You are on page 1of 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran hutang-hutangnya kepada semua kreditor, dan dibayar menurut perbandingan jumlah piutang masing-masing. Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire. 8

Menurut Rachmadi Usman kepailitan adalah: Keadaan dimana seorang debitor tidak mampu melunasi hutanghutangnya pada saat hutang tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus dinyatakan oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau pihak ketiga. 9

Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal.26-27. 9 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 12.
8

Universitas Sumatera Utara

harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditor. 10 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan sebagai berikut: kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Munir Fuady menyamakan istilah kepailitan dengan bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditor ramai-ramai mengeroyok debitor dan saling berebutan harta debitor tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitor dapat dibayar secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditor dimana debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitor segera membayar hutang-hutangnya tersebut. 11

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman berbunyi: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan pernyataan kepailitan tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.11. 11 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 75.
10

Universitas Sumatera Utara

perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu karena: 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Tata cara pengajuan permohonan kasasi perkara kepailitan diatur lebih lanjut dalam Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Permohonan kasasi diajukan dalam waktu paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan Niaga yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pene-rimaan pendaftaran. Pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan, pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dan salinan permohonan kasasi berikut salinan memori kasasi kepada pihak terkasasi. Kepailitan membawa akibat hukum bagi diri yang dinyatakan pailit menjadi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan terhadap aset yang dimilikinya. Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal itu menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada

Universitas Sumatera Utara

maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitor itu. 12

Arti dari kutipan tersebut adalah sekalipun tidak diperjanjikan dengan tegas-tegas, seorang debitor bertanggung jawab terhadap segala hartanya dengan barang-barang yang dimilikinya baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Yang banyak tidak disadari oleh orang ialah bahwa yang tidak dikatakan oleh pasal ini ialah seorang debitor tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya jika ia tidak memiliki barang apapun. Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan mengatakan: Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar hutang-hutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran hutang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.

Dari ketentuan pasal di atas dapat dipahami bahwa pada kenyataannya bahwa undang-undang memberikan kesempatan kepada debitor untuk melakukan penundaan pembayaran dengan melakukan perdamaian kepada para kreditornya. Sehubungan dengan uraian di atas maka upaya hukum lainnya dalam kepailitan juga dikenal dengan istilah actio pauliana. Actio Pauliana dalam kamus hukum diartikan sebagai gugatan pembatalan, gugatan kreditor, gugatan dari pihak kreditor yang ditujukan terhadap (perbuatan) debitor karena perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan kreditor. 13 Perihal actio pauliana dapat dilihat isi Pasal 41 Undang-Undang
12

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 45. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1990, hal. 33.

13

Universitas Sumatera Utara

Kepailitan No. 37 Tahun 2004 yaitu : (1) untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang.

Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada batasan waktu saat dilakukan perbuatan hukum oleh debitor sehingga dapat dibatalkan melalui upaya actio pauliana tersebut. Karena itu hukum yang mengaturnya hanyalah hukum yang umum mengenai daluarsa suatu gugatan. Dalam hal ini, gugatan terhadap actio pauliana dapat dilakukan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitor yang belum melebihi jangka waktu 1 tahun.

B. Syarat-Syarat Untuk Dinyatakan Pailit Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan juridis harus dipenuhi ketentuan dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU No. 37 Tahun 2004 yaitu: a. Permohonan dari debitor (perorangan). 1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat. 2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan

Universitas Sumatera Utara

Niaga setempat. 3) Surat kuasa khusus. 4) Surat tanda bukti diri (KTP) suami/isteri yang masih berlaku. 5) Persetujuan suami/isteri yang dilegalisir. 6) Daftar asset dan tanggung jawab. 7) Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perorangan memiliki perusahaan). b. Permohonan dari debitor (Perseroan Terbatas). 1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat. 2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat. 3) Surat kuasa khusus. 4) Akta pendaftaran perusahaan (tanda daftar perusahaan) yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan. 5) Putusan sah rapat umum pemegang saham (RUPS) terakhir. 6) Neraca keuangan terakhir. 7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor. 8) Anggaran Dasar/Anggaran rumah tangga. c. Permohonan dari debitor (Yayasan/Asosiasi). 1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat. 2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan

Pengadilan Niaga setempat. 3) Surat kuasa khusus. 4) Akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan. 5) Putusan Dewan Pengurus yang memutuskan untuk mengajukan

Universitas Sumatera Utara

pernyataan pailit. 6) Neraca keuangan terakhir. 7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor. d. Permohonan dari debitor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam). 1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat. 2) Surat tugas/surat kuasa. 3) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat. 4) Surat kuasa khusus. 5) Akta pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang

dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan. 6) Surat perjanjian utang. 7) Perincian utang yang telah jatuh tempo/tidak dibayar. 8) Neraca keuangan terakhir. 9) Daftar asset dan tanggung jawab. 10) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor. e. Permohonan dari kreditor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam). 1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat. 2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat. 3) Surat kuasa khusus. 4) Akta pendaftaran perusahaan/yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan. 5) Surat perjanjian utang. 6) Perincian utang yang tidak dibayar. 7) Nama serta alamat masing-masing debitor

Universitas Sumatera Utara

8) Tanda kenal diri debitor. 9) Nama serta alamat mitra usaha. 10) Terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris oleh penterjemah resmi (jika menyangkut unsur asing). 14

Dari bunyi Pasal 11 ayat (1) perihal kasasi, Pasal 14 ayat (1) perihal peninjauan kembali, dan Pasal 295 ayat (1) perihal peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan kepailitan, yaitu upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjelaskan: Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 14 ayat (1) berbunyi: terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Pasal 295 ayat (1) berbunyi terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini.

C. Pihak-Pihak Yang Dapat Dinyatakan Pailit Objek undang-undang kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para Kreditornya. Undang-undang berbagai negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitor orang perorangan (individu) dan Debitor bukan perorangan atau badan hukum.
Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal. 3-5.
14

Universitas Sumatera Utara

Apakah UUK mengatur secara berbeda-beda pula kepailitan orang perorangan dan bukan orang perorangan. Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut common law system, UUK tidak membedakan aturan bagi kepailitan Debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu). Bahwa ruang lingkup UUK meliputi baik Debitor badan hukum maupun Debitor orang perorangan memang tidak tegas-tegas ditentukan dalam Undangundang tersebut, tetapi hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal-pasalnya. Misalnya dari Pasal 2 ayat (5) UUK yang mengemukakan bahwa "Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya". Pasal 3 ayat (1) UUK mengemukakan bahwa "Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri". Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

1. Kepailitan Holding Company. Dapatkah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap suatu Holding Company. Penulis berpendapat permohonan itu dapat saja diajukan, oleh karena suatu Holding Company adalah suatu perusahaan. Adalah menarik mencermati putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Ometraco, yaitu Putusan No.3/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst dan

No.4/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst yang menolak permohonan kepailitan terhadap Holding Company dengan pertimbangan bahwa seharusnya permohonan-permohonan terhadap Holding Company dan terhadap anak perusahaan tersebut diajukan dalam satu permohonan. 15
15

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

Terhadap putusan ini Kartini Muljadi, S.H., salah satu perancang Perpu No. 1 Tahun 1998, berpendapat bahwa pertimbangan Pengadilan Niaga tersebut kurang tepat. Permohonan pailit terhadap Holding Company dan anak perusahaannya oleh UUK tidak diwajibkan untuk diajukan dalam satu permohonan. Mereka merupakan badan hukum yang berbeda, mempunyai Kreditor yang berbeda, mungkin pula Holding Company adalah Kreditor dari anak perusahaannya. Penulis sangat mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi tersebut di atas.

2. Kepailitan Bank dan Perusahaan Efek Undang-undang Kepailitan membedakan antara Debitor bank dan bukan bank, antara Debitor perusahaan efek dan bukan perusahaan efek. Pembedaan itu dilakukan berkaitan dengan ketentuan undang-undang ini mengenai siapa yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
16

3. Kepailitan Penjamin

Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau suatu perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (baik personal guarantee maupun corporate guarantee) dapat dinyatakan

16

Ibid., hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

pailit.

17

Banyak bankir merasa bahwa personal guarantee hanya memberikan ikatan moral saja dari penjamin (guarantor)-nya. Hal itu tidak benar. Menurut Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan pernyataan pailit, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan demikian, seorang penjamin yang dinyatakan pailit oleh pengadilan tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya. Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur di dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata itu dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor. Penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor yang

berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau para Kreditornya apabila Debitor tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin atau penanggung adalah Debitor, maka penjamin atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK. 18

UUK mengatur mengenai penjaminan yang diatur dalam Pasal 56. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak ternyata bahwa penjamin atau penanggung tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya. Dalam putusannya No. 39K/N/1999 mengenai kepailitan antara PT Deemte Sakti Indo melawan PT Bank Kesawan, dalam tingkat Kasasi, Majelis
17

Ibid., hal. 36.

18

Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

Hakim

Mahkamah

Agung

antara

lain

berpendapat

sebagai

berikut:

Bahwa i.e. Termohon sebagai guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya maka kreditor dapat secara langsung menuntut Termohon untuk memenuhi kewajibannya. Bahwa karena Termohon tidak memenuhi kewajibannya secara suka-rela, maka Kreditor/Pemohon mohon agar Termohon dipailitkan dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Niaga secara tepat dan benar Termohon telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit. Dalam putusan Mahkamah Agung yang lain mengenai kepailitan penjamin, yaitu Putusan No. 42K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara (1) Bank Artha Graha dan (2) PT Bank Pan Indonesia, Tbk. (PT Bank Panin, Tbk.) melawan (1) Cheng Basuki dan (2) Aven Siswoyo, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan pendapat, sebagaimana ternyata dari pertimbangannya, sebagai berikut: Bahwa dengan perjanjian penjaminan No. 50 dan perjanjian jaminan No. 51 (bukti P2 dan P3) yang di antaranya menyatakan bahwa para Termohon Kasasi selaku para penjamin melepaskan segala hak-hak yang diberikan oleh undangundang kepada seorang penjamin, berarti para Termohon Kasasi sebagai para penjamin adalah menggantikan kedudukan Debitor (PT Tensindo) dalam melaksanakan kewajiban Debitor (PT Tensindo) terhadap para Pemohon (para Pemohon Kasasi) sehingga para Termohon (Termohon Kasasi) dapat dikategorikan sebagai debitor. Bagaimana halnya apabila penjamin atau penanggung hanya menjamin atau menanggung utang Debitor terhadap suatu Kreditor dan ternyata penjamin atau penanggung itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang Debitor kepada Kreditor yang dijaminnya dan ternyata Kreditor yang dijamin olehnya itu adalah satu-satunya Kreditor baginya? Apakah terhadap penjamin atau penanggung itu dapat diajukan permohonan pernyataan pailit? Menurut hemat penulis apabila penjamin atau penanggung tersebut tidak memiliki lebih dari satu Kreditor, sehingga tidak terpenuhi asas concursus creditorum sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUK, maka terhadap penjamin

Universitas Sumatera Utara

atau penanggung itu tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit. Secara yuridis murni berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUK, seorang penanggung tidak dapat dinyatakan pailit sebelum harta kekayaan Debitor terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penjamin (penanggung) tidak diwajibkan membayar utang Debitor kepada Kreditor selain apabila Debitor lalai dan harta kekayaan Debitor telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata tersebut mensyaratkan pula bahwa penjamin atau penanggung hanya dapat dituntut untuk membayar kekurangan utang yang tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan harta kekayaan Debitor itu.
19

Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata itu, seorang penjamin atau penanggung tidak dapat dinyatakan pailit tanpa sebelumnya menyatakan debitor pailit. 20 Hak Kreditor yang ditanggung untuk menuntut penjamin atau penanggung hanyalah apabila dari hasil likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor masih terdapat sisa utang yang belum lunas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata, penjamin atau penanggung tidak dapat menuntut supaya harta kekayaan Debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya apabila berada di dalam keadaan pailit. 21 Dengan kata lain, kewajiban membayar dari penjamin atau penanggung merupakan bagian dari harta pailit seketika Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Namun ketentuan Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata itu tidak mengakibatkan penjamin atau penanggung itu pailit.
Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, CV. Mandar Maju, Jakarta: 1999, hal.1. 20 Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 41. 21 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung:, hal. 5.
19

Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 KUH Perdata, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung dapat diajukan tanpa mengajukan permohonan pailit pula kepada Debitor hanyalah apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan Hak

Istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau, harta kekayaan Debitor disita dan dijual terlebih dahulu. Sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 2, 3, 4, dan 5 KUH Perdata, terhadap penjamin atau penanggung dapat diajukan permohonan pernyataan pailit, selain karena telah melepaskan Hak Istimewanya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1832 huruf 1 KUH Perdata sebagaimana dikemukakan di atas, apabila: Angka 2: penjamin telah bersama-sama dengan Debitor mengikatkan dirinya secara tanggung renteng. Angka 3: Debitor dapat mengajukan tangkisan yang hanya menyangkut dirinya sendiri secara pribadi. Angka 4: Debitor berada dalam keadaan pailit. Angka 5: penjaminan (penanggungan) tersebut telah diberikan berdasarkan perintah pengadilan. Masalah lain yang berkaitan dengan pengajuan permohonan perayataan pailit terhadap penjamin atau penanggung adalah mengenai apakah

permohonan pernyataan pailit terhadap penjamin atau penanggung harus diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor.
22

Apabila tidak terpenuhi ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata, sehingga dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata, maka permohonan pernyataan pailit tidak boleh diajukan tanpa mengajukan pula permohonan pailit terhadap Debitor. Bahkan terhadap penanggung tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit sebelum terbukti bahwa dari hasil
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 24.
22

Universitas Sumatera Utara

penjualan harta kekayaan Debitor yang di-nyatakan pailit itu masih terdapat sisa utang yang belum dapat dilunasi dalam beberapa hal dapat saja diminta oleh penanggung Perlu dicermati mengenai tanggung jawab penjamin atau penanggung sehubungan dengan ketentuan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Menurut Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, walaupun sudah ada perdamaian, para Kreditor tetap mempunyai hak terhadap para penanggung. Lebih lanjut Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, hak yang dapat dilakukan terhadap barang-barang pihak ketiga tetap ada pada para Kreditor seolah-olah tidak terjadi perdamaian.
23

Dengan kata lain, terjadinya perdamaian antara Debitor dengan (para) Kreditornya tidaklah menghapuskan tanggung jawab penanggung. Menurut hemat penulis, pasal ini tidak boleh diartikan bahwa sekalipun telah terjadi perdamaian, maka para Kreditor dapat mengajukan permintaan kepada penjamin atau penanggung agar melunasi utang Debitor yang dijaminnya itu, yang notabene telah disepakati oleh para Kreditor untuk dijadwal ulang atau direstrukturisasi berdasarkan suatu perjanjian perdamaian. Dengan kata lain, tidak dapat dibenarkan bahwa di satu pihak telah terjadi perdamaian antara Debitor dan para Kreditornya, sedangkan bersamaan dengan itu para Kreditor mengajukan haknya kepada penjamin atau penanggung untuk membayar utang Debitor yang telah dijadwal ulang atau direstrukturisasi.
24

Pasal tersebut harus diartikan bahwa penjaminan atau penanggungan tidaklah batal dengan adanya perjanjian perdamaian sehingga karena itu
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 56. 24 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 8.
23

Universitas Sumatera Utara

penjamin atau penanggung tersebut tetap menjamin atau menanggung utangutang yang telah dijadwal ulang atau direstrukturisasi. Penjamin atau penanggung baru timbul kewajibannya apabila Debitor kembali cidera janji karena tidak dapat memenuhi syarat-syarat perjanjian perdamaian tersebut. Pembatalan penjaminan atau penanggungan itu hanya dapat terjadi apabila di dalam perjanjian perdamaian diperjanjikan dengan tegas untuk membebaskan penjamin atau penanggung dari kewajibannya.

D. Pengurusan Harta Pailit Curator (pengampu) ialah seorang/suatu badan yang diserahi tugas untuk menggantikan/mengurus kepentingan seorang/badan hukum yang berada di bawah pengampuannya. Curator dalam kepailitan berarti suatu badan yang menggantikan kedudukan orang/badan hukum yang dinyatakan pailit, guna mengurus hak dan kewajiban si pailit. Dengan demikian, curator mempunyai hak dan kewajiban juga. Istilah curator tidak hanya digunakan dalam hal kepailitan saja, tetapi dapat kita jumpai pada hal-hal lain, misalnya dalam hal seseorang yang berada dalam keadaan sakit syaraf atau pemboros, untuk melaksanakan hak dan kewajibannya diangkatlah seorang curator, sedangkan ia dinyatakan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan (order curatele). Adapun syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjadi seorang curator adalah : 1. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit, dan 2. Telah terdaftar pada Departemen Kehhakiman sebagai curator. Curator sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam pengurusan harta kekayaan pailit adalah sebagai pelindung daripada kepentingan kedua belah pihak, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. melindungi pihak debitor dan, 2. melindungi kepentingan para kreditor. 25 Dalam hal ini tindakannya Curator selalu untuk kepentingan para kreditor karena bila curator mengambil keputusan untuk kepentingan kreditor dengan sendirinya dalam keputusan itu sudah termasuk kepentingan debitor. Dapat juga kita lihat bahwa curator mempunyai dua fungsi, yaitu : sebagai wakil dari kreditor dan juga sebagai wakil dari debitor, akan tetapi bila kepentingan-kepentingan antara kreditor dan debitor tersebut bertentangan, maka curator harus lebih mengutamakan kepentingan kreditor. 26 Menurut Undang-Undang Kepailitan, yang menjadi kewajiban

sehubungan dengan penyelesaian kepailitan adalah sangat banyak, antara lain yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Tugas kurator secara umum adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. Tugas ini sudah dapat dijalankannya, sejak tanggal putusan pernyataan pailit dijatuhkan. Meskipun putusan tersebut belum in final, yakni meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali. 2. Dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak putusan pernyataan pailit dijatuhkan, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas tentang hal-hal tersebut di bawah ini, yaitu : a. Ikhtisar putusan pernyataan pailit, b. Identitas, alamat dan pekerjaan debitor, c. Identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditor, apabila telah ditunjuk, d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor dan,
25 26

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 9-12. Suherman, E. Faillissement (Kefailitan), Binacipta, Bandung:, 1988, hal. 32.

Universitas Sumatera Utara

e. Identitas Hakim pengawas. 3. Membuat uraian mengenai harta pailit, 4. Mencocokkan piutang dan membuat daftar piutang, 5. Melaksanakan pembayaran kepada kreditor dalam proses pemberesan, 6. Melakukan tuntutan berdasarkan pranata hukum actio pauliana, 7. Membebaskan barang yang menjadi agunan dengan membayar kepada kreditor yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar barang agunan dan jumlah uang yang dijamin dengan barang agunan tersebut, 8. Kurator bertanggung jawab terhadap keselahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang

menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, 9. Kewajiban menyampaikan laporan tiga bulanan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya, 10. Kurator berkewajiban menjual harta pailit dalam rangka pemberesan. Menjual aset-aset debitor pailit sebenarnya merupakan salah satu tugas utama dari kreditor sesuai dengan prinsip cash in the king. Penjualan aset debitor ini (setelah insolvensi dan tidak dilakukan pengurusan harta debitor) tidak memerlukan persetujuan siapa-siapa. Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Bagimana cara menjual harta debitor pailit juga hal yang harus selalu diperhatikan dalam proses pemberesan harta pailit. Untuk itu harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Pertimbangan yuridis. Tentunya agar pihak kurator yang menjual harta debitor pailit tidak disalahkan, yang pertama sekali harus diperhatikan adalah apa persyaratan yuridis terhadap tindakan tersebut. Misalnya kapan dia harus menjualnya, bagaimana prosedur menjual, apakah memerlukan izin tertentu, undang-undang mana dan pasal berapa yang mengaturnya, dan sebagainya. b. Pertimbangan bisnis.

Universitas Sumatera Utara

Selain dari pertimbangan yuridis, kurator yang menjual aset debitor juga harus memperhatikan pertimbangan bisnis. Bila perlu dapat disewa para ahli untuk memberikan masukan-masukan untuk bahan pertimbangan bagi kurator.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN NIAGA DAN DISSENTING OPINION

E. Pengadilan Niaga

Universitas Sumatera Utara

You might also like