You are on page 1of 14

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan.

Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3] Struktur hadits Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (hadits riwayat Bukhari) Sanad Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syubah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :

Keutuhan sanadnya Jumlahnya Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi. Matan

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:

Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi hadits Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan) Berdasarkan ujung sanad Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh: hadits sebelumnya) Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'. Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhatihatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits). Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap

penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi. Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya). Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3 Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut. Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

Berdasarkan jumlah penutur Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat) Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain : o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur) o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'

Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Sanadnya bersambung;

2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya. 3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits. Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, muallaq, mudallas, munqati atau mudal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

[Jenis-jenis lain Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta. Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur. Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat) Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi) Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawiperawi yang lain. Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi, hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

Periwayat hadits

Sampul kitab hadits Sahih Bukhari

Periwayat hadits yang diterima oleh Muslim 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H) Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H) Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H) Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H) Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H) Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273). Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik Sunan Darimi, Ad-Darimi

[sunting] Periwayat hadits yang diterima oleh Syi'ah Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad SAW, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:

Ushul al-Kafi Al-Istibshar Al-Tahdzib Man La Yahduruhu al-Faqih

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil, tamtsil, tahrif, dan takyif.1 Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan AlHadits. 1. Tahrif Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar'i berarti: merubah lafazh Al-Asma'ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi, atau maknamaknanya. Tahrif ini dibagi menjadi dua: Pertama: Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa 2 Adalah 3 Disini ada penambahan huruf lam ( .) Demikian pula perkataan orangorang Yahudi, 4 ketika mereka diperintah untuk mengatakan 5 Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid'ah yang memanshubkan6 lafazh Allah dalam ayat : "Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung." [An-Nisa' : 164]. Kedua: Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid'ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah

(kasih sayang), dengan iradatul in'am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni'mah (nikmat). 2. Ta'thil Ta'thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar'i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta'ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta'thil yaitu : ta'thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil. MACAM-MACAM TA'THIL Ta'thil ada bermacam-macam. a. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma' dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu'tazilah. b. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya. c. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya. d. Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta'thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta'thil melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta'thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu'athil (pelaku ta'thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).

3. Takyif Takyif artinya bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum Salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa', -bersemayam-. Beliau menjawab : "Istiwa' itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya adalah bid'ah."7 Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat

tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya. 4. Tamtsil Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta'ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi'liyah-Nya. Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama : Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta'ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan 'Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua. Kedua : Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.8 ILHAD TERHADAP ASMA' DAN SIFAT-SIFAT ALLAH Pengertian ilhad terhadap Asma' dan Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti. Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut untuk menyebut hal-hal yang bid'ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham "Ittihad". Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah tahrif, ta'thil, takyif, tamtsil dan tasbih.9 Khabar ( ,) kata Ibnul-Mandhuur, merupakan bentuk tunggal dari kata akhbaar (.) (Definisinya) yaitu : berita yang datang kepadamu tentang orang yang kamu akan diberitahu. Ibnu Sayyidih berkata : Khabar adalah berita. Jamaknya adalah akhbaar, dan al-akhaabiir adalah jamak dari akhbaar. Al-Istikhbaar dan at-takhabbur adalah pertanyaan mengenai khabar. Dalam hadits Al-Hudaibiyyah : Bahwasannya beliau shallallaahu alaihi wa sallam mengutus seseorang dari suku Khuzaaah menanyakan berita (takhabbar) tentang Quraisy. Takhabbar maksud mencari tahu. Dikatakan : Takhabbaral-khabar was-takhbara maksudnya : jika ia bertanya tentang khabar untuk mengetahuinya [Lisaanul-Arab, hal. 1090]. Khabar adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam kehidupan kita. Baik kita mengkhabarkan sesuatu kepada orang lain atau kita dikhabarkan sesuatu oleh orang lain. Dua-duanya silih berganti mengisi. Bila kita membicarakan check dan re-check, tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah dalam kaitannya penerimaan khabar oleh kita dari orang lain. Syariat telah menetapkan satu ketentuan bagi seorang muslim untuk selalu check dan re-check terhadap khabar yang sampai kepadanya. Mari kita perhatikan kisah Nabi Sulaimaan alaihis-salaam dengan burung Hud-hud sebagaimana yang difirmankan Allah taala : * *

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai Arsy (singgasana) yang besar. Berkata Sulaiman: Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta [QS. An-Naml : 22-27]. Saat Nabi Sulaimaan alaihis-salaam menerima khabar burung Hud-hud perihal Ratu Balqis dan kerajaannya, beliau tidak langsung menerima atau menolaknya. Namun beliau menjalankan apa yang diatur syariat dengan melakukan check dan re-check atau tatsabbut (meneliti) terhadap khabar tersebut. Banyak orang yang keliru memahami makna tatsabbut terhadap penerimaan khabar. Apabila datang seseorang yang dikenal keadilannya atau kejujurannya menyampaikan satu khabar kepadanya, dengan cepat ia membenarkannya dan sekaligus melakukan konsekuensi dari apa yang dipesankan oleh khabar tersebut. Oleh karena itu, jika ada yang mendebat salah seorang di antara mereka terhadap khabar yang disampaikannya, maka dengan cepat ia menukas : Telah mengkhabarkan kepadaku seorang yang aku percayai begini dan begitu.. Seakanakan urusannya selesai sampai kalimat tersebut tanpa ada celah untuk meragukan atau sekedar menambah yakin terhadap keakuratan berita dengan melakukan penelusuran khabar yang disampaikannya itu. Tentu saja semua hal itu dimungkinkan karena barangkali khabar yang sampai kepada kita tersebut bertolak belakang dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya atau bertolak belakang dengan khabar yang disampaikan oleh orang selainnya. Kewajiban tatsabbut atau tabayyun (check dan re-check) tidaklah bertentangan dengan asas diterimanya khabar dari seorang perawi yang adil.[1] Akan tetapi ada sebagian khabar yang memang dibutuhkan tatsabbut dan tabayyun lebih. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tatsabbut dan tabayyun terhadap khabar : 1. Ke-adil-an pembawa berita, yaitu baligh, berakal, selamat dari sifat fasiq, dan dan hal-hal yang merusak muruah (harga diri)-nya. Allah taala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu [QS. Al-Hujuraat : 6].

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata : .

Dalam ayat ini terdapat dalil diterimanya khabarul-waahid jika ia seorang yang aadil. Karena perintah tatsabbut dalam ayat ini hanya saat menukil khabar orang fasiq. Barangsiapa yang tetap kefasiqannya, batallah perkataannya dalam khabar (yang ia sampaikan) berdasarkan ijma. Dikarenakan khabar adalah amanah, dan kefasiqan adalah alasan yang membatalkannya [Tafsir Al-Qurthubiy, 16/312, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhaariy; Daarul-Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423]. Tatsabbut terhadap khabar yang dibawa orang fasiq adalah satu kewajiban, apalagi jika ia dikenal sebagai orang yang selalu menyampaikan segala sesuatu yang ia dengar, tidak peduli benar atau salah. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : . : . : . . . :

Dan telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Muadz Al-Anbariy : Telah menceritakan kepadaku ayahku ( ;)Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahmaan bin Mahdiy mereka berdua (Muadz Al-Anbariy dan Abdurrahman bin Mahdiy) berkata : Telah menceritakan kepada kami Syubah, dari Khubaib bin Abdirrahmaan, dari Hafsh bin Aashim, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Cukuplah seseorang dianggap pendusta jika ia mengatakan setiap apa yang ia dengar [Diriwayatkan oleh Muslim no. 5]. 2. Ke-dlabth-an pembawa khabar, yang menyangkut hapalan dan keakuratannya dalam membawa khabar. Banyak orang yang meremehkan perkara ini. Mereka hanya mencukupkan diri dengan sifat ke-adil-annya, sehingga ketika khabar itu diterima, nampak padanya pertentangan antara pembawa khabar satu dengan yang lainnya.

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Aliy Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Ashmaiy, dari Ibnu Abi Zinaad, dari ayahnya, ia berkata : Aku telah menjumpai di Madinah seratus (orang) yang kesemuanya dapat dipercaya (mamuun) yang tidak diambil haditsnya. Dikatakan bahwa mereka itu bukan ahlinya [Shahih Muslim, hal. 24; BaitulAfkaar, Cet. Thn. 1419]. Satu contoh saya bawakan dalam kasus ini :

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An-Namiriy : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samuurah, dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa) [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837]. Para ulama mengatakan bahwa Hammaam dalam riwayat ini telah keliru dalam membawakan hadits yang mengatakan yudammaa (dilumuri darah). Hammaam adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan lebih dlabth darinya dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari Qataadah; dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) bukan yudammaa. Mereka adalah : Saiid bin Abi Aruubah (ia adalah orang yang paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah), Abaan bin Yaziid Al-Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii, dan Ghailaan bin Jaami [Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388 dan Taisiru Uluumil-Hadits oleh Amr bin Abdil-Munim hal. 81]. Betapa banyak orang jujur membawakan khabar tidak sebagaimana mestinya ?. Oleh karena itu, bukanlah satu aib jika kita melakukan check dan re-check sehingga khabar yang sampai pada kita benar-benar akurat. 3. Pemahaman yang baik dan penguasaan yang komprehensif terhadap maksud khabar/berita. Adakalanya satu khabar dibawakan oleh seorang yang wara dan kuat hapalannya, namun ia tidak memahami hakekat apa yang disampaikannya itu dari orang yang ia ambil khabar-nya. Saat menyampaikannya, maka khabar yang disampaikannya bercampur dengan perkataannya, dimana perkataannya itu tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan maksud dan pemahaman orang yang ia ambil khabar-nya. Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

Dan banyak di antara orang-orang yang membawakan perkataan tanpa bermaksud untuk berdusta; akan tetapi pengetahuannya tentang hakekat perkataan manusia membuatnya membawakan perkataan tersebut tidak sesuai dengan lafadh dan maksud yang mereka kehendaki, sehingga menyulitkan sebagian orang dan menjadi penghalang (untuk menerima perkataannya itu) [Minhaajus-Sunnah 6/303]. Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhaan : .

Sesungguhnya umatku pada hari kiamat nanti akan dipanggil dengan keadaan bersinarsinar karena bekas wudlu pada anggota tubuh mereka ; maka barangsiapa yang mampu

memanjangkan penyiraman ghurrah-nya, maka lakukanlah [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 136 dan Muslim no. 246]. Perkataan maka barangsiapa yang mampu memanjangkan penyiraman ghurrah-nya, maka lakukanlah merupakan perkataan Abu Hurairah radliyallaahu anhu, sebagai pembawa khabar.[2] Sebagian ulama mengkritik bahwasannya perkataan Abu Hurairah tersebut timbul dari pemahamannya atas sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yang ia bawakan. Dan ini keliru. Sebab, makna ghurrah secara bahasa[3] adalah wajah, dan wajah bukanlah sesuatu yang dapat dipanjangkan dalam pembasuhannya. Oleh karena itu, tidak ada dalil shahih dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yang menunjukkan disunnahkannya memanjangkan pembasuhan ghurrah. Ini adalah madzhab Maalikiyyah, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan Al-Albaaniy rahimahumullah.[4] Dengan sebab jeleknya pemahaman ini pulalah muncul penisbatan yang tidak benar terhadap diri Al-Imam Asy-Syafiiy rahimahullah bahwasannya beliau berpendapat untuk melafadhkan niat dalam shalat, dan juga ibadah-ibadah yang lainnya.[5] Inilah tiga hal yang hendaknya diperhatikan bagi kita semua dalam penerimaan khabar. Apalagi jika khabar tersebut berkaitan dengan pelanggaran kehormatan sesama muslim atau menyangkut kepentingan masyarakat banyak (keamanan, keadaan darurat, fitnah, dan yang lain sebagainya). Walaupun contoh-contoh yang diberikan adalah seputar riwayat hadits, namun semoga penekanan urgensitas serta penerapannya di kehidupan sehari-hari dapat dipahami oleh ikhwan semua, terutama yang nulis artikel ini. Wallaahu alam bish-shawwaab. [Abu Al-Jauzaa Perumahan Ciomas Permai, http://abul-jauzaaa.blogspot.com].

[1] Sebagaimana penjelasan para ulama terhadap QS. Al-Hujuraat : 6. [2] Sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (1/236) lihat pula Ahkaamuth-Thahaarah Al-Wudluu oleh Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan, hal. 386. [3] Lihat pemaknaan ini dalam Lisaanul-Arab 5/14, Mukhtaarush-Shihah hal. 197, dan AlFaaiq melalui perantaraan Ahkaamuth-Thahaarah hal. 383. [4] Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

Lafadh ini tidak mungkin berasal dari sabda beliau shallallaahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya ghurrah itu bukanlah terletak di tangan, melainkan di wajah. Dan memanjangkannya tidaklah memungkinkan. Dikarenakan ghurrah masuk pada kepala, maka

(memanjangkannya) tidak dinamakan ghurrah [Ilamul-Muwaqqiiin 6/316 melalui Tamaamul-Minnah hal. 92; Daarur-Rayah, Cet. 5]. [5] Yaitu, sebagian ulama Syafiiyyah telah salah paham terhadap ucapan Al-Imam AsySyafiiy rahimahullah :

Apabila seseorang berniat untuk melakukan haji dan umrah, maka itu mencukupi jika ia tidak melafadhkannya. Namun itu tidak seperti halnya shalat yang tidak sah kecuali dengan mengucapkannya [Al-Majmuu, 3/243]. Mereka beranggapan bahwa mengucapkan dalam shalat itu adalah mengucapkan niat. AnNawawiy rahimahullah telah menjelaskan ini : :

Para shahabat kami berkata : Orang yang mengatakan ini telah keliru. Bukanlah yang dimaksudkan oleh Asy-Syaafiiy dengan mengucapkan dalam shalat adalah mengucapkan niat, akan tetapi maksudnya adalah (mengucapkan) takbir [lihat At-Taaalum, oleh Bakr Abu Zaid, hal 100 melalui perantaraan Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin oleh Masyhur Hasan Salmaan, hal. 94]. Hadits Qudsi berasal dari kata quds yang berarti menyucikan ALLOH SWT. hadits Qudsi ialah hadits yang oleh Rasululloh SAW disandarkan kepada ALLOH SWT. Maksudnya Rasululloh SAW meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam ALLOH SWT. Maka rasul menjadi perawi kalam ALLOH SWT ini dari lafal Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadits qudsi maka dia meriwayatkannya dari Rasululloh SAW dengan disandarkan kepada ALLOH SWT, dengan mengatakan: `Rasululloh SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan: `Rasululloh SAW mengatakan: ALLOH SWT telah berfirman atau berfirman ALLOH SWT .` Contoh yang pertama: `Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasululloh SAW mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya Azza Wa Jalla, tangan ALLOH SWT itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu siang atau malam hari.` Contoh yang kedua: `Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasululloh SAW berkata: ` ALLOH SWT berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia

menyebut-KU dikalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam kalangan orang banyak lebih dari itu.` Perbedaan Quran dengan hadits Qudsi Ada beberapa perbedaan antara Quran dengan hadits qudsi yang terpenting di antaranya ialah: a. Al-Quranul Karim adalah kalam ALLOH SWT yang diwahyukan kepada Rasululloh dengan lafalnya. Selain sebagai MUKJIZAT, Al Quran menantang orang2 arab (bahkan seluruh dunia) untuk membuat yang seperti Al Quran bahkan satu surah sekalipun (Al Israa(17):88,Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.). Sedang hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat. b. Al- Quranul karim hanya dinisbahkan kepada ALLOH SWT, sehingga dikatakan: ALLOH SWT telah berfirman, sedang hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada ALLOH SWT, sehingga nisbah hadits qudsi kepada ALLOH SWT itu merupakan nisbah yang dibuatkan. Maka dikatakan: `ALLOH SWT telah berfirman atau ALLOH SWT berfirman.` Dengan kata lain, Al Quran adalah LANGSUNG firman ALLOH SWT, sementara hadits qudsi adalah firman ALLOH SWT yg disampaikan Rasululloh SAW. c. Seluruh isi Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadits-hadits qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadits qudsi itu sahih, terkadang hasan (baik ) dan terkadang pula da`if (lemah). ***untuk mengetahui hadits lebih lengkap, bisa dibaca di sini, sedangkan untuk pembagian hadits bisa dibaca di sini.*** d. Al-Quranul Karim dari ALLOH SWT, baik lafal maupun maknanya. Maka dia adalah wahyu, baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadits qudsi maknanya saja yang dari ALLOH SWT, sedang lafalnya dari Rasululloh SAW. hadits qudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits diperbolehkan meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja. Dengan kata lain, untuk Al Quran kita mesti kutip ayatnya sebelum memberikan penjelasan ttg makna. Sedangkan untuk hadits qudsi, kita bisa menyampaikan maknanya saja. e. Membaca Al-Quranul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca di dalam salat. `Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur`an itu`. Hal ini tertera jelas di QS. AlMuzzammil(73):20,Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai

balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Nilai ibadah membaca Al Quran juga terdapat dalam hadits: `Barang siapa membaca satu huruf dari Al Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf`. Sedang hadits qudsi tidak disuruh untuk dibaca di dalam salat. ALLOH SWT memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Maka membaca hadits qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadits mengenai membaca Al Quran bahwa pada setiap huruf akan mendapatkan kebaikan.

You might also like