You are on page 1of 14

TINJAUAN PUSTAKA DEMAM BERDARAH DENGUE 1.

Definisi Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. 2. Epidemiologi Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di daerah endemik (Gubler, 2002).

Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas epidemiknya (WHO, 2000). Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat 14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB. 3. Faktor Risiko Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan spektrum luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang serius. Pada area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak spesifik, terutama pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi virus pada umumnya. Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien yang mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya strain dan serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap individu, usia penderita, faktor genetik dari pasien (WHO, 1997; Gubler, 1998). 4. Etiologi Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk genus flavivirus dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.

Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah : Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain lain. 5. Jarak terbang 100 meter Nyamuk betina bersifat multiple biters (mengigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat) Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi Patogenesis Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006). Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme aferen (penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai system humoral, seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi, pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktifasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor. Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun

melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat memalui monnosa-binding protein, maupun melaui antibody. Komponen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis virus dengue. Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon dan interferon berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi lain limfosit B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan antibodi. Limfosit T mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul yang berperan sebagai regulator dan efektor. Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B, makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi makrofag untuk menghancurkan virus dengue. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akn mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

6.

Gambaran Klinis Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau

dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue, atau syndrome syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, ditandai oleh : demam tinggi yang terjadi tiba-tiba manifestasi perdarahan hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin. 7. Langkah Diagnostik Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes laboratorium dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-spesifik virus dengue dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan mendeteksi antibody pada serum pasien (Guzman, 2004). Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui: a. Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru. Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain : Leukosit Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat. Trombosit Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. Hematokrit Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin 20% dari hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam Hemostasis Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Protein/albumin Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma Elektrolit Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan Serelogi Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu: NS1 Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi menghilang setelah 60-90 hari sekunder).

virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue. b. Pemeriksaan Radiologis Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang, belakang dan perasaan lelah. 8. Diagnosis Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table berikut: DD/DBD DD Derajat Gejala Demam disertasi 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, DBD I artralgia Gejala diatas, bendung (+) II Gejala diatas, Trombositopenia ada kebocoran plasma Trombositopenia Lab Leukopenia Trombositopenia, tdk ada kebocoran plasma Serologi dengue (+)

ditambah dgn uji (<100.000), bukti

ditambah dgn perdarahan III spontan Gejala diatas ditambah dengan kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab, serta IV gelisah) Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak

(<100.000), bukti ada kebocoran plasma Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

terukur Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

9.

Tata Laksana Protokol dibagi dalam 5 kategori :

1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila : Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat. Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk dirawat 2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag Rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut : 1500+ (20 x (BB dalam kg 20 ) Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24 jam: Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam. Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%. 3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20% Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah

dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan

4.

Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi,

pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID 5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD mendapat pertolongan. Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48

jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan. Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht. Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 1518cmH2O Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor. Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan.

10.

Prognosis Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi

11. 1.

Pencegahan Kegiatan ini meliputi : Pembersihan jentik - Program pemberantasan serang nyamuk (PSN) - Menggunakan ikan (cupang, sepat)

2.

Pencegahan gigitan nyamuk - Menggunakan kelambu - Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles) - Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju) - Penyemprotan

REFERENSI Epstein, Judith E. dan Stephen Hoffman. 2006. Tropical Infection Disease Principles, Pathogens, and Practice: Typhoid Fever. Elsevier Inc. Widodo, Djoko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sinha A, Sazawal S, Kumar R, et al: 1999. Typhoid fever in children aged less than 5 years. Lancet 354:734737.18. Lin FY, Vo AH, Phan VB, et al: The epidemiology of typhoid fever inthe Dong Thap Province, Mekong Delta region of Vietnam. Am J Trop Med Hyg 62:644648, 2000. Crump JA, Luby SP, Mintz ED: The global burden of typhoid fever. Bull World Health Org 82:346353, 2004. Departemen Kesehatan RI. Data Surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995 p43. Data Surveialns tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2996. P. 37.

Gubler, DJ: Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century. Trends Micriobiol 10:100, 2002. Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. World Health Organization: Strengthening implementation of the global strategy for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and control. Report of the Informal Consultation, World Health Organization, October 1820, 1999, Geneva, 2000. World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment and Control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 1997. Gubler DJ: Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 11:480, 1998. Guzman MG, Kouri G: Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis 8:69, 2004.

You might also like