You are on page 1of 6

PEMAHAMAN AGAMA ANTARA SIMBOL RITUAL DAN MAKNA ESENSIAL

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah : 208). Islam merupakan agama yang sempurna, ajarannya meliputi seluruh relung kehidupan, dari hal yang sederhana seperti makan sampai hal yang rumit dan pelik seperti masalah tata negara dan pemerintahan. Dalam kesempurnaanya, Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam yang meliputi manusia, hewan dan alam semesta. Komprehensipnya ajaran Islam ini akan mendorong kesejahteraan dan kenyamanan hidup di dunia dan memberi efek menyelamatkan kelak di akhirat, karena itulah Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, yakni secara utuh dan menyeluruh, bukan hanya sebagian-sebagian. Kekaffahan beragama itu sendiri telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Beliau sebagai suri tauladan yang baik bagi seluruh manusia selalu melakukan ritual beribadah secara mahdhah kepada Allah SWT tanpa melupakan ibadah horizontal antar sesama manusia dan alam sebagai makna esensial dari ibadah mahdhah. Beliau hamba yang telah diampuni dosanya tetapi tidak pernah kering bibirnya dari istighfar. Beliau hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah fardhu dan sunnah. Beliau juga merupakan seorang pemimpin yang menyayangi rakyatnya, seorang tetangga yang selalu memperhatikan hak tetangga walaupun tetangga itu seorang yang kafir, dan seorang bapak yang menyayangi anak dan cucu-cucunya. Beliaulah seorang yang jika diberi kebaikan maka akan membalas dengan yang lebih baik, dan jika diberi keburukan maka akan dibalas dengan kebaikan. Karena itulah Al Quran menyebutnya Wainnaka laala huluqin adzim. Jika kita bercermin kepada akhlak Rasulullah Saw. Maka kita akan menemukan betapa kita masih jauh dari akhlak Beliau, bahkan diantara umat Islam banyak yang menampilkan

sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai agama yang dianutnya. Banyak dari mereka yang suka mencuri, berzina, membunuh, bermusuhan, bertengkar, berjudi, berkhianat, korupsi, menyuap dan lain-lain. Ini merupakan ketidakkonsistenan umat Islam dalam beragama.

Kenapa hal demikian bisa terjadi ? Jawabannya pun akan beragam dan kompleks. Berdasarkan analisis rasional yang dapat dipertanggungjawabkan, didapat beberapa dugaan (hipotesis), diantaranya :

1. Dikalangan umat Islam masih ada yang beragama Islamnya hanya pengakuan (formalis). 2. Masih banyak umat Islam yang ambivalen dalam keyakinannya. Selain mengakui Allah sebagai tuhannya mereka juga meyakini hal-hal khurafat, seperti Dewi Sri, Nyi Roro Kidul dan lain-lain. 3. Masih banyak umat Islam yang parsial dalam mengamalkan ajaran Islamnya, seperti suka shalat tapi masih suka membuka aurat, pernikahan diatur secara islami tetapi pembagian warits tidak mau secara islami, dan lain-lain. 4. Di kalangan Islam masih ada yang bersikap sekuler, yang memisahkan antar kehidupan dunia dan kehidupan ukhrawi. Mereka menetralisir aspek ekonomi, politik, ketatanegaraan, sosial budaya dan seni dari nilai-nilai agama dengan dalih agama hanya mengurus ritual saja. Keadaan umat Islam seperti di atas, sangat tidak menguntungkan bagi kemajuan Islam sendiri, terutama bagi kemuliaan Islam yang telah dinash Yalu wala yula alaih. Agar umat Islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu mewujudkan misi rahmatan lil alamin maka seyogyanya memiliki pemahaman yang utuh tentang Islam itu sendiri. Umat Islam tidak hanya memiliki kekuatan imtaq (iman dan taqwa) tetapi juga memiliki kekuatan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Mereka diharapkan dapat mengintegrasikan antara pengamalan ibadah ritual (yang oleh sebagian orang dianggap sebagai simbol kesadaran beragama) dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengendalian diri, sikap sabar,

amanah, jujur, adil, toleran, saling menghormati, tidak suka menyakiti, melecehkan dan menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan umat Islam mampu menyatupadukan antara ibadah mahdhah dan ibadah ghair mahdhah.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sebuah hadits menyatakan bahwa Seseorang berkata kepada Rasulullah Saw., bahwa si Fulan selalu berpuasa pada siang hari dan beribadah pada malam hari, tetapi dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya. Rasulullah Saw. bersabda, Orang itu tidak baik dan termasuk ahli neraka.

Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, Akhlak yang buruk merusak amal (kebaikan) seperti cuka merusak madu.

Berdasarkan hadits di atas, maka komitmen umat Islam terhadap ajaran Islam seharusnya tidak hanya sebatas mengamalkan ritual keagamaan, tetapi mengaplikasikan makna-makna esensial dari ritual tersebut. Makna esensial dari setiap ritual ibadah itu meliputi : 1. Ibadah merupakan perwujudan iman seseorang kepada Allah.

2. Ibadah merupakan bentuk taqarrub, taabbud dan mahabbah makhluk kepada Khalik. 3. Ibadah mengandung nilai yang harus direflesikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain (Akhlakul Karimah).

Sebagai contoh shalat selain sebagai simbol ritual, ia juga mengandung makna esensial yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, yakni silaturrahmi, persaudaraan, ketaatan kepada pemimpin, menebar salam perdamaian, menundukan pandangan dan lainlain.

AGAMA ANTARA SIMBOL RITUAL DAN MAKNA ESENSIAL (2)

10/24/2010

Tanto Aljauharie

Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah, memberikan Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar yang diterangkan dengan jelas sekali. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: "Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah" dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku (ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada Sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia..." Kisah diatas menunjukkan bahwa agama mengandung simbol-simbol (dalam contoh di atas : nama Allah), tetapi nama Allah tersebut bukan esensi dari nama itu sendiri, tetapi terkandung makna esensial dari nama itu, yakni Al musamma (Dzat Allah). Agama tidak bisa lepas dari simbol, bahkah Allah memerintahkan umat Islam untuk mengagungkan simbol-simbol agama, firman Allah SWT. Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar agama Allah, maka itu bagian dari ketakwaan hati. Namun demikian tidak cukup mengaplikasikan agama hanya dari simbolnya saja, tetapi harus meresap sampai ke dalam makna esensial dari agama itu sendiri, firman Allah :Masuklah

ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah : 208)., ketika manusia melaksanakan shalat, maka tidak cukup hanya pelaksanaan ritual shalat itu sendiri, tapi harus sampai kepada makna esensial dari shalat tersebut yaitu kesalehan dan penghambaan kepada Allah SWT.

Jika makna esensial ibadah telah mengakar kuat dalam hati manusia, maka kesalehan masyarakat akan terbentuk, sehingga agama tidak dipandang sebagai simbol ritual saja yang kosong dari esensi agama itu sendiri, tetapi esensi agama itu akan tergambar dalam seluruh aktivitas kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) maupun berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannas).

Dengan demikian yang dikatakan "ideal" dalam kehidupan beragama ialah jika ada keseimbangan antara simbolisasi dan substansi. Artinya, jika terdapat kewajaran dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju kepada suatu nilai yang tinggi). Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru mempunyai nilai intrinsic (makna esensial). Justru segi ini harus ditumbuhkan lebih kuat dalam masyarakat. Agama tidak mungkin tanpa simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam makna taslim (ucapan,'assalamu'alaikum...") pada penutupannya.

DAFTAR PUSTAKA http://jawharie.blogspot.com/2010/10/agama-antara-simbol-ritual-dan-makna.html http://jawharie.blogspot.com/2010/10/pemahaman-agama-antara-simbol-ritual.html

You might also like