You are on page 1of 8

Pengertian

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan
keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan
acuan bagi semua pihak.

Pengelompokan
Ditengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan
anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori
anak jalanan, yaitu children on the street dan children of the street. Namun pada
perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street atau sering
disebut juga children from families of the street.

Pengertian untuk children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok
anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan
senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi
dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan
cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar
waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan
orangtua atau keluarganya.

Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-anak yang
menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau
tinggalnya juga di jalanan.
SOLUSI
Terdapat beberapa alternatif “KESEMPATAN” yang anak jalanan perlukan :

Pendampingan. Karena perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan anak


jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak
dikasihi, olehnya kita dapat memulihkan percaya diri mereka. “Uang” kita dapat
dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Dengan sikap
“Penerimaan kita” tersebut dapat mengatasi “luka masa lalu” mereka.

Bantuan Pendidikan. Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan


belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan Beasiswa,
Bimbingan Uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah.
“Uang” kita dapat kita konversi menjadi “Beasiswa” (memang pemerintah telah
membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri, Namun hal tersebut digantikan dengan
pungutan lainnya bahkan lebih mahal dari pada uang SPP yang telah dihapuskan dengan
mengatas namakan “uang buku”, “uang kegiatan” dan lain-lainnya.

Bantuan Kesehatan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan
yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan sakit penyakit. Pada kondisi
sekarang mereka bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan
mahalnya kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita rubah
menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-
obatan serta subsidi perawatan kesehatan.

Penyediaan Lapangan Pekerjaan. Sebagai contoh yang baik, Carrefour melakukan


terobosan yang sangat bagus dengan menerima 4 anak jalanan yang cukup umur untuk
bekerja di perusahaannya. Langkah ini merupakan salah satu obat mujarab terhadap
penyakit masyarakat yang menjangkit bahkan telah mulai membusuk dalam bangsa ini.
Bayangkan jika terdapat “Carrefour” yang lainnya dapat membuka kesempatan tersebut,
mungkin jalanan akan sepi dengan anak anak jalanan karena orang tua mereka telah
mulai bekerja. Profile keluarga dikembalikan seperti semula, orang tua menjadi penopang
keluarga

Bantuan Pangan. Dengan tingginya harga sembako membuat rakyat marginal tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan “Uang” dapat kita konversi
dengan bantuan pangan dengan mengadakan Bazaar sembako murah, kembali kita tidak
boleh memberikan kepada mereka secara gratis.
KESIMPULAN
- Terlihat bahwa kehidupan kelurga sedang mengalami masa transisi dari
kehidupan keluarga besar menjadi keluarga inti, dari budaya tradisional pedesaan
menjadi budaya modern perkotaan. Karena itu, kehidupan mereka ini sangat
rentan terhadap setiap kondisi, perubahan dan pengaruh lingkungan yang terjadi.
Selain itu, pendapat mereka kurang dapat menopang secara keseluruhan
kebutuhan keluarga. Tentu faktor ini juga menjadi faktor penyebab percepatan
perubahan dalam kehidupan keluarga tersebut. Mungkin suatu saat mereka akan
melakukan apa saja untuk menghidupi keluarga karena tuntutan kebutuhan dan
perubahan yang terjadi.

- Dalam pola asuh keluarga terhadap anak, pihak orang tua atau keluarga mulai
memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak. Jelas hal ini akan
memberikan akses interaksi sosial yang semakin luas terhadap anak untuk bergaul
dengan teman-temannya. Sesungguhnya akses ini akan memberikan peluang
kepada anak untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian dan wawasan anak,
bilamana dapat diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik. Namun, sebaliknya
bila keluarga tidak dapat mengontrolnya, tidak mustahil akan terjadi perilaku-
perilaku yang a-sosial terhadap anak. Karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan-
pemberdayaan terhadap keluarga.
- Lama waktu yang dihabiskan anak berada di tempat-tempat hiburan tersebut
sebagian besar antara 1-3 jam; digunakan untuk berkunjung ke tempat-tempat
tersebut adalah pada malam hari antara 19.00 – 21.00; dan sebagian lagi pada
siang hari antara 13.00 – 17.00 WIB, sisanya tidak tentu, mungkin pada siang
hari, sore hari, malam hari, atau larut malam. Waktu-waktu ini sesungguhnya
merupakan waktu yang sangat rawan bagi kehidupan anak. Namun ini dapat
terjadi karena fungsi keluarga dan lingkungan sosial tidak dapat berfungsi
sebagaimana yang diharapkan.
- Terlihat adanya kesamaan persepsi antara orang tua dengan anak dalam
melihat beberapa variabel sikap dan perilaku sebagai perilaku nakal, seperti ;
membolos sekolah, melawan guru, mejeng di pertokoan, bergadang di jalanan,
pulang larut malam, tidak pulang ke rumah, berkelahi tawuran, minuman keras,
narkotika, seks bebas, mencuri, memeras, membajak atau merampok. Namun,
beberapa variabel sikap dan perilaku tidak dilihat sebagai perilaku nakal baik oleh
anak maupun orang tua itu sendiri, seperti : berbohong, merokok, terlambat
sekolah, dan tidak mau belajar. Pemandangan seperti ini akan menjadi titik
masuk yang memberikan peluang ke pada anak untuk menjadi nakal.
- Menurut para remaja ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
kenakalan anak, seperti: pengaruh media massa khususnya TV dan film, faktor
teman sebaya dan masyarakat sekitar, kurangnya perhatian orang tua dan tidak
adanya kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan anak di rumah.
- Beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah kenakalan remaja,
yaitu anak harus dilatih tertib dan disiplin, kerukunan dan kehangatan dalam
keluarga harus tetap dibina, anak harus dianjurkan untuk tetap melakukan
kewajiban-kewajiban ibadah, orang tua harus dapat menjadi tauladan bagi anak,
orang tua harus lebih memperhatikan kehidupan anak dan anak harus diberikan
kegiatan-kegiatan positif dalam keluarga yang dapat mencegah anak berbuat
nakal.

- Program-pogram yang ditawarkan kepada masyarakat khususnya dari pihak


pemerintah dalam rangka mencegah sikap dan perilaku tindak tuna sosial belum
sepenuhnya dapat menjawab permasalahan keluarga yang sesungguhnya.
Program yang ditawarkan belum mampu merubah aspek kognitif, efektif dan
psikomotorik dari masyarakat tersebut, program yang ditawarkan lebih banyak
menekankan pada aspek bantuan fisik. Sedangkan program dari pihak LSM atau
organisasi sosial dapat dikatakan lebih masuk pada aspek kognitif, efektif dan
psikomotorik kemudian diikuti oleh bantuan oleh bantuan fisik. Namun,
frekuensinya masih terbatas karena dana terbatas.
MAKALAH
TENTANG ANAK JALANAN

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

ROSMEILIN
KELAS : IX-A
PEDAGANG ASONGAN

Kiranya tak salah menyebut Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai ”pasar serba
ada”. Di bandara itu ada penyemir sepatu, ojek, taksi gelap, pedagang asongan, resto
terkenal, dan porter liar. Sungguh jauh dari bayangan wajah negara yang mestinya tertata,
aman, dan nyaman.

Keluhan soal kondisi dan pelayanan di bandara yang lebih banyak tampak ”amburadul”
daripada tertata sering terlihat. Namun, upaya pembenahan belum juga maksimal.

Hingga Rabu (13/8), kondisi bandara tetap belum sesuai harapan pengguna. Rasa tak
aman dan tak nyaman masih menggelayuti perasaan.

Lewatlah di area publik dalam bandara niscaya bau dan asap rokok akan langsung
menyergap hidung. Begitu duduk di bangku panjang di Terminal I dan II atau memesan
makanan di salah satu resto dalam area bandara, dalam hitungan menit, pedagang
asongan dan penjual jasa menghampiri menawarkan dagangan dan jasa mereka.

”Semir, semir sepatu,” kata bocah lelaki bersandal jepit bersahut-sahutan. Baru semenit
menolak tukang semir, datang penjual parfum dan pulpen menawarkan dagangan.
”Parfum ini sama dengan yang dijual pramugari. Kalau di mal harganya sampai Rp
300.000, di sini saya jual Rp 150.000 saja,” kata Sri, penjual parfum, merayu calon
pembeli.

Keluar dari resto, giliran penarik ojek dan sopir taksi gelap yang kini dilegalkan menjadi
penyewaan mobil dan biro wisata menawarkan jasa untuk mengantarkan ke mana saja.

Untuk meyakinkan calon penumpang, Nafis, penarik ojek warga Bojong Renged
(kampung di belakang bandara), bercerita, ia sering mengantar penumpang sampai
wilayah Kota di Jakarta Barat. ”Kemarin saya antar seorang ibu yang ketinggalan
pesawat. Rumahnya di Pamulang- Kabupaten Tangerang. Ongkosnya cuma Rp 70.000,”
ujar Roni, pengojek, Selasa malam. Ia mangkal di Terminal II, penerbangan internasional,
Garuda dan Merpati.

Kondisi lebih seru terjadi di area parkir. Kaum perempuan yang menjadi pedagang
asongan makanan menggelar dagangan di banyak tempat. Ada yang di antara mobil, ada
pula yang memilih berdagang di pangkalan ojek. Selain menjual teh, kopi panas, aneka
kue, dan telur, pedagang juga menyediakan bermacam lauk dan nasi putih.

Harga satu porsi nasi putih dengan sayur dan salah satu lauk (bisa oseng kerang atau
balado teri) plus sambal hanya Rp 7.000. Jika ditambah minum sebotol air mineral
bermerek terkenal, pembeli cukup membayar Rp 9.500 sekali makan. Mereka tetap lahap
makan walaupun aroma tak sedap tercium akibat banyak orang yang suka buang air kecil
di sembarang tempat.

Harga makanan itu murah dibandingkan makan dengan menu yang hampir sama di
warung makan resmi di area parkir atau terminal bandara yang harganya bisa tiga kali
lipat.

Menurut Idah, penjual asongan makanan di area parkir bandara, berjumlah lebih dari 100
orang, termasuk dirinya. Mereka umumnya warga di balik pagar Bandara Soekarno-
Hatta.
Bagi para perempuan, seperti Idah yang tak tamat SMP, berjualan makanan di bandara
sangat membantu ekonomi keluarga. ”Sebagian yang jualan gini dulu korban gusuran,
tetapi ada juga pendatang dari Sumatera,” kata Dedeh, pedagang makanan yang asli
Tangerang.

Bermodal termos, tas berisi bungkusan nasi, lauk, telur, sambal, dan air mineral, para
perempuan itu menyusuri area parkir bandara untuk mengais rezeki.

Beberapa orang di antara mereka mengaku mendapat penghasilan lebih dari Rp 100.000
per hari. ”Lumayan bisa bantu suami yang cuma ngojek. Kalau tidak begini, dari mana
biaya sekolah anak,” kata Dedeh yang memiliki tiga anak.

Selain pedagang makanan, di balik ratusan mobil yang parkir, ada porter liar. Selasa
malam, Kompas menyaksikan sebuah keluarga yang akan memasukkan koper dan tas ke
mobilnya kaget saat tiga lelaki tiba-tiba muncul di belakang mobil dan membantu
memasukkan empat koper dan tas mereka.

”Bos, bos,” kata seorang dari lelaki itu. Maksudnya ia meminta uang. Dengan mimik
kesal, salah satu anggota keluarga itu memberi uang kepada para lelaki yang biasa disebut
porter liar tersebut. Porter, tanpa kerja, yang tiba-tiba datang dan minta uang ini
menjengkelkan pengguna bandara.

Tanggung jawab bersama

Manajer Humas PT Angkasa Pura II Trisno Heryadi mengakui adanya kekurangan sarana
dan pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta.

Akan tetapi, pihak badan usaha milik negara yang mengelola bandara tersebut
menyatakan, hal itu sebagai tanggung jawab bersama. ”Maksudnya saya, mereka yang
terkait dengan penggunaan bandara harus bersama- sama mewujudkan bandara yang
nyaman dan aman,” kata Trisno pada Rabu.

Soal tumbuh suburnya ojek, taksi gelap, pedagang asongan bahkan pelanggaran oleh para
perokok, ia berpendapat, hal seperti itu terjadi karena sikap dan tiadanya keinginan
masyarakat untuk berubah menjadi baik.

Ia menambahkan, Angkasa Pura II juga tengah melakukan pembenahan dan


pembangunan Terminal III.

Benar, mulai ada perbaikan total toilet di Terminal I (domestik) dan penambahan toilet,
ruang ibadah di area parkir, tetapi kenyamanan pengguna juga berkurang oleh makin
tersitanya ruang publik oleh penambahan kios makanan dan pakaian.

Sebagai bandara utama yang tiap tahun dikunjungi 34 juta penumpang dalam dan luar
negeri, tak pantas dibiarkan dalam keadaan ”amburadul”.
PENDAHULUAN

Salah satu fenomena sosial di perkotaan yang belakangan ini semakin nyata, lebih - lebih
dengan adanya krisis moneter yang melanda di Indonesia dalam setahun terakhir ini
adalah masalah Anak-anak Jalanan. Anak Jalanan semata-mata bukan hanya menjadi
malasalah kota besar di negara-negara sedang berkembang.

Di Amsterdam, New York, London, Frankfurt, dan Bandung, anak-anak yang terpaksa
hidup di jalanan karena berbagai sebab, juga semakin marak. Meskipun berbeda dengan
Anak-anak Jalanan di Malaysia, Singapura, Thailand, India, Philipina, bukan berarti
persoalan Anak Jalanan di Jakarta tidaklah penting. Dari pengalaman penelitian tentang
Anak Jalanan di Jakarta, memperlihatkan mereka perlu mendapat perhatian yang sangat
serius. Hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga
eksploitasi, manipulasi, ketidak-konsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh
mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalan.

Anak Jalanan belakangan ini menjadi suatu fenomena sosial yang sangat penting dalam
kehidupan kota besar. Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan
kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis
kota besar. Pemahaman tentang karakteristik kehidupan mereka, seperti apa kegiatan dan
aspirasi yang mereka miliki, keterkaitan hubungan dengan pihak dan orang -orang yang
ada di sekitar lingkungan hidup mereka, memungkinkan kita menempatkan mereka
secara lebih arif bijaksana dalam konteks permasalahan kehidupan kota besar.

Studi kasus ini berupaya mendapatkan suatu karakteristik Anak Jalanan yang setidaknya
dapat memberi gambaran kepada kita tentang permasalahan sehari-hari yang dihadapi
Anak Jalanan, kondisi orang tuanya, aspirasi mereka serta ikut memikirkan upaya
mengatasi permasalahn mereka.

You might also like