You are on page 1of 2

Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat

perbedaan secara fisik. Hal ini wajar karena manusia dilahirkan dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Namun apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan prasangka, walhasil bisa mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi terganggu. Apapun nama dan bentuk dari prasangka ini, kesemuanya bermuara pada apa yang disebut rasisme. Istilah rasisme sering kali kita gunakan untuk melukiskan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang luas berikut implikasinya. Sikap antipati (dislike) terhadap suatu kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi sudah menjurus pada sikap dan pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Yang terakhir ini, bagaimanapun bentuk dan polanya, boleh dikatakan merupakan cacat kemanusiaan paling universal. Hitler tanpa merasa bersalah, telah menggunakan teori-teori rasis untuk membenarkan pembantaian massal yang ia lakukan terhadap orang-orang Yahudi Eropa, demi alasan menjaga kesucian bangsa, tepatnya perempuan-perempuan Jerman dari pengaruh kooptasi dan pencampuran Yahudi. Pun hal ini juga dilakukan para penguasa di Amerika Selatan dengan menerapkan hukum Jim Crow yang membatasi pergerakan kulit hitam demi menjaga kemurnian supremasi kulit putih. Dan belakangan politik Apartheid di Afrika Selatan adalah contoh sejenis bagaimana rasisme berkembang hingga sekarang dan bisa terjadi dimanapun. Konsep modern tentang rasisme sebagai pembedaan manusia berdasar klasifikasi ciri-ciri fisik (terutama warna kulit) tidaklah ditemukan sampai abad kedelapan belas. Istilah untuk ras dalam bahasa-bahasa Eropa Barat berkaitan dengan peternakan hewan dan hubungan-hubungan aristokratis. Pada tahun 1611, sebuah kamus Spanyol menyertakan definisi-definisi atas raza, suatu penggunaan sebutan yang bersifat menghormati suatu kasta atau kualitas kuda-kuda asli dan penggunaan yang bersifat merendahkan, yang mengacu pada silsilah yang meliputi nenek moyang bangsa Yahudi atau Moor. Rasisme secara harfiah untuk pertama kalinya digunakan secara umum pada tahun 1930-an, ketika doktrinasi ilmiah adalah penting untuk menggambarkan teori-teori yang digunakan Nazi sebagai dasar holocaust-nya terhadap orang Yahudi. Sejak saat itu istilah rasisme begitu populer untuk mewakili sikap tidak menyukai terhadap kelompok lain. Namun, fenomena rasis sebenarnya sudah ada jauh jauh hari sebelum istilah rasisme digunakan. Dan pengertian yang ada, tidak melebihi daripada sejenis prasangka kelompok yang didasarkan pada kebudayaan, agama, atau ranah kekerabatan dan kekeluargaan semata. Dalam buku Rasisme: Sejarah Singkat- ini yang merupakan alihbahasa dari buku Racism: A Short History, George M. Fredrickson, sang penulis, menyadari betul bahwa rasisme bukan sekadar suatu sikap atau sekumpulan kepercayaan yang terpatri dalam masyarakat. Rasisme mengungkapkan diri pada praktik-praktik, lembaga, dan struktur yang dibenarkan dan diakui oleh suatu perasaan berbeda yang mendalam. Lebih jauh rasisme bisa membentuk suatu tatanan rasial, tidak sekadar berkubang dalam teori tentang perbedaan manusia. Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa rasisme selalu beriringan dengan apa yang disebut kekuasaan.

Dengan merunut perspektif historis, Fredrickson berusaha menggambarkan secara ringkas kisah pasang surut rasisme (meskipun, sayang, belum keruntuhannya) sejak Abad Pertengahan hingga sekarang. Dalam uraian ilmiahnya ini, Ia meletakkan posisi rasisme melebihi konsepsi awalnya, dan begitu jelas perbedaanya dengan bahasan kulturalisme. Menurutnya mengkonstruksi kebudayaan secara historis, yang bisa berubah seiring ruang dan waktu, sama saja menciptakan antitesis konsep ras itu sendiri. Kekuasaan sebagai legitimasi legal para penguasa, acapkali dijadikan pembenar penyusupan ideologi dan penanaman hegemoni rasis dalam struktur masyarakat. Tidak sekadar pembedaan pada unsur dominan yang ada, seperti ras, agama, dan budaya, tetapi sudah menjangkau pada ranah yang sebenarnya tidak bisa diutak-atik lagi karena merupakan kodrati dari Tuhan, seperti gender. Pembedaan gender hingga sekarang masih bisa kita temukan di dalam masyarakat kita. Perempuan lebih dipandang sebelah mata sebagai makhluk yang secara fisik dan sosial lebih tidak dominan dibanding kaum laki-laki. Ketika perlakuan yang timpang terhadap rakyat yang didasarkan pada ras dibirokratisasikan dan dirasionalisasikan dalam pengertian Weberian, orang dapat mengatakan bahwa rasisme telah dimodernisasikan. Hasil rezim rasis yang paling mematikan, Holocaust, memerlukan lebih dari sekedar ideologi dan sentimen antisemit. Holocaust tergantung sepenuhnya pada metode-metode birokrasi modern dan teknologi maju. Dan setidaknya rasisme modern dengan kekuasaan sebagai tangannya selalu ditunjang adanya ideologi resmi yang jelas-jelas rasis yang dipraktikkan melalui hukum-hukum yang melarang perkawinan antar-ras. Kemudian segregasi sosial telah dilegalkan dan jika pemerintahan itu secara formal bersifat demokratis, anggota-anggota kelompok luar disingkirkan dari pemangkuan jabatan publik atau pelaksanaan hak suara. Pada akhirnya, akses yang dimiliki terhadap berbagai sumber daya dan peluang ekonomi begitu terbatas sehingga sebagian besar tetap berada dalam kemiskian atau sengaja dimiskinkan. Pada bulan September 2001, Perserikatan Bangsa-Bangsa mensponsori suatu Konferensi Dunia mengenai Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia, dan Intoleransi yang terkait di Durban, Afrika Selatan. Penggunaan istilah yang begitu banyak ini apakah petanda adanya semacam keraguan untuk memaknai atau mewakili semua permusuhan dan penindasan yang memprihatinkan yang sering terjadi. Menyadari bahwa rasisme yang telah mundur pada paruh abad silam sebagai akibat dari Holocaust dan penumbangan Jim Crow di Amerika Serikat dan Apartheid di Afrika Selatan-apakah ini berarti konferensi PBB tersebut dapat dipandang sebagai sejenis pidato perpisahan kepada suatu zaman rasisme. Semua rezim rasis itu telah ditumbangkan, dan ideologi-ideologi yang menjadi landasannya agaknya telah bangrut. Tetapi persolan terakhir yang harus dihadapi didalam epilog ini ialah apakah kematian mereka juga berarti bahwa virus-virus rasisme juga telah dimusnahkan ataukah virus itu hanya bermutasi menjadi bentuk-bentuk baru dan tetap ganas. Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai, karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.

You might also like