You are on page 1of 5

TUGAS MANAJEMEN KONFLIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Sosial Dosen : Budi Setiono S.Sos, M.Pol, Admin

Disusun Oleh :
FAHMI HIMMAWAN 14010110120090

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 2011

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai mahasiswa sekaligus merangkap menjadi masyarakat dituntut agar ikut berberan aktif dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu sangatlah wajar jika kita sangat ingin mewujudkan lingkungan yang kondusif dan membantu agar senantiasa pikiran kita lebih terbuka. Didalam makalah ini kita dituntut mengerti akan masalah yang terjadi beserta langkah apakah yang dapat silakukan agar konflik tersebut tidak bertambah ataupun berlarut-larut dalam pemecahannya.Dilihat dari substansinya, makalah ini diharapkan menjadi tambahan bacaan serta pelangkap nilai tugas dari mata kuliah manajemen konflik. Bila saja konflik itu dibiarkan berlangsung, maka akan mempersulit posisi pemerintah dalam menyelesaikan konflik PT Freeport dan masyarakat Papua. Pada pada makalah ini saya membahas tentang konflik yang terjadi antar suku di papua dengan keberadaan PT.FREEPORT INDONESIA yang mengundang banyak konflik di tanah papua. Sekiranya dalam makalah ini telah sedikit dijelaskan masalah-masalah serta solusi yang tepat untuk penanganannya. Mudahmudahan bermanfaat bagi kita semua.

Pembahasan

Demam emas di Sungai Laloki sekitar 10 mil dari Port Moresby di negara tetangga Papua New Guinea pada 1878 telah menjadi inspirasi bagi tim ekspedisi di dunia, ternyata gununggunung di Provinsi Papua juga mengandung emas. Inspirasi ini yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspeisi kepada Forbes Wilson dan kawan-kawan serta tokoh Amungme yang turut menemani mereka yaitu Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg Pada awalnya gunung ertsberg atau biasa yang disebut Grasberg merupakan bagian dari wilayah masyarakat adat suku amugme yang bermukim di wilayah timika, papua Pada 5 April 1967 Menteri Pertambangan RI Slamet Branata dan Perwakilan Freeport menandatangani Kontrak Karya pertama selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg. Kini gunung Erstberg sudah berubah menjadi lubang raksasa yang kemudian diberi nama Danau Wilson. Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada tuan Forbes Wilson yang mempelopori expedisi di wilayah Ertsberg. Pada awalnya masayarakat adat (suku amungme ) sangatlah senang dengan adanya perhatian pemerintah yang membangun sebuah perusahaan di wilayah papua bersama PT Freeport International, menerut mendiang tokoh adat suku amungme Moses Kilangin pada awalnya suku amungme memfasilitasi expedisi yang dilakukan oleh Forbes Wilson serta Moses Kilanginlah yang membuka jalan dari gunung ke gunung untuk mencapai lokasi dimana terdapat batuan yang mengandung emas yaitu di wilayah gunung Ertsberg. Menurut hukum adat suku amungme pembukaan lahan di daerah gunung Ertsberg dapat dilakukan apabila pemerintah dan pihak Freeport mau memenuhi kententuanketuntuan yang di dalamnya tidak merugikan masyarakat adat ( Termasuk mengembalikan alam sediakala ). Tentunya pemerintah menyetujui syarat tersebut dan pada fase inilah terbentuk sebuah konflik yang tidak disadari masyarakat adat. Exploitasi yang di lakukan oleh PT. Freeport Indonesia di tanah papua sudah melewati batas. Hal ini disebabkan terjadi banyak kerusakan lingkungan dan punahnya sebagian satwa di tanah papua akibat exploitasi yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia secara besar-besaran. Tidak saja berdampak buruk bagi lingkungan akan tetapi mengancam ekosistem hutan tropis yang telah tumbuh subur di tanah papua. Arti tanah bagi masyarakat pribumi papua sangatlah besar. Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis saja, tetapi juga sangat bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kegiatan sehari-hari. Ini jelas proses di mana PT. Freeport Indonesia dan negara tidak pernah mengakui masyarakat adat (MA) sebab Pemerintah Indonesia telah melahirkan kontrak karya pertambangan bagi PT Freeport Indonesia di Papua.Sejak awal negara tidak mengakui masyarakat adat, Padahal bagi suku - suku dipedalaman Papua untuk memperoleh lahan yang

luas biasanya tak gampang diperoleh. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Tak mungkin engkau menjual mama yang selalu memelihara dan merawat engkau, tentunya semua persoalan di sana tidak akan tuntas diselesaikan. Walau memang tugas dan tanggung jawab bagi kesejahteraan jelas PT Freeport semata tetapi pemerintah baik di Jakarta, Papua dan Mimika. Lalu bagaimana pula dengan program pengendalian dampak lingkungan hidup setelah pasca tambang? Secara kasat mata saja bisa dilihat program jangka pendek tentang penanggulangan tailing atau untuk lebih halus disebut pasir sisa tambang. Model pembuangan tailing lebih gampang dan murah kalau dibuang lewat sungai. Jadi sungai berfungsi mengalirkan air, menampung dan mengendapkan tailing. Namun semakin lama dampak tailing akan merusak dan mencemari kesehatan masyarakat di dataran rendah terutama masyarakat Kamoro dan Sempan yang notabennya adalah masyarakat yang sudah lama menetap di daerah operasional PT FREEPORT INDONESIA sehingga secara langsung mereka merasakannya. Kini masyarakat setempat akan menanggung semua resiko baik dampak lingkungan mau pun dampak sosial akibat exploitasi yang dilakukan oleh PT Freeport itu sendiri. Adanya diferensiasi sosial yang terjadi antara masyarakat adat dan PT Freeport Indonesia seakan memperkeruh suasan yang ada, hal inilah yang dirasakan penyebab inti dari masala ini, Pemerintah yang bertugas sebagai kendali di dalam masalah ini seakan lepas tangan sehingga hal inilah yang menyebabkan konflik masayarakat setempat tidak pernah terselesaikan. Akhirnya pemerintah dituntu untuk mengkaji perundang-undangan yang dimana dinilai undang-undang yang sebelumnya membahas masalah pertambangan ini dinilaitelah usang sehinnga undangundang ini merugikan banyak pihak didalamnya. Pada saat ini masyarakat adat amungme tidak mendapatkan keuntungan keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan, dikarenaka PT Freeport berdiri di wilayah suku amungme. Adanya perhatian khusus dari pemerintah juga tidak dirasakan suku amungme sehingga bilamana terjadi sebuah kerusuhan suku amungme tidak mau bertanggung jawab atas semua hal yang pernah terjadi, sering kali perlakuan diskriminatif dari pihak perusahaan dinilai amatlah tidak menghargai hukum ataupun tidak menguntungkan suku amungme, hal-hal seperti pembuangan limbah pasir teiling ke sengai kamoro, serta terbatasnya akses yang diberikan PT Freeport terhadap suku amungme membuat geram para tokoh adat suku amungme, ditambah lagi fasilitas yang diberikan PT Freeport untuk suku amungme sangatlah memprihatinkan. Masalah-masalah inilah yang sekali lagi tidak diselesaikan PT Freeport sebagai pengembang serta penanggung jawab atas kerusakan alam yang secara langsung disebabkan oleh aktifitas penambangan PT Freeport.

Dari hal-hali inilah dapat digaris bawahi bahwa adanaya pengendalian dari pemerintah dalam menyelesaikan konflik di tanah papua dapat dirasakan sangatlah kurang. Tak heran jika masyarakat adat sangatlah geram oleh ulah Freeport dan Pemerintah. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya gerakan masyarakat papua yang mendukung pemisahan papua dari negara kesatuan republic Indonesia, pemerintah dinilai tidak becus menjaga kestabilan sosial dan kesejahteraan masyarakat papua. Umumnya masyarakat adat di sana mendapatkan kesejahteraan dimana hal inilah yang dinilai sebagai timbal balik yang seharusnya di dapatkan masyarakat adat karena telah memberikan tanah untuk kegiatan tambang yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. . Jika yidak ada suatu pengendalian yang baik maka akan sering terjadi konflik yang berkepanjangan seperti yang dirasakan oleh masyarakat papua. Pentingnya penggolongan berdasarkan kelas-kelasnya seperti Diferensiasi memang sangat di butuhkan oleh Indonesia. Agar tidak terjada lagi kasus- kasus pemisahan dari negara kesaruan republik indonesia. Ini sebagai tanggung jawab kita bersama dalam menjaga keutuhan republik indonesia. Bukan saja pemerintah yang dituntut aktif dalam menjaga keutuhan bangsa akan tetapi kita, yang memang sepantasnya menjadi ujung tombak pemerintahan indonesia, kita dituntut harus peka dalam melihat situasi pemerintahan saat ini. Agar kelak republik indonesia ini tetap utuh sebagaimana mustinya. Sekali lagi pemerintah dituntut melakukan evaluasi mengenai hat tersebut agar masyarakat tetap hidup di dalam kesejahteraan.

You might also like