang rasa. (d) Sebagai manusia Indonesia yang religius akan mengekspresikan perilaku tidak semena-mena pada orang lain, ini berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang religius. Pada perwujudan perilaku yang dijiwai sila kedua ini, Sujana (2006 : 35) menyebutkan manusia Pancasila yang memiliki sifat kepribadian dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) yang tinggi dengan ciri-ciri konstrak kepribadian manusia di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia harus hidup dengan sesamanya. Melalui kehidupan bersama manusia harus mampu mewujudkan hidup yang rukun dan harmonis dengan orang lain, sehingga terhindar dari konflik sosial dan tindakan kekerasan. Untuk mencapai maksud tersebut manusia Indonesia perlu bertingkah laku antara lain sebagai berikut : (a) Menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

7 (b) Menyatakan bahwa makhluk manusia itu sama derajat. (c) Menyatakan bahwa tindakan-tindakan kekerasan itu bertentangan dengan kemanusiaan. (d) Menghargai kesetaraan umat manusia. (e) Menolak sikap dan perilaku rasial serta diskriminatif. (f) Dan sebagainya. Sila ke-3 Pancasila adalah Sila Persatuan Indonesia dengan sifat kepribadian dan perilaku ontologi tentang satu, yang menyadari fakta bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk namun memiliki fungsi untuk menjadi masyarakat dan bangsa yang menyatu dan kokoh. Dalam hal ini Sujana (2006 : 37) mengkonstruksi perilaku sebagai berkut : (a) Menyakini adanya hakekat tunggal atau satu dari realitas yang jamak. (b) Mengakui makna dari Bhineka Tunggal Ika sebagai pernyataan ontologis. (c) Mengakui Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk dari perwujudan persatuan dan kesatuan. (d) Menyakini nilai persatuan dan kesatuan terlahir dari Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. (e) Menyakini bahwa ketidak adilan dan ketidak jujuran sebagai Simber konflik Sosial. (f) Dan sebagainya. Pandangan di atas dapat dipahami bila dikolaborasikan dengan pandangan yang telah berkembang dalam masyarakat yang antara lain sebagai berikut. (a) Bangsa Indonesia pada umumnya memiliki jiwa untuk rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya. Dan kondisi ini didukung oleh sikap yang mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan (telah terbukti antara lain perjuangan bangsa Indonesia yang telah menghasilkan Proklamasi dan mempertahankan kedaulatan Negara). (b) Perilaku untuk mengekspresikan cinta tanah air dan bangsa. (c) Perilaku untuk mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

8 (d) Perilaku untuk mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika. Ketika manusia telah hidup bersama baik sebagai bangsa maupun Negara, maka akan timbul benturan-benturan hak, untuk menyelesaikan ataupun untuk menghindari terjadinya benturan agar tidak melahirkan konflik, maka

terekspresikan perilaku antara lain sebagai berikut. Bahwa manusia Indonesia baik sebagai warga masyarakat, bangsa, dan Negara, memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang sama, sehingga pada diri masing-masing tidak berperilaku memaksakan kehendak kepada orang lain, tetapi lebih mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan dan musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Hasil keputusan musyawarah harus dilaksanakan dengan etika baik dan rasa tanggung jawab. Perwujudan sila ke-4 dalam bentuk perilaku manusia sebagai individu menunjukan jati dirinya. Sujana (2006 ; 40) mengemukakan bahwa ciri-ciri konstruk kepribadiannya antara lain sebagai berikut : (a) Bersikap terbuka akan nilai-nilai baru. (b) Bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan dan pembunuhan. (c) Menghargai kebebasan berbicara dan berpendapat. (d) Menghargai kebebasan berorganisasi. (e) Mengakui adanya kekuatan politik dan parpol. (f) Dan sebagainya. Pada sila ke-5 terpancar perilaku manusia Indonesia sebagai berikut: (a) Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan (perilaku gotong royong masih kental pada masyarakat pedesaan khususnya masyarakat petani.

Kuncaraningrat (1974 : 62-63) melalui hasil penelitian diketemukan kehidupan gotong-royong dengan berbagai macam bentuk yang disebutnya sebagai guyuban, nyurung, tetulung, layat, dan kerja bakti. Dan perilaku kegotong-royongan telah melekat pada hampir seluruh masyarakat Indonesia. (b) Menghormati hak orang lain serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

9 (c) Adanya perilaku suka memberi pertolongan pada orang lain agar dapat berdiri sendiri (dibidang ekonomi pemilik modal baik negara / bBank / pengusaha besar membantu masyarakat yang kekurangan modal agar masyarakat dapat berdiri sendiri dalam menjalankan ekonominya). Oleh karena itu pemilik modal tidak menggunakan hak miliknya untuk usahausaha yang bersifat pemerataan terhadap orang lain dan tidak bersifat boros serta tidak bergaya hidup mewah. (d) Memiliki perilaku untuk mengembangkan sikap adil terhadap sesamanya. (e) Perilaku yang menunjukkan sifat suka bekerja keras. (f) Perilaku yang suka menghargai hasil kerja orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Perilaku ini akan lebih kolaboratif bila digandengkan dengan tawaran Sujana (2006 : 41) sebagai berikut : (a) Menyakini adanya nilai keadilan sosial yang universal. (b) Menyakini bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban. (c) Menghargai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. (d) Menyakini penegakan hukum sebagai sumber untuk mewujudkan keadilan sosial. (e) Menolak adanya sikap dan perilaku ketidak adilan sosial dalam hidup bernegara dan berbangsa. (f) Dan sebagainya.

3. Pengaruh Globalisasi Terhadap Jati Diri / Karakter / Kepribadian Bangsa Indonesia Globalisasi pada hakikatnya merupakan proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah artinya tidak ada suatu negara pun yang tidak memperoleh pengaruh globalisasi. Dan tampaknya tidak ada satu negara pun yang mampu menutup diri terhadap pengaruh globalisasi termasuk negara Indonesia. Bila dicermati tampaknya gerakan globalisasi dipelopori oleh Negara maju bidang ekonominya dan yang diisukan adalah liberalisasi yang merasuk kedalam semua bidang baik bidang ekonomi, pemerintahan, politik, sosial budaya, dan sebagainya.

10 Begitu derasnya arus globalisasi (liberalisasi) sering menyebabkan goyahnya nilai-nilai yang menjadi pegangan suatu bangsa akibatnya terkikislah nilai-nilai yang menjadi pegangan hidupnya. Bagaimanakah keadaan jati diri bangsa Indonesia masih melekat dengan teguh pada diri pribadi bangsa Indonesia ataukah sudah menipis bahkan telah hilang sama sekali? Bila mencermati pandangan Warsono dalam tulisannya yang berjudul Merekonstruksi Format Kepribadian yang Pancasilais mengungkapkan bahwa di tengah-tengah euforia reformasi dan globalisasi sebagian dari bangsa Indonesia telah kehilangan jati diri baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa. Bangsa Indonesia telah terjebak pada gaya hidup yang prakmatis ekonomis dengan meniru budaya barat (Westernisan) secara parsial, tanpa memahmi subtansinya secara utuh. Gaya hidup hedonis-materialis yang terus menerus dipamerkan kaum kapitalis melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia baik pada kalangan pelajar, mahasiswa, maupun birokrat. Pada kalangan pelajar pada sebagian mereka telah kehilangan perilaku sopan-santun, tidak lagi memiliki perilaku menghormati para seniornya termasuk kakak-kakaknya, gurunya dan orang tuanya. Barangkali masih segar di ingatan kita bagaimana para pelajar ketika mengerjakan soal ujian Nasional, para gurunya memberi kesempatan untuk melakukan pelanggaran norma santun peserta didik ada yang diberi peran untuk memberikan jawabannya pada teman-temannya yang lain dan para pengawas telah memperoleh sinyal dari Kepala Sekolah agar pura-pura tidak melihat apa yang ditontonkan perilaku peserta didik. Pada moment diatas bagaimana peserta didik telah dibentuk perilakunya untuk meninggalkan kejujuran, perilaku tidak bertanggung jawab demikian juga untuk para guru dibangun perilaku kepura-puraan (munafik). Perilaku munafik telah pernah diungkap oleh Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marjuki tanggal 6 April 1977 berjudul Manusia Indonesia dan telah dibukukan dengan judul Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban. Disini diungkapkan salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik. Berpura-pura (lain dimuka, lain di belakang) merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah berlaku sejak lama.

11 Perilaku munafik telah tumbuh dengan suburnya dengan masuknya liberalisasi. Tontonan ini dapat dilihat dengan transparan melalui media cetak maupun elektronik. Ketika sidang-sidang Badan Perwakilan Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) berapa banyak mereka yang hadir ketika akan mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, padahal ketika mereka berkampane telah berjanji pada calon konstituennya untuk setia memperjuangkan serta mengawal aspirasi mereka dalam sidang-sidang DPR, tetapi kehadiran mereka sangat disesalkan oleh konstituennya. Tampaknya anggota dewan ada keseriusan untuk hadir dengan indikasi mengisi daftar hadir, tetapi seusai rapat dibuka banyak yang kabur, betapa hebatnya kemunafikan perilaku tersebut. Di lain pihak beredar hasil survei dari Aktivis Gerakan Nasional pada tahun 2006 yang diungkap ketua umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) M. Danial Nafis (Kompas 2008 : 2) bahwa melemahnya kekuatan Pancasila sebagai idiologi dan pandangan hidup bangsa terjadi pada kelompok mahasiswa. Survei dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya dengan dasar pertimbangan bahwa perguruan-perguruan tinggi tersebut selama ini dikenal sebagai basis Gerakan Politik di Indonesia. Hasil survei diungkapkan bahwa sebanyak 80 % mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, sedangkan 15,5 % responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai uraian sebagai acuan hidup, dan hanya 4,5 % responden masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Yang lebih memprihatinkan menurut M. Danial bahwa banyak generasi muda yang lupa isi harfiah Pancasila, apalagi mengerti Pancasila secara maknawi. Berbeda dengan hasil survei di atas, adalah survei yang dilakukan oleh Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diungkap oleh Rektornya Komaruddin Hidayat bahwa komitmen umat Islam terhadap nilai-nilai ke Indonesiaan masih sangat tinggi. Rata-rata kaum Muslim Indonesia tidak ingin bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini berubah menjadi Negara Teokrasi ataupun misalnya khilafah Islamiah. Selain itu kaum muslim juga menolak Pancasila diganti dengan Syariah Islam sebagai dasar Negara (Seputar Indonesia 29-2-2008 : hal. 1).

12 Perlu diungkap pula hasil penelitian dari Tim Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM yang dikoordinasi oleh Djoko Pitoyo yang meneliti tentang persepsi

terhadap Pancasila pada Generasi Muda (Studi di DIY)yang telah dipresentasikan pada simposium dan sarasehan. Peringatan pernyataan kemerdekaan dan hari lahirnya Pancasila yang diselenggarakan tanggal 14-15 Agustus 2006 di Universitas Gajah Mada yang pada intinya peneliti menyimpulkan dalam dua hal : (1) Kesimpulan secara Kuantitatif sebagai berikut : (a) Persepsi terhadap Pancasila pada Generasi Muda dalam kenyataannya baik. (b) Asal darah, latar belakang pendidikan orang tua dan latar belakang pekerjaan orang tua berpengaruh terhadap persepsi. (2) Kesimpulan secara kualitatif diungkapkan sebagai berikut : (a) Pengamalan Pancasila baik sebagai pandangan hidup bangsa maupun dasar negara dipersepsi belum optimal. Dalam banyak kasus Pancasila dipersepsi sekedar teori simbol, formalitas, wacana, dan slogan belaka. (b) Kebanyakan institusi dan penyelenggara negara dipersepsi belum mengamalkan Pancasila sebagai mana mestinya, sekedar formalitas bahkan diselewengkan. Sementara itu kebanyakan organisasi

kemasyarakatan dan komunitasnya dipersepsi telah mengamalkan, meskipun Pancasila belum tentu diformalkan sebagai landasan organisasi. Ada beberapa rekomendasi yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut : (a) Pengembangan pemahaman dan pengamalan Pancasila perlu

memperhatikan kekhasan daerah, latar belakang pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua. (b) Pengenalan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila

seyogyanya dilaksanakan sejak dini melalui pendidikan dalam lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat. (c) Perlu pengkajian lebih mendalam tentang perilaku para penyelenggara negara dan pemuka masyarakat dalam pengamalan Pancasila. (d) Secara teoretis, penelitian persepsi ini belum dapat digunakan untuk memprediksi perilaku generasi muda. Oleh karena itu perlu dilanjutkan

13 dengan penelitian tentang sikap, intensi (minat), dan perilaku generasi muda (Joko Pitoyo dkk, 2006 : 13-14). Berdasar penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap Pancasila sebagai idiologi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia masih rendah. Mengapa dapat terjadi hal sedemikian, Barangkali dapat dipahami bahwa nilai-nilai luhur bangsa (Pancasila) harus disosialisasikan kedalam kehidupan masyarakat melalui wadah pendidikan baik pendidikan informal, nonformal, dan formal. Khusus pada pendidikan formal sosialisasinya diatur melalui kurikulum. Dan isi kurikulum ditentukan oleh Undang-Undang (UU) yakni UU. No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, dimana pada pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah wajib memuat : (a) Pendidikan Agama, (b) Pendidikan Kewarganegaraan, (c) Bahasa, (d) Matematika, (e) Ilmu Pengetahuan Alam, (f) Ilmu Pengetahuan Sosial, (g) Seni dan Budaya, (h) Pendidikan Jasmani & Olahraga, (i) Ketrampilan / Kejuruan, dan (j) Muatan Lokal. Pada ayat 2 menjelaskan bahwa kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat : (a) Pendidikan Agama, (b) Pendidikan Kewarganegaraan, (c) Bahasa. Bila dicermati pada UU di atas telah menghilangkan mata ajar Pendidikan Pancasila dalam kurikulum Nasional baik ditingkat Pendidikan Dasar, Menengah maupun Perguruan Tinggi. Padahal Pendidikan Pancasila merupakan sarana strategis untuk mensosialisasikan Pancasila baik sebagai idiologi, pandangan hidup bangsa, dan dasar negara kepada peserta didik agar mengakar dan menguatkan kepribadian / jati diri bangsa pada diri Peserta Didik. Dan undangundang ini dicaver dengan peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada Pasal 9 ayat 2 mengungkap bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pada ayat 3 menjelaskan bahwa selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, kurikulum tingkat satuan Pendidikan Tinggi Program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan serta mata kuliah statistika dan / matematika. Dirjen DIKTI menindak lanjuti melalui SK No. 43/Dikti/Kep/2006 antara lain menyebutkan mata kuliah pengembangan kepribadian dan kependidikan mencakup Pendidikan Agama, Pendidikan

14 Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Pendidikan Pancasila telah dihilangkan dengan sangat sengaja dan sedikit materi Pancasila yakni Filsafat Pancasila diintegrasikan ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimana untuk mempertahankan dan mengembangkan jati diri bangsa jika wadah/alat untuk menyosialisasikan telah dibredel. Hilangnya Pendidikan Pancasila dalam UU Sisdiknas dan Peraturan pelaksanaannya dapat merupakan bagian dari puncak krisis nilai dalam diri bangsa Indonesia karena Pancasila telah terdegradasi dari posisinya sebagai dasar falsafah dan idiologi berbangsa dan bernegara. Kepribadian bangsa Indonesia tersapu oleh badai nilai budaya asing dari pribadi-pribadi masyarakat terdidik akibat proses pembangunan yang serba terbuka. Tentang kondisi tersebut pada symposium memperingati hari lahirnya Pancasila yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 2006 dinyatakan bahwa bangsa Indonesia selain mengalami krisis di bidang ekonomi yang mengejawantah pada kondisi kemiskinan dan ketimpangan, juga mengalami krisis di bidang moral yang luar biasa dan mengejawantah pada menipisnya kepribadian serta jati diri dan sudah mencapai pada lapisan masyarakat terdidik. Jadi bangsa Indonesia semakin tidak berdaya dan telah kehilangan harkat dan martabatnya yang di dunia pendidikan mengejawantah pada hilangnya urgensi Pendidikan Pancasila dalam UU Sisdiknas. Simposium menyimpulkan kondisi demikian merupakan bagian tak terpisahkan dari Colonization of The Mind bangsa Indonesia oleh kebudayaan asing (neo liberalis) yang mengambil manfaat dari Euforia Reformasi dan membawa pendidikan Bngasa Indonesia semakin salah asuhan.

4. Perjuangan untuk Mengembalikan Posisi Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Nasional Bagi komponen Bangsa yang masih konsern terhadap Pancasila baik sebagai pandangan hidup bangsa, idiologi dan Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pasti melakukan perjuangan untuk melawan setiap usaha yang akan menyingkirkan Pancasila dengan cara yang halus melalui penghilangan mata ajar Pendidikan Pancasila mulai dari Tingkat Pendidikan Dasar, Menengah, sampai Perguruan Tinggi. Perjuangan dosen-dosen Pendidikan Pancasila baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) se Surabaya pada

15 tanggal 2 Agustus 2003 untuk pertama kali menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya (SEMILOKA) yang mengangkat tema Pancasila sebagai Sumber Konsepsi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. SEMILOKA ini bertujuan untuk membumikan Pancasila dalam diri warga negara Indonesia sebagai amanat Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998 pada DIKTUM Pasal 1 menyebutkan Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah Dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Perjuangan dilanjutkan dengan menyampaikan aspirasi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Jawa Timur dengan mendapat respon positif. Wujud respon tersebut dengan diundangnya para dosen Pancasila dalam rapat 16 Mei 2006 yang dimotori Komisi E dengan hasil keputusan sebagai berikut : (a) Pancasila sebagai idiologi Negara harus menjadi mata pelajaran di sekolahsekolah. (b) Keresahan dosen Pancasila di Perguruan Tinggi Jawa Timur disebabkan Pancasila tidak lagi menjadi mata kuliah wajib, maka akan ditindaklanjuti Komisi E (KESRA) DPRD Propinsi Jawa Timur. (c) Mendorong para dosen pengajar Pancasila untuk membentuk Asosiasi Pengajar Pendidikan Pancasila dan melakukan Seminar Nasional. (d) Komisi E (KESRA) merekomendasi untuk meneruskan kepada Dirjen Dikti dan seluruh Perguruan Tinggi Sejawa Timur agar Pendidikan Pancasila menjadi mata kuliah wajib. Melalui hasil keputusan di atas dibentuklah Yayasan Perjuangan DosenDosen Pendidikan Pancasila dengan akta Notaris no. 03 tanggal 15 Nopember 2006. Berdasarkan wadah yang sah ini, Yayasan Perjuangan Dosen Pendidikan Pancasila dengan dukungan DPRD Propinsi Jawa Timur dan Gubernur Propinsi Jawa Timur, menyelenggarakan Semiloka dengan Tema Revitalisasi dan Implementasi Pancasila yang diselenggarakan pada 20 September 2006 dan dilanjutkan dengan myelenggarakan Lokakarya pada 28 Nopember 2006 dengan tema revitalisasi dan Implementasi

Pembudayaan Pancasila yang dinamis dan kontekstual dalam upaya membangun jati diri bangsa. Dalam Lokakarya tersebut telah dibentuk Asosiasi Guru dan Dosen Pendidikan Pancasila Sejawa Timur dan melalui Asosiasi ini dirintis

16 terbentuknya Asosiasi Guru dan Dosen Pendidikan Pancasila Se-Indonesia yang merupakan kekuatan moral untuk mengembalikan Posisi Pendidikan Pancasila dalam kurikulum Nasional.

Simpulan Jati diri atau kepribadian bangsa merupakan ciri khas suatu bangsa yang membedakan dengan bangsa lain. Jati diri bukanlah merupakan sesuatu yang steril, tetapi selalu berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya dan faktor yang mempengaruhinya termasuk globalisasi dan reformasi. Dalam proses globalisasi dan reformasi di internal Negara Indonesia, maka jati diri bangsa Indonesia mengalami proses. Dalam kondisi seperti di atas perlu memperhatikan nasihat Talcolt Pearson agar bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk menjaga jati dirinya dengan memelihara nilai budaya yang dianutnya akan nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati menjadi dasar Negara. Globalisasi yang intinya liberalisasi menerpa elit politik bangsa, menyebabkan perilaku mereka melakukan distorsi pada Pancasila padahal seharusnya mereka memiliki kewajiban untuk membumikan Pancasila dengan mengejawantahkan sosialisasi Pancasila, bukan malah menghilangkan Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Nasional. Akibatnya terjadi krisis moral yang sangat parah melahirkan bentrok antaranggota masyarakat, muncul geng motor , perilaku korupsi yang merajalela baik di pusat dan di daerah. Pelajar, mahasiswa, menyontek ataupun contoh mencontoh ketika ujian dan sebagainya. Kondisi yang amat tidak menentu tersebut memotivasi guru dan dosen Pendidikan Pancasila untuk memperjuangkan kembalinya mata ajar Pendidikan Pancasila dalam proporsi Kurikulum Nasional.

Daftar Rujukan

17 Burn R.B. 1993. Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku, Jakarta: Arcan. Joko Pitoyo Etal. 2006. Persepsi, Generasi Muda terhadap Pancasila. Makalah Simposium dan Sarasehan peringatan Kemerdekaan RI dan hari lahir Pancasila. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Garamedia. Komanuddin Hidayat. 2008. Revitalisasi Pancasila, Media Perss, Seputar Indonesia. Lubis Mochtar. 1986. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggung Jawaban. Jakarta: Inti Idayu Press. Naya Sujana, IMN. 2003. Karakter Bangsa, Pembangunan Jati Diri Bangsa dan Negara Indonesia, Jurnal Ilmiah, UPTMKU Universitas Airlangga. Naya Sujana, I Nyoman. 2006. Manusia Pancasila. Surabaya: Lab Humaniora UPT-TPB Universitas Airlangga. Siswono Yudo Husodo. 2005. Upaya Meningkatkan Jati Diri Bangsa dalam menghadapi Dinamika Global, Sarasehan Nasional Pancasila. Veegerkj. 1986. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat Ragam Cakrawala Sejarah Sososiologi. Jakarta: Gramedia. Kompas, 4 Maret 2008, Idiologi Bangsa, Mahsiswa tak minati Pancasila.

You might also like