You are on page 1of 24

TUGAS MAKALAH HUKUM TATA NEGARA KELAS D

KAJIAN MENGENAI EKSISTENSI DPD SEBAGAI SALAH SATU LEMBAGA NEGARA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009/2010

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
Makalah yang berjudul EKSISTENSI DPD ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara . Judul ini dipilih berdasarkan keinginan untuk mengetahui bagaimana kiprah DPD sebagai lembaga negara dan hubungan DPD terhadap lembaga negara lainnya khususnya dengan DPR dan MPR. Mengingat DPD adalah lembaga yang paling dekat dengan masyarakat sekaligus sebagai jembatan penghubung suara masyarakat daerah dengan pemerintah pusat. Penulis berterima kasih pada seluruh anggota kelompok yang bekerjasama dan pihak-pihak lain yang telah mendukung dan memberikan kontribusi sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memenuhi kriteria persyaratan yang telah ditetapkan. Masih banyak kekurangan yang ada di dalam penulisan makalah ini, untuk itu sangat diharapkan pula kritik dan saran yang dapat membantu pembuatan makalah yang lebih baik. Semoga kajian ini dapat memberikan manfaat.

Surakarta, 2 April 2010 Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG DPD adalah sebuah lembaga demokrasi Indonesia. Walaupun masih dianggap lembaga baru dasar legitimasi demokratisnya sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu demokratis. DPD memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, karena sejak mengalami amandemen UUD 1945 kita memiliki delapan lembaga negara yang kedudukannya sejajar, tidak ada lembaga yang kedudukannya lebih tinggi dari lembaga lain. Namun demikian hak dan tanggung jawab atau wewenang DPD dalam konstitusi sekarang dibuat tidak mampu merespon aspirasi mereka.Padahal kita tahu DPD membawa pesan dari rakyat di daerah. DPD dalam konstitusi sekarang dibatasi wewenangnya hanya memberikan masukan kepada DPR, tapi tidak punya wewenang untuk ikut memutuskan dalam proses legislasi. Dalam konstitusi kita, secara prosedural demokratis kita punya DPD yang kuat, tapi lemah secara substantif, yakni tak punya wewenang yang kuat dalam proses legislasi. DPD hanya memberi masukan kepada DPD, tapi tidak ikut memutuskan undang-undang. Keadaan ini sangat bertentangan dengan pola umum tentang lembaga demokrasi yang setara dengan DPD di dunia, di mana lembaga seperti DPD punya wewenang legislasi meskipun tidak dipilih langsung oleh rakyat, misalnya dipilih oleh anggota DPR, DPRD, dan bahkan diangkat. Ada cacat demokratis dalam konsitusi kita: Ada wakil rakyat yang dipilih langsung secara demokrtais tapi tidak punya wewenang dalam legislasi. Kalau tidak diberi wewenang legislasi seharusnya lembaga demokrasi semacam DPD itu tidak ada dalam tata negara kita. Sebab kalau dipertahankan dengan keadaan DPD yang tak punya wewnang legislasi seperti sekarang prinsip demokrasi diingkari. Untuk itulah perlu adanya kajian mengenai kewenangan DPD ini agar kedepannya kita bisa mengikuti perkembangan ketatanegaran Indonesia khususnya terhadap Lembaga-lembaga Negara dan mungkin dapat meberikan sumbangsih terhadap wawasan masyarakat tentang Lembaga Negara.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana awal terbentuknya DPD? 2. Bagaimana kedudukan DPD sebagai salah satu lembaga negara? 3. Bagaimana hubungan antara DPD, DPR, dan MPR?
4. Adakah cara yang bisa ditempuh untuk memperkuat kedudukan DPD?

C. TUJUAN 1. Mengetahui bagaimanakah sejarah terbentuknya DPD 2. Mengetahui kedudukan DPD sebagai lembaga negara 3. Mengetahui hubungan antara DPD dengan lembaga negara lainnya khususnya DPR dan MPR 4. Mengetahui solusi atau cara untuk memperkuat kedudukan DPD

BAB II PEMBAHASAN

1. AWAL TERBENTUKNYA DPD 1. Sejarah Terbentuknya DPD Di Indonesia, wacana pembentukan DPD bukan hanya perdebatan yang muncul selama era Reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, pembentukan DPD yang merupakan bagian dari sistem bikameral atau sistem dua kamar sudah disepakati menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota. Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat.1 Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir. 2 Gagasan sistem bikameral yang mengalami mati suri sekitar empat dasawarsa kembali menemukan momentum seiring dengan kuatnya desakan untuk melakukan reformasi total terhadap UUD 1945 pada awal era Reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001 berhasil mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk kamar kedua setelah DPR di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kevin Evans.(2002),.Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.
1

Adnan Buyung Nasution, (1992), The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijksuniversiteit, Utrecht.
2

2. Bikameral Di Indonesia Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.3 Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar. a. b. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat. c. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undangundang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi. d. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.4 Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat di atas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga perwakilan rakyat (strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamar atau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya. Biasanya, dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antara kedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang. Terkait dengan hali ini, Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakantindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Senat yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki

Ramlan Surbakti, (2002), Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
3 4

Bagir Manan, (2003b)

keanggotaan yang komposisinya berbeda dari DPR.5 Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Senat dan DPR.6 Dengan adanya kamar kedua, monopoli proses legislasi dalam satu kamar dapat dihindari. Karenanya, ditegaskan sistem dua kamar memungkinkan untuk mencegah pengesahan undangundang yang cacat atau ceroboh.

2. KEDUDUKAN DPD SEBAGAI LEMBAGA NEGARA


1. Kedudukan DPD

DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara( Pasal 222 UU NO. 27 Tahun 2009 ) DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 221 UU NO. 27 Tahun 2009 ) Sistem demokrasi yang hendak dibangun usai perubahan UUD 1945 menyangkut keanggotaan MPR yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya dipilih lewat pemilu (Pasal 2 ayat 1, 19 ayat 1, dan 22C ayat 1, dan 22E ayat 2). Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (22C ayat 2). Sekalipun dipilih lewat pemilu, kekuasaan, fungsi, hak, dan kewajiban kedua dewan ini berbeda. Asas ketidaksetaraan DPR dan DPD terbaca dari susunan dan kedudukan DPD yang diatur dengan UU (22C ayat 3).Untuk menentukan susunan dan kedudukan itu, DPD sama sekali tidak memunyai kekuasaan apa-apa, mengingat setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (20 ayat 2). Artinya, susunan dan kedudukan DPD ditentukanoleh DPR dan Presiden. Secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan 1) otonomi daerah,
2) hubungan pusat dan daerah, 3) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, 5) perimbangan keuangan pusat dan daerah (22D ayat 1)

Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
5

Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.
6

Selain itu, anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (22D ayat 4). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD. Jelas sekali, apabila DPR dan Presiden berasal dari kalangan partai politik (parpol) (6A ayat 2 dan 22E ayat 3), peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (22E ayat 4). Ketiadaan hak legislasi DPD menyebabkan kepentingan parpol bias mengatur susunan, kedudukan, dan pemberhentian anggota DPD. Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber di bawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari parpol yang terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hierarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan UUD (3 ayat 1), melantik Presiden/Wapres (3 ayat 2), memberhentikan Presiden/Wapres atas usul DPR setelah melewati proses dalam Mahkamah Konstitusi (7B ayat 7). Apabila sepertiga anggota MPR dari DPD sepakat untuk mengubah arah desentralisasi, atau memperkuat wewenang DPD, dan mampu memengaruhi anggota DPR, betapa berbeda UUD nantinya. Begitu pula menyangkut perkembangan civil society, hubungan negara dengan civil society, atau upaya memperkuat civil society lewat konstitusi, mengingat keanggotaan DPD yang tidak boleh dari parpol.

2. Fungsi dan Wewenang DPD Berdasarkan Pasal 223 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Parlemen, fungsi DPD adalah sbb: a. Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan d. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Tugas dan wewenang DPD sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2009, antara lain :
a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undangundang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat

pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan i.

ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. HUBUNGAN ANTARA DPD, DPR, dan MPR 1. Antara DPD dan DPR Berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD, yaitu :
a.

Pertama, dalam fungsi legislasi. Perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan penambahan Pasal 20A Ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap

DPD. Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempuyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
b.

Kedua, dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan,

memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR.
c.

Ketiga, fungsi pengawasan. Tidak berbeda dengan fungsi legislasi dan fungsi

anggaran, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas7 sesuai dengan Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. 2. Antara DPD dan MPR Ketidakseimbangan antara DPD dan DPR juga dapat dicermati dalam proses pemberhantian presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatannya (impeachment).8 Berdasarakan Pasal 7B Ayat (1) sampai Ayat (6) UUD 1945, usul pemberhentian dapat diajukan kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR apabila presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945. Kalau Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka MPR akan menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR. Untuk itu, Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945 menentukan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.
7

Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
8

Kalau ditelaah ketentuan kuorum yang dalam proses impeachment di MPR, peran DPD dapat diabaikan. Saat ini jumlah anggota DPR 550 orang9 dan anggota DPD 128 orang10. Berarti anggota MPR berjumlah 678 orang. Menurut Refly Harun, impeachment dapat dilakukan tanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orang sudah lebih dari jumlah anggota MPR hanya berjumlah 508 orang. Hal yang sama juga berlaku dalam proses perubahan UUD 1945.11 Celakanya, menurut Refly Harun lagi, konstitusi menyatakan bahwa bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya, kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkan perseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPR ada apabila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus, tanpa kehadiran anggota DPD maka forum MPR tidak absah, cukup bagi DPR untuk seorang saja anggota DPD agar forum MPR menjadi sah.12 3. MEMPERKUAT KEDUDUKAN DPD 1. Hasil Survei LSI Berikut adalah beberapa temuan LSI mengenai DPD : Dari survei ini ditemukan bahwa tingkat kepercayaan publik pada peran dan penilaian publik atas kinerja DPD sama dengan pada DPR. Umumnya warga percaya pada dua lembaga ini, dan umumnya menilai bahwa kedua lembaga ini bekerja baik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.Yang sangat berbeda adalah legitimasi demokratik prosedural terhadap DPD dan DPR. DPD punya legitimasi demokratik prosedural yang jauh lebih kuat ketimbang DPR. Cara memilih anggota DPD dipandang lebih baik dibanding cara memilih anggota DPR untuk mewakili kepentingan pemilih. Karena itu, publik umumnya (73%) mendukung gagasan dilakukannya perubahan atau amandemen UUD yang berkaitan dengan DPD agar DPD punya wewenang legislatif yang sejajar dengan DPR yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Publik menghendaki agar dalam UUD kita dinyatakan bahwa DPD, seperti halnya DPR, punya wewenang untuk membuat dan memutuskan UU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Penguatan peran DPD, bukan saja benar secara demokratik, tapi juga punya dasar moral dan intelektual yang kuat, dan karena itu sulit untuk menolak gagasan tersebut. Dasar moralnya

Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (UU Susduk) menyatakan, anggota DPR berjumlah 550 orang.
9

Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kemudian, Pasal 33 Ayat (1) UU Susduk menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Karena jumlah provinsi 32, maka jumlah anggota DPD 32x4 orang yaitu 128 orang.
10

Refly Harun, (2004), Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah, dalam Koran Tempo, 18 April 2005, Jakarta. http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html
11 12

Ibid

adalah bahwa anggota DPD mendapat legitimasi demokratis sangat kuat untuk mewakili rakyat, dibanding anggota DPR. Secara intelektual, adanya dua lembaga legislatif, bikameralisme, dalam konteks otonomi daerah atau desentrasilisasi dalam hubungan pusat dan daerah, adalah praktek yang umum dalam demokrasi di dunia. Ada kaitan yang kuat dalam hubungan antara bikameralisme dan sistem politik desentralisasi dalam hubungan pusat dan daerah (Lijphart 1996), dan demokrasi kita seharusnya menjadi bagian dari pola ini.

2. Wacana Amandemen Kelima UUD 1945

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah dilaksanakan empat kali dalam periode 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, bukan berarti konstitusi hasil perubahan tidak memerlukan perbaikan-perbaikan untuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa. Setelah Perubahan Pertama hingga Keempat dilakukan, perubahan tetap perlu diteruskan untuk menyempurnakan hukum dasar bernegara. Perubahan lanjutan dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution. Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR. Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, Memperluas kewenangan DPD memang merupakan keharusan, yaitu harus terlebih dahulu melakukan amandemen UUD 1945. Dengan adanya amandemen kelima, diharapkan fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Sebagai contoh, DPD tidak hanya berwenang mengajukan RUU yang berkaitan dengan daerah, namun juga bisa ikut memberi persetujuan dan putusan terhadap RUU tersebut. Karena DPD lebih mengerti segala permasalahan yang ada di daerah karena mereka sebagai representasi daerah. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teoriteori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan. Perubahan kelima UUD 1945 bertujuan untuk membentuk sistem bikameral yang proposional. Dalam hal fungsi rekrutmen jabatan publik, DPD tidak kalah memprihatinkan jika dibandingkan dengan fungsi legislasi, fungsi kontrol, dan fungsi anggaran di atas. Oleh karenanya, DPD seharusnya dilibatkan dalam proses rekrutmen jabatan publik. Pelibatan itu menjadi sebuah keniscayaan karena rekrutmen jabatan publik yang hanya dilakukan oleh DPR amat mungkin bias kepentingan politik partai politik. Artinya, jika DPD diberi ruang yang cukup dalam proses rekrutmen jabatan publik, kepentingan politik partai di DPR bisa diimbangi oleh DPD.

3. Metode Perubahan UUD 1945 Secara umum sistem yang dianut oleh negara-negara dalam merubah UUD-nya dapat dikategorikan ke dalam dua sistem perubahan. 13 Pertama, sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa kontinental berpendirian bahwa manakala terjadi perubahan atas Konstitusi (UUD) maka yang diberlakukan adalah UUD yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini adalah Belanda, Jerman, dan Prancis. Kedua, negara-negara Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat misalnya, berpandangan bahwa apabila suatu Konstitusi diubah maka Konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap Konstitusi tersebut merupakan perubahan dari Konstitusi yang asli, atau dengan kata lain perubahan tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam Konstitusinya. Indonesia dengan Perubahan Pertama hingga Keempat sebenarnya melakukan model revisi tetapi dengan tetap mendeklarasikan dan mempertahankan format amandemen. Penyebutan Perubahan Kelima adalah pilihan yang menunjukkan diadopsinya model Amerika; sedangkan substansi perubahan yang komprehensif, menunjukkan dipilihnya model Perancis. Penggabungan kedua model tersebut dipilih karena menegaskan sistem revisi saja yang berarti melahirkan UUD baru sulit dilakukan di tengah-tengah masih kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian format metode perubahan tetap addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Maknanya amandemen selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya. Dalam membuat ketentuan mengenai prosedur perubahan Undang Undang Dasar, setidaktidaknya ada lima hal yang penting untuk dincantumkan:14 Pertama, adanya ketentuan yang menegaskan, baik eksplisit ataupun implicit, perbedaan antara materi yang tidak dapat diubah, dan materi yang dapat diubah baik dengan biasa, maupun dengan prosedur tidak biasa. Kedua, adanya ketentuan yang menegaskan, baik eksplisit maupun implicit, bahwa bentuk hukum perubahan Undang Undang dasar adalah bentuk naskah yang terpisah yang selanjutnya berfungsi sebagai adendum terhadap naskah asli Undang Undang Dasar. Ketiga, ketentuan yang mengatur prosedur pengusulan dan penenerimaan usulan itu menjadi agenda resmi. Keempat, ketentuan mengenai siapa dan lembaga apa yang diserahi tugas menyiapkan Rancangan Perubahan UUD itu. Kelima, ketentuan mengenai mekanisme pengambilan keputusan. Dengan format metode perubahan, maka amandemen lanjutan harus menggunakan ketentuan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Itu maknanya yang harus melakukan perubahan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keharusan itu menunjukkan kewenangan konstitusional perubahan konstitusi tetap merupakan kewenangan monopoli MPR. Meskipun demikian, bukan berarti naskah perubahan tidak dapat disiapkan oleh pihak-pihak lain di luar MPR.
Dahlan Thaib, et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, Cet. IV, 2004, hal. 67.
13 14

Jimly Asshiddiqie, loc.cit, hal. 81.

4. Rancangan Perubahan UUD 1945 Sebagai tindak lanjut terhadap wacana Amandemen kelima UUD 1945, berikut ini adalah beberapa perubahan yang diusulkan khususnya berhubungan dengan DPD : BAB X KEKUASAAN LEGISLATIF Pasal 3015 Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan legislatif. Pasal 3116 Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengadakan sidang bersama dalam forum majelis permusyawaratan rakyat untuk mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar; untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya; atau terbukti melakukan perbuatan tercela; ataupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan; dan untuk memilih Wakil Presiden ketika Wakil Presiden menggantikan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Presiden.

Pasal 3217

Pengaturan ini diperlukan untuk menegaskan bahwa DPR dan DPD adalah lembaga legislatif sehingga keduanya DPR dan DPD sama-sama memegang kekuasaan legislatif. Yang dimaksudkan dengan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, fungsi keuangan, fungsi representasi, dan fungsi pengisian jabatan publik. Pengaturan ini juga menegaskan bahwa sistem lembaga perwakilan rakyat Indonesia menganut pola dua kamar yang efektif (effective bicameralism). Dengan adanya kamar kedua, monopoli proses legislasi dalam satu kamar dapat dihindari. Karenanya, ditegaskan sistem dua kamar memungkinkan untuk mencegah pengesahan undang-undang yang cacat atau ceroboh.
15

Forum majelis permusyawaratan rakyat adalah merupakan joint session antara DPR dan DPD untuk melakukan tugas-tugas insidentil yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan. Dengan pasal ini, majelis permusyawaratan rakyat tidak lagi merupakan lembaga negara yang permanen karena majelis permusyawaratan rakyat adalah forum gabungan antara DPR dan DPD dan bukan merupakan gabungan antara anggota DPR dan anggota DPD. Karena forum gabungan dan bukan merupakan lembaga permanen, Ketua DPR dan Ketua DPD secara ex-officio menjadi pimpinan sidang forum majelis permusyawaratan rakyat.
16

Anggota

Dewan

Perwakilan

Rakyat

dan

anggota

Dewan

Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 3318 (1) (2) Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah warga negara Indonesia (3) dan bertempat tinggal di provinsi daerah pemilihannya. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Syarat-syarat lain untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam undang-undang. Pasal 34 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam undang-undang.19 Pasal 3520

Penegasan bahwa anggota DPR dan anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum adalah menghindari agar salah satu kamar tidak diisi dengan cara penunjukan atau gabungan antara pemilihan umum dan penunjukan.
17

Pencantuman bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia untuk calon anggota DPR dan bertempat tinggal di wilayah pemilihannya bagi anggota DPD adalah untuk membedakan keterwakilan bagi DPR dan DPD. Khusus untuk DPD, frase bertempat tinggal di wilayah pemilihannya adalah untuk menegaskan bahwa DPD merupakan perwakilan ruang, dengan basis pemilihan provinsi.
18

Pemberhentian anggota DPR dan anggota DPD perlu diatur di tingkat undang-undang untuk memperjelas syarat dan tata cara pemberhentian. Khusus untuk anggota DPR, kecenderungan selama ini, pemberhentian didasarkan pada subyektifitas partai politik. Dengan aturan ini, undang-undang partai politik dan undang-undang susunan DPR dan DPD harus menjelaskan syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR. Sementara pemberhentian DPD, harus ada elaborasi dalam undang-undang terutama kaitan konstituen di wilayah pemilihan dengan usul pemberhentian anggota DPD.
19

Pasal ini mengatur fungsi-fungsi dan hak-hak yang dimiliki DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif.
20

(1)

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik,21 dan fungsi keterwakilan.22

(2)

Dalam melaksanakan fungsinya,23 Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi24, hak angket25, dan hak menyatakan pendapat26.

(3)

Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, serta hak protokoler dan keuangan.27

(4)

Ketentuan lebih lanjut tentang fungsi, hak kelembagaan, serta hak keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam undang-undang.28 Pasal 36

Fungsi pengisian jabatan publik adalah pengisian jabatan-jabatan yang memerlukan persetujuan DPR dan/atau DPD. Jabatan publik ini merupakan jabatan-jabatan yang disebutkan dalam UUD dan UU. Misalnya, pengisian hakim konstitusi, hakim agung, anggota BPK, anggota Komisi Yudisial, gubernur BI, anggota KPU, anggota KPK dan lain-lain.
21

Fungsi keterwakilan merupakan konsekuensi dari keanggotaan DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena pemilihan itu, anggota DPR dan anggota DPD merepresentasikan konstituen mereka.
22

Hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat juga dimiliki DPD karena fungsi-fungsi yang dimiliki DPR juga dimiliki oleh DPD.
23

Hak interpelasi adalah hak DPR dan DPD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak mengajukan rancangan undang-undang, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat juga dimiliki DPD karena fungsi-fungsi yang dimiliki DPR juga dimiliki oleh DPD.
24

Hak angket adalah hak DPR dan DPD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
25

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
26

Pemberian hak yang sama bagi anggota DPR dan anggota DPD adalah konsekuensi dari tidak adanya perbedaan antara anggota DPR dan anggota DPD sebagai anggota lembaga legislatif. Khusus untuk penambahan hak protokoler dan keuangan ditujukan agar anggota DPR dan anggota DPD tidak semena-mena menggunakan kekuasaan politik yang mereka miliki untuk mendapatkan pelayanan dan menambah penghasilan.
27

Undang-Undang tentang Hak Protokoler dan Keuangan diperlukan agar pelayanan dan keuangan anggota DPR dan anggota DPD mempunyai dasar pengaturan yang jelas.
28

Undang-undang tentang hak protokoler dan keuangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berakibat pada kenaikan pendapatan diberlakukan untuk masa jabatan setelah pemilihan umum berikutnya.29 Pasal 37 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan rancangan undang-undang.30

Pasal 3831 (1) Setiap rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada Dewan Perwakilan Daerah.

Penegasan ini diperlukan agar upaya untuk mendapatkan tambahan fasilistas dan keuangan tidak terjebak ke dalam konflik kepentingan (conflict of interest) anggota DPR dan anggota DPD.
29

Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anggota DPR dan anggota DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang. Dengan demikian, hak untuk mengajukan rancangan undang-undang tidak hanya menjadi hak lembaga tetapi juga hak anggota DPR dan anggota DPD.
30

31

Pasal ini terkait dengan pasal berikutnya, yaitu menjelaskan pola baru pembahasan rancangan undang-undang di dalam lembaga legislatif dalam konteks effective bicameralism (lihat catatan kaki nomor 50). Dalam bikameral yang efektif ini, semua undang-undang (tanpa ada pengkhususan bidang untuk DPD) dibahas oleh DPR dan DPD terpisah dan bertahap dan RUU dapat diajukan baik oleh DPR maupun oleh DPD. Untuk membuat penerapan sistem presidensil yang konsisten, pembahasan undang-undang pun tidak lagi dilakukan secara bersama-sama oleh legislatif dan eksekutif seperti yang dikenal sekarang. Nantinya, DPR dan DPD membahas sendiri-sendiri, dengan kemungkinan perundingan melalui panitia bersama, dan kemudian presiden diberikan hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh presiden (penandatanganan, lihat Pasal 28). Dengan begitu checks and balances antara eksekutif dan legislatif, maupun di antara kedua kamar di dalam lembaga legislatif dapat terjadi. Pasal 26 ini merincikan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPR, sementara Pasal 27 menjelaskan prosedur pembahasan RUU yang diajukan oleh DPD. Apabila RUU berasal dari DPR, maka RUU dikirim ke DPD untuk dibahas. DPD dapat menerima, menolak, atau memberi tambahan. Bila DPD menerima, maka RUU tersebut langsung diberikan kepada presiden untuk disahkan. Namun bila ada penambahan dari DPD, maka DPR dan DPD akan membentuk panitia bersama untuk mencapai kesepakatan. Jika ditolak, RUU tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu. Yang disebut dengan panitia bersama di sini adalah suatu kelompok kecil yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPR yang membahas RUU yang mendapatkan penambahan materi (tdak disetujui secara bulat oleh DPD). Panitia ini berbeda dengan forum majelis permusyawaratan rakyat yang merupakan forum gabungan (joint session DPR dan DPD, lihat Pasal 19 dan catatan kaki nomor 51) dalam hal-hal tertentu yang diatur di dalam konstitusi. Panitia bersama khusus didirikan untuk merumuskan kesepakatan bersama DPR dan DPD untuk RUU yang dibahas dan setelah itu dibubarkan. Karena itu, dari segi jumlah pun, panitia bersama jumlahnya jauh lebih kecil dari forum majelis permusyawaratan rakyat.

(2)

Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui, mengusulkan perubahan, atau menolak Perwakilan dari Dewan rancangan Daerah undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat.

(3)

Apabila

Dewan

menyetujui Rakyat,

rancangan rancangan

undang-undang (4)

Perwakilan

undang-undang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Apabila Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan perubahan terhadap rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat . (5) Apabila rancangan undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Daerah, rancangan undang-undang tidak dapat Pasal 3932 (1) (2) Setiap Dewan rancangan Perwakilan atau undang-undang Rakyat menolak Perwakilan dapat dari Dewan Perwakilan Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. menyetujui, mengusulkan dari perubahan, (3) Apabila rancangan Rakyat undang-undang membentuk panitia bersama untuk membahas rancangan undang-undang yang diajukan Dewan Perwakilan

diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.

Dewan Perwakilan Daerah. Dewan menyetujui rancangan rancangan undang-undang dari (4) Dewan Perwakilan Daerah,

undang-undang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan perubahan atas rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan panitia Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah membentuk (5) Apabila bersama untuk membahas ditolak rancangan Dewan dapat

undang-undang yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah. rancangan Rakyat, undang-undang rancangan oleh tidak Perwakilan undang-undang

diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.

32

Bila Pasal 26 menjelaskan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPR, Pasal 27 ini menjelaskan prosedur pembahasan dalam hal RUU diajukan oleh DPD. Jika RUU berasal dari DPD, maka RUU dikirim ke DPR untuk dibahas. DPR dapat menerima, menolak, atau memberi tambahan. Bila DPR menerima, maka RUU tersebut langsung diberikan kepada presiden untuk disahkan. Namun bila ada penambahan dari DPR, maka DPR dan DPD akan membentuk panitia bersama untuk mencapai kesepakatan. Jika ditolak, RUU tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.

Pasal 4033 (1) Dalam jangka waktu paling lama tiga hari, rancangan undangundang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan disahkan.34 (2) Presiden dapat menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalam jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui.35 (3) Jika Presiden menolak untuk mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, rancangan undang-undang dimaksud sah menjadi undang-undang apabila disetujui sekurangDaerah disampaikan kepada Presiden untuk

33

Pasal ini menjelaskan proses pengesahan oleh presiden atas RUU yang sudah disetujui oleh DPR dan DPD dalam konteks sistem presidensil yang konsisten. Dalam usulan amandemen ini yang mengandung jiwa penguatan sistem presidensil dan bimakeral yang efektif, proses legislasi berubah secara signifikan, dengan semua RUU dibahas oleh legislatif tanpa mengikutsertakan eksekutif, namun kemudian eksekutif diberikan hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh eksekutif. Dalam pasal ini diperkenalkan proses yang lebih rinci yang dapat terjadi sebelum suatu undang-undang disahkan (ditandatangani) presiden untuk membuat, yaitu adanya proses pernyataan penolakan atau veto presiden, penolakan atas veto presiden oleh DPR dan DPD (overriding), dan veto diam-diam presiden (pocket veto). Pasal ini harus dibaca dalam satu rangkaian dengan Pasal 26 dan 27 sehingga akan menggambarkan proses checks and balances yang lebih baik antara eksekutif dan legislatif dalam hal pembuatan undang undang, di mana eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR dan DPD) dapat saling mengontrol. Selama ini, mekanisme checks and balances dalam proses legislasi ini tidak terjadi karena adanya konsep pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif yang tidak lazim diterapkan dalam sistem presidensialsehingga menghilangkan pula adanya mekanisme veto-penolakan veto-pocket veto ini. Yang ada hanyalah pocket veto, dengan menyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah disetujui presiden tidak menandatangani RUU maka RUU tetap menjadi undang-undang. Namun proses sebelumnya tidak diperjelas dan proses pembahasan pun dilakukan bersama antara eksekutif dan legislatif, akibatnya muncul kebingungan secara konseptual mengenai sistem apa yang diterapkan di Indonesia dan secara praktek pun problematik dengan adanya undang-undang (mis. UU Pelabuhan Bebas Batam) yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah namun ternyata pemerintah menolak menandatanganinya. Ayat ini menjelaskan proses berikutnya setelah suatu RUU disetujui oleh DPR dan DPD, yaitu mengirimkannya kepada presiden. Diberikannya batasan waktu di dalam ayat ini adalah untuk memastikan pembahasan RUU tidak berlarut-larut dan agar ada kejelasan mengenai kondisi pelanggaran suatu prosedur.
34

Ayat ini memberikan hak kepada presiden untuk menyatakan penolakan atas suatu RUU yang sudah disetujui oleh DPR dan DPD. Adanya batasan 10 hari kerja di dalam ayat ini adalah untuk memastikan pembahasan RUU tidak berlarut-larut dan agar ada kejelasan mengenai kondisi pelanggaran suatu prosedur. Ayat ini mengatur batas waktu dalam satuan hari kerja sementara ayat sebelumnya dalam satuan hari karena ayat sebelumnya dianggap sebagai suatu prosedur teknis sementara ayat ini menggambarkan prosedur politis yang membutuhkan perhitungan waktu efektif bagi presiden untuk mengambil keputusan.
35

kurangnya 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak penolakan tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah dan wajib diundangkan.36 Pasal 41 (1) (2) Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah Dalam jangka pengganti undang-undang.37 paling lama tiga puluh hari sejak waktu

ditetapkan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang.38 (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyetujui, peraturan pemerintah pengganti undangundang menjadi undang-undang.39 (4) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah menolak, peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus dicabut.40 Pasal 4241
Pasal ini adalah mengenai penolakan veto presiden oleh legislatif dan veto secara diamdiam presiden (pocket veto) atas penolakan veto tersebut. Veto presiden atas suatu RUU yang sudah disetujui DPR dan DPD dapat dilawan atau ditolak kembali oleh DPR dan DPD melalui suatu pernyataan yang disetujui oleh minimal dua pertiga anggota DPR dan dua pertiga anggota DPD (bukan gabungan dalam forum majelis permusyawaratan rakyat, melainkan keputusan DPR dan DPD secara terpisah). Namun penolakan legislatif atas veto eksekutif tersebut masih bisa di-veto lagi "secara diam-diam' melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah. Proses ini diberikan batasan jangka waktu 30 hari untuk memastikan berlangsungnya proses politik ini.
36

Ketentuan ini tetap mempertahankan hak darurat presiden untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang substansinya sama dengan undang-undang sebagai-mana dalam UUD hasil amandemen atau sebelum amandemen. Perubahan yang dilakukan adalah menghilangkan kata ihwal karena dalam penggunaan bahasa Indonesia, kata hal dan ihwal mempunyai pengertian yang sama. Untuk menghilangkan kata ganda tersebut, kata ihwal dihapuskan.
37

Batasan waktu 30 hari dicantumkan untuk mencegah agar hak darurat presiden dalam membentuk peraturan dimaksud tidak berlarut-larut dan dalam batas waktu tersebut hak darurat itu dapat dinilai DPR dan DPD. Di samping itu, untuk memberikan kepastian agar DPR dan DPD tidak mebiarkan Perpu berlarut-larut.
38

Sebagaimana pembentukan undang-undang, untuk menjadi undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dan DPD.
39

Tanpa persetujuan DPR dan DPD, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tidak dapat menjadi undang-undang. Dengan penolakan itu, Perpu tersebut harus dicabut.
40

Pengaturan mengenai pembentukan RAPBN dipisahkan dari pengaturan mengenai pembentukan undang-undang lain, karena proses pembentukan RAPBN mempunyai karakter
41

(1)

Presiden anggaran

mengajukan pendapatan

rancangan dan belanja

undang-undang negara kepada

tentang Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah untuk dibahas pada waktu yang bersamaan.42 (2) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui, mengusulkan perubahan, atau menolak rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara. (3) Apabila Daerah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan tentang menyetujui rancangan undang-undang

anggaran pendapatan dan belanja negara, rancangan undangundang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.43 (4) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan perubahan atas rancangan undangundang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah membentuk panitia bersama dengan mengikutsertakan Presiden untuk membahas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.44 (5) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan tentang yang Daerah menyetujui puluh (6) hari rancangan sebelum undang-undang tahun anggaran anggaran

pendapatan dan belanja negara selambat-lambatnya enam bersangkutan dilaksanakan.45 Dalam jangka waktu paling lama tiga hari, rancangan undangundang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
yang berbeda dengan undang-undang. Perbedaan itu karena proses pembahasan RAPBN tidak merupakan proses legislasi murni tetapi merupakan kuasi legislasi. Proses pembahasan RAPBN merupakan fungsi begrooting DPR dan DPD. Di samping itu, RAPBN ditarik keluar dari Bab keuangan negara karena RAPBN merupakan quasi legislasi karena APBN dituangkan dalam baju hukum berbentuk undang-undang. Berbeda dengan pengajuan rancangan undang-undang yang dapat diajukan presiden kepada DPR atau DPD, RAPBN diajukan kepada DPR dan DPD sekaligus. Oleh karena itu, hanya presiden yang berhak mengajukan RAPBN.
42

Sama dengan rancangan undang-undang, RAPBN harus mendapat persetujuan DPR dan DPD.
43

Panitia bersama dengan menyertakan presiden dibentuk usul perubahan yang diajukan oleh DPR dan/atau DPD. sebelum berakhirnya tahun anggaran tidak hanya penyelesaian RAPBN tetapi juga untuk memberikan ruang lebih awal.
44 45

untuk mempercepat pembahasan Sementara itu, batasan 60 hari bertujuan untuk mempercepat kepada daerah menyusun RAPBD

Batasan 60 hari sebelum berakhirnya tahun anggaran tidak hanya bertujuan untuk mempercepat penyelesaian RAPBN tetapi juga untuk memberikan ruang kepada daerah menyusun RAPBD lebih awal.

Dewan Perwakilan Daerah disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.46 (7) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, Presiden menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.47

Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.48 Pasal 44 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.49 (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengawasan diatur dalam undang-undang.

Batasan waktu tiga hari dimaksudkan untuk mempercepat proses di DPR dan DPD setelah RAPBN disetujui.
46

Tujuan aturan ini adalah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penolakan atas RAPBN yang diajukan oleh presiden.
47

Pasal ini memerintahkan adanya Undang-Undang tentang Pembentukan Undang-Undang, bukan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti UU No 10/2004.
48 49

Lihat catatan Pasal 35 ayat 2.

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN B. SARAN

You might also like