You are on page 1of 11

SISTEM KOMUNIKASI MASSA DI INDONESIA DAN DAMPAK TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT Komunikasi massa adalah proses dimana

organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Komunikasi massa itu sendiri sudah digunakan di Indonesia selama bertahun-tahun sebagai media untuk melakukan komunikasi kepada seluruh bangsa Indonesia.
Sistem Komunikasi massa di Indonesia mempunyai beberapa ciri yaitu terlembaga dan lembaga itu sendiri adalah media, pesan yang disampaikan dari komunikasi massa ini bersifat umum dan terbuka untuk masyarakat luas ataupun umum dan pesannya juga bersifat satu arah tanpa komunikator tahu feedback yang diberikan komunikan, biasanya komunikannya bersifat heterogen karena tidak memandang suku,ras,agama, dan lain-lain,dan yang terakhir media massa yang digunakan akan disampaikan secara serempak.

Media massa dipandang punya kedudukan strategis untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Dengan begitu media massa merupakan instrumen fungsi pragmatis dari pihak di luar media massa ataupun bagi pemilik media massa sendiri dalam menghadapi masyarakat.

D.1. Hubungan Media Massa dan Masyarakat Hubungan media massa dengan masyarakat telah di bahas dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Pertama, hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah perkembangan setiap media massa dalam masyarakat sendiri. Pola hubungan tersebut merupakan hasil refleksi sejarah yang di perkirakan turut berperan dalam perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya persamaan dari beberapa institusi media pada semua masyarakat, pada awalnya media juga menerapkan kegiatan dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh institutasi nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun memenuhi harapan khalayaknya. Media mencerminkan, menyajikan dan kadangkala berperan serta secara aktif untuk memenuhi kepentingan nasional yang di tentukan oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat. Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan para anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh penguasa, merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang berkesinambungan. Ketiga, sebagai suatu institusi yang di perlukan bagi kesinambungan sistem sosial masyarakat industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan lainnya, dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif ini di sebutkan harapan masyarakat terhadap media dan peran yang seharusnya di mainkan oleh media. Hal ini di karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media massa berperan untuk membuat rasa nyaman terhdap publik atau komunikannya. Jika, masyarakat mulai tidak suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi maka televisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami miskin pendapatan. Pendapatan televisi terbesar di peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut. Sebut saja misalnya, sebuah perusahaan akan mengiklankan produknya di salah satu stasiun televisi. Jika rating program yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun televisi lainnya yang memiliki penonton dengan jumlah besar.

D.2. Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat Sebagaimana telah di singgung di atas, komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada

komunikan dengan menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya tayangan kekerasan di televisi dewasa ini seperti SERGAP di RCTI, PATROLI di Indosiar dan SIDIK di TPI merupakan fenomena baru dalam tayangan televisi di Indonesia. Dalam format tayangannya, program siaran berbau kekerasan tersebut mewabah ke stasiun televisi lainnya. Bahkan TPI yang mengusung misi sebagai televisi pendidikan juga turut membuat format tayangan ini. Awalnya menurut Indira Hadi Purnama pemimpin redaksi Patroli Indosiar tujuan program Patroli milik statsiun televisinya untuk menghilangkan jenuh masyarakat (komunikan). Kejenuhan masyarakat selama ini yang selalu di sodorkan dengan berita-berita politik ini yang di sebut Indira sebagai proses pembaharuan program tayangan dan mencuri pasar media. Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiuntelevisi kreative dan melahirkan program siaran yang baru. Maka, Indira memilih untuk membuat tayangan Patroli dengan mengedepankan berita-berota kriminal. Tayangan ini sendiri di liput secara langsung oleh wartawan stasiun televisi tersebut. Hubungan antara aparat kepolisian dan wartawan yang di tempatkan dalam desk berita kriminal sejauh ini sangat harmonis. Setiap kali akan melakukan penangkapan, polisi akan memberitahukan kepada wartawan. Dalam tayangannya, seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh Polisi. Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan menembak pelaku tersebut. Seluruh proses penggerebekan, pengejaran dan penembakan pelaku kriminal ini di rekam oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak jarang bercak darah bekas penembakan terlihat jelas oleh masyarakat sebagai penonton setia tayangan tersebut. Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti ini dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Sedikitnya delapan program televisi bertema kriminalitas, dengan berbagai nama program, ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya. Bukan hanya itu, tayangan kekerasan lainnya seperti Smack Down di LatiVi juga

merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan yang di tampilkan oleh media massa di Indonesia. Tayangan Smack Down sendiri awalnya tahun 2000 telah di siarkan oleh stasiun televisi TPI. Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas, di samping infotainment dan tayangan bertema klenik-supranatural, menjadi primadona dengan menempati ranking-ranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak. Mencermati fenomena ini, jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada masyarakat. Pengakuan seorang Pelaku Pencurian Kendaraan bermotor di SelamanYigyakakarta kepada Indira Pemimpin Redaksi Patroli Indosiar menyebutkan dirinya menggunakan motiv operandi yang di siarkan oleh Patroli menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat di bantahkan oleh siapapun. Kenyataan ini lah yang membuat risau masyarakat di seluruh Indonesia terhadap tayangan kekerasan tersebut. Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers. Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara "keras". Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton. Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak

ada ruginya berpuasa mencerdaskan.

dari

tontonan

televisi

yang

tidak

Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-banyaknya. Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia kini baru sebatas organisasi yang terdiri dari elite-elite media dan akademisi pemerhati media. Di masa depan, organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal. Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar rumput dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau informasi apa pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton. D.3. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-anak Tayangan kekerasan juga berpengaruh terhadap pola prilaku anak. beberapa efek yang di timbulkan oleh tayangan ini di antaranya sebagai berikut: a. Jadi Agresor dan Tak Pedulian Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 -

1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995). Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa. Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. b. Nonton untuk pelarian Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak. Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung. Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak

menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan." Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain? Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif). Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS. Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual. Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer. Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain," ujar Singer. Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.

Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer. Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka. Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV." Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton." Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi." Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi janganjangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu? c. Orang Tua Contoh Model Anak Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih

dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV. Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu. Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru". Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu. d. Waktu Ideal Untuk Anak-Anak Menonton TV Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.

Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anakanak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak. Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka. Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia. Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anakanak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Tayangan berbau kekerasan yang marak di stasiun televisi di Indonesia saat ini berpengaruh dalam merubah pola perilaku dan budaya masyarakat Indonesia. Perubahan prilaku ini berlangsung dari hari ke hari, sehingga di khawatirkan akan terjadi pergeseran moral di kalangan masyarakat Indonesia. 2. Tayangan kekerasan di Indonesia semakin hari semakin marak. Hal ini di karenakan, televisi Indonesia belum mampu mendesain program yang lebih memiliki nilai-nilai edukatif. 3. Televisi Indonesia belum menggunakan manajemen media dengan menyesuaikan jam tayang program kekerasan tersebut.

B. Saran Dari hasil pembahasan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Stasiun televisi Indonesia harus menyesuaikan jam tayang untuk program tayangan kekerasan ini 2. Harus adanya mediawatc yang mengontrol tayangan kekerasan di Indonesia. Lembaga ini tentunya bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. KPI harus lebih ketat mengawasi program siaran di seluruh stasiun televisi Indonesia.

You might also like