You are on page 1of 39

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP FREKUENSI PEMBERIAN ASI ESKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Untuk mencapai Indonesia sehat 2010 tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia cukup berat. Dalam hal keadaan gizi masyarakat, meskipun terdapat kemajuan tetapi empat masalah gizi utama yang sejak lama ada sampai saat ini masih merupakan agenda yang belum terselesaikan. Keadaan gizi masyarakat merupakan basis dan persyaratan bagi pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2005)

Masalah gizi kurang dan gizi buruk pada Balita, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukan meskipun selama 10 tahun terjadi penurunan gizi kurang dari 37,5% tahun 1989 menjadi 26,4% tahun 1999, namun terjadi prevalensi gizi buruk dari 6,3% tahun 1989 menjadi 8,1% tahun 1999. Pada tahun 2000, perkembangan keadaan gizi cukup menggembirakan, gizi kurang menurun menjadi 24,6 % begitu pula dengan gizi buruk menjadi 7,5 % (Depkes.RI, 2003)

Jika diamati lebih lanjut terungkap sebenarnya sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2000 tidak terjadi penurunan jumlah Balita penderita gizi buruk. Pada tahun 1989 dengan total penduduk 177,6 juta jiwa terdapat Balita gizi buruk sebanyak 1,343 juta anak, sementara pada tahun 2000 dengan total penduduk 203,4 juta orang terdapat 1,348 juta Balita gizi buruk (Ikhwandi, 2000)

Berdasarkan uraian di atas jelas diperlukan upaya kesehatan dan gizi yang mencakup seluruh kehidupan sejak anak dalam kandungan karena terkait erat dengan kelangsungan hidup anak (child survive), perkembangan anak (child development) dan perlindungan anak (child protection). Anak menjadi titik sentral, karena sebagai generasi penerus anak harus berkualitas dan siap untuk melahirkan generasi yang lebih berkualitas lagi. Oleh karena itu peningkatan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan paling sempurna bagi bayi merupakan suatu upaya nyata dalam mewujudkan kesehatan dan gizi masyarakat khususnya bayi dan anak Balita (Depkes RI, 2003).

Menurut hasil penelitian pusat studi kebijakan pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap pemberian ASI di Indonesia baik dari segi pelaksanaan, kebijakan dan program diketahui bahwa pencapaian ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 52 % (SDKI, 2000). Meskipun lebih tinggi dari hasil pencapaian SDKI tahun 1994 yaitu 47,3 % tetapi lebih rendah dari tahun 1991 yaitu 52,5 %. Sementara itu pencapaian pemberian ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 42,3 %. Pencapaian ini menurut kriteria World Health Organization (WHO) masuk dalam kategori tidak mencukupi (Ikhwandi, 2000).

Suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa hampir seluruh bayi yaitu 95,4 % di perkotaan dan 96,7 % di pedesaan pernah disusui dan terus diberikan sampai anak berusia 23,9 bulan. Pencapaian 23,9 bulan menurut kriteria (WHO) masuk dalam kategori baik. Gambaran ini menunjukan bahwa kita perlu berkonsentrasi penuh untuk menyukseskan peningkatan pemberian ASI sehingga target sebesar 80 % sebagaimana yang ditetapkan oleh Depkes RI dapat dipenuhi. Sementara di Sulawesi Tenggara, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006, jumlah ibu menyusui yang memberikan ASI ekslusif

kepada bayinya sampai dengan 6 bulan adalah 65,93%. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni 56,6% dan Kota Kendari menduduki urutan kedua tertinggi dalam pemberian ASI eksklusif dibandingkan dengan 9 kabupaten atau kota lainnya di Provinsi Sulawesi Tenggara yakni sebesar 73,4% (Dinkes Sultra, 2007).

Dari 11 Puskesmas di Kota Kendari, Puskesmas Mata merupakan salah satu Puskesmas yang menduduki urutan terendah dalam hal pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukan dengan data tahun 2007, dimana dari 83 ibu menyusui 54% (45/83) tidak memberikan ASI kepada bayinya selama 6 bulan dan 67% (30/45) adalah ibu pekerja. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan pada tahun 2006, dimana dari 96 ibu menyusui 68% (65/96) diantaranya tidak memberikan ASI sampai dengan 6 bulan dan 60% (39/65) adalah ibu-ibu pekerja. Angka ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target yakni 80% (Puskesmas Mata, 2008).

Perilaku pemberian ASI kepada bayi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan gizi pada bayi dan balita. Formula makan dan minum yang terbaik bagi balita terutama bayi adalah ASI. Kebiasaan menyusui pada bayi, terutama ASI eksklusif akan meningkatkan daya tahan tubuh serta membantu pertumbuhan bayi dan balita.

Data prevalensi gizi buruk untuk Kota Kendari tahun 2005 sebanyak 104 kasus (0,4%) dari 23.010 jumlah balita. Dari 10 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara, Kota Kendari berada pada urutan ke 5 sebanyak 26 kasus (3,2%) dari 803. Sedangkan untuk tahun 2006 dari bulan JanuariJuni sebanyak 314 kasus (0,9%) dari 33.625 jumlah balita (Dinkes Kota Kendari, 2007).

Masalah gizi, pada hakekatnya disebabkan pada masalah perilaku, khusunya pengetahuan tentang gizi, sedangkan pengetahuan itu sendiri berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan. Dengan demikian, upaya untuk mengatasi masalah ini dilakukan dengan pemberian informasi tentang perilaku gizi yang baik dan benar disamping dengan pendekatan lainnya (Depkes RI, 2006).

Sedangkan untuk masalah pemberian ASI terkait dengan masih rendahnya pemahaman ibu, keluarga dan masyarakat tentang ASI. Tidak sedikit ibu yang masih membuang kolostrum karena dianggap kotor sehingga perlu dibuang. Selain itu, kebiasaan memberikan makanan dan atau minuman secara dini pada sebagian masyarakat juga menjadi pemicu dari kekurang berhasilan pemberian ASI eksklusif. Ditambah lagi dengan kurangnya rasa percaya diri pada sebagian ibu untuk dapat menyusui bayinya. Hal ini mendorong ibu untuk lebih mudah menghentikan pemberian ASI dan menggantinya dengan susu formula (Azwar, 2003).

Pendidikan seorang ibu yang rendah memungkinkan ia lambat dalam mengadopsi pengetahuan baru, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pola pemberian ASI.

Berdasarkan uaraian di atas, penulis akan melaksanakan penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap ASI dengan frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut Adakah hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap dengan

frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009 ?

3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan dengan frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009 ?

2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009. 2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009. 3. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009.

4. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan proses belajar menemukan kebenaran dengan cara memecahkan masalah secara sistimatis dan logis.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada instansi terkait dan dapat dijadikan sebagai dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti selanjutnya. 3. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Kendari khususnya instansi tekhnis seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan bayi melalui pemberian ASI sehingga dapat menghasilkan generasi penerus yang berkualitas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Tentang ASI

Hasil Penelitian menunjukan bahwa tidak mungkin bagi bayi dan ibunya mencapai kesehatan yang optimal jika tidak diciptakan suasana yang membolehkan ibu untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan melanjutkan pemberian ASI bersama pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) hingga usia dua tahun atau lebih. Menyusui adalah hak asasi ibu dan memberikan sumbangan yang besar untuk mewujudkan hak anak untuk pangan, kesehatan dan perawatan (Depkes RI, 2000).

2. Pengertian ASI

Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, tidak satupun makanan lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan yang meliputi tiga

aspek yaitu aspek gizi, aspek kekebalan dan aspek kejiwaan berupa jalinan kasih sayang penting untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak (Depkes RI, 2005).

3. Kandungan ASI Air susu ibu (ASI) mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi dalam 4 6 bulan pertama kehidupan, dianjurkan pada masa ini bayi hanya diberikan ASI. Kandungan zat gizi dalam ASI, menurut Soedibyo S. (1997) yaitu :

1. ASI mengandung protein dan lemak yang paling cocok untuk bayi dalam jumlah yang tepat. 2. ASI mengandung lebih banyak laktosa (gula susu) daripada susu lainnya dan laktosa merupakan zat yang diperlukan bayi manusia. 3. ASI mengandung vitamin yang cukup bagi bayi. Bayi selama 6 bulan pertama tidak memerlukan vitamin tambahan. 4. ASI mengandung zat besi yang cukup untuk bayi. Tidak terlalu banyak zat besi yang dikandung, tetapi zat besi ini diserap usus bayi dengan baik. Bayi yang disusui tidak akan menderita anemia kekurangan zat besi. 5. ASI mengandung cukup air bagi bayi bahkan pada iklim yang panas. 6. ASI mengandung garam, kalsium dan fosfat dalam jumlah yang tepat

4. Manfaat ASI

Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari ASI, maka ASI harus diberikan kepada bayi segera setelah dilahirkan atau paling lambat 30 menit setelah lahir, karena

daya isap bayi pada saat itu paling kuat untuk merangsang produksi ASI selanjutnya. ASI yang keluar beberapa hari setelah persalinan disebut kolostrum (Depkes RI, 2005).

Kolostrum mengandung zat kekebalan, vitamin A yang tinggi, lebih kental dan berwarna kekuning-kuningan. Oleh karena itu, kolostrum harus diberikan kepada bayi. Sekalipun produksi ASI pada hari-hari pertama baru sedikit, namun mencukupi kebutuhan bayi. Pemberian air gula, air tajin dan masakan pralaktal (sebelum ASI lancar diproduksi) lain harus harus dihindari (Depkes RI, 2005). Pada usia 0 6 bulan, bayi cukup diberi ASI saja (ASI esklusif), karena produksi ASI pada periode tersebut sudah mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang yang sehat. Pemberian makanan selain ASI pada umur 0 4 bulan dapat membahayakan bayi, karena bayi belum mampu memproduksi enzim untuk mencerna makanan bukan ASI. Apabila pada periode ini, bayi dipaksa menerima makanan bukan ASI, maka akan timbul gangguan kesehatan pada bayi seperti diare, alergi dan bahaya lain yang fatal. Tanda bahwa ASI eksklusif memenuhi kebutuhan bayi antara lain bayi tidak rewel dan tumbuh sesuai dengan grafik pada Kartu Menuju Sehat (KMS).

5. Cara ASI Melindungi terhadap Infeksi

Bayi yang disusui lebih sedikit terkena diare bila dibandingkan dengan bayi yang diberikan makanan buatan. Bayi tersebut juga lebih sedikit menderita infeksi saluran pernafasan dan telinga tengah. Bayi yang diberi ASI akan menderita infeksi lebih sedikit, karena :

1. ASI bersih dan bebas bakteri sehingga tidak membuat bayi sakit.

2. ASI mengandung antibodi atau zat kekebalan immunoglobulin terhadap banyak infeksi. Hal ini akan membantu melindungi bayi terhadap infeksi sampai bayi bisa membuat antibodinya sendiri. 3. ASI mengandung sel darah putih atau leukosit hidup yang membantu memerangi infeksi. 4. ASI mengandung zat yang disebut faktor bifidus yang membantu bakteria khusus yaitu laktobacillus bifidus, tumbuh dalam usus halus bayi. laktobacillus bifidus mencegah bakteria berbahaya lainnya tumbuh dan menyebabkan diare. 5. ASI mengandung laktoferin yang mengikat zat besi. Hal ini mencegah pertumbuhan beberapa bakteria berbahaya yang memerlukan zat besi.

6. Pola pemberian ASI

Agar pemberian ASI eksklusif dapat berhasil, selain tidak memberikan makanan lain perlu pula diperhatikan cara menyusui yang baik dan benar yaitu tidak dijadwal, ASI diberikan sesering mungkin termasuk menyusui pada malam hari. Ibu menggunakan payudara kiri dan kanan secara bergantian tiap kali menyusui. Disamping itu, posisi ibu bisa duduk atau tiduran dengan suasana tenang dan santai. Bayi dipeluk dengan posisi menghadap ibu. Isapan mulut bayi pada puting susu harus baik yaitu sebagian besar areola (bagian hitam sekitar puting) masuk kemulut bayi. Apabila payudara terasa penuh dan bayi belum mengisap secara efektif, sebaiknya ASI dikeluarkan dengan menggunakan tangan yang bersih (Depkes RI, 2005).

Keadaan gizi ibu yang baik selama hamil dan menyusui serta persiapan psikologi selama kehamilan akan menunjang keberhasilan menyusui. Seorang ibu yang menyusui

harus menjaga ketenangan pikiran, menghindari kelelahan, membuang rasa khawatir yang berlebihan dan percaya diri bahwa ASI-nya mencukupi untuk kebutuhan bayi (Depkes RI, 1996).

7. Masalah Pemberian ASI

Kegagalan pemberian ASI eksklusif akan menyebabkan kekurangan jumlah sel otak sebanyak 15% 20%, sehingga menghambat perkembangan kecerdasan bayi pada tahap selanjutnya. Pada umur 4 6 bulan (masa transisi), bayi terus minum ASI dan mulai diperkenalkan dengan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI berbentuk lumat atau setengah cair. Pada umur 6 9 bulan, kuantitas dan kualitas MP-ASI perlu diperhatikan.MP-ASI diberikan sesuai dengan umur bayi, minimal diberikan 3 kali sehari. Porsi MP-ASI setiap kali makan yaitu pada umur 6 bulan minimal 6 sendok makan. Pada umur 7 bulan minimal 7 sendok makan. Pada umur 8 9 bulan berturut-turut berikan 8 dan 9 sendok makan (Depkes RI, 2005).

Sejak umur 10 bulan, makanan keluarga perlu diperkenalkan kepada bayi agar pada saat umur 12 bulan, bayi sudah dapat makan bersama keluarga. Porsi makan anak 12 bulan kira-kira separuh dari porsi orang dewasa. Pemberian ASI tetap diberikan sampai bayi berumur 2 tahun. Makanan selingan yang bergizi (bubur kacang hijau, biskuit, pepaya dan jeruk) perlu diberikan. Pada umur 24 bulan, secara bertahap anak perlu disapih antara lain dengan menjarangkan waktu menyusui (Depkes RI, 1996).

Apabila ibu menghadapi masalah grafik pertubuhan bayi tidak sesuai KMS, puting lecet, payudara bengkak, puting terbenam dan lain-lain dianjurkan menghubungi petugas

kesehatan, bidan, klinik laktasi di Rumah Sakit Sayang Bayi (RSSB) atau Kelompok Pendudkung ASI (KPA). Bagi ibu pekerja dianjukan untuk tetap menyusui sebelum dan sesudah bekerja (Depkes RI, 1996).

8. Apa yang dapat dilakukan oleh ibu pekerja

Walaupun ibu bekerja sebaiknya terus menyusui bayinya. Dianjurkan untuk mengikuti cara-cara dibawah ini untuk mencegah penurunan produksi ASI dan penyapihan yang terlalu dini :

1. Sebelum ibu berangkat bekerja bayi harus disusui. Selanjutnya ASI diperas dan disimpan untuk diberikan pada bayi selama ibu bekerja disamping susu formula kalau masih diperlukan. 2. Bila mungkin, ibu pulang untuk menyusui pada tengah hari. 3. Bayi disusui lebih sering setelah ibu pulang kerja dan pada malam hari. 4. Tidak menggunakan susu formula pada hari libur. 5. Tidak mulai bekerja terlalu cepat setelah melahirkan, tunggu sampai 1 2 bulan untuk meyakinkan lancarnya produksi ASI dan masalah pada awal menuyusui telah teratasi. Kalau ibu ingin memberikan susu formula dengan menggunakan botol, maka dapat dicoba setelah ibu yakin bahwa bayinya telah mampu menyusui pada ibu dengan baik untuk menghindari bayi bingung puting.

Pastikan bahwa hak azasi menyusui bagi ibu bekerja di sektor formal dan informal didukung oleh pemerintah dan pengusaha. Mintalah menteri tenaga kerja untuk mengesahkan konvensi perlindungan persalinan. Kampanyekan perlunya fasilitas dan

tetap memberi waktu menyusui atau memeras ASI ditempat kerja. Galilah cara-cara kreatif untuk mendukung hak azasi menyusui ibu pekerja di sektor informal (Depkes RI, 2000).

Ditempat kerja, ibu dapat mengeluarkan ASI-nya dengan tangan dan disimpan dalam wadah bersih, tertutup dan selanjutnya diberikan kepadanya bayinya saat ibu pulang kerumah. ASI yang dikeluarkan tadi dapat disimpan dan tidak rusak selama 6 jam pada suhu kamar atau selama 24 jam dalam lemari es. Apabila bayi atau anak sakit tetap teruskan menyusui dan berikan MP-ASI lebih cair atau lunak (Depkes RI, 1996).

9. Cara Menyusui Bayi Terhadap Payudara Dalam Posisi Yang Benar

Cara-cara menyusui bayi dalam posisi yang benar yaitu

1. Ibu harus duduk dan berbaring dengan santai. Kursi rendah biasanya jauh lebih baik 2. Perhatikan cara memegang bayi sehingga bayi menghadap payudara dan lambung bayi menempel pada ibu. Bila diinginkan ibu dapat mengendong bayi diats bantal. Seluruh badan bayi harus menghadap payudara, tidak hanya membelokkan kepada bayi saja 3. Pegang bayi pada belakang bahunya, tidak pada dasar kepala dan lehernya harus sedikit teregang. 4. Ibu harus memegang dan menawrkan seluruh payudaranya, tidak boleh memencet puting susu atau aerolanya saja

5. Ibu menyentuh pipi atau sisi mulut bayi dengan puting susu untuk merangsang refleks rooting 6. Ibu menunggu sampai mulut bayi terbuka dan bayi ingin mulai menyusu, serta cepat gerakan bayi ke payudara 7. Ibu harus mengarahkan bibir bawah bayi kedasar aerola. Hal ini membuat puting susu diatas pusat mulut, sehingga puting mudah menyentuh dan merangsang langit-langit (King FS, 2002).

10. Tinjauan Umum Tentang Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses pengembangan sumberdaya manusia. Menurut Andrew E. Sikula dalam Martoyo S. (1996) pendidikan adalah suatu proses pendidikan jangka panjang yang dilakukan secara sistematis dan prosedurnya diorganisisr melalui konsep belajar manajerial perorangan dan pengetahuan teoritis untuk tujuan umum.

Pendidikan diselenggarakan sebagi suatu proses pembudayaan dan pembedayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Pendidikan

diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan (Anonim, 2003).

Sciartino (1999) mengemukakan bahwa pendidikan yang cukup merupakan dasar dalam pengembangan wawasan sarana yang memudahkan untuk dimotivasi serta turut menentukan cara berpikir seseorang dalam menerima pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat. Menurut Sciartino, pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu proses belajar yang memberikan latar belakang berupa mengajarkan kepada manusia untuk dapat berpikir secara obyektif dan dapat memberikan kemampuan untuk menilai apakah budaya masyarakat dapat diterima atau mengakibatkan seseorang merubah tingkah laku.

Menurut Maslow, motifasi berhubungan dengan 5 (lima) macam kebutuhan penting yang secara bersama dan membentuk hirarki yaitu :

1. Kebutuhan fisiologi (Physiologikal needs ) 2. Kebutuhan rasa aman ( Safety needs ) 3. Kebutuhan sosial ( Social needs )

Dari definisi di atas pendidikan dan latihan bersifat filosofis dan teoritis dan lebih diarahkan untuk golongan manajer. Sedangkan latihan dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu dalam waktu yang relatif singkat.

11. Istilah-istilah Yang Berhubungan dengan Pendidikan

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Anonim, 2003). 2. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Anonim, 2005). 3. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Anonim, 2005). 4. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasaran tingkatan perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (Anonim, 2005). 5. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan (Anonim, 2005). 6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (Anonim, 2005).

12. Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Anonim, 2003).

13. Prinsip Penyelenggaran Pendidikan

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrimantif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggaran sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. 3. Pendidikan diselenggarakan sebagi suatu proses pembudayaan dan pembedayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. 4. Pendidikan dielenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. 5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. 6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen

masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan (Anonim, 2003).

14. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

Pengetahuan adalah sejumlah informasi yang dikumpulkan yang dipahami dan pengenalan terhadap sesuatu hal atau benda-benda secara obyektif. Pengetahuan juga berasal

dari pengalaman tertentu yang pernah dialami dan yang diperoleh dari hasil belajar secara formal, informal dan non formal (Mangindaan, 1996) dalam Toruntju (2005). Menurut Sarwono (1997) dalam Toruntju (2005) pengetahuan lebih bersifat pengenalan terhadap sesuatu benda atau hal secara obyektif.

Pengetahuan atau kognitif seseorang tentang ASI adalah hasil tahu yang terjadi setelah seorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang sebagian besar diperoleh melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan ini merupakan bagian yang penting dalam membentuk perilaku seseorang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang ASI adalah merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan berbagai penginderaan terhadap sejumlah obyek yang berkaitan dengan pola pemberian ASI.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003) mempunyai enam tingkat, yakni :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendifinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh : dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitunganperhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja : dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthsis)

Sintesis

menunjuk

kepada

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan

atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat

meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atu obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak-anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebabsebab ibu-ibu tidak memberikan ASI, dan sebagainya.

15. Tinjauan Umum Tentang Sikap

Definisi sikap menurut Thurstone (2000) yang dikutip Azwar (2003), adalah derajat afek positif atau afek negatif yang dikaitkan dengan suatu obyek psikologis. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Dari sini sikap dapat digambarkan sebagai kecenderungan subyek

merespon suka atau tidak suka terhadap suatu obyek. Dalam bahasan ini yang berperan sebagai subyek yaitu Ibu dan obyek yaitu pemberian ASI kepada bayi.

Sikap ini ditunjukkkan dalam berbagai kualitas dan intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif. Kualitas sikap digambarkan sebagai valensi positif menuju negatif, sebagai hasil penilaian terhadap obyek tertentu. Sedangkan intensitas sikap digambarkan dalam kedudukan ekstrim positif atau negatif. Kualitas dan intensitas sikap tersebut menunjukkkan suatu prosedur pengukuran yang menempatkan sikap seseorang dalam sesuatu dimensi evaluatif yang bipolar dari ekstrim positif menuju ekstrim negatif.

Menyimak uraian sikap di atas dapat dipahami bahwa sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu obyek. Seseorang bersikap terhadap suatu obyek dapat diketahui dari evaluasi perasaannya terhadap obyek tersebut. Evaluasi perasaan ini dapat berupa perasaan senang-tidak senang, memihak-tidak memihak, favorittidak favorit, positifnegatif.

Walgito (2001) mengemukakan bahwa sikap adalah faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu. Adapun ciri-ciri sikap yaitu: tidak dibawa sejak lahir, selalu berhubungan dengan obyek sikap, dapat tertuju pada satu obyek saja maupun tertuju pada sekumpulan obyek-obyek, dapat berlangsung lama atau sebentar, dan mengandung faktor perasaan dan motivasi.

Selanjutnya Walgito (2001) mengemukakan tiga komponen yang membentuk struktur sikap yaitu :

1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap. 2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif. 3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek sikap.

Perilaku yang nampak terhadap suatu obyek tertentu setidaknya bisa diramalkan melalui sikap yang diungkapkan oleh seseorang. Dalam arti bahwa sikap seseorang bisa menentukan tindakan dan perilakunya. Menurut Baltus, sikap kadangkadang bisa diungkapkan secara terbuka melalui berbagai wacana atau percakapan, namun sering sikap ditunjukkan secara tidak langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa juga merupakan akibat dari perilaku sebelumnya.

16. Kerangka Pemikiran

Dalam pemaparan dibawah ini akan diuraikan jalan pikiran penulis menurut kerangka teori dan kerangka konsep secara logis. Indonesia bertekad untuk melaksanakan isi Deklarasi Innocenti di Florence Italia tahun 1990 yang merekomendasikan agar setiap negara memberikan perlindungan dan dorongan kepada ibu agar berhasil memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya. Begitu pula dengan kesepakatan global seperti Konvensi Hak Anak tahun

1990 yang telah diratifikasi Indonesia dan dokumen tentang A World Food For Children tahun 1992 yang juga mengisyarakatkan pemberian ASI kepada bayi (Depkes RI, 2003)

Setiap tahun Indonesia melakukan peringatan Pekan ASI sedunia dengan berbagai kegiatan seperti seminar, dialog interaktif, pameran dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikan ASI. Masalah pemberian ASI terkait dengan masih rendahnya pemahaman ibu, keluarga dan masyarakat tentang ASI. Tidak sedikit ibu yang masih membuang kolostrum karena dianggap kotor sehingga perlu dibuang. Selain itu, kebiasaan memberikan makanan dan atau minuman secara dini pada sebagian masyarakat juga menjadi pemicu dari kekurang berhasilan pemberian ASI eksklusif. Ditambah lagi dengan kurangnya rasa percaya diri pada sebagian ibu untuk dapat menyusui bayinya. Hal ini mendorong ibu untuk lebih mudah menghentikan pemberian ASI dan menggantinya dengan susu formula (Azwar, 2003)

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmodjo (2003) untuk tujuan pendidikan mengukur perilaku manusia dari aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan praktek atau tindakan (psikomotor). Walaupun ketiga domain tersebut batasannya tidak jelas dan tegas tetapi sampai saat ini masih dianut bahwa untuk mengukur perilaku ketiga domain ini masih dianggap relevan. Mengingat bahwa terbatasnya biaya, waktu dan tenaga, maka penulis membatasi variabel pengaruh hanya dari aspek kognitif, afektif dan

psikomotor.Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar

1.Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

Penelitian berbunyi:

a.Ho : Tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan pola frekuensi

pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009. Ha :

Ada hubungan tingkat pendidikan dengan pola frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009. b. Ho :

Tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan pola frekuensi pemberian

ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009.

Ha

Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan pola frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009. c. Ho :

Tidak terdapat hubungan sikap dengan pola frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009.

Ha

Ada hubungan sikap dengan pola frekuensi pemberian ASI esklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2009.

III. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional study yaitu antara variabel bebas dan variabel terikat di observasi sekaligus pada waktu yang bersamaan.

2. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini rencana dilaksanakan selama dua bulan yakni mulai bulan April 2009 sampai dengan Mei 2009 bertempat di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.

1. Populasi dan Sampel. 1. Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu menyusui yang mempunyai bayi di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari dengan

jumlah sebesar 601 orang dari bulan Januari sampai Desember 2008 (Puskesmas Mata, 2008). 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah ibu menyusui yang mempunyai bayi yakni sebesar 35 orang. Untuk menjaga valitditas penelitian dan meminimalkan bias penelitian maka peneliti menamba jumlah sampel 1,5 kali jumlah sampel sesungguhnya menjadi 52 sampel. dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 1. Frekuensi pemberian ASI (skala interval) adalah upaya seorang ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya dengan cara yang benar dan dengan frekuensi > 3 kali sehari dengan kriteria obyektif : a. Cukup : bila responden memberikan ASI kepada bayi > 3 kali sehari b. Kurang : bila responden memberikan ASI kepada bayi 3 kali sehari (Depkes RI, 2000). 2. Tingkat pendidikan (skala interval) adalah jumlah tahun di bangku sekolah yang dijalani responden dalam mengecam pendidikan formal dengan kriteria obyektif : a. Cukup : bila responden tamat pendidikan minimal Diploma tiga (D3) b. Kurang : bila reponden hanya tamat pendidikan Diploma satu (D1) (Mangkunegara, 2005).

3. Pengetahuan ASI responden (skala interval) adalah kemampuan responden dalam menjawab 23 pertanyaan tes pengetahuan tentang pola pemberian ASI. Skor pengetahuan ini di kategorikan menurut cukup dan kurang dengan kriteria obyektif : Berdasarkan hal diatas, merujuk pada skala Gutman : a. Bila jawaban ya = 2 b. Bila jawaban tidak = 1 Jumlah pertanyaan = 10 Jawaban tertinggi berbobot 2 dan terendah berbobot 1 Skor tertinggi = jumlah pertanyaan kali bobot tertinggi = 23 x 2 = 46 (100%) Skor Terendah = jumlah pertanyaan kali bobot terendah = 23 x 1 = 23 (25%) Skor antara = skor tertinggi skor terendah = 100% - 25%

= 75% Kriteria objektif sebanyak 2 kategori : cukup dan kurang Interval = skor antara/kategori = 75%/2 = 37,5% Skor standar = 100% - 37,5% = 62,5% Sehingga: Cukup = bila jawaban responden > 62,5% Kurang = bila jawaban responden <> (Sugiyono, 2000). 4. Sikap ibu rumah tangga tentang MP-ASI responden (skala interval) adalah tanggapan responden terhadap 15 pernyataan tes sikap yang diukur dengan menggunakan skala Liker Scale (2006). Hasil skala ini diberi pembobotan 1 5 yaitu Sangat Tidak Setuju (STS) = 1, Setuju (S) = 2, Ragu-Ragu (RR) =

3, Setuju (S) = 4 dan Sangat Setuju (SS) = 5. Skor sikap ini di kategorikan Berdasarkan hal diatas, merujuk pada skala Gutman : Jumlah pertanyaan = 15 Jawaban tertinggi berbobot 5 dan terendah berbobot 1 Skor tertinggi = jumlah pertanyaan kali bobot tertinggi = 15 x 5 = 75 (100%) Skor Terendah = jumlah pertanyaan kali bobot terendah = 15 x 1 = 15 (25%) Skor antara = skor tertinggi skor terendah = 100% - 25% = 75% Kriteria objektif sebanyak 2 kategori : cukup dan kurang Interval = skor antara/kategori = 75%/2

= 37,5% Skor standar = 100% - 37,5% = 62,5% Sehingga: Cukup = bila jawaban responden > 62,5% Kurang = bila jawaban responden <> (Sugiyono, 2000). 1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah mengenai tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap ibu menyusui. Sedangkan data sekunder adalah cakupan program pemberian ASI, jumlah ibu menyusui, keadaan umum wilayah kerja Puskesmas Mata dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. 2. Cara Pengumpulan Data

Data primer berupa pendidikan ibu, pengetahuan dan sikap yang pengumpulannya dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner (terlampir). Untuk data sekunder dilakukan dengan cara melihat dokumen pada instansi terkait sesuai dengan kebutuhan data penelitian

3. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan program komputerisasi SPSS versi 10.00 dan dimasukan dalam master tabel kemudian ditabulasi sesuai dengan variabel yang diteliti. 2. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis inferensial sebagai berikut berikut : 2. Univariat Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi dan proporsi dari tiap variabel bebas (tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap ibu) dengan variabel terikat (frekuensi pemberian ASI)

3. Bivariat Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas (tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap ibu) dengan variabel terikat (frekuensi pemberian ASI) Karena rancangan penelitian ini adalah analitik observasional, hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen digunakan uji statistik Odds Ratio (OR) tabel kontigensi 2x2 dengan tingkat kepercayaan 95 % ( = 0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut di atas ditarik kesimpulan dengan kriteria sebagai berikut : 1. Jika nilai p < maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara variabel dependent dengan independent. 2. Jika nilai p maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependent dengan independent. dengan menggunakan rumus :

Keterangan : X2 : Chi kuadrat Fo : Frekuensi yang diobservasi Fh : Frekuensi yang diharapkan : Sigma

1. Penyajian Data Data dalam penelitian ini di sajikan dalam bentuk grafik dan tabel distribusi frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti.

2. Jadwal Penelitian Penelitian akan dilaksanakan selama dua bulan yakni mulai bulan April 2009 sampai dengan Mei 2009 seperti pada tabel di bawah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Fokus Media, Bandung

______, 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru & Dosen. Fermana, Jakarta

Azwar. A, 2003. Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Warta Kesehatan Masyarakat. Edisi 6, Jakarta, Juni.

Bimo Walgito. 2001. Psikologi Sosial. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Bungin, MB. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Prenada Media, Jakarta

Depkes RI. 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang, Jakarta

________, 2000. Mendapatkan ASI Hak Azasi Bayi Memberikan ASI Hak Azasi Ibu. Jakarta.

_______, 2001. Menolong Ibu Menyusui. Pedoman Praktis Bagi Para Ibu & Petugas Kesehatan, Jakarta

________,2003. Program Perbaikan Gizi Makro. Warta Kesehatan Masyarakat, 1 (1) 18 24

_______, 2005. Paradigma Sehat Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta

Dinkes Sultra, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Ikhwandi, 2000. Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Dalam Pelaksanaan Program JPS-BK. Warta Kesehatan Masyarakat, 1 (1), 28-30

Kantor Kecamatan Mata, 2008. Laporan Perkembangan Program, Kendari.

Makmur, 2002. Faktor Sosial Ekonomi Yang Berhubungan Dengan Pola Pemberian ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Rante Angin Kabupaten Kolaka Tahun 2002. Skripsi FKM Unhas Tidak Di Publikasikan, Makassar.

Notoatmodjo. S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta

____________, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta

Puskesmas Mata, 2008. Profil Kesehatan, Kendari

Riduwan & Akdon, 2006. Rumus & Data Dalam Aplikasi Statistika. Alfabeta, Bandung.

Saifuddin Azwar. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty. Yogyakarta.

Sandra, 2001. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pola Pemberian ASI Pada Ibu Pekerja di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado Tahun 2001. Skripsi STIK Tamalatea, Tidak Dipublikasikan, Makassar.

Sciartino, R. 1999. Menuju Kesehatan Madani. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sodibyo.S, 1997. Aspek Gizi Daripada ASI. Makalah Disampaikan Pada Simposium Peningkatan Penggunaan ASI, Semarang 24 September.

Toruntju. SA, 2005. Faktor Sosial Ekonomi Yang Berhubungan Dengan Asupan Yodium Pada Ibu Hamil di Derah Endemik GAKY Kabupaten Gunung Kidul, DIY, Dalam Majalah Berita Kedokteran Masyarakat, IKM UGM, Tri 3 September 2005, Yogyakarta.

You might also like