You are on page 1of 15

SISTEM PEMERINTAHAN MUKIM DAN GAMPONG DI ACEH PENDAHULUAN

Setelah bergulirnya reformasi di Indonesia, melahirkan pola pemerintahan yang tidak lagi tersentralisasi. Bentuk pemerintahan yang paling bawah pun kembali dimungkinkan berlangsung beragam, tidak lagi seragam, sebagaimana ditentukan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Beberapa UU yang lahir pasca reformasi, semakin membuka peluang bagi otonomi yang lebih besar bagi daerah, antara lain UU No. 22/1999 tentang Otonomi di Daerah diganti dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Khusus bagi Aceh, terdapat UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.1 Setelah reformasi pula, terjadi amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu pengaturan penting yang mendapat tempat dalam perubahan tersebut adalah mengenai Pemerintahanan di Daerah. Dalam Pasal 18 disebutkan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Pemda mengatur sendiri urusan rumah tangga menurut asas otonomi dan perbantuan. Pemda menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Dalam Pasal 18A disebutkan, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU. Sementara Pasal 18B disebutkan, negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU.2 Pelbagai UU tersebut telah memberi kebebasan dan kewenangan yang besar kepada Aceh dalam melakukan pengelolaan kekayaan alam dan juga kebebasan menjalankan sistem pemerintahan menurut karakteristiknya. Khusus mengenai sistem pemerintahan yang demikian, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pengelolaannya. Harus diingat bahwa aturan yang bagus, bila tidak dilaksanakan, tidak

1 Sulaiman Tripa, Prospek dan Tantangan Pemerintahan Gampong di Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 2 Desember 2009. 2 Penghormatan secara khusus kepada Pemerintah Daerah yang bersifat khusus, masuk dalam 174 ketentuan baru (25 butir tidak diubah) pascaamandemen UUD Tahun 1945, yang telah dilakukan empat kali perubahan. Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999. Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000. Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001. PerubahanKeempat, disahkan 10 Agustus2002

akan berarti apa-apa. Jadi dalam hal ini, apa yang tertulis di dalam kitab UU, sesungguhnya membutuhkan implementasinya dalam kenyataan. Seandainya kewenangan tersebut bisa diemban dengan baik, maka di sinilah bisa dikategorikan bahwa sistem pemerintahan yang kita punya dianggap bisa mewakili harapan rakyat yang sesungguhnya. Di tengah pengaturan UU tersebut, timbul pertanyaan, bahwa bisakah sistem Pemerintahan Gampong dan Mukim bisa dikategorikan sebagai otonomi yang asli? Dalam hal ini, otonomi yang memungkinkan gampong dan mukim mengurus sendiri sesuai kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan tanggung jawab negara. Sebagian orang menyebutkan otonomi asli itu sudah tidak ada, sebab semua urusan sudah menjadi miliki negara.

ISTILAH SISTEM PEMERINTAHAN Untuk menemukan konsep sistem pemerintahan, maka harus dilihat dua hal yang memadankan istilah sistem dan pemerintahan. Syafaruddin menyebutkan bahwa: 1. Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari sub-sub sistem yang saling berinteraksi, berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sistem meliputi input, proses, output, feed back, dan siklus. 2. Sistem Pemerintahan merupakan suatu kesatuan pemerintahan (negara) yang terdiri dari sub-sub sistem pemerintahan (eks, leg, yud) yang saling berinteraksi, berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai suatu tujuan (konstitusi). 3. Sistem pemerintah meliputi proses input, proses, output, feed back, dan siklus pemerintahan.3 Di samping itu, istilah pemerintahan juga mencakup perbuatan, cara atau urusan pemerintah. Pemerintah merupakan subjek yang berupa badan, lembaga, atau organisasi yang memiliki kekuasaan memerintah. Di Indonesia, istilah pemerintahan bisa dirujuk, yang mencakup pemerintah dalam arti luas (eksekutif, legislatif, yudikatif), pemerintah dalam arti sempit (eksekutif saja). Menurut CF Strong (1960, dalam buku Modern Political Constitusions) bahwa pemerintah dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah dalam arti luas bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer; (2) kekuasaan legislatif; dan (3) kekuasaan keuangan. Sedangkan SE Finer (1974, dalam buku Comparative Government) bahwa istilah pemerintahan (goverment) memiliki 4 arti yakni (1) kegiatan atau proses memerintah; (2) masalah-masalah kenegaraan; (3) pejabat yang dibebani tugas untuk memerintah; (4) cara, metode, atau sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah.4 SEJARAH Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat
3 4

Syafaruddin, 2010, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Universitas Lampung. Ibid.

untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). DesaDesa di Jawa sebenarnya juga menyerupai republik kecil, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradicional dalam pemerintahan Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984). Di samping itu, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Diantara kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga desa itu sendiri. Secara khusus, adanya pengaturan tentang otonomi Desa dimaksudkan untuk merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-pemain ekonomi dalam skala global. Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak mungkin dihadapi oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai. Alasan inilah yang menyebabkan pengaturan kewenangan penting.5 Bila diukur-ukur, mukim dan gampong bisa dimasukkan dalam konsep pengertian tersebut. Mukim dan gampong di Aceh memiliki batas tersendiri. Merunut pada Pasal 2 UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006), menyebutkan pembagian daerah di Aceh pada empat lingkup, yakni (1) Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota; (2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan; (3) Kecamatan dibagi atas mukim; (4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pengaturan sekarang ini, sudah melalui perjalanan sejarah yang panjang dalam konteks pengelolaan pemerintahan mukim dan gampong di Indonesia. Terdapat empat masa penting yang harus dilihat dalam perkembangan pemerintahan mukim dan gampong, yakni: 1. Masa Kerajaan Aceh; 2. Masa Orde Lama (1945-1979); 3. Masa Orde Baru (1979-1999); 4. Masa Orde Reformasi (1999-sekarang). Masing-masing masa tersebut memiliki struktur sendiri. Pemakaian pola berdasarkan struktur tersebut masing-masing, tidak bisa dilepaskan oleh peta politik yang terjadi. Dengan demikian, dalam lingkup yang luas, permasalahan pemerintahan mukim dan gampong sebenarnya tidak bisa lepas dari bagaimana perkembangan politik yang berlangsung di sini.

EB Sitorus, 2008, Naskah Akademik UU Desa.

Tabel: Perbandingan Struktur Pemerintahan MASA KERAJAAN ACEH Sultan Panglima Sagoe Ulee Balang Imeum Mukim Keuchik MASA ORDE LAMA (1945-1979) Pemerintahan Pusat Pemerintahan Provinsi Pemerintahan Keresidenan Pemerintahan Kabupaten Pemerintah Kewedanaan Pemerintahan Mukim Pemerintahan Gampong. MASA ORDE BARU (1979-1999) Pemerintahan Pusat Pemerintahan Daerah Tingkat I Pemerintahan Daerah Tingkat II Pemerintah Kecamatan Pemerintahan Desa / Pemerintah Kelurahan. MASA ORDE REFORMASI (1999 - sekarang) Pemerintahan Pusat Pemerintahan Provinsi Pemerintahan Kabupaten/kota Pemerintah Kecamatan Pemerintahan Mukim Pemerintahan Gampong

Struktur organisasi pemerintahan Aceh pada era Kerajaan Islm


Sumber, dikutip dari Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2009, A Study of Panglima Laot, UN FAO, Banda Aceh [berdasarkan A. Mukti Ali, 1970. An Introduction to the Government of Acheh's Sultanate. Yogyakarta: Jajasan Nida; Lee Kam Hing, 1995. The Sultanate of Aceh; Ibrahim Alfian, 1999. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh; McCarthy, John F. 2005. Between Adat and State: Institutional Arrangements on Sumatra's Forest Frontier. Human Ecology 33,1, p.39].
Sultan

Sagoe (Panglima Sagoe)

Sagoe Panglima Sagoe

Sagoe (Panglima Sagoe)

Mukim (Ule Balang)

Mukim (Ule Balang)

Mukim (Ule Balang)

Gampong (Geuchik)

Gampong (Geuchik)

Gampong (Geuchik)

Kawom (Panglima Kawom)

Kawom (Panglima Kawom)

Kawom (Panglima Kawom)

1) Sejarah Mukim Dalam berbagai kajian mutakhir, ditemukan salah satu kesimpulan bahwa keberadaan mukim di Aceh tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masjid. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, terbentuknya Mukim menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jumat. Menurut Mazhab Syafii untuk

mendirikan salat Jumat diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.6 Gambaran tersebut menampakkan bahwa keberadaan mukim tidak lepas kaitannya dengan Islam. Paling tidak ada tiga ciri yang menunjukkan bahwa sistem Pemerintahan Mukim berasaskan Islam. Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat Mukim dan Gampong. Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah atau tanah Tuhan. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam kehidupan masyarakat.7 Dalam perkembangannya kemudian, di Aceh kemudian terjadi pemolaan mukim itu sendiri. Di kawasan Aceh Besar, pada masa Kesultanan Aceh, beberapa Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim. Tiap gabungan Mukim dipimpin oleh seorang Ulee Balang. Federasi Mukim seperti di atas berlangsung hingga kekuasaan Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Pola seperti ini juga ditemukan dalam masyarakat Pidie misalnya Mukim Pidie, Mukim Aree, dsb, hingga ke Samalanga.7 Berdasarkan fakta sejarah tersebut, sangatlah beralasan apabila kemudian Snouck Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk Mukim telah mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayeuk maupun di kenegerian-kenegerian di luarnya.8 Dengan berpedoman pada naskah Qanun Syara Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada 1270 Hijriah, atau pada masa berkuasanya Sultan Alauddin Mansyur Syah (mulai memerintah pada Tahun 1257 H), dapat disimpulkan bahwa keberadaan Mukim sebagai persekutuan gampong-gampong di Aceh mulai mendapatkan penataan sebagaimana mestinya ketika berkuasanya Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah atau sekitar Tahun 913 Hijriah atau 1507 Masehi.9 Uraian di atas menjelaskan keberadaan lembaga Mukim dalam struktur pemerintahan di Aceh memiliki sejarah yang panjang. Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar l945 (UUD 45) dinyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan eenheidsstaat. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula kedalam daerah-daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi. Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat
Taqwaddin, 2009, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat terhadap Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat dikaitkan dengan Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Aceh, USU, Medan. Selain pendapat bahwa tiap satu Mukim terdiri dari 40 orang laki-laki dewasa yang sudah wajib mendirikan shalat Jumat, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa satu Mukim itu terdiri dari 1.000 orang laki-laki dewasa, sebagaimana pendapat HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, Hlm. 315. Bandingkan Snouck Hugronje, Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, Hlm. 91-93. 7 Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005. hal. 63. 7 Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980, Hlm. 192. 8 Snouck Hugronje, Op.cit., Hlm. 90-91. 9 Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang dalam Qanun Syara Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin, Penerbit UKM, Bangi-Malaysia, 2005, Hlm. 95.
6

lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti Desa (Jawa dan Bali), Nagari (Minangkabau), Dusun dan Marga (Palembang) dan lain-lain. Termasuk ke dalam kategori tersebut adalah Gampong di Aceh. Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa; (1) negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, dan (2) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan mukim. Di samping itu, Pemerintah juga menelurkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat Mukim.(Ps 7 UU No. 44 Th 1999). Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat(3) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh yang diatur kembali dengan Qanun Proinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Tugas dan fungsi mukim, menurut sistem pemerintahan daerah di Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditindaklanjuti pengaturannya dengan Qanun Aceh atau qanun provinsi. Mukim menurut pasal 3 dan 4 Qanun tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang meliputi: a. Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi, pembantuan, dan segala urusan pemerintahan lainnya. b. Menyelenggarakan pembangunan ekonomi, fisik, dan mental spiritual. c. Menyelenggarakan pelaksanaan Syariat Islam, pendidikan, adat istiadat, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat d. Menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat e. Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, adalah : a. melakukan pembinaan masyarakat; b.melaksanakan kegiatan adat istiadat; c. menyelesaikan sengketa; d.membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam; e. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan f. membantu pelaksanaan pembangunan. Untuk dapat terselenggaranya pemerintahan mukim, mengenai susunan organisasi, tatakerja dan sekretaris imeum mukim, pedoman menurut Pasal 10 ayat(3) diatur dengan keputusan gubernur. Tugas dan fungsi mukim , menurut sistem pemerintahan dalam UU No.22 Tahun 1999 , UU No. 18 Tahun 2001 (lahirnya Qanun 4/2003 ttg Mukim) maupun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Qanun 9/2008, Qanun 10/2008), diberikan oleh Bupati dan

Walikota. Dan pertanggungan tugas dan fungsi, dilakukan secara berjenjang yaitu ke camat dan camat meneruskan kepada Bupati atau Walikota. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintah Mukim Dalam Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam disebutkan bahwa kedudukan mukim sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong. Sebagai sebuah organisasi pemerintahan, Mukim melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang ada padanya dan dapat mengkoordinir Geuchik yang berada dalam wilayah tugasnya. 2) Sejarah Gampong Gampong terbentuk pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh. Pada masa itu, sebuah gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah keagamaan dengan sebutan teungku meunasah. Gampong merupakan pemerintahan bawahan dari mukim.11 Menurut Hurgronje, gampong itu merupakan satuan teritorial terkecil. Sebuah gampong dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu gapura dengan jalan raya (rt atau rt), suatu jalan yang melewati blang atau lampoih serta tamah yang menuju ke gampong lain. Dulu setiap gampong mencakup satu kawom (satuan-satuan baik dalam artian territorial maupun kesukuan) atau sub kawom yang hanya akan bertambah warganya dengan perkawinan dalam lingkungan sendiri, atau paling tidak, dengan meminta dari warga sesuku yang bermukim berdekatan.12 Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja, yakni tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong.13 Lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong.14 Namun, ada juga yang menegaskan bahwa meunasah merupakan sebutan lain dari sebuah gampong. Gampong dipimpin oleh keuchik. Dalam sejarahnya, jabatan itu turun-temurun, dilantik imuem mukim. Keuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulbalang maupun gampong lain. Keuchik menguasai satu gampong, namun ada juga yang mengepalai 2-3 gampong. Jadi keuchik betul-betul embah, teungku ma (keuchik sebagai bapak dan teungku sebagai ibu).15 Dibandingkan dengan tugasnya dalam memelihara tertib-aman dan mengusahakan kesejahteraan penduduk dengan sepenuh kemampuannya, maka pendapatan keuchik sangatlah kurang. Menurut Hurgrunje, hanya sebatas ha katib atau
Rusdi Sufi, dkk, 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Hlm. 33-39) 12 Hurgronje (1985: 67) 13 Sulaiman Tripa, Legalitas Gampong di Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002. 14 Iskandar A Gani, 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998. 15 (Hurgrunje, 1985: 72-73).
11

hak cupng (imbalan untuk bantuan yang diserahkan dari keuchik itu untuk pernikahan wanita warga gampongnya) saja, atau kira-kira tarif seperempat ringgit (semaih atau seemas). Sedangkan untuk jasa-jasa yang diberikan keuchik kepada warganya akan dikerjakan dengan ikhlas dan tekun, sesuai dengan jumlah hadiah yang diberi yang disebut ngoen bloe ranub (uang pembeli sirih).17 Mengenai Pemerintahan Gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999. Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Qanun No. 3/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Kecamatan dalam Provinsi NAD, Pasal 1 ayat (5) Qanun No. 4/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Mukim dalam Provinsi NAD, dan Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat. Konsep ini juga digunakan dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No. 7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dari konsep gampong, jelas bahwa gampong terletak di bawah mukim yang dipimpin keuchik dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Qanun No. 3/2003, disebutkan kedudukan gampong tidak lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, Mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat. Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi Camat berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong. Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di wilayahnya adalah Pemerintah Gampong. Ada beberapa penjelasan penting dari Qanun No. 5/2003 tentang gampong, yakni: Pertama, Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah Mukim (Pasal 2), yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam (Pasal 3). Gampong mempunyai fungsi penyelenggaraan pemerintahan (desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan), pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, syariat Islam, percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa hukum (Pasal 4). Kewenangan gampong antara lain kewenangan yang sudah ada, berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kewenangan melaksanakan tugas perbantuan yang disertai biaya (gampong berhak menolak bila tanpa pembiayaan) (Pasal 5). Kedua, gampong dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan sesuai kondisi sosial-budaya masyarakat, dan dapat dihapus dan digabung bila tidak lagi memenuhi persyaratan (Pasal 6), seperti jumlah
17

(Hurgrunje, 1985: 75-77)

penduduk minimal, luas wilayah, jumlah dusun/jurong, kondisi sosial budaya, potensi ekonomi dan sumber daya alam, serta sarana dan prasarana pemerintahan (Pasal 8). Ketiga, mengenai susunan Pemerintahan Gampong yang diselenggarakan Pemerintah Gampong (Keuchik, Imuem Meunasah, Perangkat Gampong) dan Tuha Peut (Pasal 10). Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 11) yang bertugas dan kewajiban memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampong, membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syariat Islam, menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat, memajukan perekonomian, memelihara ketentraman, menjadi hakim perdamaian (dibantu Imuem Meunasah dan Tuha Peut), mengajukan Rancangan Reusam Gampong, mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong, serta mewakili Gampongnya di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 12). Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, keuchik bertanggung jawab kepada rakyat Gampong pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu diminta oleh Tuha Peuet Gampong, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Imeum Mukim sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun yaitu pada akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu diminta oleh Imeum Mukim (Pasal 14 ayat (2) dan (3)). Hal ini dikarenakan keuchik dipilih secara langsung (Pasal 15) dengan masa jabatan lima tahun (Pasal 16). Keempat, perangkat Pemerintah Gampong selain keuchik adalah imuem meunasah dan perangkat gampong. Imeum Meunasah mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi memimpin kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran meunasah dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam (Pasal 25). Dalam Penjelasan Pasal 10, keuchik dan imeum meunasah mempunyai kedudukan yang sejenjang dimana keuchik bertanggung jawab pada pelaksanaan pemerintahan, sedangkan imeum meunasah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan agama. Sementara perangkat gampong adalah pembantu dan bertanggung jawab keuchik, serta diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Keuchik, setelah mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong (Pasal 27). Perangkat terdiri atas Sekretariat Gampong (sekretaris dan staf: Urusan Pemerintahan, Perencanaan dan Pembangunan, Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial, Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, pemuda, umum, dan urusan keuangan), serta unsur pelaksana yang sangat teknis seperti tuha adat, keujreun blang, peutua seuneubok, pawang laot, haria peukan, dll. Serta, yang mengurusi wilayah seperti Kepala Dusun/Jurong (Pasal 28). Kelima, Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 34). Tugas dan fungsi Tuha Peut antara lain meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan Syariat Islam dan adat, memelihara kelestarian adat istiadat, melaksanakan fungsi legislasi, melaksanakan fungsi anggaran, melaksanakan fungsi pengawasan, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyakarat kepada Pemerintah Gampong (Pasal 35). Tuha Peut Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat, pemuka adat, dan cendikiawan (Pasal 31). Lembaga ini dibentuk melalui musyawarah Gampong (Pasal 33). Dalam lembaga ini juga terdapat sekretariat (sekretaris dan staf yang diangkat dan diberhentikan keuchik) (Pasal 38). Dalam Pasal 1 Angka (7) disebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong adalah sebagai pengganti istilah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menurut UU No. 5/1979 atau Badan Perwakilan Desa menurut UU No. 22/1999. Dalam Pasal 37 dan

Penjelasannya malah dijelaskan tentang larang rangkap jabatan untuk menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan pada Keuchik, seperti pernah terjadi pada saat berlakunya UU No. 5/1979, Ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dirangkap oleh Keuchik/Kepala Desa. Keenam, masalah keuangan gampong, bersumber dari Pendapatan Asli Gampong (hasil usaha Gampong, hasil kekayaaan Gampong, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong masyarakat, zakat, dan lain-lain pendapatan Gampong yang sah), bantuan dari Pemerintah Kabupaten/Kota (pajak dan retribusi, dana perimbangan, bantuan lain dari Pemerintah atasan, sumbangan dari pihak ketiga, dan pinjaman Gampong), di mana Sumber Pendapatan Gampong yang sudah dimiliki dan dikelola oleh Gampong, tidak boleh dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah yang lebih atas tingkatnya (Pasal 42). Sekarang kita akan melihat dari sisi Pemerintah Desa. Dalam Pasal 1 ayat (12) UU No. 32/2004 dan Pasal 1 ayat (5) PP No. 72/2005 tentang Desa, disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada penjelasan penting dari UU No. 32/2004 tentang desa diatur dalam Bab XI untuk kita lihat, yakni: Pertama, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa antara lain urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan, dan urusan pemerintahan lainnya (Pasal 206). Tugas perbantuan disertai dengan pembiayaan (Pasal 207). Kedua, pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas perakarsa masyarakat (Pasal 200 ayat (2)). Ketiga, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 200 ayat (1)). Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat desa: pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan) (Pasal 202). Kepala Desa dipilih langsung dengan masa jabatan enam tahun (Pasal 203 dan Pasal 204). Dalam Pasal 14 PP No. 72/2005 disebutkan bahwa kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, di mana wewenang kepala desa mencakup memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, mengajukan rancangan peraturan desa, menetapkan peraturan desa, menyusun dan mengajukan anggaran perbelanjaan desa, membina masyarakat dan perekonomian, koordinasi pembangunan, mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan, serta melaksanakan wewenang lain sesuai peraturan perundang-undangan. Keempat, perangkat desa sebagaimana disebut Pasal 202 adalah sekretaris desa dan perangkat desa yang merupakan pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sementara dalam Pasal 211 ditentukan bahwa di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan (bertugas membantu pemerintah desa dan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa) yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Kelima, Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat (Pasal 209). Anggota badan ini adalah wakil penduduk desa yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, dengan masa jabatan enam tahun (Pasal 210).

Keenam, menurut Pasal 212, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban (menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan). Pendapatan didapat dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dana perimbangan, bantuan dari Pemerintah, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Dalam penjelasan di atas, dapat dipetakan beberapa perbedaan antara Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa, yakni sebagai berikut: Tabel: Beda Gampong dan Desa

NO. 1. 2. 3.

VARIABEL Peraturan Perundangan Struktur Pemerintahan Tugas

PEMERINTAHAN GAMPONG UU No. 18/2001 Qanun No. 5/2003 Di bawah Mukim menyelenggarakan pemerintahan melaksanakan pembangunan membina masyarakat meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaan pembangunan pembinaan kemasyarakatan syariat Islam percepatan pelayanan penyelesaian sengketa hukum kewenangan yang sudah ada berdasarkan aturan perundangundangan kewenangan melaksanakan tugas perbantuan yang disertai biaya

PEMERINTAHAN DESA UU No. 32/2004 PP No. 72/2005 Di bawah Kecamatan penyelenggaraan pemerintahan pembangunan kemasyarakatan penyelenggaraan pemerintahan pembangunan kemasyarakatan urusan

4.

Fungsi

urusan

5.

Kewenangan

Pembentukan, Pembubaran, Penggabungan

6.

Eksekutif

prakarsa masyarakat dengan memperhatikan persyaratan dan sosial budaya dapat dihapus dan digabung bila tidak lagi memenuhi persyaratan: jumlah penduduk minimal, luas wilayah, jumlah Dusun/Jurong, kondisi sosial budaya, potensi ekonomi dan SDA, sarana dan prasarana pemerintahan. Keuchik dan Imuem Meunasah Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Imuem adalah penanggung jawab keagamaan

urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa urusan pemerintahan kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa tugas pembantuan (disertai biaya) urusan pemerintahan lainnya. pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas perakarsa masyarakat.

Pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa)

Tugas Eksekutif

7.

Legislatif

8.

Pertanggungjawaban Eksekutif

9. 10.

Perangkat Eksekutif Keuangan Anggaran dan

Tugas dan kewajiban Keuchik Tugas Kepala Desa: memimpin Pemerintahan menyelenggarakan urusan membina kehidupan beragama dan pemerintahan, pembangunan pelaksanaan Syariat Islam dan kemasyarakatan memelihara kelestarian adat memimpin penyelenggaraan memajukan perekonomian pemerintahan desa memelihara ketentraman mengajukan rancangan menjadi hakim perdamaian peraturan desa mengajukan Rancangan Reusam menetapkan peraturan desa mengajukan RAPBG menyusun dan mengajukan mewakili Gampongnya di dalam anggaran perbelanjaan desa dan di luar Pengadilan membina masyarakat dan Tugas dan fungsi Imeum Meunasah perekonomian memimpin kegiatan keagamaan koordinasi pembangunan peningkatan peribadatan mewakili desa di dalam dan di peningkatan pendidikan agama luar pengadilan dll melaksanakan wewenang lain sesuai peraturan perundangundangan. Tuha Peuet Gampong Badan Permusyawaratan Desa mitra kerja Pemerintah Gampong berfungsi menetapkan peraturan Unsur: ulama, tokoh masyarakat, desa bersama kepala desa, pemuka adat, cendikiawan menampung dan menyalurkan Dibentuk melalui musyawarah aspirasi masyarakat. Gampong Tugas dan fungsi Tuha Peut a. meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam dan adat b. memelihara kelestarian adat c. fungsi legislasi d. fungsi anggaran e. fungsi pengawasan f. menampung dan menyalurkan aspirasi masyakarat Keuchik bertanggung jawab kepada rakyat Tuha Peut dapat meminta pertanggung jawaban Keuchik Keuchik menyampaikan laporan kepada Imeum Mukim Sekretaris sekretaris desa Staf (beberapa urusan) perangkat desa (PNS) masalah keuangan gampong, keuangan desa adalah semua hak bersumber dari Pendapatan Asli dan kewajiban desa yang dapat Gampong (hasil usaha Gampong, dinilai dengan uang, serta segala hasil kekayaaan Gampong, hasil sesuatu baik berupa uang swadaya dan partisipasi, hasil gotong maupun berupa barang yang royong masyarakat, zakat, dan lain- dapat dijadikan milik desa lain pendapatan Gampong yang sah), berhubung dengan pelaksanaan bantuan dari Pemerintah hak dan kewajiban Kabupaten/Kota (pajak dan retribusi, (menimbulkan pendapatan, dana perimbangan, bantuan lain dari belanja dan pengelolaan Pemerintah atasan, sumbangan dari keuangan). Pendapatan di dapat pihak ketiga, dan pinjaman dari Pendapatan asli desa, bagi Gampong), di mana Sumber hasil pajak daerah dan retribusi Pendapatan Gampong yang sudah daerah kabupaten/kota, bagian

dimiliki dan dikelola oleh Gampong, tidak boleh dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah yang lebih atas tingkatnya. 11. Lembaga Lainnya Unsur pelaksana teknis (tuha adat, keujreun blang, peutua seuneubok, pawang laot, haria peukan, dll) Unsur pimpinan wilayah (Kepala Dusun/Jurong) Sumber: Diadaptasi dari Tripa, 2003.

dana perimbangan, bantuan dari Pemerintah, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan (bertugas membantu pemerintah desa dan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa).

HUBUNGAN PEMERINTAHAN: KECAMATAN, MUKIM, GAMPONG Menurut Pasal 2 ayat (2) Qanun Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Kecamatan, Pemerintahan Mukim merupakan unsur pelaksana dari Pemerintah Kecamatan dan berada di bawah Pemerintahan Kecamatan. Menurut ketentuan tersebut, terlaksananya tugas dan fungsi Pemerintahan Mukim sangat tergantung kepada penugasan dan atau pembagian tugas dan fungsi yang diberikan oleh Camat. Pasal 2 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dikatakan, Pemerintahan Mukim membawahi beberapa gampong. Hubungan ini seyogianya makin kuat, apalagi kedudukan Mukim dan Gampong bisa diposisikan masuk dalam lingkup masyarakat adat, yang turut diatur dalam UN Declaration on the Rights of Indigeous People 2007. Di samping itu, diatur juga Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU 44/1999 ttg Keistimewaan Aceh, UU 11/2006 ttg Pemerintahan Aceh, Qanun 3/2003 tentang Kecamatan, Qanun 4/2003 tentang Mukim, QANUN NAD 5/2003 ttg Pemerintahan Gampong, QANUN Aceh 9/2008 ttg Pembinaan Kehidupan Adat, QANUN Aceh 10/2008 ttg Lembaga Adat, QANUN Aceh 3/2009 ttg Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim, Ints Gub 5/2008 ttg Penguatan Pem Mukim & Gampong, Qanun-qanun kabupaten/kota. Keberadaan mukim dan gampong, sebagai otonomi yang asli, terkait juga dengan posisi hak ulayat. Tanah Ulayat adalah tanah, hutan, batang air, danau, laut dan gunung yang terdapat dalam wilayah Mukim yang bersangkutan. Tanah Ulayat adalah tanah-tanah yang terdapat di wilayah Mukim yang bukan untuk perorangan. Semua penduduk yang mempunyai mata pencaharian bertani, dapat membuka tanah tersebut untuk diusahakan atas izin Imuem Mukim, tetapi tidak untuk dimiliki. Pengaturan pemanfaatannya diatur oleh Imuem Mukim setelah mendengar pendapat Tuha Peuet Mukim. Hutan Ulayat adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim. STRATEGI PENGUATAN Ada beberapa faktor pendukung penguatan mukim dan gampong, yakni: Pertama, legalitas perundang-undangan. Legalitas yuridis ini, kemudian harus diikuti dengan aturan pelaksanaannya yang optimal. Kedua, sumberdaya manusia untuk melaksanakan pemerintahan sudah tersedia, walau mungkin jumlahnya sangat kecil. Ketiga, dukungan keuangan pembangunan. Keempat, kesiapan masyarakat untuk kembali ke sistem Pemerintahan Mukim dan Gampong. Untuk kembali kepada Pemerintahan Mukim dan Gampong bukanlah tanpa kesulitan. Formulasi pemecahan masalah ini dapat dikatakan tidaklah mudah, karena masalah ini berhubungan dengan tiga alasan. Pertama, saat ini masyarakat Indonesia nyaris tidak memiliki tradisi dan budaya bottom-up. Kedua, dalam beberapa konsep kekuasaan, kondisi di atas dalam kenyataan turut diperkuat dengan naiknya golongan

kaum bermodal ke pentas kekuasaan. Implikasinya, mereka melakukan pendiktean tatanan yang beda dengan demokrasi yang berlangsung. Dengan rezim Orde Baru, pembalikkan top-down menjadi bottom-up hanyalah mimpi buruk semata. Ketiga, sistem demokrasi yang bersifat top-down diperparah lagi dengan sistem ekonomi masa Orde Baru yang kapitalistik-oligarki. Ada beberapa faktor penghambat, yakni: Pertama, pola pikir yang telah terbentuk selama hampir empat puluh tahun. Pola pikir ini terbentuk sedemikian rupa dalam sebuah paradigma yang berdasarkan konsep kekuasaan Orde Baru. Kedua, aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang mantap, sehingga ini akan menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Ketiga, birokrasi yang masih berbelit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang hingga sekarang masih dirasakan adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan berbelit yang dipraktekkan oleh aparatur pemerintahan. Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan. Kelima, keikhlasan pemerintah. Berdasarkan faktor pendukung dan penghambat di atas, kita harus melihat kembali kondisi kekinian. Bahwa ada tiga pemosisian yang sangat penting untuk digunakan dalam melihat Mukim dan Gampong: (1) sebagai masyarakat adat; (2) sebagai lembaga adat; (3) sebagai jenjang Pemerintahan. Dari ketiga pemosisian tersebut, memiliki implikasi pemberlakuan yang berbeda. Malah dari pemosisian ini sesungguhnya yang akan menggambarkan sejauhmana otonomi asli itu dikenal. Untuk langkah dan strategi, untuk urutan pertama, sosialisasi stakeholders, terutama berkaitan dengan apa yang menjadi keharusan tafsir sebelumnya. Di samping itu, langkah dan strategi ini juga ditentukan oleh sejauhmana politicall will pemerintah: kebijakan, keberpihakan, dan anggaran. Untuk ke depan membutuhkan perencanaan, bukan hanya dari Pemerintah, tapi juga stakeholders: Melakukan apa dan bagaimana serta oleh siapa? Serta Penyusunan langkah: masing-masing memiliki peta: (a) Stakeholders sudah memperhitungkan berbagai implikasi dan konsekuensi dalam hal kembali ke Mukim (b) Jalan keluar panjangnya jenjang pemerintahan [butuh penyerdehanan]. Terakhir penguatan mentalitas dan kelembagaan vs penguatan fisik: Tidak cukup dengan kantor dan anggaran. Dalam lingkup makro, kita harus memperlakukan konsep sebagai satu kesatuan untuk pemahaman bersama. Juga kita harus menemukenali gejala pluralisme hukum. Serta menemukan kedudukan mukim dalam regulasi (yg terang), vs mukim sebagai kesatuan masyarakat adat, membutuhkan pembacaan hukum yang ada dalam masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA Sulaiman Tripa, Prospek dan Tantangan Pemerintahan Gampong di Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 2 Desember 2009. Syafaruddin, 2010, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Universitas Lampung. EB Sitorus, 2008, Naskah Akademik UU Desa. Taqwaddin, 2009, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat terhadap Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat dikaitkan dengan Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Aceh, USU, Medan. HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961. Snouck Hugronje, Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985.

Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005. Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980. Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang dalam Qanun Syara Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin, Penerbit UKM, Bangi-Malaysia, 2005. Rusdi Sufi, dkk, 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Sulaiman Tripa, Legalitas Gampong di Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002. Iskandar A Gani, 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam. Perda No. 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Perda No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Qanun Aceh No. 4/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Pemerintah Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Aceh No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

You might also like