You are on page 1of 23

METODE PEMBELAJARAN SEJARAH

Sejarah Tak Sekedar Narasi Pembelajaran Sejarah di sekolah, senantiasa memiliki persepsi yang kurang baik.Ketertarikan siswa terhadap mata pelajaran sejarah selalu dianggap rendah.Bahkan, Sejarah dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang membosankan.Kecenderungan yang muncul adalah, persepsi bahwa sejarah itu tidak memiliki manfaat atau kegunaan. Pada era globalisasi yang dihadapi saat ini, tak pelak para pembelajar dan bangsa ini mengejar kemoderenisasian.Sains dan teknologi menjadi tujuan utama yang dikejar untuk mengikuti tuntutan jaman.Sehingga tak dapat dipungkiri pelajaran Ilmu Sosial, terlebih sejarah, kurang diminati lagi. Pola pikir bangsa ini telah tertuju hanya pada prospek pekerjaan lalu bagumam, Apakah ilmu tersebut berguna bagi pekerjaanku mendatang? Namun, bagaimanapun juga tidak ada ilmu yang tak berguna seperti halnya sejarah.Bahkan seorang tokoh besar bangsa ini yaitu presiden pertama Indonesia, Sukarno, pernah berkata bahwa, Negara yang besar tidak akan melupakan sejarahnya.Bila suatu Negara melupakan sejarahnya sendiri bagaimana Negara tersebut dapat menunjukkan identitasnya? Notabene bangsa Indonesia adalah Negara yang besar, apabila lupa akan sejarah kebudayaannya, tak menutup kemungkinan jika budaya-budayanya akan dicuri bangsa lain. Sehingga menjadi satu pembelajaran besar agar bangsa Indonesia lebih melek sejarah. Namun, saat ini Sejarah masih saja dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan dan tidak menarik, karena harus menghafalkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau, yang antara lain: mencakup nama-nama raja, kerajaan, dan angka tahun, sementara IPS dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang penting (dinomorduakan), karena di dalamnya terdapat materi sejarah. Pendek kata, suatu hal yang pasti adalah minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah lebih kecil dibandingkan dengan minat siswa terhadap mata pelajaran yang dianggap penting (Ilmu Alam dan Ilmu Pasti). Kondisi ini diperparah dengan adanya anggapan bahwa sejarah dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak ada gunanyanya karena yang dipelajari adalah peristiwa pada masa lampau, sehingga dianggap tidak dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam kehidupan kekinian dan apalagi masa depan. Pelajaran sejarah juga sering dianggap sebagai pelajaran hafalan pada rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang Sehingga pelajaran
1

sejarah menjadi suatu pelajaran yang membosankan (Siswo Dwi Martanto, 2009). Lalu bagaimana pembelajaran sejarah agar menarik dan diminati oleh kalangan pelajar? Permasalahan Dalam Pembelajaran Sejarah Beberapa hal yang umumnya menjadi permasalahan dalam pembelajaran sejarah di kalangan pelajar diantaranya adalah masalah tujuan pembelajaran sejarah, metode pembelajaran, materi pelajaran, profesionalisme guru, minat siswa, dan lain sebagainya. Yang pertama adalah masalah tujuan pembelajaran sejarah yang terkadang dilupakan dari sang pengajar. Kesuksesan suatu pembelajaran hanya terindikasi dari nilai yang didapat oleh murid.Tak peduli murid tersebut dapat memahami makna sejarah yang sesungguhnya atau pun tidak.Pembelajaran sejarah hanya dianggap sebagai formalitas yang harus disisipkan dalam kurikulum sekolah.Soekarno memberikan penilaiain terhadap sejarah, bahwa sejarah tidak terbatas hanya menghafal angka tanggal dan tahun melainkan bagaimana kita dapat menginterpretaskan dan menganalisa suatau sejarah (Solichin Salam, 1966: 135). Tujuan pembelajaran sejarah sendiri meliputi tiga aspek.Yakni dapat menghafal tokoh dan waktu suatu peristiwa, dapat mengetahui kesalahan yang lalu agar tidak diulangi kembali dan dapat memecahkan masalah terkini dengan kejadian yang telah terjadi. Namun penekanan pembelajaran yang disampaikan masih sebatas menghafal nama, tokoh dan tanggal suatu peristiwa saja. Kedua, adalah masalah metode pembelajaran sejarah yang dimana siswa biasanya hanya menjadi peserta pembelajaran sejarah yang pasif, dan guru dianggap sebagai sumber ilmu utama dalam kegiatan pembelajaran.Dan hal tersebut masih sulit untuk dirubah hingga saat ini.Karena hal tersebut telah mengakar dalam sistim pendidikan kita. Dengan kata lain, metode pembelajaran sejarah sanagat mempengaruhi tujuan pembelajaran sejarah itu sendiri. Sejarah bukan sekedar narasi, tidak hanya kisah-kisah menyenangkan. Karena itu pendekatannya tak harus selalu dari ilmu sejarah, tetapi juga dapat memanfaatkan bantuan antropologi, sosiologi, dan disiplin lain yang bisa membantu ( Julius Paul, 1995:188 ). Permasalahan yang lainnya adalah masalah materi pelajaran sejarah yang disajikan begitu rumit dan mengulang pelajaran yang sudah diajarkan.Hal tersebut mengakibatkan pelajaran sejarah hanya dihafalkan saja tanpa pemahaman yang cukup.Hal ini sangat kontras dengan tujuan pembelajaran sejarah yang membutuhkan pemahaman siswa agar dapat diterapkan lebih lanjut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah dalam
2

kurikulum tingkat SMA dan SMP yang materinya hampir sama. Materi tersebut dapat dilihat pada materi kelas satu SMP dan kelas dua SMA semester satu yang materinya hampir sama ( Sri Syamsiar, 1995:26). Hal ini mengakibatkan materi sejarah terkesan sangat banyak dan monoton.Sehingga hal ini sangat membosankan bagi siswa untuk dipelajari. Selain itu masalah profesionalisme guru juga memiliki andil besar dalam pemahaman siswa mengenai sejarah. Guru memiliki andil besar dalam proses pembelajaran muridmuridnya. Apabila seorang guru mengajar dengan gaya yang membosankan, maka murud tersebut akan merasa bosan dan malas untuk mengikuti pelajaran sejarah. Dan hal itu sangat fatal, mengingat minat siswa sangat penting dalam proses belajar mengajar. Minat siswa dipengaruhi oleh dua faktor.Yang pertama ialah minat dari dalam diri siswa itu sendiri. Karena tanpa adanya minat yang mendorong dari dalam siswa tersebut maka pembelajaran sejarah tidak akan tersampaikan dengan baik. Kedua, adalah metode atau pelajaran sejarah yang disampaikan.Hal tersebut dapat mempengaruhi ketertarikan siswa dalam mempelajari sejarah tersebut. Minat siswa juga dapat dipengaruhi oleh penempatan jam pelajaran sejarah yang biasanya sering diletakkan di akhir pelajaran. Hal tersebut menjadikan siswa tersebut lebih fokus pada keinginan untuk segera pulang, atau pelajaran Sejarah yang ditempatkan di tengah-tengah pelajaran yang rumit, seperti Matematika dan Fisika. Matematika ulangan dan Fisika ada PR, maka sejarah-pun jadi korban kepusingan siswa yang kemudian diwujudkan dengan tidak konsentrasinya siswa terhadap pelajaran sejarah Solusi Untuk Pembelajaran Sejarah Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sejarah yang efektif dan efisien, seperti: metode tanya jawab, metode karya wisata, metode bermain peran (role playing), dan lain-lain ( Sri Syamsiar, 1995: 26). Pengajaran dalam bentuk tanya jawab akan memberi kesempatan kepada murid-murid untuk merefleksikan keingintahuan dan kebutuhannya akan informasi yang lebih lengkap. Pada saat yang sama, dengan meminta jawaban atas kunci pertanyaan, guru bisa mengetahui kemajuan kelas tersebut. Metode pembelajaran dengan karya wisata bertujuan untuk mendekatkan pembelajar sejarah dengan objek pembelajaran, sehingga siswa dapat mengetahui secara langsung bukti sejarah yang telah diajarkan oleh guru. Bermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa
3

lalu, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu tempat atau waktu tertentu, metode tersebut dapat mengembangkan pengetahuan siswa mengenai tokoh-tokoh dalam sejarah, serta peristiwa-peristiwa yang telah diperankan. Hal lain yang dapat mendukung ketertarikan siswa terhadap suatu pelajaran adalah metode mengajar seorang guru terhadap mata pelajaran itu sendiri. Sebagai contohnya adalah ketika seorang guru memberi tugas kepada muridnya.Memberikan tugas pada siswa adalah suatu hal yang bagus. Dengan kata lain, siswa diberikan kesempatan untuk belajar sendiri. Namun jika tugas itu terlalu berlebihan, tentu akan mendapat respons yang kurang baik dari siswa. Dalam hal ini, guru harus bisa mengatur kapan siswa itu harus mengerjakan tugasnya sendiri dan kapan harus berkelompok. Selain itu, memberikan reward dan punishment atas hasil kerja siswa, memberikan image tersendiri bagi seorang guru.Artinya, guru memberikan tugas kepada siswa tidak sebagai formalitas, tetapi memang memiliki tujuan tersendiri. Sebagai seorang guru, memilih suatu metode mengajar harus disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan metode mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa hanya ada metode mengajar yang sesuai dengan metode belajar.Apabila guru mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru harus membiarkan siswa agar berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik. Namun, bukan berarti guru menjadi lepas tangan tehadap proses pembelajaran para muridnya. Guru tetap harus memantau dan menjelaskan apa-apa saja yang belum dimengerti siswa. Sehingga siswa mampu mengapresiasikan pemikirannya dengan bebas, dan lebih memahami sejarah dengan baik. Untuk mendukung proses pembelajaran sejarah yang baik, dapat juga dilakukan dengan penelitian sejarah. Penelitian adalah suatu proses pengkajian secara mendalam yang dilakukan terhadap suatu objek dengan menggunakan metode tertentu. Jadi penelitian sejarah adalah proses pengkajian objek sejarah, baik itu peristiwa, tokoh, ataupun masyarakat. Untuk memudahkan penelitian, maka unsur emosional peneliti memiliki peranan penting.Maksudnya adalah peneliti hendaknya mencari objek penelitian yang dekat dengan kehidupan peneliti (Muhammad Syuhudi Ismail 1988:13).Dalam konteks pembelajaran sejarah di sekolah, praktek penelitian sejarah bisa
4

dilakukan oleh siswa.Objeknya tentu saja yang dekat dengan kehidupan siswa di sekolah.Siswa bisa meneliti sejarah perkembangan sekolahnya, membuat biografi guru idola-nya dan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan di sekolahnya. Tidak hanya lingkungan sekolah saja, keluarga sebagai lingkungan terdekat siswa, juga bisa menjadi objek yang akan diteliti. Sebagai contohnya yaitu dengan membuat tulisan tentang silsilah keluarga mereka dan membuat autobiografi kehidupan mereka sendiri. Dengan begitu, siswa akan mampu memahami sejarah tanpa muluk-muluk dengan teori yang membingungkan. Dan selain hal tersebut di atas, minat siswa juga sangat diperlukan bagi berjalannnya suatu proses pembelajaran. Sedangkan minat siswa itu sendiri sangat tergantung pada keprofesionalan seorang guru dalam menyampaikan pelajarannya.Untuk itu, guru dituntut untuk menyajiakan metode pembelajaran yang menarik.Dengan tujuan, siswa mampu memahami pelajaran sejarah dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Daftar Pustaka o Sumber Web staff.undip.ac.id suciptono.wordpress.com history1978.wordpress.com o Sumber buku Kochar, S. K. 1971. The Teaching of History. Jakarta: Grasindo. Muhammad Syuhudi Ismail. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Michigan:Bulan Bintang Pour, Julius. 1995. Sejarah Proklamasi dan Orde Baru. Jakarta: Grasindo. Salim, Solichin.1966. Bung Karno Putera Fajar. Jakarta: Gunung Agung. Sri Syamsiah, M. Fakhrudin. ______.Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Presepsi. Jakarta: Yayasan Obor Indo

Metode Role Playing Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing: Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama. 1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh. 2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda. 3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan. 4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Pembelajaran Berdasarkan Masalah Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Langkah-langkah: 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.) 3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah. 4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya. 5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Kelebihan: 1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik. 2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain. 6

3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber. Kekurangan: 1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai. 2. Membutuhkan banyak waktu dan dana. 3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini

Numbered Heads Together Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa. Langkah-langkah: 1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor. 2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. 3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya. 4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka. 5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain. 6. Kesimpulan. Kelebihan: Setiap siswa menjadi siap semua. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai. Kelemahan: Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation) Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa 7

dengan karakteristik yang heterogen.Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Seleksi topic Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompokkelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang.Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik. b. Merencanakan kerjasama Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas. c. Implementasi Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. d. Analisis dan sintesis Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. e. Penyajian hasil akhir Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru. f. Evaluasi Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya. 8

Metode Jigsaw Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponenkomponen lebih kecil.Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.

Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai ahli dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya.Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa.Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru.Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran


By akhmadsudrajat - Posted on 03 Oktober 2008 oleh: Akhmad Sudrajat Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah tersebut. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu : 1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya. 2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran. 3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran. 4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
10

Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah: 1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik. 2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif. 3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran. 4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan. Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.Dengan kata lain, strategi merupakan a plan of operation achieving something sedangkan metode adalah a way in achieving something (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode
11

ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat) Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:

12

Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun. Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadangkadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat
13

sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada. Sumber:

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja. Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung. Udin S. Winataputra. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran (http://smacepiring.wordpress.com/)
Bookmark the permalink.

14

PEMBELAJARAN SEJARAH : Permasalahan dan Solusinya


Oleh : Siswo Dwi Martanto Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu.Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggungjawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100). Selama KBM guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti pelajaran lanjutan.Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman.Siswa belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara efektif dalam pemecahan.Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu
15

memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian.Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang.Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolahsekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101). Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia umumnya.Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan.Namun sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya.Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1).

BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya. Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama.Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.

16

Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan. Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar.Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah.Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan.Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13). Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program. Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata pelajaran sejarah berada didalamnya.Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3). Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung maksut tersebut.Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami
17

penyempurnaan.Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3).Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa.Sejarah dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa dengan mengagungagungkan rezim yang mempunyai kekuasaan.Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103). Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah.Menurut Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946.Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950.Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 Jilid).Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh Subantardjo. Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) mengadakan Seminar Sejarah II di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri.Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi

18

oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105). Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi.Hampir seluruh penulis buku hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum dengan baik.Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268). Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap.Bahkan banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas.Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia.Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268). Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal.Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan.Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).

SOLUSI PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif learning. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104).Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran
19

sejarah.Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif learning menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat. Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan pendidikan sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk perencanaan tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi kurikulum untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421). Untuk dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik mempunyai keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada.Sudah barang tentu tidak mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan alokasi waktu yang tersedia.Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol berbagai materi pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas.Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan baik, sesuai, menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah membuka peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi tumbuhkembangnya mata pelajaran dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ; Kochar, 2008:68).

Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa mendatang adalah tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum pendidikan sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat
20

dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat (Hasan, 2007:813). Kurikulum sejarah tersebut harus mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1) semangat yang kuat, (2) kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun reaktif (3) memiliki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan informasi melalui berbagai media (4) mengambil inisiatif (5) tingkat kreativitas yang tinggi dan (6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998:130). Sedangkan untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik.Salah satu kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku cetak harus bersih dari indoktrinasi.Buku cetak harus menyajikan pandangan yang adil tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan tertentu.Buku ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit, tidak mengandung terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu, kaku, dan resmi.Buku ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan tanggapan secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu, penilaian yang menyakitkan dan tanggapan yang emosional. Pandangan yang bias dan prasangka penulis harus tidak tercermin didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang dipergunakan siswa harus mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak ada yang lain selain kebenaran. Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175). Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin.Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok.Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah penguasaan materi dan penguasaan teknik.Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelaskelas dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat memasukkan ilmu-ilmu sosial dan
21

kemanusiaan.Setiap guru harus sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi.Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah.Ia harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajarmengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik. Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional, guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensikompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).

DAFTAR PUSTAKA Alfian, Magdalia. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah.Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah SeIndonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Anggara, Boyi. 2007. Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah Sosial Kontemporer. Makalah.Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Gunawan, Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi). Jakarta : Depdikbud Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya Hasan, Hamid S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah.Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah SeIndonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Grasindo Martanto, SD, dkk. 2009. Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan

22

Nursam, M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta : Ombak Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!.Yogyakarta : Ombak Purwanto, Bambang dan Adam AW.2005. Menggugat Historiografi Indonesia.Yogyakarta. Ombak Widja, I Gde. 1989. Dasar Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Debdikbud

23

You might also like