You are on page 1of 270

BAB I PENDAHULUAN

Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf, bahkan hal ini telah berlangsung sejak zaman Yunani. Namun demikian pasang surut perhatian filsuf terhadap bahasa tidaklah lama, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan problema-problema filsafat pada zaman tertentu. Suatu perubahan yang sangat penting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai suatu contoh problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, "keadilan", "kebaikan", "kebenaran", "kewajiban", "hakikat ada" dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai "Filsafat Analitik", yang berkembang di Eropa terutama di Inggris pada abad XX. Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep-konsep tersebut. Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat tersebut sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejaran aksentuasi perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya. Pada zaman Yunani filsafat merupakan dasar untuk memandang hakikat segala sesuatu termasuk bahasa. Hal ini dapat dipahami karena pada zaman tersebut belum berkembang ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu bahasa juga merupakan objek material pemecahan problema spekulatif para filsuf. Dikotomi spekulatif tentang hakikat bahasa 'fisei' dan 'nomos' adalah merupakan pusat perhatian filsuf pada saat itu. Demikian juga dikotomi 'analogi' dan 'anomali' juga merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana yang utama dalam filsafat terutama

dalam logika. Plato, Aristoteles, kaum Sofis dan kaum Stoik adalah tokoh-tokoh filsuf yang menaruh perhatian terhadap bahasa. Selain itu tradisi analitika bahasa juga telah berkembang pada saat itu, yaitu ketika Sokrates berdialog dengan kaum Sofis. Metode yang digunakan dalam analitika bahasa pada saat itu dikenal dengan metode dialektis-kritis terutama untuk mengatasi kekacauan dan kesesatan pikir. Terlebih lagi peranan bahasa menjadi semakin penting ketika Aristoteles mengangkat bahasa dalam 'organon' yang merupakan karya besar di bidang logika yang merupakan salah satu cabang dalam filsafat. Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa inilah kemudian dilanjutkan oleh para Sarjana dari Alexandrian terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangan berikutnya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme. Pada zaman Romawi objek perhatian filsuf terhadap bahasa berkembang kearah karya gramatika bahasa latin dan tokoh-tokoh yang terkenal adalah Varro dan Priscia. Karya-karya besar mereka terutama dalam meletakkan dasar-dasar dalam bidang etimologi, morfologi yaitu tentang "partes Orations" dan "Oratio" yang lazimnya dalam linguistic tersebut sintaksis. Perhatian filsuf menjadi semakin besar ketika zaman abad pertengahan, yang ditandai dengan tujuh system utama yaitu 'Trivium' yang meliputi gramatika, dialektika (logika), dan retorika; serta 'Quadrivium' yang mencakup aritmatika, gemetrika, astronomi, dan musik. Akar-akar ilmu pengetahuan modern sudah mulai nampak, oleh karena itu perhatian filsuf terhadap bahasa juga sebagian mengarah kepada perkembangan linguistic sehingga pemikiran-pemikiran filosofisnya merupakan dasar pijak linguistic tersebut. Persoalan klasik Yunani tentang hakikat bahasa 'fisei-nomos' serta 'analogi-anomalia' kembali merebak menjadi isu spekulatif yang actual pada saat itu. Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa yang digunakan oleh Thomas dan karyanya 'Summa Theologiae' adalah dengan analogi yang metaphor. Pada zaman modern yang ditandai dengan Renaissance' dan 'Aufklarung', pemikiran-pemikiran filsafat secara berangsur-angsur berkembang ke arah timbulnya

ilmu pengetahuan alam modern. Tokoh-tokoh pengembang ilmu pengetahuan tersebut antara lain Copernicus, Johanes Kepler, Galileo Galilei dan terutama tokoh yang meletakkan dasar filosofis ilmu pengetahuan yaitu Francis Bacon dengan 'Novum Organism-nya'. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut perhatian filsuf terhadap bahasa juga semakin mengarah pada ilmu pengetahuan bahasa (linguistic). Bahkan yang terlebih penting lagi berkembangnya bahasa sebagai sarana ilmu pengetahuan terutama peranan bahasa dalam pengembangan metode ilmiah, logika dan epistemology. Walaupun perkembangan filsafat mengarah pada timbulnya ilmu pengetahuan modern, namun pada zaman modern ini terdapat tokoh-tokoh filsafat modern, namun pada zaman modern ini terdapat tokoh-tokoh filsfat modern yang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Rene Descartes dengan metode skiptisnya dan bertumpu pada metode 'Cogito Ergo Sum'. Rasionalisme Rene Descartes dengan metode skiptisnya yang mengkritik ilmu pengetahuan dengan mengembangkan prinsip analisis berdasarkan rasio. Begitu juga paham empirisme Inggris dengan tokoh-tokoh Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume serta tokoh kritisme Immanuel Kant. Aliran-aliran inilah yang mempengaruhi timbulnya aliran Atomisme Logis di Inggris yang kemudian berkembang dan mempengaruhi aliran Positivisme Logis serta filsafat bahasa biasa. Sejalan dengan karakteristik perkembangan filsafat modern yang mengarah pada perkembangan ilmu pengetahuan modern maka peranan bahasa sebagai sarana ilmu pengetahuan menjadi semakin penting. Periode filsafat abad XX perhatian filsuf terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar bahwa dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan analisis bahasa. Pada periode ini terdapat suatu reaksi yang sangat radikal terutama terhadap pandangan empirisme, idealisme maupun konsep metafisika. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekacauan dan kekaburan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Berbeda dengan perkembangan filsafat bahasa di Inggris, di Perancis terdapat suatu perubahan yang sangat radikal pada abad XX tersebut, yaitu Ferdinand de Saussure telah meletakkan dasar-dasar filosofis terhadap linguistic. Pandangannya tentang hakikat bahasa telah membuka cakrawala baru bagi ilmu bahasa yang

sebelumnya hanya berkiblat pada tradisi Yunani. Konsep Ferdinand de Saussure tersebut sangat penting dalam linguistic karena mengembangkan paradigma baru di bidang ilmu bahasa yang dikenal dengan linguistic modern yang dijiwai oleh paham Strukturalisme. Paham ini berkembang sebagai reaksi terhadap ilmu bahasa tradisionalisme yang mendasarkan pada tradisi Alexandrian yang bercirikan pada makna dan tidak mendasarkan pada struktur bahasa yang bersifat empiris. Pengaruh linguistic modern yang didasarkan pada pemikiran filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas di berbagai wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri. Tokoh Strukturalisme di Amerika yang sangat terkenal adalah Bloomfield. Perkembangan Strukturalisme yang sangat besar inipun pada akhirnya juga mendapat reaksi yang sangat keras dari paham Transfosionalisme Generatif di bawah Noam Chomsky yang pengaruhnya juga cukup besar. Demikianlah sekilas perkembangan filsafat bahasa yang selain memberikan wawasan bagi kita tentang pasang surut perhatian filsuf terhadap bahasa juga menunjukan aksentuasi konseptual filosofis terhadap bahasa, serta ruang lingkup filsafat bahasa yang sangat beranekaragam dan kompleks. Namun demikian secara keseluruhan filsafat bahasa dapat dikelompokkan atas dua pengertian yaitu pertama: perhatian filsuf terhadap bahasa dalam menganalisis, memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep filosofis, kedua: perhatian filsuf terhadap bahasa sebagai objek material yaitu membahas dan mencari hakikat bahasa yang pada gilirannya menjadi paradigma bagi perkembangan aliran-aliran dan teori-teori linguistic.

A. Pengertian Filsafat Bahasa Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat memang mulai dikenal dan berkembang pada abad XX ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis, 1976). Berbeda dengan cabang-cabang filsafat lainnya, filsafat bahasa termasuk bidang yang kompleks dan sulit ditentukan lingkup pengertiannya (Devitt, 1987). Namun demikian bukanlah berarti filsafat bahasa itu merupakan bidang filsafat yang tidak jelas objek pembahasannya melainkan para filsuf bahasa memiliki aksentuasi yang

beraneka ragam sehingga penekanannya juga beraneka ragam juga. Walaupun bidang filsafat bahasa baru dikenal dan berkembang pada abad XX, namun berdasarkan fakta sejarah hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan sejarah filsafat bahasa maka filsafat bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam pengertian yaitu : Pertama: perhatian filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam filsafat. Pada periode abad XX para filsuf semakin sadar bahwa banyak problema-problema serta konsep-konsep filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa misalnya berbagai macam pertanyaan filosofis seperti 'kebenaran', 'keadilan', 'kewajiban', 'kebaikan' dan pertanyaanpertanyaan fundamental filosofis lainnya dapat dijelaskan dan diuraikan melalui analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa. Tradisi inilah menurut para ahli filsafat disebut dengan pengertian 'Filsafat Analitik' atau "FIlsafat Analitika Bahasa'. Istilah ini memang baru dikenal dan berkembang pada abad XX, namun demikian perhatian para filsuf terhadap bahasa dalam menjelaskan konsep-konsep filsafat daam kenyataan sejarah berlangsung lama yaitu sejak zaman yunani. Sokrates misalnya telah menggunakan metode analitika bahasa dalam berdebat dengan kaum Sofis yang dikenal dengan metode dialektis-kritis. Demikian juga Thomas Aquinas pada abad pertengahan melalui analisis bahasa analogi dan metaphor untuk menjelaskan konsep-konsep filosofisnya. Filsuf abad modern seperti Rene Descartes juga menjelaskan konsep-konsepnya melalui analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa. Aliran-aliran filsafat analitika bahasa antara lain Atomisme Logis Positivisme Logis dan Filsafat Bahasa Biasa. Berdasarkan pengertian yang pertama ini dapat disimpulkan bahwa bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami dan menjelaskan konsepkonsep dan problema-problema filsafat. Kedua, filsafat bahasa sebagaimana bidang-bidang filsafat lainnya seperti filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat alan, filsafat sosial dan bidang-bidang filsafat lainnya yang membahas, menganalisis dan mencari hakikat dari objek materi filsafat tersebut (Davis, 1976). Pengertian yang kedua ini hendaklah dibedakan dengan pengertian filsafat analitika bahasa yang menggunakan bahasa sebagai alat analisis konsep-konsep dan masalah-masalah filsafat. Oleh karena itu filsafat bahasa

dalam pengertian yang kedua ini bahasa sebagai objek materi filsafat, sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri. Perkembangan filsafat bahasa yang menggali hakikat bahasa selain sebagai sarana komunikasi pada hakikatnya bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda. Tokoh yang sangat popular yang mengembangkan pemikiran filosofis ini adalah Ferdinad de Saessure. Terdapat hubungan antara tanda dengan objek tanda tersebut, yang menurut Saussure disebut significant dan signifie. Bahasa sebagai suatu sistem tanda tersebut pada suatu saat menurut Saussure berada pada suatu wilayah ilmu tanda secara umum, karena bahasa adalah hanya salah satu saja dari banyak sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dalam hubungan inilah kemudian berkembang ilmu tanda yang dikenal dengan semiologi dengan tokoh Roland Barethes. Berbeda dengan para digma tersebut. Charles Sanders Peirce mengembangkan ilmu tanda yang dikenal dengan semiotika. Peirce mendasarkan filsafat semiotikanya berdasarkan pada filsafat logika dan pragmatisme. Akar filsafat bahasa inilah yang menumbuhkan ilmu semiotika, meskipun terdapat dua istilah namun objek material ilmu tersebut memiliki kesamaan.

B. Kedudukan Bahasa dalam Filsafat Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urut bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Dengan demikian bahasa adalah merupakan sistem simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya, terutama dalam mencari dan menemukan hakikat realitas dari segala sesuatu memiliki hubungan yang erat dengan bahasa terutama bidang semantik. Hal itu dapat dipahami karena dunia fakta dan realitas yang menjadi objek aktivitas filsafat adalah dunia simbolik yang terwakili oleh bahasa, sebagaimana dikemukan oelh Bertrand Russell bahwa bahasa memiliki kesesuaian dengan struktur realitas dan fakta dan lebih dipertegas oleh Wittgenstein bahwa bahasa merupakan gambaran realitas. Oleh karena itu untuk

dapat mengungkapkan struktur realitas diperlukan sesuai sistem simbol bahasa yang memenuhih syarat logis segingga satuan-satuan dalam ungkapan bahasa itu terwujud dalam proposisi-proposisi. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam kenyataannya bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan dalam hubungannya dengan ungkapan-ungkapan dalam aktivitas berfilsafat. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inxeplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan). (Alston, 1964:6). Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bungan mawar, tidak akan setepat dan sejelas pengamatan secara langsung tentang aneka bunga mawat tersebut. Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kata bunga misalnya, dapat dikaitkan dengan 'bunga mawar', 'bunga anggrek', 'bunga melati' dan lain sebagainya. Kata 'orang tua' dapat berarti 'bapak-ibu' ataupun orang yang memang sudah tua. Kesamaran dan ketaksaan bahasa tersebut sebenarnya disamping merupakan kelemahan bahasa untuk aktivitas filsafat juga sebaliknya sebenarnya justru kelebihan bahasa manusia yaitu bersifat 'multifungsi' yaitu selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi 'emotif. Selain itu adanya sinonimi, hipinimi maupun polisemi juga menjadi faktor kesamaran dan ketaksaan makna. Akibat lebih lanjut adanya kekaburan dan ketaksaan makna adanya terjadi inexplicitness, sehingga bahasa seringkali tidak mampu mengungkapkan secara eksak, tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya. Selain itu pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah-pindah maknanya sesuai dengan konteks gramatik, sosial, serta konteks situasional dalam pemakaiannya sehingga mengalami context-dependent. Dari adanya jumlah kekurangan tersebut tidak mengherankan apabila paparan lewat bahasa sering mengandung misleadingness sehubungan keberadaannya dalam komukasi (Aminuddin, 1988:20). Berbagai kelemahan dan kekurangan bahasa dalam proses pengungkapan konsep-konsep filosofis perlu diberikan suatu penjelasan khusus agar ungkapanungkapan atau kata-kata yang digunakan dalam menjelaskan realitas tidak terjadi misleadingness. Betapapun demikian keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia tidak hanya merupakan simbol belaka melainkan merupakan media

pengembangan pikiran manusia terutama dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu. Dalam pengertian yang demikian inilah bahasa menunjukkan fungsi vitalnya dalam aktivitas manusia, yaitu berfilsafat. Bahasa sebagai media pengembang refleksi filosofis tersebut telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani kuno. Hakikat manusia yang dilukiskan dengan ungkapan Animal Rationale, misalnya dalam bahasa Yunani berpangkal dari 'logon ekhoon' yang mengandung makna 'dilengkapi dengan akal budi'. Demikian juga istilah 'logos' dalam bahasa Yunani mengandung makna 'isyarat', 'perbuatan', 'inti sesuatu', 'cerita', 'kata maupun susunan kata' (Peursen, 1980:4). Dari sejumlah fitur semantis itu para filsuf Yunani merumuskan pengertian 'logos' sebagai kegiatan menyatakan sesuatu yang didukung oleh sejumlah komponen yang masing-masing komponen tersebut antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan dengan menggunakan katakata. Berdasarkan kenyataan fungsi bahasa tersebut diatas maka hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan, tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabangcabang filsafat metafisika, logika dan epistemologi. Masing-masing hubungan tersebut memiliki fungsi dan cirinya masing-masing.

1.

Fungsi Bahasa dalam Metafisika Metafisika adalah salah satu cabang filsafat disamping cabang-cabang

lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada dan secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya dengan istilah 'sofia' dan 'teologi' (Steenberghen, 1970:8). Secara etimologis istilah metafisika beasal dari bahasa Yunani 'ia meta ta physica' yang secara harfiah dibalik fisik atau di balik hal-hal yang bersifat fisik. Andronikus menemukan bahwa sesudah karya-karya Aristoteles mengenai fisika, terdapat 14 buku tanpa nama dan ia menyebut keempat belas karya tersebut dengan 'buku-buku yang datang sesudah fisika'. Dalam buku-buku ini ia menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang tidak terdapat dalam dunia fisik. Kesimpulannya adalah terdapat hal-hal yang bersifat metafisik. (Bagus, 1991:18).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan suatu pengertian bahwa metafisika adalah suatu cabang filsafat yang membahas secara sistematis dan reflektif dalam mencari hakikat segala sesuatu yang ada dibalik hal-hal yang bersifat fisik dan bersifat partikular, juga dapat diartikan mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal yang ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada semua hal. Oleh karena itu metafisika adalah sebagai ilmu mengenai yang ada yang bersifat universal. Menurut christian Wolf, metafisika meliputi dua cabang ilmu, yaitu ontologi dan kosmologi umum, teori mengenai roh, adapun teori mengenai roh dibagi atas psikologi dan teologi kodrati (natural) (Ando, 1974:47). Upaya metafisika untuk memformulasikan fakta-fakta atau Kenyataankenyataan segala sesuatu yang ada dengan suatu asumsi yang menjadi dasar dari argumentasi metafisis tertentu dirumuskan secara lebih eksplisit dan dengan demikian maka peranan bahasa dalam metafisika menjadi sangat sentral. Misalnya pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan oleh Plato. Apakah keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontradiksi, kebaikan dan sebagainya adalah upaya-upaya secar analitik melalui bahasa untuk membuat eksplisit tentang pertanyaan-pertanyaan metafisis tersebut (White, 1987:11). Aristoteles menjelaskann tentang konsep 10 kategori yang meliputi substansi yaitu merupakan hakikat dari segala sesuatu yang bersifat fundamental dan merupakan dasar dari segala sesuatu, dan sembilan aksidensia. Keberadaan aksidensia tergantung dan terlekat pada substansi yang meliputi : (1) kuantitas yaitu unsur fisis dari segala sesuatu yang meliputi luas, bentuk dan berat sehingga segala sesuatu menempati ruang tertentu, tempat tertentu. (2) kualitas yaitu yang berkaitan dengan aksidensia sifat-sifat terutama sifat-sifat yang dapat ditangkap dengan indra (untuk substansi yang memiliki kuantitas). (3) aksi yaitu yang menyangkut perubahan dinamika segala sesuatu yang ada dan yang mungkin terjadi. (4) passi yaitu yang menyangkut penerimaan perubahan yang dikaitkan dengan ssuatu hal atau benda yang lainnya. (5) relasi setiap hal termasuk benda senantiasa memiliki hubungan dengan sesuatu yang lainnya. (6) tempat segala sesuatu di alam semesta ini senantiasa mengambil ruangan dimana sesuatu itu berada, hal itu dikarenakan substansi memiliki kuantitas. (7) waktu segala sesuatu di alam semesta ini berada di dalam suatu waktu tertentu,

akapn sesuatu itu berada dan kapan sesuatu itu tidak berada kembali. (8) keadaan yaitu bagaimana sesuatu itu berada disamping sesuatu lainnya. Ungkapan-ungkapan metafisis yang demikian ini yang karena tidak mengacu pada realitas atau fakta yang bersifat empiris maka formulasinya sangat tergantung pada ungkapan-ungkapan bahasa yang digunakan dalam metafisika tersebut. Dalam karya lainnya yang disebut 'peri Hermeneias' Aristoteles merupakan peletak dasar kelas kata yang secara ontologis juga mendasarkan pada sepuluh kategori tersebut (Kaelan, 2002:10). Berdasarkan uraian tersebut maka metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut dan hal ini hanya akan dilakukan dengan menggunakan analisis bahasa yang terutama karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris. Hal itu didasarkan pad akenyataan bahwa pemikiran-pemikiran tentang hakikat segala sesuatu dalam metafisika, seperti ruang, waktu, keadaan, relasi, dan juga substansi, bukan berdasarkan pengamatan empiris atau hukum rasio, melainkan berdasarkan analisis bahasa.

2.

Fungsi Bahasa dalam Epistemologi Epistemologi adalah salahsatu cabang filsafat yang pokok, secara

etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani "Episteme" yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak da kebenaran pengetahuan manusia. Bilama dirinci persoalan-persoalan epistemologi meliputi bidang sebagai berikut : (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu? Hal ini semuanya merupakan problema asal pengetahuan manusia. (2) Apakah watak dari pengetahuan itu? Adakah dunia yang real di luar akal manusia, dan kalau ada dapatkah kita mengetahui? Hal ini semuanya merupakan problema penampilan terhadap realitas.

(3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Hal ini semua merupakan problema kebenaran pengetahuan manusia. (Titus, 1984:20). Berdasarkan analisis problema dasar epistemologi tesebut maka dua masalah pokok sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, serta problema kebenaran pengetahuan manusia. Berkaitan dengan masalah pengetahuan a priori peranan bahasa sangat penting bahkan sangat menentukan. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan tentang sesuatu itu adalah benar demikian tanpa didasarkan pada pengalaman indra, matematika, logika dan mungkin kita memiliki pengetahuan apriori yang lain. misalnya 6 x 6 = 36, V16 = 4, sudut bertolak belakang sama besarnya dan pernyataan apriori lainnya secara pasti benar. Persoalannya adalah bagaimana dapat dikatakan bahwa pernyataanpernyataan itu benar, dan pengalaman kita tidak akan pernah menyalahkan pernyataan-pernyataan tersebut. Jawaban yang akan kita jumpai adalah bahwa pernyataan tentang pengetahuan itu benar berdasarkan definisi atau pernyataanpernyataan itu benar karna arti yang terkandung dalam artian-artian itu sendiri. Kalau kita menolak atau mengingkari kebenaran pernyataan-pernyataan itu maka berarti kita harus mengubah satu atau lebih artian terminologi bahasa yang digunakan dalam pernyataan-pernyataan pengetahuan apriori seperti 'kali', 'tambah', 'bagi', 'akar' dan terminologi bahasa lainnya yang digunakan dalam pengetahuan apriori tersebut. Argumentasi pengetahuan apriori seperti tersebut di atasmerupakan suatu perdebatan yang besar tentang pengetahuan manusia. Namun demikian bagaimanapun juga bahwa hal itu memaksa kita untuk bertanya apakah yang menyebabkan sesuatu artian (term) itu mempunyai makna tertentu, dan bagaimana sesuatu pernyataan it adalah benar (Poerwowidagdo, tanpa tahun:8). Justifikasi kebenaran dalam pengetahuan apriori tersebut seluruhnya diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, oleh karena itu kebenaran-kebenarannya sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa. Selain dalam pengetahuan apriori peranan penting bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi yaitu:

(1) Teori kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. (2) Teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikadung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. (3) Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain perkataan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan praktis manusia (Suriasumantri, 1984:55-59). Justifikasi kebenaran menurut teori koherensi sangat ditentukan oleh suatu pernyataan yang terdahulu yang dianggap benar. Misalnya pernyataan 'semua orang pasti akan mati' adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan 'si Amin pasti akan mati' adalah pernyataan yang benar juga. Pernyataanpernyataan yang benar tersebut sangat bergantung pada ungkapan yang dirumuskan melalui bahasa dan ungkapan-ungkapan tersebut terdiri atas pangkal pikir-pangkal pikir yang dirumuskan melalui bahasa juga, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa sangat menentukan pada sistem kebenaran koherensi. Kesalahan dalam merumuskan bahasa akan berakibat kesalahan dalam kebenaran pengetahuan. Bilamana dalam pernyataan di atas rumusan bahasanya menjadi 'beberapa orang pasti akan mati dianggap pengetahuan yang benar maka pernyataan kedua menjadi 'si Amin belum mati'. Berbeda dengan peranna bahasa dalam sistem kebenaran koherensi, peranan bahasa dalam sistem kebenaran menurut teori korespondensi, suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana hal itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek atu fakta yang diacu pernyataan tersebut. Jikalau seseorang menyatakan bahwa "Ibu kota Negara Republik Indonesia adalah Jakarta" adalah benar maka pernyataan itu adalah benar karena pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual atau Jakarta yang memang menjadi ibu kota negara Republik Indonesia. Namun sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa "Ibu kota Negara

Republik Indonesia adalah Yogyakarta" maka pernyataan tersebut adalah tidak benar karena tidak didukung oleh objek yang terdapat suatu hubungan antara ide dan fakta (objek faktual) dan hubungan tersebut dilakukan melalui bahasa, sehingga bahasa sangat menentukan formulasi kebenaran tentang fakta. Kelemahan sistem kebenaran teori korespondensi ini terletak pada kekurang sesuaian antara pengalaman indera dengan fakta empiris, dan kalau demikian maka akan berakibat pada kesalahan perumusan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pengetahuan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Martin Lean yang mengemukakan bahwa kita tidak pernah mengalami objek, tetapi hanya data indrawi dan bahasa harian mengandung teori-teori atau hipotesis yang tidak dapat dibuktikan mengenai benda-benda pengalaman. Kelemahan teori korespondensi adlah apa yang kita persepsi secara langsung adalah persis dengan apa yang dipercaya oleh anggapan umum yaitu objek yang bersifat real dan terlepas dari subjek. Lean menekankan bahwa bahasa adalah nyata seutuhnya dan tidak mungkin memuat hipotesis yang tak dikenal atu menunjuk kepada hal yang tidak dapat diamati. Arti kata-katanya terletak dalam penggunaannya, kata dalam dirinya sendiri adalah bunyi dan kita memberikan arti kepadanya dengan cara kita dalam menggunakannya (Lean, 1963:16-24). Konstatasi Lean tersebut mengisyaratakan pada kita bahwa objek pengetahuan yang bersifat fisis dan real tidak dapat begitu saja terwakili melalui rumusan bahasa, sebab objek fisis menurut teori korespondensi tersebut sejauh mana dapat dibuktikan didalam persepsi indrawi karena hanya merupakan data indrawi, sehingga rumusan bahasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam hubungannya dengan objek fisis menjadi sangat menentukan (lihat Hadi, 1994:76). Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peranan analisis bahasa menjadi sangat penting bahkan sangat menentukan terutama dalam operasionalisasi penelitian sosial yang mendasarkan pada teori kebenaran korespondensi (Kaelan, 2002:12-16). Peranan ungkapan-ungkapan bahasa dalam penentuan kebenaran berdasarkan teori pragmatis, berkaitan erat dengan konsekuensi fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Konsekuensinya suatu pernyataan yang benar pada suat waktu tertentu dapat menjadi tidak benar manakala pernyataant

ersebut tidak memiliki konsekuensi kegunaan atau manfaat praktis bagi kehidupan manusia.dalam masalah ini bahasa memiliki peranan mengkomunikasikan antara objek dengan kehidiupan manusia secara praktis. Rumusan bahasa yang melukiskan kebenaran tentang objek pengetahuan dapat menjadi tidak benar karena tidak memiliki konsekuensi kegunaan praktis bagi kehidupan manusia tertentu. Sebaliknya suatu rumusan bahasa yang tidak mengungkapkan kebenaran objektif dapat menjadi benar karena memiliki konsekuensi kegunaan praktis bagi kehidupan manusia tertentu.

3.

Bahasa sebagai Sarana dalam Logika Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat

komunikasi saja, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Oleh sebab memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan emotif. Masalahnya sekarang, bagaimana kemungkinan hubungan antara bahasa dengan pikiran manusia dalam upaya manusia memahami realitas secara benar (Aminuddin, 1988:36). Berpikir dalam pengertian ini adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pad aakal tersebut berpikir. Seseorang yang sedang melamun tidak termasuk kegiatan berpikir. Demikian juga berpikir dapat digolongkan dalam dua pengertian yaitu pertama 'berpikir tanpa menggunakan aturan-aturan atau hukum-hukum', misalnya seseorang yang berpikir akan membeli roti untuk dimakan, pergi ke pasar dengan naik mobil atau becak, kedua, 'berpikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau hukum-hukum' dan bentuk kegiatan ini sering diistilahkan dengan 'bernalar' dengan istilah lain menurut Plato dan Aristoteles bahwa berpikir adalah berbicara di dalam batin, mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menarik suatu kesimpulan adalah merupakan sebagian kegiatan berpikir manusia (Poespoprodjo, 1984:4). Kegiatan bernalar dengan menggunakan hukum-hukum itulah yang disebut sebagai logika yang merupakan salah satu cabang filsafat praktis.

Persoalan yang mendasar adalah bagaimana kegiatan bernalar manusia itu dapat dikomunikasikan kepada orang lain dan dapat mewakili kebenaran isi pikiran manusia. Dalam pengertian inilah maka peranan bahasa di dalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapun bentuk-bentuk pemikiran dari yang paling sederhana adalah sebagai berikut: pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan, dan penalaran atau reasoning. Pengertian adalah sesuatu yang abstrak dan diwujudkan dalam bentuk simbol bahasa. Dalam pengertian ini sifat-sifat bahasa berbeda dengan sifat-sifat yang dilambangkannya yaitu pengertian. Oleh karena itu kerancuan sifat-sifat bahasa dengan sifat-sifat yang dilambangkannya akan menimbulkan sesat dalam penarikan kesimpulan. Pengertian yang dilambangkan dengan kata disebut sebagai term. Berkaitan dengan kegiatan penalaran terutama dalam kaitannya dengan observasi empirik, di dalam pikiran tidak hanya terbentuk pengertian akan tetapi terjadi perangkaian term-term itu. Tidak pernah ada pengertian yang berdiri sendiri dalam pikiran manusia. Rangkaian pengertian itulah yang disebut proposisi dan pengertian hanya terdapat dalam proposisi. Dalam proses pembentukan proposisi pengertian (1) disebut subjek (S) adalah pengertian (2) yang menerangkan pengertian (I) disebut predikat (P). Proses pembentukan proposisi terjadi sedemikian rupa sehingga ada pengertian yang menerangkan pengertian yang lain, atau sebaliknya ada pengertian yang mengingkari pengertian yang lainnya. Misalnya pada contoh proposisi berikut ini:"anjing hitam itu menggonggong" proposisi itu terdiri atas pengertian "anjing hitam (S) dan "menggonggong" (P). Dalam proses pembentukan proposisi itu sekaligus terjadi pengakuan atau pengingkaran. Jikalau terjadi pengakuan maka proposisi itu akan menjadi "Anjing hitam itu menggonggong". Kata "itu" berfungsi menerangkan dan diberi tanda = maka pola proposisi itu menjadi sebagai berikut S=P. Jikalah proses pembentukan proposisi itu terjadi pengingkaran maka, proposisinya menjadi sebagai berikut :" Anjing hitam itu tidak menggonggong", kalau fungsi pengingkaran itu diganti dengan tanda = maka pola preposisi itu menjadi sebagai berikut : S=P. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa term tidak dapat ditentukan benar atau salah, adapun proposisi itu mengandung benar atau salah. Dalam kaitannya dengan

bahasa yang digunakan dalam pembentukan proposisi tersebut maka kekeliruan dalam menentukan simbol term dapat berakibat sesanya kesimpulan. Walaupun term tidak dapat ditentukan bernar atau salah namun kekurang tepatan dalam menentukan simbol (bahasa) term, maka dapat berakibat sesatnya kesimpulan. Misalnya dalam penyimpulan berikut ini. Amin adalah mahasiswa UGM Amin adalah penjual sepatu Jadi: Amin adalah mahasiswa UGM yang penjual sepatu Penyimpulan ini benar karena unsur term menggunakkan bahasa yang benar yaitu kata Amin mengacu pada seseorang tertentu. Namun bilamana penentuan bahas term itu tidak maka akan berakibat sesatnya penyimpulan. Misalnya pada contoh berikut: Ada seseorang yang adalah mahasiswa UGM Ada seseorang yang adalah penjual sepatu Jadi: ada seseorang yang adalah mahasiswa UGM dan penjual sepatu Kesimpulan yang kedua ini menyesatkan karena term "ada seseorang yang" ini tidak mengacu pada orang yang sama, sehingga kesimpulannya tidak dapat bersama-sama sebagai term yang lama. Berdasarkan hasil analisis penyimpulan penalaran tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, walaupun keduanya secara formal bentuknya sama namun bentuk logisnya berbeda, dan perhatian itu dikarenakan kekurangan tepatan dalam menentukan simbol bahasa pada term sebagai unsur dari proposisi. (lihat Poerwowidagdo, tanpa tahun:5). Jadi peran bahasa dalam penentuan term sangat mempengaruhi hasil dari penalaran tersebut. Berdasarkan uraian di atas bahwa kesesatan dalam penalaran dapat diakibatkan karena bahasa dalam pembentukan term dan proposisi. Kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda, dan setiap kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang, sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka meskipun kata-kata sama, dalam kalimat yang berbeda dapat memiliki makna yang berbeda. Hal yang sama juga kita jumpai dalam

kalimat. Sebuah kalimat dengan struktur sintaksis tertentu dapat mempunyai arti lebih dari satu, dan arti kalimat juga tergantung pada konteksnya, sehingga arti kalimat yang sama dapat bervariasi dalam konteks yang berbeda. Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Kesesatan karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah kalau penalaran dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. kalau penalaran itu diberi bentuk lambang, kesesatan itu akan hilang sama sekali. Justru lambang-lambang dalam logika diciptakan untuk menghindari ketidakpastian arti dalam bahasa, berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa. a. Kesesatan karena aksen atau tekanan Dalam ucapan tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti, maka kurang perhatian terhadap tekanan ucapan dapat mengakibatkan perbedaan arti dan kesesatan penalaran. Contoh : Tiap pagi pasukan mengadakan apel. Apel itu buah Jadi: Tiap pagi pasukan mengadakan buah. b. Kesesatan karena term ekuivok Term ekuivok yaitu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh : Sifat abadi adalah sifat Tuhan Joko adalah mahasiswa abadi Jadi: Joko adalah mahasiswa yang memiliki sifat Tuhan c. Kesesatan karena arti kiasan (metaphor) Ada analogi antara arti kiasan dengan arti sebenarnya, artinya terdapat kesamaan dan juga ada perbedaannya. Kalau dalam suatu penalaran sebuah

arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesataan karena arti kiasan. d. Kesesatan karena amfiboli (amphibolia) Amfiboli terjadi kalau kontruksi kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya menjadi bercabang. Contoh : Mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan. Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya? Kalau dalam sebuah penalaran kalimat amfiboli itu di dalam suatu premis digunakan dalam arti yang satu, sedangkan dalam konklusi artinya berbeda maka terjadilah kesesatan karena amfiboli itu. Demikianlah kiranya pernana bahasa dalam pembentukan term dan proposisi sangat menentukan benar atau sesatnya suatu hasil penalaran dalam logika (Soekadijo, 1985:12).

C. Luas Kajian Filsafat Bahasa Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki objek materia bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip yang jelas dan terdefinisikan dengan baik (Alston, 1964:1). Hal ini disebabkan karena penganutpenganut filsafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan di antara mereka, yaitu bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatiant erhadap bahasa baik sebagai objek materia dalam berfilsafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat (lihat Poerwowidagdo, 2). Dalam sejarah perkembangan aksentuasi filsuf bahasa menunjukkan minat perhatian yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan problema filosofis pada zamannya masing-masing. Namun demikian satu hal yang penting untuk diketahui, bahwa betapapun terdapat berbagai macam perbedaan tentang perhatian filsuf terhadap bahasa, yang pasti terdapat hubungan yang sangat erat antara filsafat dengan bahasa karena bahasa merupakan alat dasar dan utama dalam filsafat (Liang Gie, 1977:122).

Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka pembahasan filsafat bahasa meliputi masalah sebagai berikut. Pertama: salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep (conceptual analysis), oleh karena itu salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memberikan analisis yang adekuat tentang konsep-konsep dasr dan hal ini dilakukan melalui analisis bahasa. Meskipun sebenarnya seorang filsuf dapat menggunakan analisisnya untuk setiap konsep dasar yang berkenaan dengan bahasa tetapi dallam kenyataannya kecenderungan yang ada ialah untuk memusatkan perhatiannya pada konsep-konsep semantis. Hal ini disebabkan karena sesuatu kata tertentu mempunyai arti atau makna tertentu dan yang nampak sedemikian rupa sehingga menimbulkan refleksi filosofis. Dalam pengertian inilah pada abad XX filsafat bahasa memiliki aksentuasi pada filsafat analitik. Oleh karena itu lingkup filsafat bahasa yang utama membahas filsafat analitik baik menyangkut perkembangan maupun konsep-konsep dari para tokohnya. Kedua: itidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu hanya berkaitan dengan filsafat analitik. Lingkup lain filsafat bahasa adalah berkenaan dengan penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bagi tindakan manusia. Ketiga: berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna pembahasan tentang lingkup inilah filsafat bahasa memiliki keterkaitan erat dengan linguistik yaitu bidang semantik. Keempat: Selain masalah-maslah tersebut diatas, filsafat bahasa sebagaimana cabang-cabang filsafat lainnya membahas hakikat bahasa sebagai objek materia filsafat, bahkan lingkup pembahasan ini terlalu lama ditekuni oleh para filsuf. Antar alain hakikat bahasa secara ontologis sebagai dualisme bentuk dan makna, hakikat bahasa sebagai substansi dan bentuk, dan lain sebagainya. Demikian juga hubungan bahasa dengan pikiran, kebudayaan, komunikasi manusia dan bidang-bidang lainnya yang prinsipnya berkenaan dengan pembahasan bahasa sampai hakikatnya yang terdalam (Kaelan, 2002:22).

BAB II KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAHASA

A. Pengantar Tatkala manusia untuk pertama kali mulai menyadari bahwa kepercayaanya melalui mitos primitifnya itu sia-sia, bahwa alam tidak bisa dibujuk bukan karena enggan memenuhi permintaan manusia, melainkan karena tidak mampu memahami

bahasa manusia dan kesadaran itu tentunya menimbulkan goncangan jiwa. Peristiwa ini mengharuskan manusia mengahadapi masalah baru yang merupakan titik balik dan krisis dalam hidup intelektual mampu hidup moralnya. Sejak itu manusia menemukan dirinya dicekam kesendirian yang mendalam, retan terhadap kesepian yang mendalam yang membawa manusia untuk merenungkan dunia sekitarnya. Dalam pengertian inilah dalam sejarah manusia mulai sadar melihat hubungan bahasa dengan realitas dari sudut yang berbeda. Fungsi magis kata mulai memudar, diganti oleh fungsi semantis. Kata tidak lagi memuat daya-daya misterius supernatural, tidak lagi memiliki pengaruh jasmaniah atau adikodrati secara langsung. Kata tidak dapat mengubah alam benda-benda, kata tidak dapat mengubah kehendak dewa-dewa atau roh-roh, namun demikian kata bukanlah tanpa arti dan tanpa kekuatan. Kata bukanlah sekedar flatus vocis, bukanlah letupan angin semata-mata yang menentukan kata bukanlah ciri fisiknya melainkan ciri logisnya. Secara fisik kata boleh dikatakan tanpa daya, akan tetapi secara logis kata diangkat ke tingakat lebih tinggi, bahkan tertinggi. Logos menjadi prinsip alam semesta dan menjadi prinsip pertama bagi pengetahuan manusia. Demikianlah kiranya sejarah filsafat Yunani telah akrab dengan bahasa dalam mengungkapkan refleksi filosofisnya. Diskursus melalui bahasa dan tentang bahasa dalam menyibak hakikat realitas telah marak dilakukan oleh para filsuf sejak zaman pra Sokrates. Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filsuf abad pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosofisnya. Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidakjelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, pada era inilah para filsuf analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filosofisnya melalui analisi bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh Postmodernisme yang mengakar keberbagai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai dasar pijaknya terutama konsep dekonstruksinya.

B. Zaman Yunani

1.

Masa Pra Sokrates Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan oleh

pikirnya. Manusia dengan kemampuan kodratnya yang dianugrahkan oleh Tuhan berupanya memahami hakikat realitas segala sesuatu termasuk Tuhan sendiri. Namun demikian bagi bangsa Yunani sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media mengungkapkan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya. Ekspresi mitis dan primitif ini membawa manusia pada kegoncangan jiwanya mereka menjadi semakin sepi dan merasakan adanya krisis intelektualnya. Dengan memudarnya fungsi magis dari bahasa bangsa Yunani mulai sadar bahwa bahasa tidak mampu mengubah alam benda-benda fisis, bahasa tidak dapat menggerakkan kehendak Dewa-dewa atau roh-roh, namun demikian bahasa bukanlah tanpa arti dan tanpa potensi. Bahasa bukanlah hanya letupan angin yang meluncur dari mulut manusia, kata bukanlah sekedar flotus vocis, namun yang menentukan bahasa bukanlah ciri fisiknya melainkan ciri logisnya, bahasa adalah bentuk makna, bahasa adalah subtansi dan bentuk sehingga bahasa memiliki ciri logisnya. Secara struktual fisis bahasa memang tanpa eneegi, akan tetapi secara logis sematis bahasa dapat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi dalam mengungkap rahasia alam dan segala sesuatu. Demikianlah kemudian logos menjadi prinsip alam semesta dan prinsip pertama bagi pengetahuan manusia. Kembara refleksi intelektual ini terjadi pada awal filsafat Yunani, terutama Herakleitos yang oleh Aristoteles dalam metafisikanya disebut 'para fisiologis kuno' (hoi arkhaioi phisiologoi). Seluruh minat Herakleitos terpusat pada dunia fenomenal. Ia tidak sejutu bahwa diatas dunia terdapat ada yang murni sebagai dunia ideal. Menurutnya tidak ada sesuatu yang difinitif melainkan segala sesuatu yang ada senantiasa 'sedang menjadi' yang terkenal dengan ungkapan 'panta rhei' artinya semua mengalir, di dalam dunia jasmani tidak ada sesuatupun yang tetap, semuanya berubah terus-menerus (Bertens, 1989: 10). Dengan demikian Herakleitos tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, namun ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos prinsip ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi.

Dalam dunia manusiawi ini kemampuan berbicara menduduki tempat sentral. Kita harus memahami arti ucapan-ucapan agar dapat memahami arti dalam semesta. Bilamana kita gagal menemukan pendekatan ini melalui medium bahasa dan bukanya melalui fenomena fisik belaka maka kita gagal pula dalam menemukan pintu gerbang filsafat. Bahkan dalam pemikiran Herakleitos pun, kata 'logos' bukan semata-mata gejala antropologis, namun kata 'logos' juga mengandung kebenaran kosmis universal. Namun kata tidak lagi dilihat sebagai kekuatan magis, melainkan dipahami dalam fungsi semantis dan simbolis. Dengan demikian, pemikiran filsafat Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa (Cassirer, 1987: 70). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgmann, 1974: 3). Terdapat beberapa kesulitan baru yang menyangkut masalah arti. Masalah "arti dari arti" merupakan masalah yang kontroversial, bahkan sampai dewasa inipun masalah itu terdapat beranekaragam pendirian yang dikemukakan oleh para filsuf, linguis maupun para psikolog Filsafat Yunani kuno hanya mampu memcahkan melalui prinsip yang secara umum diterima dan sangat mapan. Semua mazhab mulai dengan pengadaian-pengadaian bahwa fakta pengetahuan tidak akan dipertanggungjawabkan tanpa adanya identitas antara subjek yang mengetahui dan realitas yang diketahui. Idealisme dan realisme, biarpun mereka berbeda dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, sebenarnya sama-sama menerima kebenaranya. Parmenides menandaskan bahwa kita tidak dapat memisahkan ada dan berpikir, karena keduanya satu dan sama. Para filsuf alam memahami dan menafsirkan indentitas ini dari segi yang betul-betul bersifat material. Bila kodrat manusia kita analisis, maka akan ditemukan di dalam dunia fisik. Pengetahuan tentang makrokosmos dimungkinkan karena mikrokosmos merupakan bagian sistem yang harmonis. Sebab berkat bumilah, kata Empedokles kita melihat bumi, dengan air kata melihat air, dengan udara kita lihat udara yang cerah, dengan api kita lihat api yang kadangkala merusak, dan dengan cinta kita lihat cinta, bahkan dengan benci kita melihat benci yang menyedihkan. Bilamana teori umum ini diterima maka persoalan kemudian adalah apa "arti dari arti" ? Secara antologis pertama-tama dan yang terpenting adalah arti harus diterangkan dari sudut ada, karena ada yang menjelaskan subtansi

merupakan kategori yang paling umum yang mengikat dan menyatukan kebenaran dengan realitas. Sepatah kata tidak dapat memberi arti pada suatu benda bila tidak ada sekurang-kurangnya identitas sebagian di antara kedua hal tersebut. Hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah narutal bukan semata-mata konvensional. Perbincangan hakikat bahasa pada zaman itu menjadi semakin marak tentang terdapat bahwa apakah bahasa itu sebagai konversi atau bersifat alamiah (Kaelan, 2002:27,28).

Pertentangan antara 'Fisei' dan 'Nomos' Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu kemudian munculah persoalahn filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature, atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak. Kemudian hal itu dengan sendirinya dilanjutkan dengan upaya menginterpretasi makna. Kaum naturalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk. Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Kaum naturalis selanjutnya mengutarakan bahwa bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka melainkan mencapai makna secara alamiah atau 'fisei'. Komposisi fonetik adalah cermin komposisi benda. Dari pengertian ini lahirlah usaha-usaha orang untuk mencari sumber sebuah kata atau disebut 'etimologi', menyusun daftar kata-kata peniru bunyi ('onomatopoeia'), ciri-ciri atau 'sound symbolism' baik bersifat imitatif dan sugestif (I, o, u) metafora (hubungan antara sumber pertama dengan aplikasi kedua, misalnya leher botol, kaki meja dan sebagainya). Sebaliknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa 'tacit agreement' yang artinya 'persetujuan dian'. Karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian

Tuhan, melainkan bahasa bersifat konvensional. Dalam dialog Plato pendapat ini diwakili oleh tokoh yang dikenal saat itu yang bernama Hermogenes. Demikianlah kiprah para filsuf bahasa yang mencoba menemukan hakikat bahasa. Memang diakui bahwa dalam kenyataannya bahasa tidak dapat dipasung melalui satu mazhab saja melainkan bahasa memang memiliki sifat konvensional namun juga terdapat ciri-ciri fisei walaupun hal itu meliputi jumlah yang banyak.

Kaum Sofis Sekitar pertengahan abad 5 S.M. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Pada waktu itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpinan Perikles. Demikian pula waktu itu filsafat juga berpusat di Athena. Terdapatlah suatu golongan yang biasanya dinamakan Sofistik, sehingga penganut-penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal di seluruh Yunani karena keahliannya dalam bidang retorika, fasih lidahnya dan berkeliling dari kota ke kota untuk melatih kaum muda dalam bidang keahlian berpidato. Kaum Sofis ini mulai menekuni bahasa mengadakan pembedaan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan maknanya mungkin berdasarkan strukturnya. Protagoras sebagai tokoh kaum Sofis ini membedakan tipe-tipe kalimat atas 7 yaitu : narasi pertanyaan, jawaban, perintah, laporan doa, dan undangan. Hal ini nampaknya mirip dengan konsep J.L. Austin yang membedakan bahasa atas tindakan dalam menggunakan bahasa. Adapun Gorgia membedakan tentang gaya bahasa yang dewasa ini dikenal dalam studi bahasa secara luas (Parera, 1977:42). Dalam kaitannya dengan filsafat bahasa kaum Sofis mengemukakan bahwa dalam membahas hakikat bahasa yang memainkan peranan utama bukanlah metafisika melainkan filsafat manusia. Sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Protagoras bahawa manusia menjadi pusat semesta manusia adalah merupakan pusat segala-galanya. Mencari keterangan tentang bahasa dunia benda-benda fisik merupakan usaha yang sia-sia dan tidak berguna. Kaum Sofis menemukan pendekatan baru yang lebih sederhana untuk mendekati bahasa manusia. Untuk tujuan ini mereka mengembangkan cabang pengetahuan

baru yaitu 'retorika' . dalam definisi mereka tentang 'kebijaksanaan (sophia), retorika menduduki tempat sentral. Semua pertikaian tentang 'kebenaran' atau 'ketepatan' (orthotes), istilah dan kata menjadi sia-sia dan berlebihan. Kata-kata tidak memiliki korelasi objektif. Tugas bahasa benda-benda. Kata-kata tidak memiliki korelasi objektif. Tugas bahasa yang nyata bukanlah untuk melukiskan benda-benda melainkan untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran-pikiran saja, melainkan untuk mendorong orang agar mengambil tindakan-tindakan tertentu (Cassirer, 1987:173).

2.

Sokrates Kaum Sofis yang dikenal dengan kemahirannya dalam olah penggunaan

bahasa terutama melalui retorikanya, senantiasa aktif mengembangkan dan mengangkat masalah-masalah filsafat untuk diperdebatkan secara kritis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat di Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika (Hatta, 1980:54). Sejalan dengan filsafat kaum Sofis yang dalam arena perdebatan filsaft tidak mudah menyerah, maka muncullah persoalan dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Dalam diskusi filsafat mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kesepakatan mengenai satu hal kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, yaitu segala sesuatu yang bersifat nisbi, oleh karena itu harus diragukan kebenarannya. Menanggapi kondisi kacau akibat kelicinan kaum Sofis tersebut Sokrates merasa terpanggil untuk meluruskannya dengan suatu metode "dialektis=kritis". Proses dialek-kritis dalam hal ini mengandung suatu pengertian "dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (inteplay) antar ide (Titurs, 1984:17). Sokrates dalam menerapkan metode dialektis kritis itu tidak begitu saja menerima suatu pengertian sebelum dilakukan pengujian-pengujian untuk

membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu ia selalu meminta penjelasan-penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggap ahli dalam bidangnya. Misalnya ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan 'keindahan', kepada seorang panglima tentang makna 'keberanian', dan kepada seorang pemimpin tentang makna 'keadilan' dan lain sebagainya (Bakker, 1984:28). Setelah diperoleh penjelasan dari ahlinya, kemudian Sokrates mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli itu tentang apa alasan mereka sehingga memiliki pandangan yang demikian. Jadi Sokrates senantiasa menuntut para ahli untuk mempertanggungjawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh suatu jawaban yang memang benar yang didukung oleh alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi diterimanya sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalu metode komparasi (perbandingan). Akan tetapi jikalau lawan dialog itu tidak mampu mengajukan argumentasi yang benar mengenai pengertian yang diungkapkannya, maka ide yang dilontarkan akan disisihkan oleh Sokrates, karena dianggapnya tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Dengan menggunakan metode dialketis kritis inilah nampaknya Sokrates mampu mengatasi kemelut filosofis melalui perdebatan yang ketat. Kaum Sofis yang lazimnya tidak begitu saja mudah menyerah dengan kefasihannya dalam setiap perdebatan ternyata mengakui keuletan dan akurasi metode Sokrates dalam menjelaskan makna melalui analisis bahasanya dialektis kritis. Dengan metode itu tujuan utama Sokrates adalah untuk menjernihkan pelbagai problema filosofis yang selama ini dikacaukan oleh kaum Sofis. Dapat pula dikatakan bahwa dengan metode dialektis kritis ini Sokrates melakukan penyembuhan (therapy), yang terjadi ddalam bidang filsafat pada masa itu, terutama yang ditimbulkan oleh kaum Sofis. Metodi Therapy yang dilakukan oleh Sokrates terhadap kekacauan makna yang merupakan penyakit kronis yang ditimbulkan oleh kaum Sofis ini nampaknya juga dilakukan oleh para filsuf analitik dalam menyembuhkan obrolan omong kosongnya kaum idealisme yang dianggapnya tidak bermakna, (Lihat Mustansyir, 1987:20). Metode yang digunakan oleh Sokrates dengan metode yang dikembangkan oleh kaum Sofis dengan retorikanya nampaknya memang terdapat perbedaan

yang sangat tajam, namun demikian keduanya memiliki kesamaan yaitu menjelaskan konsep-konsep filosofis melalui bahasa.

3.

Plato Plato seorang filsuf dari Athena dalam menuangkan karya-karya

filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan dikotomi tentang hakikat bahasa 'fisei' dan 'nomos' tertuang dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah narutal tidak semata-mata konvensional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam perbedaharaan bahasa manusia takkan dapat dipahami. Bila pengadaian ini bersumber pada teori umum pengetahuan bukannya pada teori bahasa maka diperlukan suatu upaya pemecahan. Dalam persoalan inilah Plato mengemukakan diktrinnya yang disebut 'onomatopoeia (Cassier, 1987: 171). Filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara namanama dengan benda-benda. Ulasan Plato terhadap teori yang mengatakan bahwa semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi berakhir dengan ejekan dan karikatur. Namun demikian tesis Plato tersebut selaman beberapa abad masih tetap bertahan. Bahkan sampai dewasa ini kepustakaan bahasa masih merupakan bahan pembahasan walaupun tidak merupakan satu-satunya teori dalam ilmu bahasa. Keberatan terhadap teori Plato ini menunjuk pad fakta bahwa ketika menganalisis kata-kata dalam pembicaraan sehari-hari, kita sering sungguhsungguh tidak bisa menentukan kemiripan yang diduga ada antara bunyi-bunyi dengan benda-benda. Kesulitan ini bagaimanapun juga dapat disingkirkan dengan menunjuk fakta bahwa bahasa manusia sejak semula rentan terhadap perubahan dan kerusakan. Maka tidak boleh berhenti pada keadaan yang sekarang. Bilamana kita hendak mengusut lebih lanjut ikatan yang menyatukan antara kata-kata dengan objeknya, maka kita harus menelusuri kata-kata sampai pada sumber-sumbernya. Dari kata-kata direvatif kita harus kembali kepada kata-kata primer, kita harus menemukan 'etimon' atau bentuk murni dan bentuk asal dari tiap-tiap kata. Menurut prinsip ini sebenarnya etimologi tidak hanya

menjadi dasar dalam linguistik melainkan justru menjadi salah satu dasar filsafat bahasa. Lebih lanjut Plato mengemukakan pemikiran filosofisnya tentang bahasa dalam dialog Cratylus, bahwa bahasa pada hakikatnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan 'ono mata' dan 'rhemata' yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut. Platolah yang pertamatama membedakan kata dalam 'onoma' dan 'rhema' (Parera, 1983 : 43). Pengertian 'onomata' jamaknya 'onoma' dapat berarti nama (dalam bahasa sehari-hari), nomen, nominal menurut istilah tata bahasa, subjek dalam hubungan subjek logis. 'Rhemata' jamaknya 'rhema' dapat berarti frase atau ucapan dalam bahasa sehari-hari, verb, verbal, dalam istilah tata bahasa dan 'rhema' merupakan anggota dari 'logos' yang berarti suatu segmentasi bahasa baik berupa frase klausa, maupun kalimat. Nampaknya Plato telah banyak menuangkan konsep-konsepnya berkaitan dengan hakikat bahasa yang dalam kenyataannya sampai saat ini merupakan dasar pijak bagi pengembangan imu bahasa.

4.

Aristoteles Aristoteles seorang filsuf yang jenius dari Stagira yang memiliki karya

yang cukup banyak dan pemikiran-pemikirannya sampai saat ini masih relevan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula tentang filsafat bahasa. Ia sebagai salah seorang dari padepokan Akademia Plato di Athera dan dia belajar samapai Plato meninggal. Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam bendabenda jasmani sendiri. Pemikiran inilah yang merupakan pangkal perbedaan konsepnya dengan pemikiran filosofis gurunya. Teori Aristoteles disebut dengan istilah 'hilemorfisme' yang berasal dari bahasa Yunani 'hyle' dan 'morphe' yang secara hafiah disebut 'teori bentuk-materi'. Aristoteles

memberikan konstatasinya bahwa setiap benda jasmani terdiri atas dua hal, yaitu bentuk dan materi. Bentuk dan materi dalam pengertian ini bukanlah dalam arti empiris indrawi melainkan dalam pengertian prinsip-prinsip metafisis. Dua prinsip ini tidak dapat hanya ditunjukkan dengan jari melainkan harus diandaikan bahwa kita mengerti benda-benda jasmani. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali terbuka. Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Dalam pengertian inilah maka Aristoteles mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam setiap benda kongkrit (Bertens, 1989 : 15). Demikian juga dalam membahasa tentang hakikat bahasa Aristoteles juga mendasarkan pada prinsip metafisisnya. Dalam salah satu karyanya Peri Hermeneias yang mengemukakan tentang kwalifikasi kata yaitu 'onoma', 'rhema' dan 'syndesmoi'. 'onoma' adalah bentuk yang berupa vokal yang secara konseptual mempunyai makna tak berwaktu, tak ada satu bagianpun dari padanya memberi tanda secara sendiri-sendiri. Adapun 'rhema' adalah apa yang bersama menandai waktu, tak satu bagianpun mempunyai makna sendiri, dan selalu merupakan tanda untuk apa yang dibicarakan tentang sesuatu yang lain. dengan bersama menandai waktu yang dimaksudkan misalnya 'kesehatan' adalah 'onoma' tetapi 'adalah sehat' adalah 'rhema', karena sebagaian tamabahan menandai adanya (waktu sekarang) dalam diri seseorang. Selain itu yang dimaksud dengan pengertian 'syndesmoi' adalah 'penghubung partikel' yang dalam pengertian linguistik sering diistilahkan dengan konjungsi. Pandangan Aristoteles tentang hakikat bahasa itu nampak mendasarkan pada konsep filosofisnya tentang 'hilemorfisme', yang secara sederhana bahwa hakikat bahasa juga meliputi hakikat materi dan bentuk (Arens, 1984: 21). Selain itu Aristoteles juga mengembangkan prinsip keteraturan dalam bahasa sehingga bahasa memiliki paradigma yang disebut dengan 'analogi'. Pemikiran Aristoteles tentang filsafat bahasa tidak bisa dipisahkan dengan logika yang dalam karyanya disebut 'organon' secara luas dikenal dengan istilah logika tradisional. Dalam 'organ' Aristoteles menjelaskan bahwa logika itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan sesat pikir (Liang Gie, 1975:21). Bilamana kita

analisis lebih jauh dasar kerja penalaran logika tradisional sangat mendasarkan pada term yang diwakili oleh simbol bahasa. Proses pembentukan proposisi, premis, batasan dan terutama penyimpulan yang benar senantiasa mendasarkan pada analisis bahasa. Dalam pengertian inilah sebenarnya Aristoteles telah turut andil dalam meletakkan dasar-dasar filsafat bahasa.

Dikotomi 'analogi' dan 'anomali' Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori 'analogi' dan 'anomali' yang nampaknya berpegangan pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan hal itu terefleksi melalui bahasa. Oleh karena itu menurut kelompok analogi bahwa bahasa itu teratur dan disusun secara teratur pula. Keteraturan bahasa membawa konsekuensi dapat disusun suatu tata bahasa, satu paradigma. Analogi dianut oleh kelompok Plato dan Aristoteles dan diterapkannya dalam karya-karya mereka. Prinsip analogi ini sebenarnya merupakan transformasi keteraturan logika dan matematika ke dalam bahasa. Analogi secara matematis berdasarkan proporsi seperti 6:3 sama dengan 4:2 sama dengan 2:1 misalnya jamak dalam bahasa Inggris 'book books', 'girl girls', 'cow cows' dan lain sebagainya. Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentukbentuknya tidak teratur (irreguler). Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan itu diperbaiki. Dalam pengrtian inilah bahasa itu pada hakikatnya bersifat alamiah (Parera, 1983: 42). Kiranya pendapat kaum anomalis ini masih digunakan sebagai salah satu ciri bahasa bahwa bahasa itu pada hakikatnya arbitrer (mana suka) karena sifat bahasa yang alamiah tadi. Memang dapat kita akui bahwa perdebatan kedua pendapat itu akan berjalan seperti rel kereta api, namun demikian sampai saat ini kedua pendapat itu masih relevan dengan realitas bahasa terutama dalam pengembangan bidang ilmu linguistik.

5.

Mazhab Stoa Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton sekitar menjelang abad

keempat SM. Nama stoa menunjuk kepada tempat belajar yaitu suatu serambi bertiang, tempat Zeno memberikan pembelajarannya. Mazhab Stoa ini berdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logika. Namun demikian satu hal yang perlu dicatat bahwa sumbangan kaum Stoa terhadap filsafat bahasa cukup besar terutama dalam menentukan prinsip-prinsip analisisnya secara sistematis. Pertama, kaum Stoa telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara gramatika. Kedua, mereka telah menciptakan beberapa istilah teknik khusus untuk berbicara tentang bahasa. Ketiga, kedua kemajuan tersebut ada hubungannya dengan perbedaan kaum Stoa dan logika peripatetik dari penganut Aristoteles. Langkah pertama kaum Stoa untuk mendeskripsikan tentang hakikat bahasa terutama tentang makna dengan membedakan tiga aspek utama bahasa : (1) tanda atau simbol, sign yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa. (2) makna, yang diistilahkan dengan semainomenon, atau lekton. (3) hal-hal ternal yang disebut benda atau situasi yang diistilahkan dengan to pragma atau to tungchanon. Mereka memberikan contoh tentang kata Yunani 'gramma' berarti huruf itu sendiri, tanda tulisan untuk huruf itu dan nama untuk huruf itu. Kaum Stoapun juga menaruh perhatian terhadap bunyi, phone. Mereka membedakan antara legein (tutur) bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi dari sebuah bahasa tetapi tidak bermakna. Dalam bidang lekta, makna mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang sering tidak jelas maksudnya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak mereka akui hal itu hanya sebagai kasus saja. Hal ini disebabkan logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya mempergunakan kode huruf A, B, dan C, dan tidak menggunakan bebtuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Menurut kaum Stoa kasus itupun onoma pula yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif-genetif, datif-

akusatif dan sebagainya. Apa yang mereka sebut nominatif itu menurut Aristoteles disebut onoma saja. Hal yang sama juga berlaku bagi rhema. Walaupun Aristoteles membedakan rhema dalam 'tense' ia berbicara tentang sesuatu yang belum komplit. Kaum stoa dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian sekarang disebut bentuk infinit dan finit. Kaum stoa juga membedakan jenis kata, yang mula-mula empat kemudian lima : benda, kerja, syndesmoi, dan arthron. Dalam hal ini mereka memberikan pengertian bercampur antara bentuk morfologis dan semantik. Kata benda disebut kata yang mengalami infleksi yang dibedakan atas kata benda dan nama diri, sedangkan rhema disebutkan sebagai kata yang menggambarkan satu peristiwa dan tidak mengalami kasus. Jika masuk dalam suatu kalimat akan berbentuk kategorrhema. Syndesmoi disebutkan sebagai kata yang tidak mempunyai akhir kasus. Arthron ialah kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah, seperti dalam bahasa Yunani : ho, he, to, hoi, hai, ta, yang menyatakan jenis kelamin maskulin, feminin, netral, tunggal dan jamak. Bentuk ini kemudian kita kenal dengan nama artikel dan kata ganti penghubung. Pendapat kaum Soa ini memang merupakan rintisan ke arah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera, 1983:44,45).

C. Zaman Abad Pertengahan Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani. Hal ini bukan berarti kehancuran kebudayaan dan filsafat Yunani melainkan tetap berkembang dengan subur mengingat sang Raja sendiri menaruh perhatian terhadap kebudayaan, antara lain dengan dikembangkan "kebudayaan helenistis". Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Dalam kenyataan sejarah perhatian orang Romawi terhadap bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani. Pengembangan dan

pemikiran tentang bahasa di Romawi diserahkan kepada seorang tokoh yang bernama Crates seorang filsuf dan sekaligus seorang ahli gramatika golongan Stoa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pemikiran-pemikiran filsuf Yunani sangat mewarnai konsep-konsep tiap orang Romawi. Karya besar filsuf Romawi tentang filsafat bahasa adalah Varro yang menjadi pusat perhatian banyak kalangan ahli bahasa.

1.

Pemikiran Varro tentang Hakikat bahasa Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan

spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali. Kiranya dalam karya-karyanya yang ada, Varro juga membahas hal yang sama. Karya Varro yang terbesar adalah "De Lingua Latina" terdiri atas 25 jilid, dan berikut ini beberapa bagian yang penting dari karya Varro.

Etimologi Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, walaupun beberapa contohnya kurang tepat. Ia memberikan contoh perubahan bunyi 'duellum'menjadi 'bellum' = perang. Perubahan makna umpamanya 'hostis' semula berarti 'orang asing' kemudian berubah menjadi 'musuh'. Satu hal yang merupakan suatu kelemahan dalam etimologi ini, ialah menganggap semua kata yang berbentuk sama adalah pinjam langsung. Padahal dalam kenyataannya ada pula bentuk-bentuk bahasa kedua bahasa tersebut harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba, seperti bahasa Indo Eropa. Dengan metode-metode linguistik komparatifnya ia memberikan pula etimologi dalam bidang kata primer derivasi serta infleksi.

Pengertian Kata

Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentukbentuk yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa Latin. Jadi terdapat bentuk-bentuk teratur dan tidak teratur. Dalam hubungan ini penting juga untuk diketahui pengertian kata yang dikemukakan oleh Varro. Yang disebut kata ialah bagian dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum, jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut ketentuan dan aturan.

Konsep morfologi Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu sistem infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut. Yang berinfleksi kasus Yang berinfleksi 'tense' Yang tidak berinfleksi --- kata benda (termasuk sifat) --- kata kerja --- adverbium

Keempat kelas kata ini dikategorikan kembali kedalam (yang membuat perntanyaan yang menghubungkan dalam sintaksis kata benda dan kata kerja, dan yang menjadi anggota bawahan dari kata kerja, adverbium). Dengan kata kerja ia nampaknya bersimpati terhadap kaum Stoa. Ia menyusun satu perbedaan antara 'tense', 'time', 'aspect'. Dalam menyusun bentuk indikatif 'tense', ia membedakan pula atas aktif-pasif (Parera, 1983: 52). Kasus dan Deklinasi Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa Latin ada enam kasus. Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal lima kasus. Kasus yang keenam adalah ablativus. Jadi ada kasus : nominativus (Bentuk primer, pokok), generativus (menyatakan kepunyaan), dativus (menyatakan asal, dari). Konsep kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa. Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh dibandingkan dengan pada masa Yunani. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-

bentuk derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula ada dua macam deklinasi yaitu : deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola. Deklinasi naturalis pada umumnya reguler dan dapat diketauhi masyarakat pemakai bahasa dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Deklinasi voluntaria yaitu satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif dan manasuka. Para penutur kadang-kadang harus sadar akan bagaimana ia harus melaksanakan suatu deklinasi irreguler. Konsep deklinasi tersebut yang mempengaruhi cara kerja penemuan etimologi. 2. Konsep Priscia Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kelamaan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah sturdi ketatabahasaan. Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya. Bahkan konsep model Priscia inilah yang merupakan model dan contoh untuk penulisan dan pendeskripsian tatabahasa-tatabahasa di Eropa dan di dunia lainnya. Hal ini dianggap penting karena terdapat dua alasan yaitu : (1) konsep Priscia merupakan model tata bahasa latin yang paling lengkap yang dituturkan oleh pembicara aslinya. (2) teori-teori taa bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional. Jika disebut tata bahasa tradisional sebenarnya merekalah sumbernya, karena merekalah yang memasukkan semantik sebagai norma utama dalam deskripsi bahasa, demikian juga mereka juga membicarakan segi-segi formal dari bentuk-bentuk bahasa. Fonologi dan Morfologi Priscia Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf yang disebutnya litterae. Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebut potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulata, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulata atau inartikulata. Akan tetapi bunyi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis. Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio. Kata adalah bagian yang minium dari suatu ujaran dan harus diartikan terpisah

dalam makna sebagai satu keseluruhan. Dalam hal ini Priscia memiliki suatu kekeliruan bahwa seakan-akan bentuk vires bentuk Latin tidak dapat dianalisis atau dipecah-pecah kembali dalam bentuk yang lebih kecil lagi. Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu : 1). Nomen : dalamnya termasuk kata sifat menurut klasifikasi sekarang. Kata benda yang menunjukkan subtansi dan kualitas. 2). Verbum : verbum adalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk menunjukkan 'tense', modus, tetapi tidak berinfleksi kasus. Verbum menyatakan perbuatan atau dikenal perbuatan. 3). Participium : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum. Mengambil kategori verbum dan nomen (tense dan kasus), dan oleh karena itu berbeda dari keduanya. 4). Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan ketiga. 5). Adverbium : keistimewaan adverbum ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan semantik merupakan atribut verbum. 6). Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum. 7). Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan menyatakan perasaan atau sikap pikiran 8), Cinjuctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur satu dengan lainnya. Penentuan kelas kata tersebut sebagai unsur dari pembenetukan satuan bahasa lainnya yaitu kalimat. Tingkat berikutnya pembahasan bahasa yang menyangkut hubungan kata dengan kata, frase dan unsur lainya yang dewasa ini disebut bidang sintaksis disebut sebagai oratio. Menurut Priscia oratio yaitu

tata susun kata yang berselang dan menunjukkan kalimat itu selesai. Hal yang menarik dari segi oratio yaitu bahwa sebuah kata itu dapat menjadi kalimat secara penuh. Demikianlah kiranya pemikiran tentang bahasa kelompok Priscia yang besar pengaruhnya terhadaps tudi bahasa pada periode-periode berikutnya (Parera, 1983, 54-56); (Kaelan, 2002: 24-43).

D. Zaman Abad Modern Ciri yang utama pada zaman abad pertengahan adalah masa-masanya filsuf Kristiani terutama kaum Patristik dan Sekolastik sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi. Selain di Eropa perkembangan pendidikan diwarnai oleh sistem pendidikan Latin. Semua orang yang mencapai pendidikan tinggi baik di awam mapun rohaniawan bergantung pada pengetahuan mereka mengenai bahasa Latin. Dengan demikian bahasa latin menduduki tempat yang terhormat terutama dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat maupun teologi. Pendidikan zaman abad pertengahan dibangun dalam 7 sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal. Ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium, yang mencakup grammatika dialektika (logika) dan retorik, serta Quadrivium, yang mencakup aritmetika, geometrika, astronomi dan musik. Pada zaman ini perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu, pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan lain serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pendidikan spekulatif filosofis memberikan dsar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung perkembangan ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistae dan konsep bahasa spekulativa.

1.

Pemikiran Thomas Aquinas Thomas Aquinas atau dikenal juga dari Aquino dilahirkan di Italia dan pada

usia 19 tahun ia masuk Ordo Dominikan. Thomas telah menghasilkan banyak

karya dansuatu edisi modern telah mengumpulkan semua karyanya terdiri atas 34 jilid. Pemikiran filsafat Thomas diwarnai oleh nuansa teologi dan selain itu Thomas banyak memberikan komentar terhadap filsafat Aristoteles, sehingga tidak mengherankan banyak karya-karyanya diwarnai oleh filsafat Aristoteles. Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul summa Theologiae (ikhtisar teologi) (Bertens, 1989:35). Untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah tertentu menurut Thomas perlu memahami terlebih dahulu dengan baik-baik apa yang telah disumbangkan pemikir-pemikir besar yang lain. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles, yang mengembangkan semangat dialektika Sokrates. Menurut Thomas kesemuanya harus diandaikan bahwa mereka mempunyai dasar bag pendapatnya. Segala pro dan kontra dari siapa pun harus diangkat secara serius, dan dideskripsikan seobjektif mungkin. Argumen itu diuji dari segala pihak, dari teks asli maupun interpretasi-interpretasi pemahaman dan penilaian kritis dan lebih mendalam mengenai persoalan dan prinsip-prinsip yang bersangkutan. Melalui analisis bahasa ia mengetengahkan kelemahan, kekurangan dan keberatan-keberatannya pada gilirannya mengetengahkan pandangannya atas kebenaran tersebut. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles. Pertama-tama Thomas berusaha mengolah filsafat Aristoteles. Hampir semua karya filosofisnya merupakan komentar atas karya-karya besar Aristoteles. Ia mendalami dan menyelami pemikiran Aristoteles dan kemudian juga memformulasikannya melalui pandangan filosofisnya. Sehingga tidak mengherankan pemikiran filosofisnya diwarnai oleh logika Aristoteles sebagai metode berpikirnya. Titik tolak tradisi yang kedua yang diangkat secara kritis dan mendasar oleh Thomas yaitu pemikiran Platonis. Ia senantiasa menganalisis prinsip-prinsip filosofisnya yang mendasari ajaran mereka kemudiann daam keragka pemikiran filosofis ajaran-ajaran platonis disistematisir berdasarkan kerangka logika Aristoteles.

Analisis Bahasa Banyak kalangan historian memberikan ciri perkembangan pemikiran filsafat pada abad pertengahan diwarnai oleh mercusuar tradisi Skolastik, sehingga tidak mengherankan bahasa Latin menduduki posisi sentral dalam wacana intelektual filosofis dan teologi. Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan pemikiran pemikiran filosofis. Dalam pemikiran filosofis Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni. Analissi abstraksi sebagai metode khas filsafat dikembangkannya, yaitu dengan meninjau suatu segi atau sifat tersendiri dan kemudian menyisihkan segala aksidensia dan akhirnya sampai pada substansi atau hakikat segala sesuatu. Konsep pengertian sepergi kodrat, nafsu dan lain sebagainya dapat dijelaskan dengan tepat. Bahasa sastra yang bersifat puitis senantiasa dihindarinya. Namun demikian bukan berarti Thomas mengelak dari fungsi bahasa yang bersifat fleksibel serta kelenturan makna bahasa. Hal ini nampak dalam mengungkapkan analisis filosofisnya melalui analogi dan metafor. Memang benar diakui oleh banyak kalangan intelektual bahwa dalam setiap khasanah ilmup engetahuan memiliki istlah-istilah teknis dan artifisial tertentu yang memang berlaku sah dan bermakna dalam konteks ilmu pengetahuant ertentu tersebut. Namun demikian bahasa adalah tepat dan kaya dan merupakan sarana yang mutlak bagi presisi ilmiah. Para ahli juga sependapat bahwa terdapat suatu perbedaan antara struktur sintaksis dengan struktur logis, yang terdapat dalam makna bahasa. Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas, menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis. Premis dalam proses deduksi adalah merupakan suatu pernyataan yang mutlak benar, yang memberikan informasi tentang kenyataan (Copleston, 1958:28). Premis yang demikian ini merupakan suatu prinsip yang jelas dengan sendirinya (principium per se notum), sekali istilah dipahami semua orang yakin akan kebenarannya. Hal itu meliputi beberapa macam bentuk premis deduktif yaitu: Definisi, yaitu pernyataan yang predikatnya menyatakan hakikat subjek. Bagi Thomas definisi itu sangat sentral, dan ia sangat cermat mencarinya, misalnya definisi keadilan. Thomas secara konsistem berusaha memberi

kepada segala sesuatu kerangka skematis yang menyajikan pemahaman. Ia mulai dari pemahaman umum misalnya tentang ada, kemudian dengan perbandingan pertentangan, analisis istilah dan sebagainya ia memberikan definisi unik yang hanya berlaku bagi hal yang akan dirumuskannya. Paling ideal definisi yang mampu memberikan rumusan menurut prinsip genus et species. Namun demikian juga dapat ditandai menurut salah satu sifat, atau salah satu sebab atau menurut salah satu prinsip, dengan demikian definisi itu dapat ditentukan. Prnsip yang self-evident, yaitu suatupernyataan yang predikatnya merupakan sifat yang dalam analisis nampaknya mutlak berlaku bagi subjeknya, misalnya prinsip kausalitas (Copleston, 1955:29). Dapat juga keseluruhan yang terbatas itu lebih besar daripada masing-masing bagiannya. Pengetahuan akan istilah-istilah dalam prinsip itu memang secara psikologis berasal dari pencerapan, tetapi evidensinya muncul langsung dalam analisis hubungan predikat dan subjek, jadi secara logis bersifat apriori. Prinsipprinsip yang self-evident itu berhubungan satu sama lain, akhirnya dikembalikan pada prinsip utama yang ada tidak dapat sekaligus tidak ada. Prinsip yang lebih bersifat sekunder, yaitu dengan memakai prinsip-prinsip metafisis lainnya. Misalnya, yang baik ialah sebagaimana berlaku dalam kebanyakan hal, kodrat selalu mengarah ke kesatuan, yang lain merupakan hubungan substansi dan aksidensia atau hubungan potensi dengan aktivitas. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tudingan kepada filsafat Skolastik Thomas yang dianggapnya menjadi verbalisme yang kering, suatu sitem berpikir yang tertutup yang diabadikan melalui sistem hafalan belaka, walaupun sebenarnya tuduhan itu tidak sepenuhnya benar (Bakker, 1984:60,64). Walaupun tidak memiliki hubungan sebab akibat yang langsung antara sistem pemikiran Thomas dengan Atomisme Logis nampaknya memiliki kemiripan terutama menggunakan ungkapan bahasa melalui logika dalam melakukan analisis konsep-konsep filsafat. Hanya perbedaan yang esensial adalah Atomisme Logis menolak metafisik karena ungkapan metafisis sebenarnya tidak mengungkapkan keberadaan fakta apa pun; sedangkan Thomas justru analisis logis melalui ungkapan-ungkapan bahasa digunakan dalam upaya untuk memberikan analisis ungkapan-ungkapan metafisis maupun fakta.

Analogi dan Metafor Anggapan yang menyatakan bahwa filsafat Thomas bersifat verbalisme yang kering, nampaknya tidak sepenuhnya benar karena dalam kenyataannya Thomas mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofisnya tidak hanya melalui logika Aristoteles melainkan juga mengangkat analogi dan metafor. Dalam filsafat Thomas doktrin tentang 'analogi' sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmu filosofis sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996:124). Bila bagi Aristoteles kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana bisa keluar dari dilema antara disatu pihak ada unsur dasr yang satu bagi seluruh kenyataan, di pihak lain ada pula makna yang amat beragam dari kenyataan itu, maka wacana teologi menghadapi kenyataan yang seperti itu. Dalam wacana teologis tentang Tuhan dan tantang manusia yang akan berakibat menghilangkan unsur transendensi Tuhan. Di pihak lain mengasumsikan ketidakberhubungan total antara kedua wacana itu dan akan berakibat membawa kepada agnositisme. Kenyataan itulah yang kemudian membawa Thomas Aquinas menerapkan konsep Aristoteles tentang 'analogi' di kawasan teologi. Maka di antara atribut yang bersifat univokal dan ekuivokal kemudian ada atribut baru , yaitu atribut 'analogi'. Jadi doktrin Thomas tentang Analogi Etnis atau 'analogi' pengada itu adalah upaya untuk memadukan hubungan horizontal antara ciptaan di dunia ini dengan hubungan vertikal antara ciptaan itu dengan Tuhan. Hal inilah yang kemudian dimaksudkan dengan istilah onto-teologi. Betapa keras upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke taraf 'ilmiah filosofis' terlihat dari bagiamana ia secara terus menerus mengubah dan memberi rincian baru atas konsep analogi tersebut. Misalnya ia berupaya membagi analogi itu menjadi 'analogi proportio' dan 'analogi proportionalitas' (dalam de Veritate). Tidak puas dengan itu dibuatnya analogi 'duorum et tertius' dan analogi 'unius ad alterum' (dalam de Potentia). Masih juga belum measa puas Thomas menciptakan rincian baru yaitu analogi dengan prioritas pada Tuhan sendiri, jadi titik tolaknya adalah Tuhan kemudian analogi yang berangkat dari sifat-sifat

ciptaan yang titik tolaknya adalah ciptaan (dalam Summa Theologiae). Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Memang terdapat kendala yang bersifat dilematis yaitu di satu pihak keberadaan Tuhan yang bersifat transenden diungkapkan melalui bahasa yang acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya adalah real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa mnetaforis persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filosofis. Hal ini dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa. Dalam summa theologiae diungkapkan 'Tangan tuhan menciptakan keajaiban'. Yang dimaksud tangan dalam pengertian harfiah adalah mengacu pada anggota badan manusia. Namund emikian yang dimaksud dengan "Tangan Tuhan" adalah makna spiritual, sehingga pengertian makna "Tangan Tuhan" adalah kekuatan, kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataraan ilmiah filosofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis (Borgmann, 1974: 63). Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang memuncak mencapai puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep Skolastik terutama pemikiran filosofis Thomas Aquinas yang menyangkut dan menganalisis secara kritis karya-karya besar Aristoteles. Dalam kenyataannya metode yang digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problemaproblema filosofis dengan menggunakan metode analisis yang menonjol dari karya pemikiran Thomas ini melalui analisis bahasa terutama analogi dan metafor, mampu mengangkat persoalan-persoalan teologis ketingkat pemikiran yang bersifat ilmiah filosofis. Analisis bahasa teologi tentang hakikat Tuhan yang transenden sulit diungkapkan melalui bahasa terutama yang mengacu pada realitas fakta ciptaan Tuhan. Dilema inilah yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karya besarnya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor (Kaelan, 2002:44,50).

2.

Mazhab Modistae

Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran hakikat bahasa secara tekun mereka mengembangkan dan nama Mostae muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan 'De Modis Significandi'. Mereka pun mengulang pertentangan klasik tentang hakikat bahas 'Fisei dan Nomos', perdebatan antara 'Analogi dan Anomali'. Mereka menerima analogi, karena menurutnya bahasa bersifat reguler dan universal. Dalam konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapatperhatian yang utama dan digunakan pula dalam penyebutan definisidefinisi bentuk-bentuk bahasa. Interpretasi ajaran Skolastik akan ajaran-ajaran Aristoteles nampak dengan jelas dalam sistem pemikiran kaum Modistae ini. Menurut konsep pemikiran kaum Modistae barang-barang atau benda-benda memiliki beberapa ciri khas atau kepribadian yang perlu dibeda-bedakan. Kepribadsian ini disebut 'modessendi' dan pikiran manusia menangkap ini dengan daya pengertian yang aktif yang disebut sebagai 'modi intellegendi activi' yang kepadanya dikenakan pula daya pengertian yang pasif yaitu 'modi intellegendi passiva'. Dalam bahasa pikiran in dialihkan kedalam tanda bunyi (voces) penunjuk yang aktif (modi sifnigicandi activi) dalam bentuk kata-kata (dictiones) dan bagian ujaran (paries orationis) atau sering disebut jenis kata. Modi Significandi inilah yang meruakan kunci dalam sistem analisis bahasa kaum Modistae. Secara sistematis dapat disusun dasar pemikiran sebagai berikut: Modi essendi Modi intellegendi active Modi sifnificandi active modi intellegendi passivi modi significandi passivi

Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan oleh kaum Modistae nampaknya pengaruh ilmu pengetahuan dan pemikiran-pemikiran Skolastik yang memberi ciri mencari sebab-sebab universal dan tidak berubah, sehingga dalam konsep pemikiran tersebut mereka mencoba menurunkan kategorikategori tata bahasa dari kategori-kategori logika, epistemologi dan metafisika. Salah satu usaha untuk memastikan semua ini ialah usaha dari kaum Modistae untuk menemukan sumber makna. Sehingga dengan demikian berkembanglah

etimologi dalam zaman ini dan sumber mereka adalah 20 jilid etimologi dari Santo Istidore dari Seville tahun 636 (Parera, 1983:57).

3.

Konsep Bahasa Spekulativa Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi

bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Skolatisme sendiri adalah merupakan hasil integrasi filsafat Aristoteles dalam tangan pemikir-pemikir seperti Thomas Aquinas ke dalam teologi. Skolatisisme timbul dari satu kemampuan dan pengabdian intelektual yang matang. Dalam konteks ini deskripsi bahasa latin seperti yang dilakukan oleh Priscia dan Donatus dianggap tidak cukup, walaupun secara pedagogis ada manfaatnya. Tugas dari konsep bahasa spekulativa ialah untukmenemukan prinsipprinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihal lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk ata yang diwakilinya. Disimpulkan pula kepada bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan. Persoalan yang timbul adalah bagaimana bahasa dapat merupakan jembatan atau alat bagi pengetahuan yang benar. Menurut konsep bahasa spekulativa bahwa kata pada hakikatnya tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuknya. Kata hanya mewakili hal yang adanya benda itu dalam pelbagai cara, modus, substansi, aksi, kualitas dan sebagainya, dan hal lini terjadi dengan pendekatan kepada partes orationis. Konsep bahasa adalah berasal dari konsep filosofis partes orationis dan dicirikan dalam modus yang menunjuk itu atau modi significandi. Pengertian spekulativa kiranya dapat dijelaskan dengan lebih memperhatikan maksudnya ini. Istilah spekulativa berasal dari kata speculum yang berarti 'cermin', dan ini memberikan refleksi dari kenyataan yang mendasari dunia fisik. Dengan ini kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskrispikan bhawa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang terkenal pada masa

itu yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah peraturan bahasa yang benar dalam bahasa zaman itu (Parera, 1983:59).

E. Zaman Abad Modern 1. Pengantar Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Kekhusukan manusia dalam mensyukuri karunia Sang Maha Kuasa nampaknya terusik dengan munculnya kegelisahan manusia akan dirinya sendiri. Keakraban manusia dalam menafsirkan suara Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum Patristik dan Sekolastik terutama sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan munculnya kesadaran manusia akan dirinya sendiri. Demikianlah akhirnya masa kejayaan abad pertengahan memudar di telah waktu dan muncullah masa abad modern yang diawali dengan renaissance. Secara harfiah kata Renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaisance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya sebgai telah dilahirkan kembali dalam suatu peradaban. Di dalam ekalhiran kembali itu orang kembali kepada sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan (Hadiwijono, 1983:11).gerakan ini ditandai dengan usaha untukmenghidupkan kembali kebudayaan Yunani-/Romawi. Awal gerakan pembaharuan ini sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang Italia yang dikenal dengan gerakan humanisme yang sebenarnya teah dilakukan sejak abad pertengahan. Tidak dpat disangkal, bahwa pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya besar dari pada pemikir dan penulis Yunani dan Latin, namun apa yang telah dilakukan orangorang pada abad pertengahan itu berbeda dengan apa yang dilakukan para humanis pada zaman Renaisance yang tidak mendasarkan pada otoritas teologi. Kaum humanis zaman Renaissance bermaksud untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dan sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan kepustakaanyang lebih baik dan dengan mengikuti jejak kebudayaan klasik. Maka pada zaman Renaissance ini

munculah kebangkitan untuk mempelajari sastra klasik dan penyambutan yang bersemangat atas realitas hidup ini yang bersifat alamiah. Menurut Renaissance dunia diterima seperti apa adanya, sebab orang merasa kerasan di dunia dan sangat menghargai akan hal-hal yang baik dari hidup ini. Selain itu karena menjadi semakin optimis. Optimisme manusia diarahkan kepada perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang kongkrit. Perhatian itu ditujukan kepada manusia, kepada hidup kemasyarakatan dan kepada sejarah. Manusia mulai menyadari dua hal yang berbeda yaitu dunia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan dirinya sendiri dalam arti mereka mulai sadar akan nilai pribadinya dan akan kekuatan pribadinya. Era baru akan penemuan dirinya sendiri oleh manusia ini berakibat manusia merasa terbebas dari kungkungan wahyu. Menurutnya wahyu memiliki wibawa dalam bidangnya sendiri. Kebanyakan orang berpendaapat bahwa akal tidak bewibawa atas kebenaran-kebenaran keagamaan, karena kebenaran-kebenaran itu hanya dapat dipercaya. Dalam khasanah filsafat orng berpendapat bahwa dalam pengertian ini tiada sedikitpun ikatan kepada satu wibawa apa pun dalam hal kebebasan akal manusia. Kebenaran harus dicapai dengan kekuatan sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa di samping terdapat pandangan atas dunia alamiah yang murni dan berdiri sendiri terdapat juga jiwa yang murni. Demikianlah lambat laun filsafat mulai meninggalkan kemesraannya dengan teologi, filsafat menjadi lebihbersifat individualistis sehingga sejarah menunjukan kepribadian-kepribadian. Titik tolak yaitu kebebasan mutlak bagi pemikiran dan penelitian bebas dan wibawa atau tradisi. Pengetahuan yang pasti bukannya didapat dari pewarisan, melainkan diperoleh oleh manusia sendiri karena kekuatan sendiri dengan penelitian-penelitian. Suatu perkembangan yang maha penting dalam zaman itu adalah mulai timbulnya ilmu pengetahuan alam modern berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Beberapa tokoh peletak dasr ilmu pengetahuant ersebut antara lain Leonardo da Vinci,Nocolaus Copernicus, Johanes Kepler serta Galileo Galilei. Seorang tokoh yang meletakkan dasar filosofis untuk perkembangan dalam ilmu pengetahuan adalah Francis Bacon bangsawan Inggris ini mengarang suatu karya yang bermaksud menggantikan teori Aristoteles tentang

ilmu pengetahuan dengan suatu teori baru yang disebut Novum Organon (Bertens, 1989:64). Terlebih lagi perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Nama ini diberikan pada masa ini karena manusia mencari suatu cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant telah memberikan semacam definisi, bahwa Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak akil balig, yang disebabkan karena kesalahan manusia sendiri. Kesalahan dikarenakan manusia tidak mau mempergunakan akalnya. Dalam pengertian ini Voltaire menyebutnya sebagai Zaman akal (Hadiwijono, 1983:47). Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan. Dalam kaitan dengan erkembangan filsafat bahasa terutama filsafat analitika bahasa. Rasionalisme Rene Descartes yang bahkan ia disebut sebagai Bapak filsafat modern, Empirisme antara lain tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, David Hume tokoh Kritisisme Immanuel Kant serta August Comte sebagai pencetus paham positivisme. Paham-paham tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa terutama dalam pengembanan dasar-dasar analisis bahasa.

2.

Rene Descartes Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes

sehingga ia layak mendapat gelar bapak filsafat modern. Filsuf ini dilahirkan di Prancis dan belajar filsafat pada Kolese di La Fleche. Descartes menyusun satu buku tentang mode yang berjudul De cours de la Methode (1637) yang artinya yaitu uraian tentang metode. Buku tersebut menjelaskan tentang pengembaraan intelektualnya. Ia sebagai seorang filsuf yang inovatif ia tidak merasa puas dengan ajaranajaran filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pendidikannya. Descartes menyatakan bahwa dalam bidnag dak ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan tidak terkecuali

filsafat dan ilmu pengetahuan yang pada saat itu berkembang, terkecuali ilmu pasti yang meruakan hasil dari rasio (Bertens, 1989:45). Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes bepangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Namun keragua-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisisme mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan. Menurut Descartes yang dipandang, sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya bahwa gagasan-gagawan atau ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Pengamatan indrawi tidak memberi keterangan kepada kita tentang hakikat dan sifat-sifat dunia ke luar kita. Pengamatan indrawi hanya memberi nilai praktis. Benda-benda di luar kita hanya memberi nilai praktis. Bendabenda di luar kita hanya memberi ide yang samar-samar saja. Ide yang samarsamar itu henya memberitahukan kepada diri tentang perasaan subjek yang mengamatinya. Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah-pilah yang dapat mengajar kepada kita secara sempurna tentang hakikat segala sesuatu dan sifatsifatnya yaitu melalui pengertian-pengertian atau ide-ide yang secara langsung jelas. Yang diketahui pikiran secara langsung tanpa melalui perantaraan adalah dirinya semata-mata. Segala sesuatu di luarnya hanya dikenal secara tidak langsung,e mlalui perantaaan. Pengertian atau ide0idea itu semula dikenal dengan realitasnya sendiri. Pikiran menemukand alam dirinya sendiri ide-ide itu sebgai gagasan-gagasan yang menampakkandiri sebagai pencerminan objekobjek atau sasaran-saaran di luar kita. Oleh karna itu ide-ide juga menjadi alat untuk mengenal hal-hal yang di luar pikiran. Pengertian yang jelas dan terpilahpilah tadi ternyata benar-benar sesuai dengan apa yang digambarkan (Hadiwijono, 1983:22). Oleh karena itu untuk mencapai kebenaran pengetahuan yang kedap dengan keragu-raguan tahapan metodenya sebagai berikut : (a) Bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Konsekuensinya kita harus menghidnarkan diri dari sikap tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusan

hanya menerima sesuatu yang dilakukan pada akal dengandemikian jelas dan tegas sehingga mustahil untuk disangksikan. (b) Semua bahan danepsoalan yang diteliti, dibagikandalam sebanyak mungkin bagian, manakala kiranya perlu untuk pemecahan yang memadai. (c) Sistmatik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek dari yang paling sederhana danmudah, berangsur-angsur tahap demi tahap sampai pada pengertian yang lebh kompleks. Jadi dari pengertian yang simple dan absolut sampai pada pengertian yang kompleks dan relatif. (d) Akhirnya sampailah pada tinjauan permasalahan yang bersifat universal, sehingga ditemukan suatu kepastian maka dengan demikian tiada lagi keraguan (Bakker, 1984:74-78). Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan menurut Descartes yaitu bahwa cogito ergo sum aku berpikir dan oleh karena itu aku ada. Memang segala sesuatu yang dipikirkan dapat saja tentang khayala, aka tetapi aku berpikir bukanlah khayalan. Tiada seorang pun dapat menipu saya, bahawa saya berpikir danoleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu maka aku berada (Hadiwijono, 1983:21). Doktrin Descartes tentang cogito ergo sum yang ditindaklanjuti dengan keragu-raguan metodis beserta langkahnya untukmendapatkan kebenaran pada hakikatnya adalah menerapkan metode yang besifat analitik dan hal itu dikemukakan sendiri oleh Descartes. Langkah-langkah metodis ini nampaknya memiliki kemiripand engan metod eyang dikembangkanoleh tokoh-tokoh Atomisme logis. Pemikiran Atomisme logis yang menjelaskan realias melalui bahasa logik yang diungkapkan melalui proposisi-proposisi. Proposisi atomik adalah mengungkapkan fakta atomik. Realitas tersusun atas fakta-fakta dari fakta atomik sampai pada fakta yang bersifat kompleks, dan yang dimaksud fakta daam pengertian ini dalah keberadaan suatu peristiwa (state of affairs). Terdapat kesamaan antara metode Descartes dengan metode Atomisme logis yaitu keduanya menggunakan metode analitis, atau dengan lain perkataan bhawa kedua pemikiran tesebut sama-sama menggunakan metode analitis dalam mengungkapkan kebenaran. Namun demikian terdapat perbedaan di antara keduanyayaitu, Atomisme logis dalam memecahkan problema-problema

filosofis menggunakan analisis logis tentang ungkapan-ungkapan filsafat, sehingga sampai pada suatu putusan. Adapun Rene Descartes melalui pendekatan ontologik yaitu cogito ergo sum aku berpikir oleh karena itu saya ada dan pencapaian tidak didasarkan padaanalisis logis namun didasarkan pada intuisi dan akal murni,w alaupun titik tolak pemikiran Descartes adalah pada rasio. Demikianlah kiranya Rene Descartes selain sebagai bapak filsafat modern ia juga sebagai peletak dasar-dasar filsafat analitik. Paham rasionalismenya dikembangkan oleh para tokoh filsafat analitik yang mengungkapkan konsepkonsep tentang proposisi antara lain proposisi formal yang bersumber pada rasio manusia.

3.

Thomas Hobbes Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes

adalah paham empirisme. Thomas Hobbes adalah filsuf Inggrus pertama yang mengembangkan aliran empirisme. Walaupun sebelum Hobbes, Francis Bacon telah menerapkan prinsip-prinsip empirisme namun Bacon tidak mengembangkan suatu ajaran yang lengkap melainkan dalam bentuk pengembangan pada aplikasi di bidang ilmu pengetahuan empiris. Biarpun demikian ia menerima juga prinsip metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam sebagaimana dikembangkan oleh Bacon yaitu metode empiris matematis. Thomas Hobbes termasuk filsuf yang unik dan kreatif yaitu menyatukan pandangan emirisme dengan rasionalisme dalam suatu sitem filsafat materialisme. Pemikiran filsafat materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode berikutnya, dalam memberikan dasar-dasar ilmiah. Menurut Hobbes filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ilmu, sebab filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian sebagaimana yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati,

yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun instrumennya adalah pengertianpengertian yang diungkapkan melalui bahasa yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam proses pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bntuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian ruang, waktu bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes,tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, yang nyata menurutnya adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda-benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada subjek. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hukumnya sesuai dengan hukum alam dan ilmu pasti. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demkian sebab akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demikianlah kiranya filsafat Hobbes nampak ciri-ciri empirisme, rasionalisme dan meaterialisme (Hadiwijono, 1983:32). Sebenarnya masih terdapat filsafat Hobbes yang justru paling populer yaitu konsepnya dalam bidang filsafat politik dan salah satu karya besarnya adalah Leviathan (Bertens, 1989:51). Walaupun tidak secara langsung pengaruh Hobbes terhadap berkembangnya filsafat bahasa, namun demikian sebenarnya berdasarkan ajaran-ajaran yang dikembangkanya terdapat tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya filsafat bahasa terutama filsafat analitika bahasa. Pertama, ajaran empirisme Hobbes memberikan warna bagi berkembangnya pahampaham filsafat analitika bahasa, terutama atomisme logis dan positivisme logis, bahwa proposisi itu mengungkapkan fakta-fakta bahkan menurut positivisme logis, bahwa ungkapan yang bermakna adalah yang dapat diverifikasi secara empiris. Hobbes memberikan dasar-dasar ini karena dalam empirisme Hobbes ajuga mengangkat otoritas rasio (logika) dan fakta. Kedua, menurut Hobbes fakta-fakta itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya, dan hal ini dilakukan oleh atomisme logis dan positivisme logis dalam mengungkapkan realitas melalui bahasa yang didasarkan pada logika. Ketiga, empirisme Hobbes memberikan warna bagi penentuan sistem logika bahasa filsafat analitik yaitu proposisi meliputi pengertian proposisi empiris (atau faktual) yaitu proposisi yang mengungkapkan realitas empiris (yaitu yang

berasal dari pengalaman indra), dan proposisi formal yang bersumber dari rasio manusia dan memiliki kebenarannnya yang bersifat tautologis.

4.

John Locke Pemikiran empirisme John Locke merupakan sistesis rasionalisme Rene

Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang ajaranajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandag sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman yang tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidakmelahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dri luar akal melalui indera (Hadiwijono, 1983:36). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih as a white paper tanpa tulisan dan seluruh isinyaberasal dari pengalaman inderawi manusia (Bertens, 1989:51). Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal. Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman-pengalaman lahirian (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection) yang berada dalam psikis manusia. Gagasangagasan dibedakan atas gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan tunggal datang langsung dari pengalmaan, tanpa pengeolahan logis apapun, adapun gagasan majemuk timbul dari percampuran atau penggabungan gagaan-gagasn tunggal. Jikalau beberapa gagasan secara teratur bersama-sama menampilkan diri, subjek menamggapi gagasan-gagasan itu sebagai termasuk hal yang sama, yang berdiri sendiri yang disebut substansi. Selain dari substansi gagasan-gagasan majemuk juga dapat meliputi pengertian tentang keadaan atau modi tentang hubungan-hubungan. Tugas rohmanusia terbatas pada memberi sebutan kepada gagasan-gagasant unggal gadi, menggabungkannya, merangkumkannya dan menajdikannya bersifat

umum. Dari gagasan-gagasan itulah timbul isi pengetahuan kita yang bermacam-macam sekali. Pengetahuan umum adalah suatu sebutan kolektif bagi segala gagasan yang tunggal dan mejumuk dri rumpun yang sama. Jadi bahasa yang tersusun atas kata-kata berfungsi sebagai tanda bagi suatu isi kesadaran manusia. Sasaran kesesuaian manusia adalah gagasan semata-mata. Pengenalan manusia adalah pengenalan tentang gagasan-gagasan atau ide-ide yaitu kesankesan yang dimiliki subjek yang mengenal. Gagasan-gagasan tunggal dari pengalmaan batiniah adalah objektif. Gagasa-gagasan itu kita kenal dalam kesadaran seerti keadaanyang sebenarnya. Segala gejala psikis yang disaksikan oleh kesadaran kita tampil sebagai kenyataan bagi manusia. Gagasan tunggal dari pengalaman lahiriah semuanya adalah benar sejauh gagasan-gagasan itu disebabkan oleh realitas yang ada di luar subjek serta menghadirkan realitas itu dalam kesadaran kita. Pengamatan tentang dua gagasan tunggal yang ada atau yang tidak ada persesuaiannya dinyatakan didalam suatu putusan. Apakah gagasanyang satu ada persesuannya dengan gagasan yang lain dapat muncul dalam beberapa bentuk antara lain : (a) dalam bentuk identitas atau perbedaan, (b) dalam bentuk hubungan, (c) dalam bentuk koeksistensi atau berada bersamasama, dan (d) dalam bentuk kenyataan. Bagaimanapun bentuknya gagasangagasan itu senantiasa dihubungkan dengan yang lain dalam suatu putusan. Putusan itu dapat benar, tetapi dapat juga salah. Ada putusan yang hanya mengenai pengetahuan tentang gagasan-gagasan kita (ilmu pasti, etika), ada putusan yang mengenai gagasan-gagasan tunggal dan kesesuaianya dengan kenyataan di luar kita (misalnya mengenai sifat primer dan sekunder) dan ada putusan yang mengenai gagasan-gagasan kompleks dan kesesuaiannya dengan kenyataan (dalam hal ini khususnya timbul soal yang mengenai substansi). Segala putusan terjadi di kawasan roh. Putusan yang benar diperoleh karena pengalaman intuitif. Segala kepastian dan kejelasan dalam pengetahuan bersandarkan intuisi, pembuktian kurang memberi kepasatian dibanding dengan intuisi (Hadiwijono, 1983:36). Empirisme John Locke lebih memiliki sifat analitis dibandingkan dengan Thomas Hobbes, sehingga dalam hubungannya dengan pemikiran filsafat analitika bahasa empirisme Locke banyak memberikan sumbangan terutama

dasar-dasar fakta empiris beserta bentuk susunan gagasan-gagasan. Dalam konsep filsafat analitika bahasa dikenal konsep proposisi, elementer atau sederhana yang melukiskan fakta elementer (atomis) serta proposisi kompleks yang melukiskan fakta yang kompleks pula. Hal ini sesuai dengan konsep Locke tentang ide-ide yang sederhana dan ide-ide yang kompleks. Jastifikasi pengetahuan empiris juga memiliki kesamaan dengan justifikasi proposisi menurut konsep analitika bahasa yaitu keduanya bukan hanya sampai pada klarifikasi melainkan sampai pada putusan. Namun perbedaannya bahwa Locke tidak menentukan susunan gagasan-gagasan atau ide-ide itu berdasarkan pada sistem logika seperti yang dilakukan oleh atomisme logis maupun positivisme logis. Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasangagasan manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsipprinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.

5.

George Berkeley Filsuf kelahiran Irlandia ini pernah menjadi uskup Anglikan di Cloyne.

Berkeley dalam konsep-konsep pemikiran filosofisnya sebenarnya meneruskan tradisi Locke namun dalam kesimpulan serta dasar-dasar metafisiknya berbeda. Sebagaimana kita pahami Locke menyatakan tentang adanya substansisubstansi material dan hal ini ditolak oleh Berkeley. Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang ada hanyalah ciriciri yang diamati, atau pengalaman dalamroh saja sehingga pemikiran Berkeley ini dikenal secara luas dengan aliran yang disebut imaterialisme (Bertens, 1989:52). Berdasarkan ciri metafisiknya pemikiran Berkeley ini bermuara pada aliran idealisme, karena ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kita. Keyakinan asasu menurutnya adalah sebagai berikut : (a) segala realitas di luar manusia adalah tergantung kepada kesadaran, (b) tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi, (c) tidada perbedaan antara gagasan pengalaman batiniah dengan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamatan adalah identik

dengan gagasan yang diamati, dan (d) tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang bersifat kongkrit dikenal dngan pribadi-pribadi (Hadiwijono, 1983:50). Titik tolak pemikiran Berkeley terdapat pada pandangannya dibidang teori pengenalan. Menurutnya segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik degangagasan yang diamati. Pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dengan objek yang diamati, melainkan hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain. Hanya pengamatanlah yang ada, sehingga realitas objek yang diamati pada hakikatnya terletak pada pengamatan itu sendiri. Objek adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yaitu ide-ide yang disebabkan karena pengamatan indera yang langsung disebabkan pengamatan batiniah. Demikian juga objek itu pad ahakikatnya disebabkan pengamatan karena pengamatanpengamatan yang ditambah ingatan dan fantasi atau khayalan, dengan penggabungan bagian-bagian gambaran yang diamati. Sifat pengamatan adalah kongkrit, artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati. Isi itu bukan pengertian-pengertian umum yang abstrak yang bersifat individual. Sesuatu yang kita amati adalah kongkrit. Jadi hanya gagasan-gagasan yang kongkritlah yang dapat dipakai sebagai untuk memikirkan gagasan-gagasan konkrit lainnya yang bermacam-macam itu. Apa yang berada secara umum hanya berada sebagai nama saja. Tiada pengertian umum seperti umpamanya substansi, benda, dunia dan lains ebagainya yang lazim dikenal metafisika (Hadiwijono, 1983:51). Pemikiran Berkeley di samping secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga memiliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menuntut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.

6.

David Hume

Dalam sejarah filsafat Inggris, tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume. Ia memang mengembangkan ajakan Locke dan Berkelay yang diolahnya secara cermat sehingga merupakan pandangan empirisme yang amat fanatik dan tajam. Menurut Hume bahwa manusia tidakmembawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan atau impression dan pengertianpengertian atau ide-ide yang disebut ideas. Yang dimaksud dengan kesankesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat. Menurut Hume yang dimaksud dengan pengertian atau ide adlaah gambaran tentang pengalaan yang redup sama-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman manusia. Ide kurang jelas dan kurang hidup jika dibandingkan dengan kesan-kesan. Rasa sakit pada bagian tubuh yang sedang luka dirasakan lebih kuat dibanding dengan kemudian jikalau rasa sakit itu direnungkan kembali. Ide atau pengertian adalah sebagai tembusan atau copy dari kesan-kesan, sehingga kesan atau ide adalah sama. Perbedaannya terletak pada caranya ditimbulkan dalam kesadaran, yang satu secara langsung yang lain dengan perenungan kembali (Hume, 1977:9-13). Yang termasuk dalam ide yang keadaannya redup, samar-samar dan tidak pasti adalah segala hal apa saja, yang kita terima secara tidak langsung misalnya gagasan yang menyenangkan atau yang menyedihkan dari pertemuan dengan teman, dan lainlain. Sebenarnya sebagian umat manusia mendasarkan pendapatnya atau pengetahuannya, atas hal-hal yangd iterimanyatidak secara langsung, yang melalui ide-ide atau pengertian-pengertian . itulah sebabanya manusia sering ragu-ragu, kacau dan lain sebagainya. Sebagaian besar pendapat manusia sebenarnya tidak bermakna karena kesalahan pengenalan. Akan tetapi segala kekaburan dan kekacauan akan hilang, jika kita berhasil menemukan kembali sumber-sumber asal ide-ide atau pengertian-pengertian itu. Sumber asal ide-ide itu adalah kesan-kesan yang diterima langsung dari pengalaman. Bilamana akal kita diperoleh kesan-kesan yang demikian itu, barulah kita mengetahui hal yang sebenarnya. Kuasa kesan-kesan ini memang

tidak dapat kita andalkan sepenuhnya, dan keyakinan yang demikian inlah menurut Hume disebut kepercayaan.kita percaya bahwa di dalam kesan-kesan itu pengalaman kita bukan lagi hal-hal yang menyesatkan dan salah. Dalam kepercayaan itu kita mendapatkan pengetahuan langsung, di mana segala keragu-raguan dilarutkan kedalam kepastian. Secara metafisik Hume menentang aku menurut Descartes maupun Berkeley yang menyatakan aku sebagai substansi roh. Menurut Hume, tidak pernah ia mengamati aku itu, tanpa ada satu pengamatan yang lain. Ia tidak pernah menjumpai kesan aku yang berdiri sendiri, dan sebenarnya yang diamati hanyalah kesan-kesan belaka. Oleh karena itu yang disebut aku sebenarnya merupakan suatu komposisi atau susunan kesan-kesan tadi. Di dalam diri kita tiada hal yang lain kecuali kemarahan, ketakutan, kekacauan, pengharapan, kesenangan dan lain sebagainya. Jadi aku sebenarnya bukanlah merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri karena tidak dapat diamati secara langsung, sehingga sebenarnya merupakan susunan kesan-kesan atau komposisi kesankesan yang diterima manusia. Bagi pengamat idealisme yang fanatik nampaknya pemikiran Hume diasakan terlalu keras dan radikal. Dengan ungkapan lain Hume menolak secara radikal realitas metafisis yang tidak didasarkan pada fakta empiris, walaupun pada sisi lain ia mendasarkan pandangan matafisiknya pada eksistensi pengamatan, kesan-kesan serta ide-ide. Aspek inilah yang merupakan inspirasi kalangan filsuf analitika bahwa terutama paham atomisme logis dan positivisme logis. Mereka secara lantang menyatakan menentang dan menolak ungkapanungkapan metafisika. Ungkapan-ungkapan metafisis yang dikemukakan oleh kaum idealisme itu sebenarnya tidak menyatakan fakta apa-apa oleh karena itu sama sekali tidak bermakna atau nirarti. Hume juga memiliki andil yang besar terhadap konsep dasa proposisi terutama paham atomisme logis, yang menjelaskan bahwa proposisi itu mengungkapkan fakta yaitu suatu keberadaan peristiwa. Proposisi yang sederhana mengungkapkan fakta yang sederhana atau elekmenter, adapun proposisi yang kompleks mengungkapkan fakta yang kompleks. Susunan logis proposisi ini nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep susunan kesan-

kesan serta ide-ide yang sederhana dan yang kompleks menurut Hume yang dikembangkan dalam proses yang disebut pengenalan. Konsep particularia, universalia dan egocentric particular yang dikembangkan oleh Russel adalah merupakan hasil pengolahan lebih lanjut konsep Hume tentang teori pengenalan. Menurut Russel particularia adlaah merupakan hasil persepsi kongkrit individual,a dapun universalia adalah menunjuk pada sifat atau hubungan. Egocentric particular adalah merupakan pengalaman individual (Heraty, 1984:86). Russel yang juga setia pada tradisi empirisme nampaknya mengembangkan lebih lanjut konsep Hume terutama doktrin pengenalannya pada atomisme logis. Demikian juga pengakuan tentang realitas empiris sebagai dasr pemikiran filosofisnya nampaknya merupakan sumbangan yang berharga atas pemilahan proposisi menurut positivisme logis yaitu proposisi formal dan faktual atau empiris. Selain itu prinsip verifikasi empiris yang dikembangkan oleh positivisme logis nampaknya meruakan hasil jasa baik dari Hume. Demikianlah kiranya tradisi empirisme yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan filsafat bahasa. Pengaruh pemikiran empirisme juga sangat kuat terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembagkan pengertian hakikat bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas bahasas ebagai suatu realitas empiris, tokohnya antara lain Ferdinand de Saussure, Bloomfield, Halliday, Chornsky dan tokoh-tokoh lainnya. Pemkiran empirisme inilah yang memberikand asar-dasar yang sangat kokoh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern terutama pada metode ilmiah.

7.

Immanuel Kant Munculnya pemikiran filsuf Jerman ini menandai suatu era baru dalam

bidang perkembangan filsafat. Kant berusaha untuk melakukan suatu sintesis baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yatiu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut dikenal dengan paham kritisisme. Menurutnya Kritisisme adalah

filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf yang pertama yang mengembangkan penyelidikan ini, karena menurut pendapatnya filsuf-filsufnya sebelumnya adalah bersifat dogmatisme, karena mereka hanya percaya secara mentah-mentah pada kemampuan rasio tapa menyelidiki terlebih dahulu. Kant yang dalam prestasi pemikirannya mampu mengubah wajah dan paradigma filsafat membedakan dan mempertentangkan antara dogmatisme dengan kritisisme yang dituangkan dalam karya besarnya yang sangat terkenal pada abad itu (Bertens, 1989:59).

Kritik atas Rasio Murni Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenalan, yang berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman misalnya ide-ide bawaan ala Descartes. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriorinya, berarti hanya unsur-unsur yang berasal dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Locke dan Hume. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya keduaduanya bersifat berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesis antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Walaupun Kant seangat mengagumi empirisme Hume yang bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak menyetujui spektisisme yang dikembangkan Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak dapat mencapai suatu kepastian. Padahal sebagaimana diketahui bersama bahwa pada masa Kant sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan yang telahdihasilkan oleh beberaa ilmuwan mampu menemukan dalil atau hukum-hukum yang sifatnya berlaku umum. Dahulu para filsuf mencoba mengerti akan pengenalan dengan mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri pada objek. Kant berupaya mengembangkan pengenalan dengan berpangkal pada suatu anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjek. Sebagaimana ditetapkan oleh Copernicus bahwa bumi berputar sekitar matahari dan tidak sebaliknya, demikianlah pula

Kant berupaya memperlihatkan pemikirannya yang substansial bahawa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek (Bertens, 1989:60). a. Pada Taraf Indra Pengenalan merupakan sintesis antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang pada dirinya (ruang an sich). Demikianlah pula waktu tidak merupakan suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan bisa ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi (Bertens, 1989:60). Menurut Kant pengenalan itu bersandar pada putusan. Oleh karena itu perlu pertama-tama diadakan penelitian terhadap suatu keputusan. Suatu putusan menghubungkan dua pengertian, yang terdiri atas subjek dan predikat, misalnya logam mengembang. Putusan ini disebut putusan sintetis dan diperoleh secara aposteriori. Selain itu terdapat pula putusan yang bersifat apriori namun bersifat sintetis juga, misalnya segala kejadian ada sebabnya, putusan ini berlaku umum dan mutlak. Ilmu pasti sebenarnya tersusun atas dasar putusan a priori yang bersifat sintetis. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan-putusan yang memberi pengertian baru (sintetis) dan yang pasti mutlak dan bersifat umum (a priori). Maka ilmu pengetahuan menurut adanya putusan-putusan apriori yang bersifat sintetis. Oleh karena itu suatu metafisika yang dapat dipertanggungjawabakan secara ilmiah, harus juga dapat kerja dengan mempergunakan putusan-putusan yang apriori, namun bersifat sintesis (Hadiwijono, 1983:65). Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu, memang terdapat suatu realitas yang terlepas dari subjek. Kant menyatakan bahwa memang ada das ding an sich (bendabenda pada dirinya sendiri), the thing in itself. Akan tetapi das ding an sich selalu tinggal X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejalagejala, yang selalu merupakan suatu sintesis antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu (Bertens, 1989:61).

b. Pada taraf akal budi Kant membedakan akal budi (verstand) dengan rasio (vernunft). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara data-data inderawi, dengan lain perkataan akal budi menentukanputusan. Pengenalan akal budi merupakan sintesis antara bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriorri yang terdapat dalam akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan kategori (Bertens, 1989:61). Menurut Kant terdapat empat kategori sebagai berikut : 1) Kategori kuantitas, terdiri atas: singuler (satuan), partikuler

(sebagian, dan universal (umum). 2) Kategori kualitas, terdiri atas : realitas (kenyataan), negasi

(pengingkaran), limitasi (batas-batas). 3) Kategori relasi, terdiri atas : categories (tidak bersyarata),

hypothetis (sebab dan akibat), disjuctif (saling meniadakan). 4) Kateogri modalis, terdiri atas : mungkin/tidak, ada/tiada,

keperluan/kebutuhan (Hamersma, 1983:30). Akal budi memiliki struktur yang sedemikian rupa, sehingga terpaksa manusia memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan kategori yang lainnya. Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya pengetahuan alam. Suatu hal yang inovatif dalam pemikiran kant dalam masalah ini adalah nampak adanya upaya untuk mensintesiskan antara rasionaisme dengan metafisika.

c. Pada taraf rasio Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan-putusan. Dengan lain perkataan, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi seperti halnya akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusanputusan. Kant memperlihatkan bhawa rasio membentuk argumentasi-

argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia dan Allah. Dengan ide Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhr dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadiankejadian jasmani (Dunia), dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi-argumetnasi kita tentang pengalaman, tetapi ketiga ide tadi tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori kal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategorikategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika misalnya upaya dalam bidang metafisika untuk membuktikan bahwa Allah adalah sebagai penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan hal itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika berusha yang sedemikian. Usaha metafisika itu sia-sia dan hal itu dibuktikan oleh Kant bahwa bukti-bukti adanya Allah yang diberikan dalam filsafat praktis semuanya kontradiktoris (Bertens, 1989:62).

Kritik atas Rasio Praktis rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut rasio murni. Tetpai di samping itu terdapat juga rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan a pa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategoris). Mislanya barang kepunyaan orang lain harus dikembalikan atau secara negatif berupa larangan untuk tidak menyakiti orang yang tidak bersalah. Menurut Kant terdapat tiga hal yang harus diandaikan agar tingkah laku kita tidak menjadi mustahil. Tetapi harus diinsyafi bahwa ketiga hal itu tidak dibuktikan, melainkan hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebut sebagai ketga postulat dari rasio praktis, yaitu kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan adanya Allah. Jadi apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas, jiwa dan adanya Allah kita sama sekali tidak

mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai kepercayaan (Bertens, 1989:62).

8.

Positivisme August Comte Pada abad ke-19 timbullah aliran filsata yang menandai semakin

berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Aliran itu terkenal dengan nama Positivisme, yang secara etimologis berasal dari kata positif yang secara harfiah berarti yang diketahui, yang faktual empiris bahkan dapat juga berarti teruji atau teramati. Menurut Aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Ap ayang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala hal yang bersifat empiris dan segala gejala. Demikianlah positivisme membatasi filsfat dan ilmu pengetahuan pada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan adalah segala fakta yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, yang kita terima sebagaimana apa adanya. Setelah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum-hukum tertentu. Akhirnya dengan berpangkal pada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat masa depan, ke arah yang akan nampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dngannya. Arti segala ilmu pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan pad tingkat hakikatnya atau kepada sebab-sebab yang sebenarnya dari gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan manusia adalah menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan faktafakta itu menurut persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap yang tampak dalam persamaan disebut pengertian, sedangkan hubungan-hubungan tetap yang tampak pada urutannya disebut hukum. Bilamana diamati ajaran positivisme terutama dalam kaitannya dengan pengenalan pengetahuan masih memiliki kesamaan-kesamaan prinsip terutama

dalam hal mengutamakan pengalaman empiris. Namun perbedaan yang pokok adalah positivisme menolak dengan tegas metafisika, termasuk juga pengertian kawasan ide atau gagasan yang bersifat batiniah. Positivisme hanyamembatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif dan tanpa melibatkan pengalamanpengalaman batiniah (Hadiwijono, 1983:109). Demikianlah doktrin positivisme yang periode-periode berikutnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern terutama pada abad XX.

Pemikiran August Comte Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi: zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau zaman ilmiah. 1) Zaman Teologis Pada zaman ini manusia percaya bahwa di balik gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kekuasaan ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi manusia percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk insani yang biasa. Zaman teologis sendiri dibagi atas tiga periode yaitu : taraf yang paling primitif yaitu benda-benda sendiri dianggapnya berjiwa (animisme), taraf berikutnya, manusia percaya kepada dewa-dewa yang masing-masing menguasai suatu dunianya sendiri-sendiri misalnya, dewa laut, dewa gunung, dewa matahari dan lain sebagainya yang disebut (politeisme). Adapun pada taraf lebihtinggi lagi manusia memandang satu Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu (monoteisme).

2) Zaman Metafisis

Dalam zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya kodrat dan penyebab. Konsep-konsep metafisika seperti substansi, aksidensia dan lain sebagainya menjadi penting pada zaman ini. Metafisika dijunjung tinggi dalam zaman metafisis ini.

3) Zaman Positif Pada zaman ini sudah tidak lagi dicari penyebab-penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionaya manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau uruturutan yang terdapat di antara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir inilah manusia dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenanrya atau disebut ilmu pengetahuan modern (Bertens, 1989:73). Dalam karitannya dengan ilmu pengetahuan Comte juga memberikan uraian-uraiannya yang kiranya sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan pada abad XX. Pemikiran positivisme ini memberikan dasar pijak bagi paham filsafat analitik terutama kelompok Wina atau Kring Wina yang menamakan dirinya sebagai paham positivisme logis. Seluruh pandangan positivisme diangkat oleh positivisme logis, hanya perbedaannya positivisme logis menekankan pada analisis konsep filosofis melalui bahasa serta positivisme logis lebih menekankan kepada prinsip verifikasi. Baik positivisme maupun positivisme logis keduanya menolak dengan tegas tentang metafisika, bahkan positivisme logis ingin menghilangkan metafisika. Dasar-dasar verifikasi, pandangannya tentang ilmu pengetahuan dengan segala dasar-dasar epistemologinya dapat dikatakan hampir keduanya memiliki kesamaan (Kaelan, 2002:53-76).

BAB III

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA

A. PENGANTAR Perhatian filsafat terahadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai para fisiologis kuno atau hoi arkhaioi physiologoi. Seluruh minat Herakleitos terpusat pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat dunia menjadi namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea dunia kekal yang berisi ada yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsio perubahan. Menurut Herakleitos, perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata komis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawai, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki temapat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa kata (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan jangan dengar aku, dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa bergeser benda itu satu. Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang melakukan bahasa sebagai objek kajian filsafat (Casseirer, 2944: 170). Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis. Sokrates dalam berdialog ilmiah dengan kaum sofis menggunakan analisi bahasa dan metode yang dikembangkan dikenal dengan metode dialektis kritis. Objektivitas kebenaran filosofis perlu diungkapkan dalam suatu analisis bahasa secara diakletis dan dengan didasarkan pada dasar logika. Demikian juga perhatian yang amat besar terhadap bahasa juga dikembangkan oleh Plato maupun Aristoteles, bahkan tentang hakikat bahasa itu sendiri menjadi topic perhatian utama.

Kekhusuan manusia dalam mengagungkan sang Maha Kuasa pada abad pertengahan juga diungkapkannya melalui ungkapan manusiawi yaitu bahasa. Kaum Patristik dan Skolastik mengemukakan pemikirannya tentang teologi berupaya untuk mendeskripsikannya secara ontologik dengan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa. Terutama Thomas Aquinas telah mengangkat teologi ke tingkat ilmiah filosofis sehingga mampu menjebatani teologi ketingkat ilmiah filosofis, sehingga mampu menjembatani antara realitas Tuhan yang bersifat adikodrati dengan realitas makhluk yang bersifat terbatas. Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indera dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran epirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran materialism dan kritisme Immanuel filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa. Memang banyak bahasa itu sulit ditentukan ahli filsafat dan kalangan historia bahwa filsafat bahasa itu sulit ditentukan batasan pengertiannya terutama filsafat analitika bahasa, karena dasar-dasar filosofisnya yang cukup rumit, padat dan sangat beragam. Bilamana kita kaji dalam sejarah filsafat timbulnya filsafat analitika sebagai suatu ketidakpuasan terhadap perkembangan pemikiran filsafat modern pada saat itu. Ketika para penganut aliran-aliran filsafat modern bertikai memperdebatkan tentang hakikat kebenaran segala sesuatu, kalangan filsuf analitika bahasa sadar bahwa sebenarnya problem-problem filsafat itu dapat dipecahkan, dijelaskan dan diuraikan dengan menggunakan analisis ungkapan-ungkapan filsafat, atau melalui suau analisis bahasa. Para filsuf analitika bahasa melihat banyak ungkapan-ungkapan filsafat misalnya ungkapan-ungkapan metafisis dari kaum idealism, rasionalisme maupun intuisionisme sebenarnya tidak bermakna atau dengan lain perkataan filsuf analitika bahasa menolak dengan tegas ungkapan-ungkapan metafisis, bahkan yang paling radikal kaum positivism logis ingin menghilangkan metagisika.

Secara termonologi istilah analitika bahasa baru dikenal dan popular pada abad XX, namun demikian bilamana kita sependapat bahwa pengetian filsafat analitika adalah pemecahan dan penjelasan problem-problem serta konsep-konsep filsafat melalui analisi bahasa, maka sebenarnya berdasarkan isi materi dan merodenya filsafat analitika bahasa itu telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman Yunani. Demikian juga secara diakronis filsafat analitika bahasa pada abad XX ini tidak terbatas pada timbulnya aliran-aliran filsafat di Inggris, namun lebih luas antara lain di Jerman selain mempengaruhi tumbuh berkembangnya aliran positivism logis dan lingkungan Wina, juga terdapat filsuf-filsuf kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala untuk sampai pada suatu kebenaran yang hakiki, antara lain Edmund Husserl dengan aliran fenomennologinya, Gadamer dan Dilthey dengan mazhab Frangfrutnya. Dalam pembahasan ini analisi bahasa tidak hanya berkaitan dengan penjelasan dan pemecahan problem-problem filsafat namun berkaitan erat dengan metode hermeneutic. Reaksi yang keras dari filsuf-filsuf kontemporer terhadap proses modernism antara lain melalui analisis ungkapan bahasa karena modernism tidak mampu mengungkapkan hakikat kemanusiaan dan hal ini hanya mampu diungkapkan melalui symbol-simbol sebagaimana dikembangkan oleh Derrida, Michel Foucault, Lyotard dan tokoh-tokoh lainnya dalam paham postmodernisme Demikialah kiranya filsafat analitika bahasa memiliki dimensi yang sangat luas dan meliputi berbagai bidang. Pemilihan filsafat analitika bahasa ini memang sulit untuk ditentukan berdasarkan periodisasi maupun wilayah karena aliran-aliran filsafat analitik tersebut memiliki keterkaitan pengaruh antara tokoh satu dengan lainnya, antara aliran satu dengan lainnya. Maka untuk mempermudah pamahaman kita tentang perkembangannya filsafat analitika bahasa, penentuan berdasarkan aliran merupakan suatu pilihan yang dianggap paling tepat.

B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa

Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh Karena itu bahasa sangat sensitive terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan manakala menggunakan analisis terminology gramatika, bahkan kalangan flsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahsa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya apakah keadilan itu, apakah yang dimaksud dengan kebenaran, apakah yang dimaksud dengan kebenaran, apakah yang dimaksud dengan kebaikan dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakikat tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri. Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengalatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan adekuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut : (1) Kita menyelidiki pengetahuan itu (2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu (3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan)

sesuatu yangd isebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep disebut pengetahuan. Kiranya hanya kemungkinan alternative yang ketiga saja yang banyak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 14). Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tesebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantic) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas. Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian mmaka bahasa memiliki peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahawa bahasa merupakan laboratorium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya (Alston, 1964:5). Kedudukan filsafat sebagai analisisi konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbulnah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahsa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memilkiki pandangan yang berbeda.
(1) Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa

(ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untukmaksud-maksud filsafat atau dengan perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi

kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasa Wittgenstein II) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karna adnaya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasa oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10). Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dalam tanpa memberikan alas an yang memadai agar memiliki atau satu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahwa filsafat tersebut. (2)Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa seharihari itu tidak cukup untukmengungkapkan masalah-masalah dan konsepkonsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsafat antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertnard Russel dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena ungkapan

filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu sudah memadai dalam berfilsafat menjadi sangat penting sekali (lihat Alston, 1964:6)

C. Aliran-Aliran Filsafat Analitika Bahasa Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungakapan-ungkapan filosofis, secara historis tradisi ini sebenarnya telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman pra Sokrates. Namun demikian, lalu istilah itu menjadi popular dan berkembang pada abad XX terutama di Inggris khususnya dan Eropa pada umumnya. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat diperjelas begitu saja terpisahkan dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya seperti aliran rasionalisme. Idealism, empirisme, imaterialisme dan aliran positivism. Atas dasar kenyataan historis yang demikia inilah maka filsafat analitika bahasa menjadi sangat sulit sekali untuk dibatasi berdasarkan wilayah perkembangannya. Oleh karena itu akan menjadi lebih memadai bilamana uraian perkembangan filsafat analitika bahasa itu difokuskan pada perkembangan berdasarkan aliran-alirannya. Terlebih lagi terdapat banyak filsuf yang memiliki kebiasaan melanglang jagad, pindah dari Negara satu ke Negara lainnya misalnya Bertrand Russell, Wittgensein dan tokoh lainnya. Demikian juga terdapat suatu aliran yang berkembang di Eropa akan tetapi pusatnya di Wina sehingga aliran tersebut juga disebut Mazhab Wina atau kring Wina. Selain itu setelah perkembangan filsafat bahasa biasa, pengaruhnya meliputi berbagai Negara di Eropa maupun di Amerika. Pada dasarnya pekembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu atomisme logis (logical atomism), positivisme logis (logical positivism), atau kadang disebut juga empirisme logis (logical empirism), dan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy). Atomisme logis mulai berkembang pada awal abad XX di Inggris dan aliran ini sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran sebelumnya yaitu rasionalisme dan empirisme. Selain itu aliran ini berkembang sebagai reaksi

ketidakpuasan atas aliran idealism. Pengaruh atomisme logis kemudian diteruskan oleh aliran positivism yang dalam beberapa hal banyak menyetujuan konsep-konsep atomisme logis. Paham positivism logis ini menurut sejarah dikembangkan oleh kalangan ilmuwan bidang fisika, matematika, kimia ilmu-ilmu alam dan lain sebagainya dan berpusat di Wina.mazhab positivism logis sangat besar pengaruhnya di dunia terutama terhadap perkembanganya ilmu pengetahuan modern bahkan sampai saat ini terutama di Indonesia sendiri. Setelah perang dunia kedua muncullah aliran filsafat bahasa biasa, dan aliran inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bilamana dibandingkan dengan aliran yang lainnya dan memiliki pengaruh yang sangat luas baik di Inggris sendiri, Jerman, Prancis, maupun di Amerika. Walaupun pengaruh tersebut tidak secara langsung namun aliran filsafat tersebut secara ontologism memiliki kesamaan. Misalnya aliran di Prancis yang mendasarkan pemikiran filosofisnya pada bahasa biasa antara lain pada paham postmodernisme Lyotard, Derrida dan Foucault, di Jerman dalam aliran fenomenologi Husserl dan Gadamer. Pengaruh filsafat bahasa biasa di Inggris juga amat luas terutama kelompok filsuf Oxford antara lain J.L. Ausdtin, G.Ryle, dan Peter Strawson. Akhirnya agar memiliki kasamaan persepsi tentang aliran filsafat analitika bahasa, kita tentukan bahwa pengertian tersebut ditunjukkan kepada pengertian aliran filsafat yang berkembang pada abad XX yang menaruh perhatian terhadap bahasa. Hal ini dimaksudkan bahwa pusat perhatian para filsuf pada masalah filsafat dikembangkannya melalui bahasa dan membahas, menjelaskan serta memcahkan masalah filsafat dengan menggunakan analitika bahsa, ataupun melalui analistik languistik. Oleh karena itu hal ini tidak hanya terbatas aliran di Inggris saja, melainkan juga aliran di wilayah lainnya (kaelan, 2002: 84,86).

D. Atomisme Logis Dalam perkembangan pemikiran filsafat di Inggris permulaan abad XX, muncullah suatu perkembangan pemikiran yang baru yang oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai suatu perubahan yang radikal atau

sebagai suatu revolusi. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam gaya, arah dan corak pemikirannya. Pusat dari gerakan pemikiran filsafat yang baru ini adalah di Cambridge Inggris yang diiris oleh G.E.More (1873-1958). Dan sebagai tokoh utamanya yaitu Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgestein (1889-1951). Nama aliran atomisme logis dikemukakan oleh Bertand Russell dalam mengemukakan konsep filosofisnya yang diberi nama atomisme logis, dalam suatu artikelnya yang telah dimuat dalam Cotemporary British Philosophy yang terbut tahun 1924 dalam artikelnya itu ia mengatakan sebagai berikut: I hold that logic is what is fundamental in philosophy and that schools should be characterized rathes by their logic than by their metaphysics. My own logic ia atomic and is this aspect upon wich I should mish to lay stress. There fore I prefer to describe my philosophy as logical atomism rather than as realism. Whether with or without some prefixed adjectife (Russell dalam A.J. Ayer, 1959:31). saya menganggap bahwa logika itu adalah apa yang fundamental di dalam filsafat, fan bahwa mazhan-mazhab (aliran-aliran) itu seharusnya diwarnai oleh logikanya dari pada oleh metafisikanya. Logika saya sendiri bersifat atomis, dan aspek (segi) inilah yang ingin saya tekankan saya tekankan. Oleh karena itu lebih suka menyebut filsafat saya dengan nama atomisme logis dari pada realism, baik dengan atau tanpa awalan kata sifat Pemikiran atomisme logis sebagaimana dikemukakan oleh Bertrand Russell dan sebenarnya telah dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus, meskipun dianggap sebagai suatu karya filsafat yang sama sekali baru, namun dalam kenyataanya tidak dapat dipisahkan dengan aliran-aliran filsafat yang mendahuluinya. Bertrand Russell sendiri sebenarnya sebagai seorang penganut empirisme yang mengikuti jejak john Locke dan David Hume, sehingga konsep filosofisnya Nampak adanya garis-garis filsafat empirisme. Nama

atomisme logis yang dipilih oleh Bertrand Russell menunjukkan adanya pengaruh dari David Hume dalam suatu keryanya yang berjudul An Enguiry Concerning Human Understanding. Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oloeh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalanmanusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis (atomic ideas) yang merupakan ide yang terkecil. Hume percaya bahwa filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis psikologis terhadap ide. Dalam kaitan ini Bertrand Russel menolak atomisme psikologisnya David Hume dan analisis itu bukannya pada aspek psikologis namun dilakukan terhadap proposisiproposisi. Atas dasar alasan inilah Bertrand Russel memilih nam atomisme logis daripada realism. Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan oleh Bertrand Russel dipengaruhi oleh empirisme terutama John Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi idealisnya juga memberikan garis dan warna dalam pemikirannya. Pengaruh pikiran idealism tersebut antara lain dari F. H. Bradley dan pemikiran analitis G.E. Moore. F.H. Bradley mempengaruh bidang formulasi logika proposisi sedangkan G.E. Moore memberikan tekanan pad cirri analisisnya. Demikianlah dalam kenyataannya munculnya pemikiran atomisme logis di Inggris tidak dapat dipisahkan dengan para tokoh yang mempengaruhi dan memberikan sumbangan kepada atomisme logis.

E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley Pemikiran atomisme logis sebagaimana dikemukakan oleh Bertrand Russel dan sebenarnya telah dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus, meskipun dianggap sebagai suatu karya filsafat yang sama sekali baru, namun dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan dengan aliran-aliran filsafat yang mendahuluinya. Bertrand Russel sendiri sebenarnya sebagai seorang penganut empiris yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume, sehingga konsep

filosofisnya Nampak adanya garis-garis filsafat empirisme. Namun atomisme logis yangdipilih oleh Bertrand Russel menunjukkan adanya pengaruh dari David Hume dalam suatu karyanya yang berjudul An Enguiry Concerning Human Understanding. Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang atomis (Atomic ideas) yang merupakan ide yang terkecil. Hume percaya bahwa filsuf itu hendaknya bisa melaksanakan analisis psikologisnya David Hume dan analisis itu bukannya pada aspek psikologi namun dilakukan terhadap proposisi-proposisi. Atas dasar alasan inilah Bertrand Russel memilih nama atomisme logis dari para realism. Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan Bertrand Russel dipengaruhi oleh empirisme terutama John Locke dan David Hume, namun kenyataannnya tradisi idealispun juga memberikan garis dan warna dalam pemikirannya. Pengaruh pemikiran idealism tersebut antara lain F. H. Bradley dan pemikiran analisis G.E. Moore. F.H. Bradley mempengaruhi bidang formulasi logika proposisi sedangkan G.E. Moore memberikan tekanan pad cirri analisisnya. Demikianlah dalam kenyataannya pemikiran baru atomisme logis di Inggris tidakdpat dipisahkan dengan para tokoh yang mempengaruhi dan memberikan sumbangan kepada aliran atomisme logis. Pada awal abad XX, aliran yang dominan di Inggris adalah idealism. Tumbuh suburnya aliran-aliran itu tersebut memberikan suatu reaksi atau materialism dan positivism yang merajalela di Eropa pada waktu itu yang menguasai filsuf-filsuf generasi sebelum tmimbulnya idealism. Tokoh-tokoh idealism Inggris tersebut antara lain T.H. Green, Edward Caird, Bernard Bosanquet dan terutama adalah F.H. Bradley (Bertens, 1981:18). Menurut aliran idealism bahwa realitas terdiri atas ide, pikiran-pikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda material dan kekuatan. Jika materialism mengemukakan bahwa materi adalah real dan mind adalah fenomena yang menyertainya maka idealism menyatakan bahwa mind itulah yang real dan materi adalah produk sampingnya. Selanjutnya ditekankan oleh idealism bahwa realitas dasar terdiri tatas ide, pikiran atau jiwa atau hubungan yang sangat erat dengannya. Dunia memiliki arti yang berlainan

dari apa yang Nampak pada permukaannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan olehpenyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran dan tidak hanya oleh metode ilmu objektif saja yang berdasarkan kepada pengamatan empiris (Titus, 1984:316). Francis Herber Bradley (1846-1924) adalah penganut idealism yang fanatic dan memiliki pengaruh yangs angat besar di Inggris. Ia menguraikan pendapatnya tentang hubungan antara pemikiran dengan realitas dan hal ini merupakan kritik yang sangat keras terhadap teori pengenalan dari paham empirisme menurut Bradley metode pengenalan empirisme itu sebenarnya bersifat psikologis dan bahwa mereka itu bekerja dengan ide-ide dan sama sekali tidak dengan putusan (judgements) atau keterangan-keterangan (proposisi-proposisi). Ide sebagaimana dimaksudkan kalangan empirisme adalah isi dari pikiran. Kaum empirisme tertarik dengan asal usul pikiran kita, bagaimana kita mendapatkan kemampuan kita untuk berpikiran tentang kualitas, hubungan pada pihak lain proposisi itu bukanlahisi dari pikiran kita, akan tetapi merupakan pernyataan-pernyataan tentang duna ini, yaitu bahwa sesuatu itu adalah sedemikian rupa yang ditangkap oleh pikiran. Menurut pandangan F.H. Bradley, metode kaum empirisme itu adalah suatu kesalahan. Kaum empirisme kurang memperhatikan putusan (judgements) atau proposisi, dan halinilah yang menjadi yang merupakan perbedaan yang paling dalam antara Immanuel kant dan David Hume. Pemikiran-pemikiran F.H. Bradley inlah yang mempengaruhi

formulasi logika atomisme logis Bertrand Russel, yaitu realitas itu terwujudkan dalam suatu ungkapan bahasa yang merupakan suatu proposisiproposisi. Dengan demikian nampaklah pada kita bahwa logika atomisme logis Bertrand Russell itu merupakan suatu empirisme yang didasrkan atas putusan-putusan atau proposisi-proposisi dan bukan didasarkan atas ide-ide, sehingga formulasi logika Russel sebenarnya memanfaatkan idelaisme F.H. Bradley dalam atomisme logika (Poerwowidagdo, tanpa tahun 26). Namun demikian Russel juga menolak dengan keras pandangan metafisis dari idealism, sebab sebagaimana diungkapkan oleh Russel bahwa pemikirannya itu tidak didasarkan atas pandangan metafisika melainkan

ditentukan oleh formulasi logikanya karenamenurut Russel logikalah yang paling fundamental dalam filsafat.

F. Geogre Edward Moore Filsuf kelahiran Upper Nortwood London memiliki pengaruh yang amat besar terhadap aliran filsafat atomisme logis.walaupun demikian sebenarnya Moore sendiri bukanlah penganut yang setia dari aliran atomisme logis, bahkan boleh dikatakan ia sendiri berdiri di pinggri gerakan itu (Poerwowidagdo: 30). Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik (penguraian) dan sebgai seorang anais ia berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Karya Moore yang terkenal adalah Principia Ethica (1903) dan dalam bentuk yang popouler adalah Ethics (1912). Ia tidak menolak etika normative dan lebih menekankan pada analisis konsep dan argumentasiargumentasi yang dipakai dalam etika. Jadi Moore lebih menekankan pada analisis metaetika. Buku yang berjudul Principia Ethica sebagaian besar merupakan uraian yang menyangkut terminologid alam etika, misalnya tentang arti kata baik. Suatu pembahasan Moore yang terkenal adalah tentang arti kritik dan uraiannya tengan kekeliruan naturalistis (naturalistic fallacy). Dalam uraiannya Moore menjelaskan arti kata baik. Dalam etika yang disamakan dengan cirri naturalisstis. Misalnya kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut paham hedonisme, yang menyamakan baik dengan sesuatu yang menyenangkan. Bagi mereka X itu baik sama artinya dengan X itu menyenangkan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dipertahankan terutama karena dua alasan sebagai berikut. Pertama, kalau seandainya baik dan menyenangkan itu sama artinya, maka akan timbul suat masalah tentang bagaimana ssuatu yang menyenangkan tetapi tidak baik, sebaba dalam kenyataannya hal itu sering terjadi. Kedua, kalau seandainya pengertian baik dan menyenangkan sama artinya, maka pertanyaan apakah yang menyenangkan itu baik? seharusnya sama artinya juga dengan pertanyaan apakah yang baik itu baik?. Namun demikian kita

akin bahwa pertanyaan pertama betul-betul mempunyai arti dan tidak boleh disetarafkan dengan pertanyaan yang kedua yang sederhana itu. Moore berpendapat bahwa kata baik memang tidak dapat didefinisikan sebab tidak mungkin diasalkan kepada suatu yang lebih jelas lagi. Moore memang tidakmenolak metafisika, akan tetapi dalam berbagai macam uraiannya ia tidak mempraktekkan metafisika. Secara otoritis ia mengakui bahwa metafisika sebagai salah satu cabang filsafat yang penting, akan tetapi ia justru lebih tertarik untuk mengkritik pandangan metafisis dari filsuf lain. Dalam pengertian ini Moore secara tidak langsung telah membangun tumbuhnya sikap skiptis dan kritis terhadap metafisika. Inlah sumbangan Moore terhadap tumbuhnya aliran baru di inggris teurutama atomisme logis yang mengkritik dan bahkan menolak metafisika (Bertens, 1981:24). Atas dasar sikapnya yang konsisten tersebut maka tidaklah mengherankan jikalau Moore mengkritik kaum idealism Inggris yang pada saat itu menguasai dunia pemikiran di Inggris. Kritisk Moore terhadap aliran idealism tersebut tertuang dalam karangannya yang berjudul The Refutation of Idealisme, yang dimuat dalam majalah Mind (1930). Kaum idealism terutama kaum Hegelian berpendapat bahwa segala sesuatu itu bersifat spiritual, tidak ada dunia material di luar kita, waktu adalah tidak real dan lain sebagainya. Menurut Moore pendapat kaum idealism tersbut tidak berdasarkan pada logika sehingga tidak dipahami oleh akal sehati maka atomisme logis mendapat inspirasi bahwa analisis bahasa harus berdasarkan pada logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu realitas terwujud dalam bentuk proposisi-proposisi (lihat Bertens, 1981:24 dan Charlesworth, 1959:12).formulasi pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang merupakan jasa-jasa baik Moore terhadap lahirnya atomisme logis. Namun demikian hendaklah kita ingat bahwa memang dalam kenyataannya seluruh dasar-dasar logika atomisme logis tidak didasarkan atas pemikiran Moore karena sebagaimana diketahui bahwa Moore bukanlah ahli di bidang logika. Daam setiap system analisisnya Moore tidak mengakhriri dengan justifikasi

benar atau salah, melainkan apakah itu bermakna atau tidak bermakna berdasarkan analisis bahasa. Atas dasar cirri-ciri pemikiran Moore beserta metodenya maka tidaklah mengherankan bilamana Moore diberi gelar sebagai perintis pergerakan baru dalam pemikiran filsafat di Inggris, yaitu sebagai perintis gerakan filsafat analitik yang dalam terminology filsafat dikenal juga dengan istilah filsafat analitika bahasa. Berdasarkan atas reputasinya itu maka Moore berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis yang tepat atau memadai tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai apa yang dimaksud dengan konsep atau proposisi itu (Moore, 1959:vii. Memberikan analisis secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan menggantikan perkataan atau kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan hal itu dengan ungkapan-ungkapan lainyang sama benar nilainya (exactly equivalent) dengan kalimat atau ungkapan tadi akan tetapi menjadi analisis adalah sebagai berikut: Analisis adalah semacam definisi semacam persamaan dengan

ungkapan yang membingungkan (ungkapan yang kurang jelas), pangkal uraian (analysandum) di sebelah kiri dan ungkapan baru di sebelah kanan yang sering disebut analisis (penguraian) (analysans) sebagai penguraian (lihat Poerwowidagdo, tanpa tahun: 31). Berkaitan dengan analisis tersebut maka pangkal uraian (analysandum) dan pengaurai (analysans) tidak harus selalu identik sama persis),melainkan keduanya harussama dalam arti mempunyai kondisi-kondisi kebenaran yang sama (Langford, 1959:335). Meskipun Moore dan Russel sama-sama setuju bahwa tugas filsafat adalah menganalisis konsep-konsep atau proposisi-proposisi yaitu mengungkapkan dengan jelas namun keduanya terdapat suatu perbedaan. Menurut Moore bahwa kepercayaan akal sehat (common sense) tentang benda-benda itu dapat diktahui dengan pasti adalah benar. Adapun menurut Russell mencari kebenaran metafisis melalui penggunaan analisis. Selain itu Moore dalam pemikirannya hanya mencari penjelasan tanpa meninggalkan

akal sehat. Berdasarkan pada pandangan dan pemikirannya tentang filsafat maka Moore telah banyak memberikan sumbangan bagi lahirnya pemikiran baru di Inggris yaitu filsafat analitika bahasa terutama aliran atomisme logis, walaupun ia sendiri sebenarnya bukan seorang penganut setia aliran tersebut.

G. Filsafat Atomisme Logis Bertnard Russel Fulsuf Cambridge ini memiliki inovasi yang luar biasa dan ia sebagai salah seorang pelopor pemikiran baru di Inggris. Pemikiran filsafat di Inggris sebelum Bertrand Russsell dikuasai oleh tradisi idealism, sehingga sekaligus pemikiran Russell merupakan suatu reaksi yang sangat akurat terhadap aliran tersebut. Suatu kelebihan dari konsep pemikiran anomisme logis Bertrand Russell adalah, ia mampu mensintesiskan berbagai macam pemikiran para filsuf sebelumnya maupun filsuf sezamannya. Dalam pemikiran Russell Nampak garis lurus tradisi empirisme John Locke dan David Hume terutama dalam struktur logis dari proposisi-proposisi, dari proposisi sederhana (atomis) sampai pada proposisi kompleks yang memiliki kompleks corak logis yang sama dengan konsep ide-ide sederhana (ide atomis) sampai pad aide-ide yang bersifat kompleks. Namun demikian di pihak lain Russell juga mengangkat pemikiran idealism Bradley dalam mengkritik kelemahan paham empirisme, walaupun Russell menolak dengan tegas metafisika idealism Bradley yang mengungkapkan kelemahan empirisme yang dikatakannya bahwa metode empirisme itu bersifat psikologis, yang hanya bekerja dengan ide-ide dan bukannya berdasarkan pada suatu putusan (juggements) atau keterangan-keterangan (proposisiproposisi). Dasar inilah kemudian diangkat oleh Russell demi prinsipprinsip analisinya yaitu yang berdasarkan pada suatu putusan. Formulasi analisis Russell juga dipahami oleh konsep pemikiran teman akrabnya G.E Moore sebagai seorang filsuf perintis filsafat analitika. Russell dan Moore memang sependapat bahwa tugas filsuf adalah memberikan analisis proposisi-proposisi, namun keduanya terdapat perbedaan. Moore mendasarkan analisisnya berdasarkan analisinya

berdasarkan akal sehat, sedangkan Russell mencari kebenaran melalui penggunaan analisis disertai dengan sintesis logis. Moore beranggapan bahw bahasa sehari-hari (bahasa alamiah) kiranya telah memadai untuk berfilsafat, sedangkan menurut Russell bahasa sehari-hari itu tidak memadai untuk bahasa filsafat karena banyak kelemahan antara lain kekaburan, makna ganda, tergantung pada konteks dan lain sebagainya. Atas dasar pendapat inilah maka Russell membangun pemikirannya melalui bahasa berdasarkan formulasi logika. Hal ini menyakinkan pada diri Russell, bahwa tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis. Berdasarkan prinsip-prinsi pemikiran itulah maka Russell menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada metafisikanya melainkan lebih berdasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasariah dalam filsafat, oleh karena itu pemikirannya dinamakan atomisme logis. Russell ingin membangun bahasa yang mampu mengungkapkan realitas, yang berdasarkan formulasi logika Ia mengakuinya banyak dipengaruhi oleh logika baru dari Gothlob Frege (1848-1925). Akan tetapi menurut Russell logika barunya Frege itu tidaklah cukup untuk membuat suatu kerangka dari sebuah bahasa yang sempurna. Alasan yang dikemukakan Russell adalah sebagai berikut :
(1) Logika Frege yang baru itu hanya cocok untuk diterapkan pada ilmu

hitung (arithmetic) dan tidak dapat diterapkan pada cabang-cabang lain dari matematika. (2) Pangkal pikir atau premis Frege itu tidak meniadakan beberapa kontradiksi yang terdapat dalam system logika formal lama (Poerwowidagdo, tanpa tahun:207). Atas dasar alasan tersebut maka Russell bekerja sama dengan Al-fred North Whitehead. Russell mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan itu dengan sisitem logika dalam buku Principia Mathematica. Pandangan pokok dari Principia Mathenmatica yaitu dari ide-ide dan aksiomaaksioma tertentu dari logika formal dan dengan pertolongan logika hubungan, semua matematika murni dapat disimpulkan atau dideduksikan

tanpa ada lagi ide baru yang tak terbuktikan atau proposisi-proposisi yang tak tebukti. Menurut Russell melalui system logika baru ini banyak masalah filsafat dapat didiskusikan atau dibicarakan tanpa adanya kekaburan. Banyak proposisi atau keterangan filsafat dapat dijelaskan dengan menggunakan system logika baru. Russell berpendapat bahwa dunia itu mempunyai struktur yang sesuai dengan logika matematika yang gramatikalnya itu sempurna. Dalam masalah ini pengertiannya lain dengan gramatika tatabahasa alamiah atau gramatika bahasa-bahasa biasa yang menyesatkan dan tidak memadai sebagai cara pengungkapan untuk mendapatkan suatu kebenaran (Russell, 1959: 33-46). Sebagaimana diungkapkan oleh Russell bahwa tugas filsafat adalah analisis logis dan disertai dengan sintesis logis, mengandung suatu pengertian bahwa untuk mendapatkan suatu kebenaran dilakukan dengan mengajukan suatu alasan-alasan yang berdifat apriori yang tepat bagi suatu pernyataan. Adapun sintesa logis dilakukan dengan menentukan makna suatu pernyataan atas dasar pengamatan empiris (pengalaman indara). Dengan metode yang demikian ini Russell berhasil memecahkan problemproblem filsafat melalui analisis bahasa. Menurut Russell kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logika meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang universal yang bersifat tetap, dan dalam kenyataan terdapat teori yang bersifat empirisme murni yang tidak mampu mengunkapkan hal tersebut. Atas dasar alasan itulah maka Russsell lebih mendahulukan analisis logis dari pada sintesis logis (lihat Charlesworth, dalam Mustansyir, 1987:41). Metode analisis bahasa dalam pemecahan problem-problem filsafat yang mendasarkan pada analisis apriori dan sintesis aposteriori di sini Nampak alur pikir dari kritisme Immanuel Kant. Memang harus kita akui bahwa inovasi pemikiran Russell tentang metode tersbut untuk membangun konsep atomisme logisnya. Dengan melalui analsis logisnya Russell menyatakan hal itu untuk mendapatkan satuan-satuan logis akan kebenaran realitas (kebenaran atom-atom logis). Hal ini diungkapkan oleh Russell yang menyatakan bahwa sesuatu yang menyebabkan ia menamakan

pemikiran filsafatya atomisme logis yaitu karena atom-atom yang ingin dicapai Russell sebagai hasil analisis terakhir bukan merupakan suatu atom fisik, melainkan atom logis (Heraty, 1984: 85-86).

1. Formulasi Logika Bahasa Prinsip analisis yang diciptakan oleh Russell dalam konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis, atau dengan lain perkataan perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa. Menurut Russell ada suatu kalimat yang memiliki struktus gramatikal yang sama namun berbeda dalam hal struktur logisnya. Misalnya kalimat Lions are yellow dan Lions are real, keduanya kalimat itu memiliki struktur gramatikal yang sama namun keduanya memiliki struktur logis yang tidak sama. (Bertens, 1981: 28), Lions pada kalimat (1) dan (2) bersama-sama merupakan predikat (prinsip verifikasi), jadi secara gramatikal memiliki struktur yang sama, namun struktur logisnya tidak sama. Menurut Russell bahwa dua pengertian memiliki suatu formulasi logis yang sama bilamana dua hal itu mengandung kesesuaian. Misalnya X dan Y memiliki formulasi logis yang sama jikalau unsure X mengandung kesesuaian dengan unsure Y, sehingga akibat yang berlaku atau lawan bagi Y dapat digantikan pada X. misalnya Sokrates dan Aristoteles memiliki formulasi logis yang sama, karena Sokrates adalah seorang flsuf dan Aristoteles adalah filsuf, sehingga keduanya memiliki formulasi logis yang sama (lihat Russell, 1959:369). Sebagainya dikemukakan oleh Russell bahwa formulasi logis itu bukan hanya didasarkan logika formulasi saja, melainkan didukung oleh suatu fakta yaitu sintesis logika dari fakta. Sokrates dan Aristoteles memiliki formulasi logis yang sama karena berdasarkan pada suatu fakta bahwa baik Sokrates maupun Aristoteles keduanya adalah sebagai filsuf. Dengan memahami formulasi logis dari

ungkapan maka kita dapat membedakan antara bentuk logis gramatika dari suatu ungkapan dengan bentuk semantic dari ungkapan tersebut. Melalui penentuan formulasi logis ini nampaknya Russell berhasil memcahkan sejumlah paradox, yang seakan-akan tampak mustahil untuk dikatakan sebagai benar, yang telah membingungkan para tahil untuk dikatakan sebagai benat, yang telah membingungkan para filsuf Yunani. Misalnya sifat yang diberikan kepada Epimenedes, seorang warga masyarakat Kreta, sebagai seorang pembohong. Jika ia (Epidemenedes) mengatakan semua orang Kreta itu pembohong, pada hal dia sendiri adalah warga Kreta, berarti pernyataan itu adalah bohong dan oleh sebab itu pernyataan itu dapat disimpulkan salah (Jones dalam Mustansyir, 1987:44). Contoh serupa dapat dilihat pada pernyataan berikut: (1) Segala bentuk perempatan itu salah (inpun sebagai salah satu perempatan) oleh karena itu salah. (2) Semua peraturan mengandung pengecualian, (pernyataan inipun sebagai suatu peraturan), oleh karena itu mengandung pengecualian. (3) Setiap penyataan ilmiah yang tidak didasarkan pada verifikasi itu hanya omong kosong (inipun suatu pernyataan ilmiah), jadi termasuk omong kosong karena tidak didasarkan pada verifikasi apapun. Menurut Russell, jenis penyataan yang bersifat paradox itu bukanlah merupakan jenis pernyataan yang sama dengan pernyataan yang digambarkan. Penyataan yang dikemukakan oleh Epimenedes bahwa semua orang Kreta itu pembohong, adalah dari kelas proposisi itu, sebab keterangan tersebut merupakan suatu proposisi dari kelas yang lebih tinggi. Bentuk-bentuk penyataan yang bersifat paradox itu berhasil diatasi oleh Russell dengan membedakan antara semua unsure yang termasuk ke dalam suatu himpunan, sebagai suatu yang tidak dengan sendirinya merupakan suatu himpunan itu sendiri. Misalnya jikalau dikatakan Sokrates dan Plato termasuk anggota himpunan filsuf, maka itu tidak

berarti kelas filsuf itu sendiri merupakan seorang filsuf, sebab kelas filsuf lebih tinggi tingaktannya dari pada seorang filsuf, sehingga masing-masing terletak pada jenis hierarki yang berbeda pula. Jadi kalau dikatakan Sokrates dan Plato termasuk anggota kelas filsuf itu adalah benar, namun tidak benar bilamana dikatakan filsuf menggunakan anggota dari filsuf itu sendiri. Hal ini dapat diterima secara terang oleh akal sehat, tetapi sayangnya hampir semua karya filsafat mencoba untuk menghindari hal tersebut (Jones dalam Mustansyir, 1987: 45). Demikianlah Russell mengembangkan formulasi logis dalam analisisnya melalui ungkapan bahasa dan dalam wacana filsafat. berupaya untuk mengatasi kesulitan

2. Prinsip Kesesuaian (Isomorfi) Russell dan Moore memang memiliki kesamaan pandangan bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep itu diungkapkan melalui bahasa maka analisis bahasa memegang peranan penting. Namun demikian Russell berbeda dengan Moore, ia berpendapat bahwa analisis dilakukan pada struktur hakiki bahasa dan bukannya terbatas pada konsep-konsep filsuf lain dalam menggunakan bahasa. Menurut Russell analisis harus didasarkan pada struktur logika, sehingga analisis dilakukan dengan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam pengertian ini Russell menampakkan konsep pemikirannya yang cemerlang, yaitu ia ingin menganalisis hakikat realitas dunia melalui analisis logis. Russel mendasarkan pada analisis logis karena hal ini berdasarkan pada kebenaran apiori yang sifatnya universal yang bersumber pada rasio manusia. Adapun sintesis logis merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empiris (pengalaman indrawi) yang bersifat aposteriori. Dasar utama yang ditekankan oleh Russell adalah analisis logis. Ia berpendapat bahwa pertama-tama merupakan analisis logis bilamana hendak merupakan filsafat yang bersifat ilmiah. Pegetahuan pada

hakikatnya merupakan pernyataan-pernyataan yang tersusun menjadi suatu system yang menunjuk kepada entitas atau unsur pada realitas dunia. Dengan lain perkataan Russsell menegaskan bahwa terdapa suatu kesesuaian bantuk atau struktur antara bahasa dengan dunia, atau terdapat suatu isomorfi antara struktur bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, adapun fakta terungkapkan melalui bahasa sehingga terdapat suatu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur logis realitas dunia (Heraty, 1984: 79, 85). Dalam sistemnya yang tersusun ini ia bertolak dari pernyataanpernyataan dasar, ialah pernyataan empiric yang langsung menyebutkan suatu konfrontasi dengan realitas yang meliputi dua macam yaitu particularia dan universalia. Particularia adalah hasil persepsi kongkrit individual, sedangkan universalia menunjukkan suatu sifat atau hubungan. Mengenai dasar pengalaman atau empiris dikatakannya bahwa bilama kita mengalami sesuatu yang kita lihat secara langsung misalnya, orang lain secara teoritik dapa tmemahami kita melihat objek tersebut sebgai suatu fakta empiris, namun tidak dapat diketahuinya bahwa objek tersebut menjadi pengalaman kita. Dengan demikian pengalaman itu tidak dibagi kepada orang lain, dan menjadi pengalaman sendiri yang disebut egosentric. Dalam hal ini Russel lebih condong pada pengertian aquaintance atau pengenalan daripada sebagai experience. Berdasarkan pengertian itu maka egocentric particular adalah merupakan entitas-entitas atau satuan-satuan kongkrit yang dikenal karea suatu pengalaman pribadi yang pada dasarnya tidak dapat dibagi dengan orang lain. Stuan-satuan yang merupakan egocentric particular itu yang menurut Russel juga merupakan kata-kata deiktik kesemuanya dapat dikembalikanpada suatu bentuk egocentric particular pokok misalnya ini, itu berstatus sebagai nama diri yang logis (logical proper name), hal ini berarti bahwa sebagaimana halnya dengan nama diri, kata ini jelas menunjukkan pada suatu satuan kenyataan, tetapi di samping itu masih mempunyai keistimewaan, yaitu aspek egocentric yang terdapat pada kata-kata itu. Kata-kata itu mengacu pada suatu unsure kenyataan

hal itu memang dimaksudkan untuk menunjukkan suatu hubungan antara bahasa dengan realitas dan pengacuan tersebut menurut Russel disebut dinotasi yang dijelaskannya pada penggunaan kata objek (object word) (Heraty, 1984:86,87). Pengertian logical paper name atau nama diri yang logis memiliki dia macam cirri, yaitu: (1) suatu logical proper nama adalah sejauh hal itu berfungsi sebagai nama yang tidakd apat menunjuk pada objek yang sama untuk dua orang yang berbeda, dan (2) suatu logical proper name dapat menunjuk hanya pada entitas-entitas yang kita kenal pada suatu saat (Clack, 1972:34). Dengan demkian egocentric particular merupakan nama diri yang logis atausalah satu bentuk logical proper name, adapun suatu logical proper name adalah merupakan suatu denotasi yang menyebutkan keterangan atau deskripsi minimal. Maka dengan demikian bagi Russell sepatah kata diektik merupakan suatu denotasi sifatnya yang sangat pribadi. Struktur logis bahasa menunjukkan suatu susunan yang terdiri atas satuan-satuan bahasa yang mengacu pada suatu satuan entitas karena struktur logis bahsa menunjukkan struktur logis dunia. Oleh karena itu nama diri logis adalah merupakan suatu deskripsi minimal yang mengacu pada acuan tunggal atau referensi tungal. Namun logical proper name ataunama diri yang logis ini bukanlah nama dalam arti nama seseorang akan tetapi merupakan suatu deskripsi minimal yang memiliki referensi tunggal. Adapun pembedaan referensi tunggal itu adaah sebagai berikut : PEMBEDAAN REFERENSI TUNGGAL MENURUT BERTRAND RUSSELL (1) Nama Diri
(2) Kata-kata Deiktik

: Napoleon, Ciliwung : kata-kata petunjuk : ini, itu (ruang dan waktu) nanti, tadi Kata-kata ganti: aku, dia nama diri

(3) Deskripsi penunggal

:Pemenang hadiah Nobel perintis kemerdekaan Pembela hak asasi Heraty,

logis

1984:96)

Dengan demikianpengertian nama diri yang logis adlah meliputi kata-kata deiktik dan deskripsi penunggal. Suatu nama diri dapat dianggap sebagai singkatan deskripsi penunggal atau unique definitie description, misalnya Sokrates filsuf pertama yang mempersoalkan istilah etika. Perbedaan secara logis antaranama diri di satupihak dengan deskripsi penunggal di pihak lain, yaitu bahwa nama diri itu merupakan singkatan deskripsi penunggal definite description. Hal itu dapat diketahui dalam perbedaan penggunaan yaitu penggunaan secara atributif dan penggunaans ecara referensial. Nama diri itu dapat mengacu pada suatu unsure tanpa diperlukan deskripsi-deskripsi. Sifat yang mengacu dan deskriptif yang sekaligus terdapat pada deskripsi penunggal itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis bahasa, karena memberikan kemampuan untuk membicarakan sesuatu yang tidak langsung dapat dijumpai dalam lingkungan tertentu. Teori deskripsi penunggal ini membawa penyelesaian yang menurut Russell disebut sebagai dilemma ontologism, yaitu sebagai suatu pernyataan yang mengandung pertentangan yang member makna pada ungkapan tersebut dan sekaligus melibatkan eksistensinya, terutama menurut teori referensi. Deskripsi penunggal secara tata bahasa berbentuk subjek (S) dan predikat (P), ini secara logis sebenarnya tidak berbentuk subjek predikat. Jadi secara struktur gramatical dan struktur logis berbeda. Misalnya ungkapan Si Malin Kundang yang mengandung dilemma ontologism, yaitu ungkapan itu dapat disebutkan tanpa melibatkan eksistensi objek (lihat Heaty, 1984:98).

Deskripsi tentang doktrin isomorfi merupakan upaya Russel untuk mewujudkan obsesinya tentang hakikat struktur bahasa yang memiliki struktur logis realitas dunia. Maka menurut Russell analisis bahasa yang benar akan menghasilkan suatu pengetahuanyang benar pula tentang hakikat realitas dunia. Formulasi logis bahasa yang memiliki kesesuaian struktur dengan realitas dunia ini dikembangkan lebih lanjut oleh Russell dalam pengertian proposisi yang tersusun atas proposisi atomis menjadi proposisi yang bersifat majemuk atau kompleks.

3. Struktur Proposisi Pemikiran filsafat atomis logis Bertrand Russel diuraikan dalam serangkaian ceramahnya kemudian dalam bentuk artikel adan dimuat dalam majalah Monist tahun 1918 dan 1919. Kemudian artikel-artikel tersebut dikumpulkandalam buku dengan judul Logic and Knowledge. Selain itu berbagai macam pendapatnya tentang atomisme logis juga termuat dalam pengantar buku Ludwig Wittgenstein Tractatus Logico Philosophicus. Atomisme logis menggambarkan bahasa ideal itu sebagai suatu kumpulan besar proposisi-proposisi yang tak terbatas yang tersusun atas struktur proposisi sederhana, elementer atau atomisme logis (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 23). Sebagaimana dijeaskan dimuka bahwa terdapat prinsip isomorfi atau kesesuaian struktur dan bentuk bahasa dengan realitas dunia. Dunia pada hakikatnya merupakan suatu keseluruhan fakta-fakta dan fakta-fakta tersebut terungkap melalui bahasa yang disebut proposisi. Hakikat keseluruhan fakta-fakta yang merupakan dunia tersebut memiliki struktur logis dan oleh karena itu hakikat fakta-fakta tadi terlukiskan melalui proposisi. Fakta-fakta itu sendiri sebenarnya tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat diberikankualifikasinya benar atau salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Dengan perkataan lain prinsip verifikasi merupakan symbol dan bukan merupakan bagian dunia. Proposisi memiliki struktur yang terdiri atas sejumlah kata, dan kata-kata itu

menunjukkan kepada suatu data indrawi (sense data) dan universalia (universals) yatiu cirri-ciria tau relasi-relasi. Contoh dari inderawi misalnya putih dan contoh universalia misalnya berdiri di samping. Data inderawi ditunjukkan dengan logical proper name (nama diri yang logis) misalnya ini dan itu. Proposisi menurut bentuk yang paling sederhana mislanya inilah putih (x adalah y) atau ini berdiri di samping itu (xRy). Oleh karena itu proposisi tersebut merupakan bentuk yang paling sederhana (yang terkecil) maka proposisi tersebut disebut proposisi atomis, Karen amengungkapkan fakta yang paling sederhana (istilah atomis sepadan dengan susunan benda-benda yang terdiri atas bagian terkecil yang disebut atom) dank arena proposisi pada hakikatnya merupakan symbol bahasa yang mengungkapkan fakta-fakta (Bertens, 1981:29). Masing-masing proposisi atomis itu memiliki arti atau makna sendiri-sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Untukmembentuk suatuproposisi majemuk maka proposisi-proposisi atomis tersebut dirangkaikan dengan kata-kata penghubung seperti dan, atau serta kara penghubung lainnya. Untukmenjelaskan struktur proposisi atomis dan proposisi majemuk tersebut, Russell memberikan contoh sebagai berikut : Sokrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana ini merupakan suatu proposisi majemuk yang terdiri atas dua proposisi ang menggambarkan dua fakta atomis yaitu: (1) Sokrates adalah warga Athena, dan (2) Sokrates adalah seorang yang bijaksana Kedua proposisi tersebut membentuk suatu pengertianproposisi mejemuk setelah dihubungkan dengan kata yang (Russell, dalam Tractatus, 1963:13). Menurut Bertrand Russell terdapat juga pengertian proposisi molekuler misalnya inilah putih, inilah merah, danmenunjuk kepada data-data atomis. Namun perlu diingat bahwa tidak terdapat

pengertian fakta-fakta molekuler. Kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi molekuler tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang terdapat di dalamnya, jadi faktafakta atomis menentukan benar atau tidaknya proposisi apapun juga (baik atomis maupun molekuler). Selain fakta-fakta atomis yang diungkapkan melalui proposisi atomis, juga terdapat pengertian fakta-fakta umum yang kebenarannya berdasarkan fakta-fakta yang secara umum diketahui benar. Misalnya proposisi semua orang akan mati ini bukanlah terdiri atas fakta-fakta atomismisalnya A akan mati , Poltat akan mati, B akan mati dan seterusnya melainkan berdasarkan suatu fakta umum. Jadi kebenaran proposisi tadi bukannya karena serangkaian fakta-fakta atomis melainkan suatu fakta umum yang memang secra umum telah diakui kebenarannya. Russel menerima juga pengertian fakta-fakta negative, sebaga hal itulah satu-satunyacara untuk menerangkan benar atau tidaknya suatu proposisi negative. Misanya tidakada kuda berkepala lima proposisi itu benar atau tidak hanya berdasarkan fakta. Demikian juga Russel engakui juga tentang fakta-fakta khusus, misalnya John beranggapan bahwa bumi itu datar. Bilamana dipahami secara formal seakan-akan proposisi itu majemuk. Kebenaran proposisi itu tidak tergantung pada benar atau tidaknya bumi itu datar melainkan pada suatu fakta khusus. Bilamana suatu doktrin atomisme logis menolak metafisika, tetapi tidak dapat disangkal lagi bahwa atomisme logis mengandung suatu metafisika, sebagaimana diakui oleh Russel sendiri. Alasannya ialah bahwa teori ini mau menjelaskan struktur hakiki bahasa dan dunia. Menurut atomisme logis bahwa dunia dapat diasalkan pada fakta-fakta atomis, hal ini jelas merupakan suatu argumentasi metafisis. Demikian juga pendapat Russell itu sama sekali tidak berdasarkan pad asuatu datadata empiris, melainkan berasal dari suatu analisis mengenai bahasa yang mendasarkan pada suatu kebenaran apriori karena menekankan

pada struktur logis. Berdasarkan rincian konsep-konsepnya maka atomisme Bertrand Russell itu tidak lain merupakan pluralisme radikal yang bertentangan dengan monisme yang mendasari metafisika idealism khususnya idealism Bradley (Bertens, 1981:31).

H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgestei

Filsuf kelahiran Wina Austria ini melalui reputasi karya filsafat yang spesifik, karena karya yang besar yang pernah dihasilkannya yaitu pada periode I dan II visi yang berbeda bahkan bertolak belakang. Ia merupakan teman dekat dari tokoh atomisme logis. Bertrand Russell bahkan pernah menjadi muridnya, sehingga tidak mengherankan mereka berdua sebagai tokoh aliran filsafat atomisme logis. Demikian juga pemikiran-pemikiran Russell banyak dipengaruhi juga oleh Wittgenstein, dan hal itu banyak ditemukan oleh Russell pada kata pengantar buku Wiitgenstein. Karyanya yang terbit dalam majalah Analosophische Abhandlungen. Pada tahun 1912 dengan judul Logisch Philosophische Abhandlugen (ulasan-ulasan logis dan filosofis). Setahun kemudian diterbitkan suatu edisi baru dengan terjemahan dalam bahasa Inggris di samping teks Jerman yang asli. Edisi ini disertai kata pengantar oleh senoirnya Bertrand Russell, walaupun dalam beberapa hal kurang menyetujuinya. Karya besar Wittgenstein yang merupakan ulasan filosofis yang ketat tentang filsafat atomisme logis tersebut berjudul Tractatus Logico Philosophicus (Bertens, 1981: 39). Buku ini sebagai karya besar pertama ketika ia memperkuat visi dasar atomisme logis. Periode berikutnya filsuf yang pernah maj perang ini menulis suatu buku dengan judul Philosophical Investigationss. Pada karyanya yang kedua ini ia murtad dari doktrin atomisme logis, konsepnya tidak lagi setia terhadap pemikirannya prinsip-prinsip kebenaran baru. Tractatus Logico Philosophicus sebagai suatu karya besar di bidang filsafat termasuk tidak panjang kira-kira hanya 75 halaman saja. Uraian dalam buku ini berupa uraian-uraian singakat yang merupakan

suatu proposisi, yang secara sistematis diberi nomor. Makna yang terkandung dalam proposisi-proposisi itu sangat padat, sehingga kadangkadang karena padatnya makna yang terkandung di dalamnya menjadi kurang dapat dipahami. Menurut Wittgenstein ara atau system pemberian nomor itu sedemikian rupa sehingga proposisi-proposisi yang paling penting itu diberi nomor atau angka bulat. Terdapat tujuh angka decimal, yang menunjukkan struktur logis dari proposisi-proposisi. Misalnya (1, 1.1, 1.2, dan seterusnya), kemudian (1.1 1.11, 1.12, dan seterusnya) yang menunjukkan struktur kepentingan dari proposisi dalam uraian pemikiran Tractatuc tersebut.

1. Peranan Logika Bahasa Wittgenstein sependapat dengan gurunya bahwa tugas utama

filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesis logis. Dalam Tractatus ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. Filsafat itu sebenarnya bukanlah merupakan suatu tubuh atau kumpulan ajaran-ajaran atau doktrindoktrin, melainkan suatu kegitan atau aktivitas. Sebuah karya filsafat pada pokoknya terdiri atas penjelasan-penjelasan serta uraian-uraian. Filsafat tidak mengahasilkan keterangan-keterangan filsafati, namun lebih cenderung kepada penjelasan-penjelasan tentang proposisi. Tanpa filsafat pikiran itu akan mengawang dan tidak sehingga tugas filsafat ialah membuat jelas dan batas-batas pengertian yang jelas. Uraian Wittgenstein dalam pendahuluan tulisannya ia menyatakan bahwa persoalan filsafat itu timbul karena para filsuf terdahulu dalam memecahkan dan merumuskan problem-problem filsafat kurang memahami logika bahasa, yang digunakan dalam filsafat (Wittgenstein, 1963: 27). Menurutnya uraian yang dilakukan oleh filsuf terdahulu tentang proposisi dan problem filsafat bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Oleh karena itu kita tidak memberikan suatu jawaban terhadap persoalan semacam itu, kecuali hanya membiarkannya dalam

bentuk seperti semula yang tidak terpahami. Problem dan proposisi yang dikemukakan oleh filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena mereka tidak mengerti dengan logika bahasa. Oleh karena itu kita akan membuat kita menjadi tidak logis juga (Wittgenstein, 1963: 31, 32). Russell dalam kata pengantar buku tersebut menyatakan bahwa pemikiran Wittegenstein dalam bukunya itu telah menggunakan suatu logika bahasa yang sempurna. Pengguna logika bahasa yang sempurna tersebut menunjukkan bahwa pemakaian unsure-unsur bahasa seperti kata dan kalimat dilakukan secara tepat, sehingga setiap kata hanya memiliki suatu fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan factual (fakta) tertentu saja. Suatu logika bahasa yang sempurna mengandung aturan sintaksis tertentu sehingga dapat menghingari ungkapan yang tidak bermakna, dan memiliki symbol tunggal yang selalu memiliki makna tertentu dan terbatas (Wittgenstein, 1962: 33, 34). Demikianlah kiranya pendapat Wittgensteinn yang sejalan dengan seniornya yang menegaskan tugas filsafat adalah melakukan analisis tentang ungkapan-ungkapan, problem-problem serta konsep-konsep dengan menggunakan bahasa yang memiliki struktur logika. Oleh karena itu analisis dilakukan terhadap proposisi tau realitas yang dikemukakan oleh para filsuf terdahulu melalui penggunaan bahasa yang memnuhi syarat logika. Ketidak jelasan dan kekacauan yang terjadi dalam filsafat karena kekaburan bahas filsafat yang tidak yang menggunakan tolok ukur yang jelas yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna atau tidak bermakna. Untuk menghindari suatu kekacauan dan kesalahan yang seupa dalam filsafat maka perlu disusun suatu kerangka bahasa yang memenuhi dtruktur logika bagi uraian dan pemecahan problema-problema filosofis. Atas dasar konstatasinya tersebut maka Wiitgenstein merealisasikannya dalam karya besarnya tersebut dan struktur bahasa yang digunakan dalam uraian filosofisnya berdasarkan suatu struktur logika. Atas dasar karya besarnya inilah maka ia diberi gelar doctor filsafat di Trinity College di Cambridge.

2. Pemikiran Filosofis Tractatus Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus tradisi atas pernyataan-pernyataan yang secar logis memiliki hubungan. Pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut: Pertama : dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi sautu kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas). Kedua : setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir. Pernyataan-pernyataan tersebut secara rinci diperjelas lagi secara logis dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut: Pernyataan yang pertama 1. Dunia itu adalah semua hal yang adalah demikian. (The worlds is all that is the case) 1.1 Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta, bukan dari benda-benda. (The World is the totality of fact not of thing) 1.2 Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta (kenyataan-kenyataan). (The World devides into facts) 2. Apa yang merupakan kenyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah kebenaran suatu peristiwa. (what is the case, a fact the existence of states of affairs). Menurut Wittgenstein yang dimaksud dengan fakta, adalah suatu peristiwa (state of affairs) atau keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia. Dunia itu bukanlah terdiri atas benda-benda, atau benda-benda

itu bukanlah bahan dunia, namun objek-objek itu merupakan subtansi dunia. Jadi yang dimaksud Wittgenstein adalah bahwa sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), yaitu bagaimana objek-objek itu memiliki interrelasi dan keadaan, hubungan kausalitas, kualitas, kuantitas, ruang, waktu, dan keadaan (lihat Poewowidagdo: 37). Misalnya suatu keberadaan peristiwa yaitu bagaimana kedudukan pintu di antara dinding-dinding. Letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela terletak disebelah kiri ruang dan empat jendela terletak di sebelah kanan ruang dan lain sebagainya. Dengan demikian dunia itu harus dijelaskan atau diterangkan bukan dalam arti objek-objek itu sendiri, melainkan bagaimana objekobjek itu berhubungan, dan berada di antara satu dengan lainnya jadi tentang uraian mengenai bagaimana peristiwa tentang objek-objek itu berada dan terjadi. Dunia itu terdiri atas fakta-fakta dan dapat dijelaskan dalan arti hubungan antara satu dengan lainnya, dunia itu adalah jumlah keseluruhan dari fakta (totalitas fakta) dan bukannya jumlah dari objekobjek atau benda-benda itu sendiri. Lebih lanjut dijelaskan oleh Wittgenstein bahwa totalitas fakta itu sangat kompleks (rumit) dan terdiri atas fakta-fakta yang kurang kompleks. Fakta-fakta ini berikutnya terdiri tas fakta-fakta yang makin kurang kompleks lagi, demikian seterusnya dan akhirnya kita sampai pada fakta-fakta yang sudah tidak dapat diredusir atau dikurangi lagi. Fakta-fakta ini adalah fakta yang terkecil, yang paling elementer yang merupakan bagian terkecil sehingga disebut sebagai fakta atomis. Struktur logika Wittgenstein menjelaskan bahwa fakta-fakta atomis adalah merupakan balok-balok bangunan (building blocks) dari dunia, dalam arti bahwa dunia itu pada akhirnya terdiri atas fakta-fakta atomis tersebut. Faktafakta itu adalah yang paling sederhana yang berdiri melingkuupi diri sendiri yang dapat berada pada dirinya dalam isolasi.

3. Struktur Logika Bahasa

Konsep

Wittgenstein

tentang

logika

bahasa

dalam

mengungkapkan realitas dunia diuraikannya dalam pernyataannya yang kedua sebagai berikut: 3. Sebuah gambaran logis dari suatu kenyataan itu adaah sebuah

pikiran 3.1. Di dalam sebuah proposisis sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati oleh indera 3.2. Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran dapat

diungkapkansedemikian rupa sehingga unsure-unsur dari tanda proposisi berkesesuaian dengan objek dari pikiran. 3.21 Sebuah proposisi hanya mempunyai satu analisis yang lengkap 3.3. Proposisi-proposisi yang mempunyai makna adalah proposisi yang berhubungan dengan sebuah nama, nama itu bermakna manakala dalam hubungannya dengan proposisi. 4. Sebuah pikiran adalah sebuah proposisi yang bermakna

4.001 Jumlah keseluruhan (totalitas) dari proposisi itu adalah bahasa 4.01 sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas (kenyataan)

Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita bayangkan. Sebuah proposisi dasar (elementer) proposisi-proposisi lebih lanjut dan tidk dapat dianalisis lagi menjadi halnya sebuah fakta atomis adalah sebuah faktayang tidak terdiri atas fakta lebihlanjut dan lebih asasi. Bagian-bagiandari proposisi-proposisi elementer (dasar) bukanlah proposisi itu sendiri. Suatu proposisi dapat dianalisis menjadi sebuah proposisi sebagai bagian terakhirnya (ultimate constituent) dari segala sesuatu itu terpancang di dalam hakikat sesuatu itu. Dengan kata lain bagi setiap X maka hanya ada sebuah jawabanyang benar terhadap pertanyaan apa bagian terakhir dari X itu?.menurut Wittgenstein bahwa setiap proposisi elementer itu hanya memiliki satu saja analisis yang final. Hal itu didasarkan pada

asumsinya bahawa setiap proposisi itu mempunyasi satu makan tertentu secara sempurna. Dengan menerima asumsi ini, Wittgenstein kemudian berpendapat bahwa setiap proposisi itu harus dapat dianalisis menjadi proposisi-proposisi dasar. Karena masuk akal bilamana kita menganggap bahwa hanya proposisi dasarlah yang besar dari segala macam makna ganda dari segala kemungkinan salah paham atau salah arti tentang makna proposisi. Proposisi-proposisi dasar adalah bangunan akhir dari bahasa karena jumlah keseluruhan proposisi itu adalah bahasa (4.001). sebuah proposisi dasar itu adalah suatu proposisi, yang seluruhnya terdiri atas nama-nama (4.22). dalam pengertian ini istilah nama memiliki pengertiant eknis dan menurut Wittgenstein tidak gunakan dalam arti biasa, sperti nama orang atau nama sesuatu. Sebuah nama tidak dapat dipecah-pecah lebih lanjut dengan cara defines. Nama dalam pengertian ini menurut istilah Wittgenstein adalah sebagai tanda pertama (primitive) (3.26). jadi misalnya Sokrates bukanlah dalam pengertian tekni ini, karena Sokrates dapat didefinisikan sebagai misalnya seorang laki-laki, seorang filsuf Yunani yang hidup di Athena dan lain sebagainya. Bujursangkar bukanlah sebuah nama karena pengertian bujursangkar dapat didefinisikan lebih lanjut dan dianalisis lebih lanjut maka hal ini bukanlah sebagaimana nama primitive yang dimaksudkan oleh Wittgenstein. Jadi X dan Y. merah dan biru, hijau dan sebagainya adalah sebagai contoh nama primitive yang dimaksudkandalam tractatus. Sebuah nama itu berarti sebuah objek, dan objek itu adalah maknannya (3.203). jadi jikalau tidak ada objek maka fungsi dari proposisi-proposisi dasr hanya akan terdiri atas istilah-istilah (terms) yang tidak mempunyai arti, dan dengan demikian menjadi tidak berarti ataut idak bermakna. Wittgenstein menyatakan bahwa proposisi-proposisi yaitu suatu proposisi dasr mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa (state of affairs (4.21). jadi sebuah proposisi dasar membenarkan suatu faktafakta karena sebuah fakta itu adalah keberadaan suatu peristiwa. Oleh

karena itu proposisi dasar itu adalah bagian akhir dari proposisiproposisi, dan keseluruhan proposisi adalah bahasa. Dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta , maka suatu kesimpulan logis yang dapat ditarik adalah bahwa kebenaran dari dunia itu hanya dapat dinyatakan dalam suatu bahasa. Dengan demikian struktur logis dunia terungkap melalui bahasa yangmemiliki kesesuaian dengan struktur logis dunia.

4. Teori Gambar (Picture Theory)

Pemikiran Wittgenstein dalam mengungkapkan realitas dunia terumuskan dalam suatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karena itu proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa maka bahasa pad ahakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Hal itu diungkapkan Wittgenstein dalam Tractatus sebagai berikut: Sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia. Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita bayangkan (4.01). Proposisi itu adlah gambaran realitas (kenyataan) dunia maka jika saya memahami proposisi itu berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secra raktual (fakta) yang dihadirkan melalui suatu proposisi tersebut. Demikian juga dengan mudah saya dapat memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung didalamnya (4.112). Struktur logika bahasa yang digunakan Wittgenstein dalam mengungkapkan suatu realitas dimaksudkan untuk mengatasi kekaburan-kekaburan, sehingga dalam memahami realias dunia manusia hanya akan memberikan suatu keputusan benar atau salah, bermakna atau tidak bermakna ungkapan yang menjelaskan dunia.

Dalam pengertian ini Wittgenstein berupaya untuk benar-benar menempatkan struktur logika untuk mengungkapkan suatu realitas dunia dan hal ini juga pernah diungkapkan melalui konsep Aristoteles. Kerangka logis bahasa dalam mengungkapkan suatu benda itu menjadi semacam gambar timbul atau relief (Sokolowski, 1964, dalam Mustansyir: 56). Oleh karena itu proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, maka keberadaan suatu peristiwa itu tiada dapat benar atau salah, adapun proposisi sebagai sarana yang berupa suatau ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yang dapat dikenakan kualifikasi benar atau salah (Bertens, 1981:44). Maka sebuah proposisi memiliki dua macam kutub yaitu suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau berkesesuaian dengan suatu keberadaan peristiwa, dan sebaliknya sebuah proposisi mengandung suatu kesalahan manakala tidak berkesesuaian dengan keberadaan suatu peristiwa (Wittgenstein, 1969:94). Selain proposisi yang menggambarkan keberadaan suatu

peristiwa, terdapat pula proposisi-proposisi logika yaitu kebenarankebenaran yang berdasar pada prinsip-prinsip logika. Hal itu termasuk tautology-tautologi, atau kontradiksi-kontradiksi. Misalnya proposisi Amin berada di rumah atau di luar rumah yang merupakan kebenaran tautologis, dan Amin berada di rumah atau tidak berada di rumah. Yang merupakan suatu kontradiksi. Menurut Wittgenstein proposisi logika sebenarnya tidak termasuk proposisi sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu. Proposisi-proposisi tersebut tidak mengungkapkan suatu pikiran, namun merupakan suatu kebenaran tautologies belaka dan tidak menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu picture dari sesuatu. Namun demikian menurut Wittgenstein proposisi logika tersebut bukan berarti tidak bermakna, melainkan kebenarannya bersifat tautologies (Betens, 1981:45). Konsep Wittgenstein tentang teori gambar yangmenjelaskan tentang hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu peristiwa, selanjutnya akan nampak

sikap pandangannya tentang realitas fakta dengan unsure metafisik yang hal itu ditolak oleh Wittgenstein.

5. Tipe-tipe kata (Word Type)

Dalam upaya penerapan metode analisis bahasa Wittgenstein menerapkan beberapa teknik untuk menganalisis makna bahasa, antar lain dengan menganalisis tipe-tipe kata. Pada tingkatan reduktif Wittgenstein sependapat dengan Russell dengan cara menganalisis unitunit bahasa sampai pada unsure logis. Sebgaimana telah dibahas di muka bahwa suatu satuan uangkapan bahasa yang memiliki struktur sintaksis yang sama, dapat berbeda susunan logisnya. Perbedaan itu dapat terjadi karena memiliki susunan satuan kata yang menyusun kalimat tersebut. Dalam penentuan tipe-tipe kata inilah perlu dibedakan pengertian konsep nyata, yaitu tipe kata yang termasuk memiliki acuan kongkrit sepeti : meja, kursi, mobil, tongkat, bola dan lain sebagainya. Kedua tipe kata yang termasuk pengertian konsep formal, yaitu termasuk tipe-tipe kata yang mengacu pada konsep yang bersifat formal dan hal ini sebenarnya menurut Wittgenstein bukanlah merupakan suatu konsep, hal tersebut sebenarnya termasuk pengertian nama variable, yaitu yang harus diisi oleh konsep nyat a(Charlesworth, 1959:81). Konsep formal tersebut misalnya arti, objek, kompleks, fakta, fungsi, angka dan ada. Metode untuk menentukan konsep nyata adalah jilalau dapat dipahami peningkatanucapan mengenai konsep yang bersangkutan. Pengingkaran terhadap konsep formal itut idak masuk akal dan penggunaan suatu konsep formal yang seakan-akan merupakan suatu konsep nyata hal itu akanmenimbulkan suatu kekacauan (Bakker, 1984:128). Prinsip verifikasi problema-problema filsafat timbul karena kekacauan para filsuf dalam penggunaan bahasa, yaitu mencampuradukkan pemakaian ungkapan konsep nyata dengan konsep formal. Menurut Wittgenstein Struktur bahasa yang terdapat dalam konsep formal itu digunakan secara paksa untuk mengikuti struktur

bahas ayang serupa dengan konsep nyata oleh karena itu tidakmemiliki struktur logis maka, menurut Wittgenstein sesuatu yang termasuk konsep formal itu sebenarnya tidak dapat diungkapkan ke dalam sebuah proposisi, melainkan hanya ditunjukkan oleh objek itu sendiri dalam bentuk symbol (misalnya nama, dipergunakan untukmengatakan suatu objek, angka dipergunakan untuk tanda bilangan, dan lain sebagainya). Konsep formal tidaklah sama dengan konsep nyata yang hadir melalui suatu fungsi yang dimilikinya. Keduanya memiliki cirri yang berbeda, sebab sifat-sifat formal tidak dapat menghadirkan fungsinya secara jelas, ia hanya dapat diungkapkan dalam bentuk symbol yang bersifat pasti (Wittgenstein, 1969:126). Pengembangan lebihlanjut tentan word types tersebut dilakukan oleh Wittgenstein pada filsafatnya pada periode kedua yaitu pada teori language game, yang dalam kenyataannya visi dasar filosofisnya uupaya Wittgenstein dalam mengembangkan bahas ideal dalam konsep filsafatnya yang dalam kenyataannya bertolak dari dasar-dasar yang berbeda pada konsep filosofisnya pada periode pertama yang mendasarkan pada struktur logis bahasa, adapun pada konsep filosofisnya pada periode kedua Wittgenstein mendasarkan pada language game.

6. Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika Berdasarkan pada pandangannya struktur hakikat realitas dunai ang diungkapkan melalui ungkapan bahasa yang disebut proposisi, maka menurut Wittgenstein propoisisi yang bemakna adalah proposisi yang menggambarkan suatu realitas dunia yang memiliki struktur logis, sehingga sttuktur logis dunia terlukiskandalam struktur logis bahasa dan proposisi yang melukiskan suatu realitas dunia inilah yang merupakan suatu proposisi sejati. Selain itu terdapat proposisi-proposisi logika yaitu proposisi-proposisi yang mendasarkan pada prinsip-prinsip logis yang kebenarannya besifat tautologies-tautologis. Proposisi-proposisi logika itu bermakna akan tetapi tidak menggambarkan suatu realitas

dunia karena tidak menggambarkan suatu kebenaran peristiwa dan kebenaran bersifat pasif. Berdasarkan pandangan filosofisnya maka teori gambar memiliki konsekuensi logis menolak porposisi-proposisi metafisis karena menurut Wittgenstein proposisi tersebut tidak bermakna. Ketidakbermaknaan propoissi metafisik tersebut didasarkan atas teorinya bahwa proposisi tersebut tidak mengungkapkan apa-apa atau dengan lain perkataan bersifat omong kosong. Tentu saja penolakan atas proposisi tersebut menurut atas nama logika bahasa. Menurut Wittgenstein filsafat bukanlah merupakan suatu ajaran melainkan merupakan suatu aktivitas. Tugas menurut Wittgenstein adalah menjelaskan kepada seseorang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan. Menurut Wittgenstein metafisika melampuai batas-batas bahasa. Metafisika mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan, namun demikian Wittgenstein menyatakan bahwa memang terdapat hal-hal yang memang tidak dapat dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat mistis. Hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa tersebut menurut Wittgenstein adalah subjek, kematian, Allah dan bahasa sendiri.
(1) Oleh karena bahasa merupakan gambaran dunia, subjek yang menggunakan

bahasa tidak termasuk dunia, sebagiamana mata tidak dapat diarahkan pada dirinya sendiri. Demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak mungkin diarahkan pada dirinya sendiri.
(2) Demikian juga kematian tidak mungkin juga berbicara tentang kematiannya

sendiri, kaerna kematian itu tidak meruapakan suatu kejadian yang dapat digolongkan diantara kejadian-kejadian lain. Kematianmanusia seakan-akan memagari dunia manusia tetapi tidak termasuk didalamnya. (3) Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai Sesuatu didalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bhawa Allah menyatakan dirinya dalam dunia. Wittegenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai campur tangan Allah. Sebab kalau

demikian,maka Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak dpat berbicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.
(4) Yang paling paradoksal adalah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak

dapat bicara tentang dirinya sendiri. Bahasa menggambarkan dunia, akant etapi suatu gambar tidak memantulkan dirinya sendiri. Oleh karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan didalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa si pembaca dihantar ke suatu titik di mana ia mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidka bermakna. Ia seakanakan memanjat melalui tanggal dnsetelah itu membuang tangga tersebut, Karena hanya sebagai alat belaka (Bertens, 1981:46). Penolakan Wittgenstein pada metafisika sebenarnya merupakan suatu sikap yang tidak konsisten dengan visi dasar bahasa yang dilukiskannya sebagai gambaran dunia yang memiliki struktur logis. Hal ini sebenarnya sudah merupakan suatu keyakinan metafisika, ontology tentang hakikat dunia.s elain itu pendapatnya tentang hakikat bahasa bahwa bahasa seaka-akan hanya merupakan suatu struktur fisis dan logis, dan dalam masalah ini ia lupa bahwa dalam berbagai hal ia menunjukkan bahasa yang bermakna, yang berarti mengakui bahwa terdapat unsure metafisika dari bahasa yaitu makna. I. Positivisme Logis Pada tahun 1922 berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik (1882-1936). Gerakan filsafat baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang sekaligus sebagai pusat kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau dikenal juga mazhab Wina (Kring Wina). Anggota-anggota lingkungan Wina ini antara lain: Kurt Goedel, seorang ahli matematika, Hans Hahn juga seorang ahli matematika, Karl Menger ahli matematika, Philip Frank seorang ahli fisika, Rudolf Carnap ahli matematika dan fisika, serta beberapa mahasiswa antara lain, Friederich Wismann dan Herbert Feigl (Bertens, 1981:166).

Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Ludwig Wittgenstein, walaupun pengaruhnya bersifat langsung dan sebenanrya Wittgenstein sendiri tidak ikut aktif dalam kelompok Wina tersebut. Melalui suatu karangan kecil yang disusun oleh Neurath, Hans Hahn dan Rudolf Carnap mengeluarkan suatu deklarasi ilmiah dalam suatu konggres International pertama dengan judul Wissenschaftliche Weltauffasung: der Wiener Kreis (pandangan dunia yang bersifat ilmiah: Lingkungan Wina). Pandanganini menguraikan tentang pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina yang sangat diwarnai oleh ilmu-ilmu pengetahuan positif. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi empirisme yang melanjutkan garis tegas pada leluhurnya yaitu David Hume, John Stuart Mill dan Ernest Mach (Bertens, 1981:169). Berdasarkan nama yang dipopulerkannya aliran ini juga mendapat pengaruh positivism. Beberapa kali diusulkan nama empirisme logis dan oleh karena nama tesebut lazim digunakan oleh aliran filsafat yang berkembang di Amerika Serikat, Inggris dan Skandinavia. Oleh karena itu aliran tersebut disepakati dengan nama neopositivisme atau popular dikenal dengan nama positivism logis. Positivism logis menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya namun demikian positivism logis menolak metafisika atomisme logis. Positivism logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuah: Pertama: bertujuan untuk menghilangkanmetafisika. Ungkapanungkapan metafisis itu ditolak oleh kaum positivism logis bukan karena bersifat emotive, melainkan pada dirinya sendiri tak dapat ditolak, namun karena berpura-pura sebgai ungkapan atau hal yang bersifat kognotif. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan metafisis itu pada hakikatnya tidak menyatakan apa-apa sehingga bersifat nirarti atau (Poerwowidagdo: 52). Sebagaimana diungkapkan oleh Rudolf Carnap sebagai seorang tokoh positivism logis dalam suatu tulisannya yang berjudul the Elemination of Metaphisics Through Logical Analysis (Pengapusan metafisika melalui analisis logis) menyatakan: tidak bermakna

Didalam wilayah metafisika termasuk semua filsafat nilai dan teori norma analisis logis menghasilkan hal yang negative yaitu pernyataanpernyataan bidang ini (metafisika dll) semuanya adalah nirarti Lebih lanjut mengemukakan sebagai berikut: Analisis logis dengan demikian member keputusan dan menyatakan nirarti pada setiap apa yang disebut pengetahuan yang berpura-pura melampaui batas-batas pengalaman. Keputusan ini pertama-tama mengenai pada metafisika yang spekulatif, apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang berasal dari pemikiran murni, atau oleh intuisi murni yang berpurapura dapat dilakukan tanpa pengalaman. (Ayer, 1959:60). Penekanan pada pengalaman menunjukkan aspek empirisme yang kuat dalam positivism logis. Oleh karena itulah maka positivism sering disebut empirisme logis. Penolakan terhadap metafisika oleh positivism logis tidak boleh diartikan bahwa positivism logis itu menolak atau pernyataan-pernyataan Schlick sebagai berikut: Pengingkaran tentang keberadaan dunia luar yang transenden itu akan sama saja dengan suatu pernyataan metafisis tentang pengakuan keberadaan dunia luar yang trasenden itu. Dengan demikian seorang empiris yang konsisten tidak mengingkari dudnia transenden, tetapi menunjukkan bahwa baik pengingkaran maupun pengakuan keduaduanya adalah nirarti (Schlik, 1959:107). Jadi kaum positivism logis atau empirisme logis itu tidak menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu salah,akan tetapi bahwa apa yang dikatakan kaum metafisika itu tidak menyatakan sesuatu sama sekali. Positivism logis tidak melawan metafisika, hanya dinyatakannya bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu tidak dapat dipahami, atau tidak menyatakan sesuatu sama sekali (Poerwowidagdo, 55). metafisika itu nirarti mengingkari berarti keberadaan dunia luar atau dunia yang transenden, melainkan bahwa tidaklah suatupengingkaran atasnya.hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Moritz

Kedua, positivism logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Sebab dengan analisis filsafati kita tidak dapat menentukan apakah sesuatu itunyata (real), tetapi hanya apa artinya apabila kita menyatakan bahwa sesuatu itu nyata. Demikian juga apakah hal itu memang demikian atautidak, hal itu hanya dapat diputuskan melalui metode umumnya dalam kehidupan sehari-hari dan dari ilmu pengetahuan, yaitu melalui pengalaman.jadi menurut positivism logis tugas filsfat itu memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentag pernyataan-pernyataan dan proposisiproposisi terutama dari ilmu pengetahuan.

1. Analisis Logis terhadap Bahasa Secara prinsip positivism logis menerima konsep-konsep

atomisme logis dalam hal analisis logis melalui bahasa, walaupun mereka menolak visi dasarmetafisisnya. Positivism logis terutama memperhatikan duamasalah : (1) analisis pengetahuan, dan (2) pendasaran matematika dan ilmu pengetahuan alam, demikian juga terhadap psikologi dan sosiologi. Menurut positivism logis filsafat tidak memiliki suatu wilayah ilmiah tersendiri yang terletak disamping wilayah-wilayahlain yang menjadi objek ilmu pengetahuan. Filsafat tidak menyoroti problemproblem yang berbeda dari problem-problem ilmupengetahuan. Tugas filsafat adalah analisis logis terhada pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu tidak dapat diharapkan bahwa filsafat akan memecahkan problemproblem ilmu pengetahuan ilmiah, kecuali hanyamenganalisis masalahmasalah dan disusul dengan menjelaskannya. Dengan demikian sebenarnya banyak problem yang semu saja yang menampakkan seolah-olah merupakan suatu problema yang amat penting pada hal penjelasan analitis menunjukkan suatu keputusan. Demikianpula terdapat problem-problem lain yang karena penjelasan yang sama dinyatakan termasuk kompetensi ilmu pengetahuan.

Atas dasarpengetahuan tersebut maka kaum positivism logis menentukan sikap bahwa agar tidak terjadi kekacauan maka analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dalam filsafat adalah langkah yang paling tepat. 2. Prinsip Verifikasi Positivism logis yang konsep-konsep dasarnya sangat diwarnai logika, matematika serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat positif dan empiris, maka sudah dapat dipastikan bahwa analisis logis tentang pernyataan-pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sagnat ditentukan oleh metode ilmu pengetahuan positif dan empiris tersebut. Dalam pengertian inilah maka positivism logis mengembangkan prinsip verifikasi. Menurut mazhab yang berpusat di Wina ini bahwa suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Memverifikasi berartimenguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat senantiasa memiliki suatu pernyataan-pernyataan baik berupa aksioma, teori atau dalil hal itu dianggap memiliki makna bilamana secara prinsip dapat diverifikasi. Oleh karena itu arti suatupernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pada suatu pengalaman empiris (Beerlling, 1966:108). Namun prinsip verifikasi yang dikembangkan oleh positivism logis tersebut yang dipegang teguh adalah suatu keharusan bahwa suatu pernyataan atau proposisi itu secara prinsip memiliki kemungkinan diverifikasi secara empiris. Hal ini berarti bukan mengharuskan bahwa suatu pernyataan atau proposisi itu telah dilakukan verifikasi, atau bahkan prinsip verifikasi itu juga tidak mengharuskan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar (Poerwowidagdo, 58). Misalnya, suatu pernyataan di planet Mars terdapat makhluk hidup sejenis manusia. Pernyataanini bermakna walaupun belum dilakukan suatu verifikasi, akan tetapi pernyataan ini memiliki kemungkinan verifikasinya. Misalnya pengamatan, pengujian dan pembuktian

dilakukan dengan menggunakan telescope, satelit dan lain sebagainya. Di dalam sebuah tas terdapat uang sejumlah seratus ribu rupiah, hal ini merupakan suatu pernyataan yang bermakna walaupun setelah dilakukan pembuktian, verifikasinya ternyata hanya terdapat uang sejumlah Rp. 5.000,-. Jadi prinsip verifikasi juga tidak harus dijamin dengan kebenaran hasil dari verifikasi tersebut. Konsekuensinya setiap pernyataan atau proposisi yang secara prinsip tidak dapat diverifikasimaka pernyataan tersebut pada hakikatnya tidak bermakna. Pernyataan pemahaman akan analogi etnis adalah bertitik tolak dari yang ada yang bersifat transcendental (Bagus, 1991:66). Realitas pada hakikatnya bersifat absolute dan pernyataan-pernyataan metafisis lainnya menurut positivisme logis merupakan suatu pernyataan yang tidak bermakna. Pada pernyataan-pernyataan ini tidak memungkinkan dilakukan verifikasi. Demikian juga terdapat orang yang menyatakan realitas itu tidak bersifat absolute, konsekuensinya juga sama yaitu pernyataan yang tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan tersebut tidakmemiliki kemungkinan untuk dilakukan pembuktian secara empiris. Jadi yang membenarkan ungkapan metafisis maupun yang menegasikan ungkapan yang sama pada hakikatnya kesemuanya itu omong kosong belaka sebab tidakada kemungkinan untuk melakukan verifikasi. Demikianlah kiranya penolakan yang sangat radikal kaum positivime logis terhadap metafisika. Walaupun secara prinsip kaum positivism logismenerapkan prinsip verifikasi, namun di antara para tokoh-tokohnyamemiliki perbedaan pandangan. Moritz Schlick misalnyamenafsirkan verifikasi itu dalam pengertian pengamatan empiris secara langsung. Hanya proposisi atau pernyataan yang mengandung istilah yang diangkat secara langsung dari objek yang dapat diamati itulah yangmengandung makna (hal ini dinamakan dengan istilah kalimat protocol). Menurut Sclick bahwa salah satu cara penetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa secara empiris. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat protocol dan inilah yang menjadi permulaan ilmu

(Beerling, 1966:107). Konstatasi Sclick ini menimbulkan kontroversi yaitu prinsip yang meletakkan verifikasi hanya pada suatu peristiwa yang dapat dialami secara langsung. Komentar atas prinsip verifikasi tersebut antara lain dari seorang tokoh posivitisme logis Ayer. Ia menyadari kelemahan yang terdapat dalam prinsip verifikasi yang dikembangkan oleh Sclick. Menurut Ayer prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian untukmelengkapi suatu criteria sehingga melalui criteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat itu mengandung makna atau tidak (Ayer, 1952:5). Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya kalimat yang teruji dan terbuktikan secara empiric saja yang bermakna, melainkan juga kalimat yang dapat dianalisis lebih lanjut Ayer menegaskan bahwa suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu dalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat menandung makna, jikalau pernyataan atau proposisi itu dapat diverifikasi atau dapat dianalisis secara empiris. Penafsiran yang dikemukakan oleh Ayer terhadap prinsip verifikasi tersebut berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh posivitisme logis sebelumnya, yang hanya mendasarkan prinsip verifikasi hanya secara empiris saja. Hal ini jelas terdapat pada pandangan Sclick, yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat protocol, yaitu kalimat atau pernyataan yang diperiksa benar atau salahnya melalui pengamatan empiris secara langsung. Menurut Ayer prinsip verifikasi sebagaimana yang diajukan oleh Sclick itu merupakan verifikasi dalam arti yang ketat dan disamping itu terdapat verifikasi yang bersifat longgar atau lunak. Verifikasi yang bersifat ketat (strong verifiable) yaitu sejauh kebenaran suatu pernyataan atau proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Adapun verifikasi dalam arti yang lunak, yaitu jikalah sejauh proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan (Ayer, 1952:37). Prinsip verifikasi ini memiliki pengaruh yang sangat luas di berbagai bidang ilmu pengetahuan.

3. Konsep Proposisi Doktrin yang telah dipegang teguh oleh kalangan positivism logis adalah bahwa tugas filsafat adalah untuk menentukan danmembuat jelas, pernyataan-pernyataan atauproposisi-proposisi dalam ilmu penetahuan dan filsafat, oleh karena itu filsafat harus melakukan analisis dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Konsekuensinya ungkapan yang dikemukakan dalam ilmu penetahuand an filsafat merupakan proposisi-proposisi maka penentuan macam dan jenis proposisi tersebut menjadi sangat penting. Terdapat dua macam proposisi menurut positivism logis yang pengertiannya sebagai berikut :
(1) Proposisi empiris, yaitu proposisi factual yang harus dapat diverifikasi

secara empiris. Menurut Ayer proposisi empiris manakala mengandung suatu kemungkinan untukdisahkan atau ditolak dalam pengertian pengalaman yang sebenarnya.
(2) Proposisi formal (proposisi analisis), yaitu proposisi yang kebenarannya

tidak memerlukan verifikasi secara empiris. Proposisi formal ini meliputi proposisi logika dan matematika yang memiliki kebenaran secara pasti (kebenarannya bersifat tautologies) sehingga tidak memerlukan verifikasi pengalaman empiris. Dalam pembahasannya tentang proposisi Ayer memberikan beberapa cirri yang diuraikan sebagai berikut: (1) Proposisi analitis memiliki cirri benar berdasarkan pembatasan sematamata berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolnya. (2) Proposisi analitis tidak berdasarkan pada pengalaman, melainkan berdasarkan pada pengetahuan a priori (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis tanpa melalui pengalaman empiris). Sehingga tidak memerlukan verifikasi empiris.

(3) Proposisi analitis mengandung kepastian dan keniscayaan, yaitu memiliki

sifat kebenaran tautologies, yaitu suatu pernyataan yang mesti berdasarkan hukum-hukum logika. (4) Proposisi analitis mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan-ungkapan verbal, (Charlesworth, dalam Mustansyir 1987:73). Proposisi analisis yang semata-mata benar berdasarkan simbolnya adalah dalam matematika, misalnya 9 + 8=17 adalah proposisi matematika yang kebenarannya berdasarkan symbol yaitu 9+8 adalah sama dengan 17 Kebenaran proposisi analisis yang didasarkan pada pengetahuan a priori, berarti penjelasan yang sama merupakan pegangan bagi setiap kebenaran a priori lainnya. Pengtahuan yang kita peroleh berdasarkan suatu refleksi logis ( apirori) mengenai pengertian bahwa seorang spesialis dokter mata adlaah seorang dokter mata, hal itu tergantung pada fakta bahwa symbol dokter mata itu secara logis sama artinya dengan spesialis mata. Proposisi analisis mengandung kepastian dan keniscayaan yang bersifat tautologies, berarti terdapat suatu hubungan yang memang sudah semestinya. Misalnya semua manusia pasti mati. Pernyataan semacam ini merupakan tautologies, karena mati itu merupakan sifat yang sudah semestinya ada pada manusia. Proposisi yang didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti artinya, proposisi tersebut tidak memiliki kandungan istilah yang factual. Dan hal itu berarti tidakada pengalaan yang akan membuktikan atas ketidakbenarannya (Ayer, 1952:85). Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern dewasa ini konsep proposisi menurut positivism logis ini menjadi kata kunci untuk mendapatkan suatu kebenaran ilmiah yang objektif. Persoalannya adlaah ilmu pengetahuan itu beraneka ragam corak dan sifatnya baik berdasarkan objek formal maupun objek materialnya. Oleh karena itu

akan timbul suatupersoalan yang semakin rumit bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kualitatif. Hal ini berdasarkan tijauan analitis, bahwa hubungan antara ungkapan bahasa dalam suatu proposisi harus memiliki hubungan yang jelas dengan fakta empiris, atau memang secara apriori memiliki struktur kebenaran.

4. Logika dan Matematika Sejak pertengahan abad ke-19 logika mengalami suatu pembaruan radikal. Perbedaan antara logika modern dan logika klasik ialah (1) penggunaan symbol-simbol menurut analogi dengan matematika,dan (2) bertambahnya wilayah-wilayah pembahasan yangsama sekali baru pembaharuan logika ini dirintis oleh ahli-ali matematika. Mereka mengalami jalan buntu dalam mengkonstruksikan matematika secara regorus atas dasar logika tradisional. Relasi-relasi dalam matematika tidak dapat ditangani dengan menggunakan skema logika tradisional , yakni subjel-kopula-predikat. Karena itu terpaksa mereka mengembangkan suatu teori logis yang baru, yang menyoroti relasirelasi lain. Suatu usaha untuk mengkonstruksikan matematika dengan memakai logika baru ialah karya B. Russel dan A. Whitehead yang sangat penting (Principia mathematica, tiga jilid, 1910-1913). Logika baru dan hubungannya dengan matematika memainkan peranan penting bagi Ludwig Wittgenstein, sebab dengan itu mereka sanggup mengerti lebih baik kedudukan khusus logika dan matematika dalam cakrawala ilmu pengetahuan. Dalam abad ke-19 John Stuart Mill dan Herbert Spencer melontarkan percobaan untuk medasarkan logika dan matematika atas pengalaman. Dengan itu mereka mau meneruskan prinsip empiris seradikal mungkin. Percobaan itu mendapat sambutan hangat pada waktuitu. Tetapi bagi para pengikut Ludwig Wittgenstein pendirian itu tidak memuaskan. Karena dapat mengerti bahwa tidak mungkin logika dan matematika mempunyai dasar empiris, tetapi harus bersifat lain. Logika dan matematika tidak dapat diubah oleh

pengalaman-pengalaman baru. Prinsip-prinsipnya bersifat apriori (tak tergantung pada pengalaman). Sebagaimana diketahui bahwa matematika dan logika bersifat apriori, tentu tidak merupakan pendirian baru (rasionalisme misalnya sudah lama menekankan hal itu). Hal yang baru yang dilihat oleh Ludwig Wittgenstein ialah hubungannya dengan empirisme. Mereka melihat jalan keluar dari dilemma itu tidak dapat diasalkan kepada pengalaman, atau menyalahtafsirkan logika dan matematika (karena orang mau mengasalkannya kepada pengalaman). Logika matematika tidak mengatakan apapun juga tentang realitas empiris. Dua ilmu ini hanya mengandung relasi-relasi pikiran. Ucapan-ucapan logika serta matematika bersifat analitis belaka dan bukan sintetis. Atau dengan suatu istilah yang berasal dari Wittgenstein ucapan-ucapan sedemikian itu merupakan tautology-tautologi. Tetapi semua ucapan tentang realitas empiris bersifat sintetis, berarti dlakukan pada pengetahuan tentang fakta-fakta saja dan tidak berlaku untuk setiap macam pengetahuan (Bertens, 1981:170).

5. Konsepsi Lingkungan Wina tentang Filsafat Pada akhir uraian neoposivisme Lingkungan Wina ini kita memandang sebentar konsepsi mereka tentag filsafat. Semua anggota lingkungan Wina sepakat dalam mencita-citakan suatu filsafat yang bersifat ilmiah (bandingkan misalnya dngan Karl Jaspers). Menurut pendapat mereka filsafat tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris menurut segala aspeknya dipelajari oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus. Dan suatu realitas non empiris atau transenden tidak mungkin menjadi objek pengetahuan. Objekobjek metafisika yang tradisional seperti ada yang absolute (tetapi nilainilai yang absolute dan norma-norma) tidak dapat menjadi wilayah yang digarap oleh pengetahuan kita. Pertanyaan-pertanyaan dan ucapan-ucapan yang menyangkut objek-objek sedemikian tak lain adalah pertanyaan-pertanyaan semu dan ucapan-ucapan semu saja.

Metafiska tidak mungkin mencapai status filsafat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sampai di situ semua anggota lingkunga Wina setuju. Tetapi mereka tidak selalu sepakat dalam menentukan tugas-tugas filsafat secara kongkrit. Schlock dalam jilid pertama majalah Erkenntnis pernah mengatakan bahwa filsafat tidak mempunyai tugas lagi, kecuali menjelaskan kata-kata serta ucapan-ucapan dan dengan demikian menyingkirkan ucapan-ucapan yang tidak bermakna. Ilmu pengetahuan memverifikasi ucapan-ucapan, sedangkan filsafat meneropong makna ucapan-ucapan. Pada Carnap dapat kita saksikan suatu perkembangan daam pendapatnya tentang tugas-tugas filsafat. Dalam bukunya Sintaksis logis dari bahasa ia mengatakan bahawa filsafat harus menyelidiki sintaksis logis dari ucapan-ucapan ilmiah, artinya struktur logis ucapanucapan tersebut. Filsafat tidak boleh dimengerti sebagai filsafat alam, filsafat kehidupan organis, filsafat manusia, filsafat sejarah dan sebagainya, tetapi sebagai analsisi logis tentang ilmu pengetahuanalam, biologi, psikologi, ilmu sejarah dan lain-lain. Menurut Carna sintaksis logis itu harus disusun secara formal antara relasi-relasi. Di kemudian hari Carnap menyadari bahwa analisis logis tidak dapat dilepaskan dari masalah bermakna tidaknya bahasa yang diselidiki. Pendekatan formalistis belaka tidakdapat dilaksanakan. Itu berarti bahwa filsafat tidak boleh melewati masalah teori pengetahuan, juga dalam menyelidiki pendasaran ilmu pengetahuan. Sebagai kesimpulan dapat kita katakana bahwa Ludwig

Wittgenstein mempunyai suatu konsepsi jelas tentang cara membatasi tugas filsafat terhadap usaha-usaha intelektual yang lain. Sepanjang filsafat dapat kita lihat bahwa filsafat telah menyibukkan diri dengan tiga hal (1) pertama-tama terdapat masalah-masalah yangmenyangkut fakta-fakta empiris. Tetapi dengan masalah-masalah semacam itu sekarang ini filsafat tidak mempunyai urusan lagi. Seluruh wilayah empiris termasuk wewenang ilmu pengetahuan positif. (2) berikutnya

terdapat

masalah-masalah

yang

menyangkut

pengekspresian

pengetahuan kita atau dengan kata lainmelalui ungkapan bahasa. Masalah-masalah ini ditangani dengan menjelaskan konsep-konsep dan ungkapan-ungkapan yang kita pakai. Dalam pengertian inilah menurut positivism logis justru merupakan letak tugas filsafat dewasa ini, (3) akhirnya masih terdapat masalah-masalah metafisis. Dahulu masalahmasalah ini ramai dibicarakan dalam filsafat, tetapi neopositivisme berpendapat bahwa dalam metafisika dipersoalkan pertanyaanpertanyaan yang tidak bisa dijawab. Masalah-masalah ini tidak dapat dirumuskan dalam bahasa ilmiah. Karena itu maslah-masalah metafisis tidak mempunyai makna. Tetapi dengan itu filsafat tidak mengalami kerugian. Sebaliknya, lingkup geraknya dibersihkan dari persoalanpersoalan sesat.

6. Bahasa Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan Suatu usaha yang senantiasa mendapat perhatian para anggota Lingkungan Wina ialah percobaan untuk memperlihatkan bahwa ucapan-ucapan semua ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa universal yang sama. Kalau cita-cita ini sampai diwujudkan, mak asudah terbuktilah bahwa tidak ada banyak ilmu pengetahuan, melainkan hanya satu ilmu pengetahuan yang membahas objek-objek yang termasuk pelbagai tarag pengetahuan. Konstruksi logis dunia karya Carnap, merupakan suatu percobaan terkenal untuk melaksanakan proyek tadi. Dalam buni ini Carnap coba membuktikan bahwa setiap objek-objek pengetahuan dapat dasalkan kepada pengalaman-pengalaman elementer subjek. Untuk itu Carnap menyusun suatu hierarki tingkatan-tingkatan. Setiap tingkatan bahasa sesuai dengan suatu tingkatan objek-objek. Urutan tingkatan-tingkatan sesuai dengan urutan dalam sttuktur pengenalan. Sesuatu yang merupakan dasar seluruh konstruksi ini ialah tingkatanyang disebut auto-psikologis (misalnya pengalaman saya tentang merah). Atas fondamen ini dapat disusun berturut-turut

tingkatan fisis, biologis, psikologis, social dan cultural. Objek-objek dari masing-masing tingkatan dapa diasalkan objek-objek dari tingkatan lebih rendah. Maka dari itu bahasa yang dikonstruksikan Carnap mempunyai basis dan susunan sedemikian rupa sehingga setiap ucapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang khusus dapat diterjemahkan melalui tahap-tahap tertentu ke dalam ucapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang lain. Dengan demikian, kalau tingkatan sosiokultur dapat diasalkan kepada tingkatan ilmu-ilmu pengetahuana alam, maka orang dapat merumuskan semua ucapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah yang mengungkapkan pengalaman-pengalaman elementer kita. Karena itu bahasa inilah menjadi bahasa universal bagi semua ilmu pengetahuan dan tidak ada lagi banyak ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, tetapi hanya satu ilmu pengetahuan yang diungkapkan dengan suatu bahasa universal. Tetapi ada banyak kesulitan yang mengancam keberhasilan proyek ambisium Carnap ini. Salah atu kesulitan terkenal ialah masalah dispositioal terms. Dengan dispositional terms dimaksudkan suatu istilah yang mengungkapkan suatu cirri yang harus disifatkan kepada suatu objek bukan berdasarkan fakta-fakta actual, melainkan karena objek yang bersangkutan mempunyai semacam kemampuan (idisposition) untuk menimbulkan fakta tertentu. Misalnya soluble (dapat dilarutkan fakta), visible (dapat dilihat), dan pada umumnya semua istilah dalam bahasa Inggris yang berakhir dengan ble. Carnap memecahkan masalah dispositional terms itu dengan cara mengubah beberapa pendirian dalam bukunya. Ada kesulitan-kesulitan lain lagi yang mengakibatkan bahwa akhirnya Carnap sendiri tidak puas lagi dengan usaha yang dilontarkan dlam bukunya konstruksi Logis Dunia (Bertens, 1981:173). Neurath tidak setuju jika suatu lapisan auto-psikologis diambil sebagai fenomena kesatuan ilmu pengetahuan. Menurut dia, fondamen itu tidak boleh dikaitkan dengan ucapan-ucapan yang menyangkut suasana keakuan (sebagaimana halnya pada Carnap dalam KOnstruksi Logis dunia). Tetapi harus terdiri dari ucapan-ucapan yang

bersifat umum dan terbuka secara intersubjektif. Bagi Neurath bahasa fisika merupakan bahasa yang paling fundamental dan semua bahasa ilmiah harus dapat diterjemahkan ke dalam bahasa fisika itu. Dalam hal ini memainkan peranan besar apa yang dinamai Neurath sebagai kalimat-kalimat protokol (protocol sentences). Maksudnya ialah kalimatkalimat yang berupa laporan sehingga dapat dikontrol oleh semua orang.seperti misalnya, : pada pukul 15.30 sebuah meja diamati oleh John. Kalimat-kalimat protocol semacam itu merupakan ucapanucapan paling elementer dalam ilmu pengetahuan yang disatukan. Percobaan Neurath ini pada umumnya mendapat dukungan Carnap juga, setelah dia meninggalkan pandangannya dari Konstruksi logis dunia, tetapi dalam beberapa hal ia tetap mempunyai pendapat lain. Pendirian Neurath tentang kesatuan ilmu pengetahuan ini membawa dia keapda apa yang disebut fisikalisme (pshysicalism). Istilah ini diciptakan oleh Carnap dalam suatu artikel pada tahun 1931. Ketika ia sudah meninggalkan pendapatnya dalam konstruksi logis dunia (Die Physikalische Sprache als Universalsprache der Wissenschaft, Erkenntnis, 1931). Fisikalisme bermaksud menyangkal setiap perbedaan principal antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan cultural. Karena semua ilmu pengetahuan cultural (Geisteswissenschaften) yang berbeda dari imu pengetahuan alam. Semua ilmu pengetahuan sama-sama bersifat fisis dan justru itulah memungkinkan kesatuannya. Kalau orang menganut pendirian itu, maka salah satu problem besar yang dihadapi ialah memperlihatkan bahwa ucapan-ucapan tentang yang fisis. Dengan perkataan lain, ucapan-ucapan psikologis harus dpat diterjemahkan; ke dalam ucapan0ucapan tentang keadaan dan kejadian-kejadian badani. Dalam hal ini Neurath dan Carnap berkembang kea rah suatu pendapat yang sangat ekstrem. Ucapan-ucapan psikologi yang sungguh-sungguh ilmiah hanya berbicara kejadian-kejadian dalam badan, khususnya dalam system saraf pusat, sebab hanya ucapan-ucapan macam in bersifat inersubjektif dan dapat dicek oleh umum. Ucapan-ucapan tentang yang psikis yang tidak dapat dirumuskan secara fisikalistis,

pada dasarnya tidak terbuka untuk pemeriksaan intersubjektif. Itulah sebabnya ucapan-ucapan semacam itu tidak diberi tempat dalam wilayah ilmu pengetahuan. Jadi satu-satunya psikologi ilmiah yang mungkin adalah suatu behaviorisme radikal. Fisikalisme tidak mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman psikis merupakan suatu fakta empiris. Dikatakannya bahwa pengalaman-pengalaman macam itu tidak mempunyai nilai ilmiah, karena secara principal tidak terbuka lagi bagi pemeriksaan intersubjektif dank arena tu tidak dapat dirumuskan secara fisikalistis. Itulah metafisika belaka, sebab bagi neopositivisme semuanya yang tidak dapat ditangani ilmu pengetahuan menurut tanggapan merek mengenai ilmu pengetahuan, yaitu fisikalisme dicap sebagai metafisika, berarti sebagai usaha yang tidak mempunyai makna teoritis dan tidak mengungkapkan sesuatu apapun (Bertens, 1981:174). Demikianlah pengaruh positivism logis terhadap ilmu

pengetahuan lain terutama ilmu pengetahuan psikologis, budaya, social dan ilmu pengetahuan lainnya yang sampai saat ini masih terasa terutama di Indonesia sendiri (Kaelan, 202:187, 136).

J. Positivisme Logis Alfred Jules Ayer Walaupun positivism logis berpusat di Wina Austria namun Ayer sebagai seorang filsuf Oxford Inggris mengembangkan konsep filosofis positivism logis secara lebih radikal. Sekembalinya dari Wina, ia diangkat menjadi professor di Universitas Oxford. Latar belakang ilmu yang dikuasainya yang di samping imu pasti dan logika, ia juga menguasai ilmu bahasa dan fisiologi, sehingga tidak mengherankan karya yang diterbitkannya yang berjudul Language, Truth and Logic merupakan karya yang sangat terkenal dan memiliki pandangan yang sangat radikal. Pemikiran filsafat Ayer yang mengintrodusir positivism logis dari lingkungan Wina dan sekaligus disintesiskan dengan metode yang dikembangkan oleh Moore dan Russell, nampaknya memiliki corak tersendiri dalam menciptakan klarifikasi dan ketelitian dalam bidang filsafat. Positivism Ayer tidak lain juga meneruskan garis lurus tradisi

empirisme, Inggris terutama Hume dan menekankan pada analisis logis versi Bertranad Russell. Sebagaimana diketahui bahwa kelompok lingkungan Wina di satu pihak menaruh antusiasmebesar untuk ilmu pengetahuan dan matematika dan di pihak lain mengambil sikap negative terhadap metafisika. Usaha mereka yang utama adalah untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Mereka tidak menghiraukan benar atau tidaknya suatu ungkapan melainkan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan sehingga gilirannya mereka ingin mewujudkan bagaimana dapat ditentukan suatu norma yang jelas yang dapat membedakan ungkapan-ungkapan yang bermakna dari ungkapan-ungkapan yang tidak bermakna. Untuk itulah kemudian mereka menentukan prinsip ilmiah yang dikenal dengan prinsip verifikasi. Dalam kesempatan inilah Ayer mengambil alih program ambisius dari kelompok postiivisme logis Wina ini dan dalam bukunya ia merumuskan prinsip sebagai berikut : We say that a sentence is factually significant to any given person, if analysis only if, he knows that observations would lead him, under certain conditions, to accept the proposition as being true, or reject it as being false. If, on the other had the putative proposition is of such a character that assumption of its truth or falsehood, is consistent with any assumption what so ever concerning the nature of his future experience, then,as far as he is concerned it is, if not a tautology, a mereka pseudo proposition. The sentence expressing it may be emotionally significant to him, but it not literary significant (Ayer, 1952: 48). kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi seorang tertentu, kalau dan hanya kalau ia tahu observasiobservasi mana yang membuat dia denga syarat-syarat terteentu, menerima suatu proposisi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya kalau apa yang dianggap sebagai proposisi bersifat demikian rupa sehingga menerima kebenaran atau tidak benarannya

dapat dicocokkan dengan pengandaian apapun juga mengenai pengalamannya di kemudian hari, maka bagi orangyang bersangkutan, apa yang disebut proposisi itu tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu tautologies) daripada proposisi semu saja. Barangkali kalimat yang mengungkapkan proposisi itu mempunyai makna emosional bagi dia, akan tetapi pasti tidak ada makna harafiah. Berdasarkan pernyataan Ayer tersebut dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya prinsip verifikasi bermaksud untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dan bukannya untuk menentukan suatu criteria kebenarannya. Suatu ungkapan yang bermakna dapat benar dan juga dimungkinkan dapat juga salah. Seseorangyang menyatakan bahwa Surabaya adalah Ibu Kota Negara Republik Indonesia, ungkapan tersebut salah akan tetapi ungkapan tersbut bermakna, sebab ketidakbenarannya dapat ditetapkan. Akan tetapi kalau suatu ungkapan hari ini cuaca lebih bagus daripada di luar. Ungkapan seperti itu tidak bermakna karena tidak mungkin ditentukan benar atau salahnya dan tidak memungkinkan dilakukan verifikasi. Menurut Ayer suatu ungkapan itu bermakna bilamana suatu ungkapan itu merupakan observation statement artinya merupakan suatu pernyataan yang menyangkut realitas inderawi. Dengan lain perkataan dikatakan bermakna bilamana dilakukan berdasarkan observasi atau verifikasi,a tau sekurang-kurangnya memiliki hubungan dengan observasi. Agar supaya ungkapan itu bermakna maka perlu kita dapat menunjukkan kepada suatu hal empiris atau dengan lainperkataan memerlukan suatu fakta atau data empiris (Bertens, 1981:35). Berbeda dengan tokoh-tokoh positivism lingkungan Wina, Ayer menekankan dua macam pengertian verifikasi yaitu (1) verifikasi dalam arti yang ketat (strong verifiable), yaitu sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung oleh suatu pengalaman secara meyakinkan. (2) verikasi dalam arti yang lunak, yaitu jikalau suatu proposisi itu mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan (Ayer, 1952:37).

Selain ungkapan-ungkapan yang berdasarkan data empiris terdpat pula satu ungkapan atau proposisi yang bermakna yaitu proposisi matematika dan logika. Misalnya 44:11 = 4, sudut yang bertolak belakang sama besarnya, bujur sangkar memiliki empat sisi yang sama dan lains ebagainya, adalah benar tanpa melalui verifikasi empiris. Ungkapan-ungkapan matematika dan logika itu tidak mengungkapkan realitas inderawi sehingga tidak dapat diverifikasi atas dasar pengalaman. Maka untuk menentukan benar tidaknya suatu ungkapan matematika dan logika maka kita tidak dapat meninggalkan bahasa karena kebenarannya, sehingga kebenarannya bersifat pasti atau bersifat tautology. Tentu saja Ayer harus mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip verifikasi. Tidak perlu suatu ungkapan baahasa itu diverikasi secara langsung, misalnya dapat pula melalui suatu kesaksian seseorang yang dpat dipercaya. Dalam masalah ini Ayer menerima kebenaran atas kesaksian tersebut sebab kalau demikian maka semua ungkapan bahasa pad amasa lampau akan menjadi tidak bermakna. Dalam pengertian inilah maka terdapat tempat bagi prinsip verifikasi atas kebenaran fakta-fakta sejarah. Misalnya ungkapan Undang-undang Dasar 1945 disyahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, hal itu dapat diterima sebagai suatu ungkapan yang bermakna karena misalnya berdasarkan kesaksian seorang tokoh pendiri Negara RI. Demikian juga suatu ungkapan bahasa itu disebut bermakna, tidak harus ungkapan itu diverifikasi secara factual, namun jikalah ungkapan bahas aitu secara principal memiliki kemungkinan untuk diverifikasi. Misalnya suatu ungkapan bahwa di planet mars terdapat makhluk hidup sejenismanusia, hal itu bermakna walupun secar factual belum pernah dilakukan suatu verifikasi namun memiliki suatu kepastian bahwa ungkapantersebut secara prinsip memiliki kemungkinan untuk diverifikasi. Verifikasi juga tidak harus dilakukan secara lengkap melainkan sebagian saja dan hal ini sangat dilakukan dalam verifikasi dalam bidang ilmu-ilmu alam dan fisika. Misalnya untuk mengetahui bahwa dalam segelas air itu mengandung larutan gula maka cukup dengan hanya melakukan verifikasi untuk setetes air saja. Demikian juga untuk mendapatkan suatu

hukum umum bahwa semua logam kalau dipanasi memuat, maka tidak perlu melakukan eksperimen untuk seluruh logam. Secara hati-hati Ayer menentukan berbagai macam prinsip verifikasi yang nampaknya lebih rinci dibandingkan dengan para pengembangnya di lingkungan Wina. Keyakinan atas prinsip verifikasi ini memiliki konsekuensi bahwa ungkapan-ungkapan metafisis adalah tidak bermakna. Reaksi Ayer justru lebih radikal dibandingkan dnganpara tokoh lainnya. Menruut Ayer semua ungkapan bahasa teologi, etika ,estetika, aksiologi, ontology, filsafat manusia pad ahakikatnya adalah omong kosong atau nirarti. Ungkapan bahasa seperti Tuhan adalah pencipta segala sesuatutermasuk alam semesta, setiap manusia harus berbuat baik terhadap sesamanya, lukisan itu memiliki nilai yang tinggi, nilai itu adalah bersifat objektif dan ungkapan metafisis yang lainnya pada hakikatnya tidakmengungkapkan suatu realitas empiris sama sekali sehingga ungkapan itu sma sekali tidak bermakna, a statement wich is not relevant to experienceHas no factual content. Walaupun reaksi terhadap metafisika telahdilakukan oleh Russel dan Moore namun karena konsepnya yang sangat radikal maka filsafat Ayer dikenal juga sebagai suatu radikalisme Bertrand Russel (Bertens, 1981:36). Pada perkembangan berikutnya filsafat positivism Ayer ini cukup mendapatkan respon yang sangat hangat di kalangan filsuf, baik yang bernada memberikan dukungannya maupun para teolog yang memberikan reaksi menentangnya. Diskusi mulai marak terutama berkaitan dengan prinsip-prinsip verifikasi yang dalam kenyataannya untuk diterapkan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan masih memerlukan pemikiran yang cermat serta rincian yang bersifat rigorous.

K. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy) Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidakpuasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealism terutama kalangan teolog, yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika. Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak problem-problem filsafat dapat diselesaikan

melalui analisis bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan pusat perhatian kalangan filsuf analitika. ungkapan-ungkapan metafisika mendapat perhatian yang serius bahkan pada aliran atomisme logis dan positivism logis ingin membersihkan filsafat dari metafisika. Untuk itu mereka memiliki proyek yang spektakuler dan sangat ambisius yaitu ingin mewujudkan suatu bahasa yang ideal, yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang sesuai dengan struktur logika dari realitas dunia. Dalam masalah ini Wittgenstein dlam karyanya Tractatus Logico Philosophicus merupakan karya yang besar yang menekankan tentang logika bahasa. Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada aspek semantic bahasa, sehingga melalui kategori-kategori logika mereka menentukan bahasa yang bermakna atau bahasa yang tidak bermakna. Mereka dengan keyakinan yang kuat menyatakan bahwa berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan penganut idealism terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika dan terutama ontology pada hakikatnya tidak bermakna. Ungkapan-ungkapanmetafisika itu sebenarnya tidak mengungkapkan realitas empiric, oleh karena itu ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya adalah nirarti atau sama sekali tidak bermakna. Reaksi yang sangat radikal dari kalangan atomisme logis dan prinsip verifikasi positivism logis tersebutmemang sempat menggemparkan dunia pemikiran filsfat di Eropa terutama di Inggris, bahkan Ludwig Wittgenstein sendiri mendapat gelar doktornya karena karyanya Tractatus Logico Philophicus. Begitu juga gurunya Bertrand Russell yang dengan tegas menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan bahasa metafisika pada hakikatnya adalah omong kosong belaka, karena sama sekali tidak melukiskan suatu realitas dunia, dan tidak melukiskan suatu kebenaran peristiwa secara empiris. Namun dengan dasar-dasar yang kuat para tokoh filsfat analitik yang mendasarkan aspek semantic bahasa melalui struktur logika, mereka lupa ahwa aspek semantic sendiri memiliki sifat metafisis tidka dapat mati dengan indra manusia. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam filsafat atomisme logis sendiri terkandung suatuprinsip metafisika. Hal ini sebagaimana diakui sendirioleh Russel yaitu bahwa teori atomisme logis ingin menjelaskan

suatu struktur hakiki bahasa yang sepadan dengan dunia, atau dengan kata lain perkataan teori ini ingin mengungkapkan bahawa bagaimana akhirnya dunia diasalkan kepada fakta-fakta atomis. Hal yang demikian ini jelas merupakan suatu pendapat yang bersifat metafisis. Bahkan sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran Russell itu sama sekali tidak berdasarkan pada data-data empiris, melainkan berasal dari suatu analisis melalui bahasa. Dengan demikian Nampak jelas bagi kita bahawa metafisika ynag terkandung dalam teori Russell itu merupakan suatu pluralism radikal, dalam sejarah filsafat analitika bahasa. Begitu juga pemikiran Wittgenstein melalui Tractatus yang mendasarkan pada aspek semantic bahasa dengan menekankan struktur logika dalam kenyataannyajuga terkandung di dalamnya dasar-dasar metafisika. Formulasi logika bahasa menemui berbagai macam keterbatasan dan kesulitan, sehingga ia sendiri menyatakan bahwa setiap orangyang membaca tractatus akhirnya akan sampai pada suatu titik di mana ia akan mengerti bahwa ungkapan-ungkapan bahasa dalam tractatus sebenarnya tidak bermakna. Hal itu dikatakan oleh Wittgenstein dianalogikan seperti orang yang memanjat melalui tangga dan setelah sampai pada tujuannya maka tangga tersebut dibuangkan (Bertens, 1981:47).

Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II Philosophiecal Investigations

Konsep pemikiran filsafat Wittgenstein periode II tertuang dalam suatu karyanya yang berjudul Philosophical Investigations. Karya Wittgenstein periode II ini memiliki corak yang berlainan bahkan bertolak belakang dengan Tractatus mendasarkan pada semantic dan memiliki formulasi logika. Pada karyanya yang kedua ini ia menyadari bahasa diformulasi logika. Pada karyanya yang kedua ini ia menyadari bahawa bahasa diformulasikan melalui logika sebenarnya sangat tidak mungkin untuk dikembangkan dalam filsafat, bahkan dalam berbagai kehidupan

manusia terdapat berbagai macam konteks yang tidakmungkin hanya diungkapkan melalui formulasi logika bahasa. Segi pragmatic bahasa dalam kehidupan sehari-hari semakin disadari oleh Wittgenstein sehingga terdapat sejumlah bahasa yang digunakan dalam berbagai macam konteks kehidupan. Pengakuan atas kelemahan pada karya besarnya yang pertama diungkapkannya dalam kata pengantar karyanya yang kedua Philosophical Investigations (PI), yang menyatakan bahwa:empat tahun yang lalu ia berkesempatan membaca kembali karyanya yang pertama dan dijelaskannya bahwa ide yang terkandung didalamnya ingin ditampilkan sekaligus dengan pemikiran-pemikiran yang pertama. Dengan demikian Wittgenstein sebagai seorang filsuf secara jujur mengakui kelemahan dan kesalahan pada karyanya yang pertama. Dalam pemikirannya yang kedua Wittgenstein mengkritik

pendapatnyayang pertama yang berkaitan dengan struktur hakikat bahasa. Dalam Tractatus Wittgenstein menganggap bahwa bahasa sebagai suatu kumpulan besar yang tak terbatas dari proposisi-proposisi yang sederhana atau yang atomis. Proposisi atomis pada hakikatnya menggambarkan realitas fakta atomis yaitu keberadaan suatu peristiwa yang paling sederhana yang memiliki satu saja analisis yang lengkap. Dengan demikian sebuah proposisi itu adalah sebuahfungsi kebenaran (truth function) dari proposisi elementer. Makna dari sebuahproposisi itu adalah kenyataannya yang sesuai dengan fakta atau kebenaran suatu peristiwa. Dalam Philosophical Investigations ia menolak pendapatnya yang pertama. Menurutnya bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pertanyaanpertanyaan, perintah, pengumuman dan banyak lagi gejala-gejala yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terdapat banyak sekali jenis-jenis yang berbeda di dalam penggunaan bahasa (Poerwowidagdo:65). Berkaitan dengan masalah ini Wittgenstein berkata: Adalah sangat menarik untuk membandingkan kemajemukan dari alat-aat dalam bahasa dan berbagai cara yang digunakannya, kemajemukan jenis-jenis kata dan kalimat dengan apa yang dikatakan oleh ahli logika

tentang

struktur

bahasa

termasuk

pengarang

Tractatus

Logico

Philosophicus (lihat Wittgenstein, 1983:23). Lebih lanjut ia juga menyatakan:kita melihat bahwa apa yang kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya bayangkan, akan tetapi lebih merupakan kelompok struktur yang kurang lebih saling berhubungan antara satu dengan lainnya (Wittgenstein, 1983:108). Demikianlah Wittgenstein semakin sadar bahwa dalam kenyataannya bahasa sehari-hari pada hakikatnya telah cukup dalam upaya untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofis.

1. Tata permainan Bahasa (Language Games) Philosophical Investigations adalah merupakan suatu bentuk filsafat bahasa biasa yang paling kuat, sekaligus sebagai penunjuk jalan atas terbukanya pemikiran filsafat yang menaruh perhatian terhadap bahasa biasa (ordinary language). Buku karya Wittgenstein tersebut berisi banyak thesis ban berbagai jenis pernyataan-pernyataan, ada yang telah dikembangkan lebih lanjut dan terdapat juga ungkapan-ungkpaan kapan yang masih orisinal. Salahs atu tesis pokok sebagai esensi dari pandangan Wittgenstein yang ke II adalah bahwa makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya di dalam hidup. (P.l.,par. 340). Karya Wittgenstein yang ke II ini lebih menekankah pada aspek pragmatic bahasa atau dengan perkataan lain lebih meletakkan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam hidup manusia. Bahasa tidak hanya memiliki satu struktur logis saja melainkan segi penggunaannya dalam hidup manusia yang bersifat kompleks yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian tugas fisafat adalah menguraikan dan menerangkan bahasa dan tidak melakukan interfensi didalamnya. Dalam masalah ini Wittgenstein mengemukakan sebagai berikut:

Dalam banyak kasus meskipun tidak semuanya, di mana kita memakai kata, makna itu dapat didefinisikan sebagai berikut: Bahwa makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa (p.I. par. 43). Orang tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi orang hanya harus melihat penggunaannya dan belajar dari padanya (P.I. ar. 340). Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya. Berdasarkan pemikiran-pemikirannya Wittgenstein sebenarnya membuka suatu cakrawala dari dalam berfilsafat yaitu tidak lagi didasarkan kepada bahasa sehari-hari,yaitu bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari (ordinary language). Oleh karena itu kehidupan sehari-hari itu bersifat kompleks yaitu meliputi berbagai macam bidang kehidupan maka penggunaan bahasa pun juga meliputi bermacammacam penggunaan dan bentuk kalimatnya pun juga meliputi bermacam-macam. Banyaknya jumlah senantiasa berkembang dantidak tetap, sehingga senantiasa muncul jenis-jenis bahasa baru yang sili berganti dan yang lama menjadi terlupakan. Istilah language games (tata permainan bahasa) dipakai oleh Wittgenstein dalam arti bahawa menurut kenyataan penggunaannya, bahasa merupakan sebagaian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Jadi kita dapat melihat jamaknya atau majemuknya permainan bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam contoh sebagai berikut: Memberikan perintah dan mentaatinya, menguraikan keadaan suatu benda atau menyebutkan ukurannya. Melaporkan keadaan suatu peristiwa. Menyusun dan membuktikan suatu hipotesis. Melaporkan hasil pengujiand alam bentuk table dan diagram. Mengarang suatu cerita, menjawab teka teki, bersendagurau, membuat lelucon,

memecahkan suatu soal hitungan secara praktis, menterjemahkan bahasa dari bahasa ke bahasa lain. Bertanya dan berterima kasih, mengucapkan salah, berdoa damasih banyak ragam bahasa lainya (P.I. prg. 23). Setiap ragam permainan bahasa mengandung aturan permainan bahasa yang mencerminkan cirri atau corak khas dari permainan bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu perhatian kita dalam masalah ini diarahkan untuk membandingkan keanekaragaman alat0alat dalam bahasa (dalam masalah ini adalah unsure-unsur bahasa) dan cara penggunaanya yang meliputi jenis-jenis dan kalimat. Keanekaragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu. Oleh karena itu setiap konteks kehidupan manusia menggunakan bahasa tertentu yang memiliki aturan-aturan main tertentu. Sebagaimana layaknya permainan amaka terdapat seperangkat aturan yang harus dipatuhi yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraa permainan tersebut. Hal itu dilukiskan oleh Wittgenstein dalam bukunya melalui contoh sebuahpermainan catur sebagai berikut: Suatu permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan dalam suatu permainan catur manakala telah ditentukan bahwa raja memegang peranan yang sangat penting, maka ketentuan itu merupakan bagian yang esensial dalam permainant ersebut. Apakah kita dapa melanggar atuaran yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahawa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu . barangkali kita tidak memahami aturan tersebut secara petunjuk yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah kedepan) sebelum menggerakkan buah catur. Jikalau kita menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan memahami tentang maksud dan tujuan suatu aturan, (apakah aturan ini untuk mencegah kita melakukan sesuatu tanpa suatupertimbangan yang pasti) (P.I. prg.567). Analog dengan yang dikemukakan oleh Wittgenstein itu menunjukkan, bahwa dalam berbagai macam permainan terdapat aturanaturan main tersendiri yang aturan tersebut harus ditaati dan harus

merupakan pedoman dalam tata permainan. Dalam pengertian ini dimaksudkan oleh Wittgenstein selain permainan catur masih terdapat banyak permainan-permainan lainnya antara lain, bola volley, sepak bola, tenis dan lain sebagainya yang masing-masing juga memiliki aturan-aturan main sendiri-sendiri. Demikian pula halnya dengan tata permainan bahasa. Setiap

bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan dengan tata aturan (ragam) ilmiah misalnya, memmiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuanketentuan yang harus dipatuhi oleh masyarakat ilmiah. Penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah tidak dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam santai. Sebab ragam santai memiliki atuaran tersendiri. Demikian pula hal itu berlaku sebaliknya tata permainan dalam koneks bahasa santai tidak dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam ilmiah. Kekacauan akan timbul manakala kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan bahasa lainnya. Oleh karena itu mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagaimacam konteks kehidupan manusia. Dalam pengertian inilah Wittgenstein menyadari akan kelemahan konsepnya yang pertama yang memiliki obsesi untuk membangun bahasanya yang pertama yang memiliki obsesi untuk membangun bahasa ideal yang terstruktur secara logis yang melukiskan susunan logis realitas dunia. Dengan demikian kita sampailah pada suatu kesimpulan tentang penggunaan bahasa sebagai berikut: Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat adalah tergantung penggunaanya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup (P.I. prg. 23). Dalam ilmu bahasa memang kita memilikimakna leksikal akan tetapi tidak memilikimakna informasi hanya terbatas sebagai suatu symbol saja, sehingga sebenarnya terdapat kata yang maknanya tidak menunjukkan suatu realitas kehidupan misalnya kata :kemudian,

atau, bilamana, ajar dan banyak kata lainnya. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan segi pramatik bahasa yaitu penggunaan bahasa dalam hidup manusia, maka sebuah kata sangat tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, demikian pula makna sebuah kalimat pada hakikatnya sangat tergantung penggunaannya dalam bahasa (wacana) dan akhirnya makna bahasa itu sangat tergantung pada penggunaannya dalam hidup manusia. Kehidupan manusia yang bersifat kompleks yang meliputi berbagai bidang dan meemiliki sifat dinamis dengan sendirinya memiliki beragaimacam aturan dan hal tersebut terlukiskan melalui bahasa. Dalam pengertian inilah maka bahasa akan memiliki makna manakala mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapt dalam setiap konteks kehidupan manusia, yang sifatnya beranekaragaman dan tidak terbatas. Dalam kehidupan sehari-hari, acapkali kita menjumpai kata atau ungkapan bahasa yang sama namun dipergunakan dalam pelbagai bidang kehidupan atau dipergunakan dalam pelbagai bentuk permainan bahasa. Menurut Wittgenstein hal itu dapat saja terjadi yaitu bahasa menghasilkan hal yang bersifat umum. Namun demikian fenomena konteks kehidupan yang dilukiskan melalui bahasa tesebut bukanlah sesuatu pengertian yang bersifat umum. Hal itu terjadi karena sesungguhnya kata atau ungkapan itu dihubungkan dalam banyakcara yang berbeda (P.I. prg. 65). Sehubungan dengan permasalahan ini Wittgenstein menguraikan contoh aneka kemiripan keluarga sebagai suatu analog sebagai berikut: Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk menggambarkan sifat atau kalimat, yang dipergunakan dalam banyak cara selain aneka kemiripan keluarga. Aneka kemiripan di antara anggota-anggota keluarga itu terlihat pada bentuk sifat, warna mata, sikap, temperamenya, dan lain sebagainya. Walaupun nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama, dan hal ini sebagai bentuk permainan bahasa dalam sebuah kemiripan keluarga (P.I. prg. 67).

Penggunaan kata atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki makna yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang sifatnya umum. Walaupun secara struktur ungkapan kalimat atau kata memiliki kemiripan namun dalam penerapan dan penggunaan yang berbeda dan sangat tergantung kepada konteks kehidupan yang berkaitan dengan ragam bahasa tertentu. Oleh karena itu meskipun mengandung suatu kemiripan yang bersifat umum namun maknanya yang sangat tergantung pada cara penggunaannya dan konsekuensinya juga sangat tergantung pada game atau aturan main dalam konteks penggunaan tersebut dalam kehidupan manusia. Hal ini banyak kita temukan pada kata-kata dieksis seperti aku, engkau, dia dan lain sebagainya. Penggunaan kata-kata tersebut sangat tergantung pada konteks dalam kehidupan manusia, situasi maupun kondisinya. Dalam kaitannya dengan etika bahasa misalnya kata engkau yang digunakan dalam konteks penutur yang memiliki tingkatan yang sama atau misalnya sesame teman akraba, maka hal itu justru akan menimbulkan makna yang akrab, maka hal itu justru akan menimbulkan makna yang akrab dan kekeluargaan. Namun kiranya akan menjadi berbeda misalnya kata engkau digunakan dalam penuturan dengan seorang raja atau seorang pejabatn tinggi dalam suatu Negara. Demikian juga ungkapan sebagai kata perintah bersiap bagi konteks penerapan dalam baris berbaris walaupun orng kedua dalam penuturan tersebut seorang presiden pada waktu upacara jari besar tertentu maka hal itu memiliki makna yang sopan dan lazim. Namun bilamana kata tersebt digunaakn dalam konteks formal misalnya di kediaman istana kepresidenan maka ungkapan tersebut menjadi bermakna lain bahkan akan dirasakan tidak sopan dan arogan. Hal tesebut terjadi tidak lain karena aturan (game) yang berlaku berbeda. Jadi walaupun terdapat ungkapan yang sama namun maknanya tetap tergantung pad penggunaan dalam situasi atau konteks yang bersangkutan yang memiliki aturan masing-masing.

2. Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat Kalau pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan timbul karena para filsuf yang menggunakan bahasa kurang tepat dalam mengungkapkan realitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapanungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu realitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa. Namun demikian melalui konsep tata permainan bahasa ia berupaya menunjukan berbagai macam kelemahan bahasa dalam filsafat. Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsfat timbul karena terdapat kekacauan dalam penerapan tata permainan bahasa. Bahasa sehari-hari pada hakikatnya telah cukup untuk maksudmaksud filsafat, namund alam kenyataannya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan aturan (game) yang ada. Dua hal yang dikemukakan oleh Wittgenstein berkaitan dengan bahasa filsafat tersebut yaitu: Pertama: kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa. Hal itu dikemukakannya oleh Wittgenstein sebagai berikut: Bilamana para filsuf menggunakan kata atau ungkapan misanya knowledge,objeck, I, proposition, name, dan kemudian berupaya menjangkau tingkatan hakiakt segala sesuatu, maka seharusnya kita bertanya pad diri sendiri: apakah kata atau istilah itu telah dipergunakan sesuai dengan aturan permainan bahasa dalam konteks yang bersangkutan. Oleh karena itu yang harus kita lakukan

sekarang adalah mengarahkan kembaliungkapan tersebut dari wilayah aturan metafisika kepada aturan penggunaan bahasa sehari-hari (.P.l. prg. 116). Kedua, adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Kelemahan filsafat yang demikian ini oleh Wittgenstein disebut dengan istilah craving for Generality, yaitu suatu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan kongkrit (entities) yang diletakkan di bawah istilah yang bersifat umum (Wittgenstein, 1972: dalam Mustansyir, 1987;: 87). Atau dengan lain perkataan, kita mencari kesatuan pengeritandalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan ketunggalan dalam kemajemukan (craing for unity) (Pitcher, 1964:198). Ketiga penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat dipahami misalnya keberadaan, ketiadaan, dan lains ebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein menganjurkan agar kita menghindari dan melewati penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami itu dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya nirarti belaka (P.l prg. 464).

3. Tugas Filsafat Bahasa filsafat yang memiliki berbagai kelemahan tersebut pada hakikatnya dapat diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam filsafat, dengan lain perkataan kelemahan bahasa filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Untuk itu terdapat dua macam cara untuk melekatakan filsafat sebagai analisis yaitu : (1) aspek penyembuhan (therapheutics), yaitu dengan cara menghilangkan kekacauan-kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat, (2) aspek metodis, yaitu cara berfilsafat yang seharusnya ditempuh yang hal itu meliputi aspek sebagai berikut:

a) Dalam berfilsafat haruslah meletakkan landasanya pada pengunaan bahasa

sehari-hari, dengan memperhatikan secara teliti aturan-aturan permainan bahasa.


b) Upaya untuk keluar dari kemelut kekacauan filsafat yang diakibatkan oleh

kekacauan penggunaan bahasa, yang diberatkan Wittgestein seperti seekor lalat yang terjebak dalam sebuah botol yang bening, sehingga seakan-akan berada di dunia luar akan tetapi sebenarnya terperangkap dalam ruangan botol tersebut. Oleh karena itu menurut Wittgenstein untuk mengatasi kekacauan tersebut haruslah melalui penampakan jalannya bahasa, yaitu bukannya dengan melalui keterangan baru melainkan menyusun kembali apa yang telah kita ketahui. c) Metode analisis bahasa harus diletakkan dalam posisi yang netral artinya tidak turut campur dalam memberikan interpretasi filosofis yaitu memberikan penafsiran tentang realitas. Filsafat tidak turut campur dalam memberikan interpretasi, hanya memberikan atau memaparkan secara objektif, sebab filsafat tidak dapat memberikan dasar apapun. Filsafat membiarkan segala sesuatu sesuai dengan apa adamnya (lihat Bakker, 1984:130). Demikianlah pemikiran filsafat Wittgenstein periode yang kedua yang bertolak belakang dengan pemikirannyayang pertama. Pada pemikirannya yang kedua ini ia meletakkan pluralitas bahasa dalam aspek pragmatisnya, sehingga dalam pengertian ini bahasa sehari-hari merupakan dasr utama bagi upaya filsafat. Namun satu hal yang menarik adalah bilamana ia dalam periode pertama dalam karyanya Tractatus, ia menolak dengan radikal tentang ungkapan metafisika bahkan secara tegas menghilangkan metafisika namuns ecara filosofis konsepnya pun teatp mengandung suatu metafisika. Namun dalam pemikirannyayang kedua ia memang tidak menolak metafisika, dan berdasarkan konsep analitika bahasanyayang mendasarkan pada aturan language games maka dapat dipastikan bahaw menurutnya ungkapanungkapan metafisis adalah bermakna dalam aturan dan konteks tata aturan bahasa dalam metafisika tersebut. Betapapun demikian

nampaknya dia tetap tidak mau menampakkan dasar metafisikanya dalam konsepnya yang kedua tersebut. Hal itu dikuatkan dengan konstatasinya bahawa tugas filsafat adalah memberikan sesuai dengan apa adanya dan tidak turut campur di dalamnya dan filsafat bukanlah sekumpulan ajaran atau dogma melainkan hanya memberikan analisis dan penjelasan saja. Akhirnya konsep Wittgenstein itu adalah merupakan karya besar yang mampu mengubah wajah filsafat di Eropa terutama di Inggris walaupun memiliki kelemahan mendasar (Kaelan, 2002:37,154).

L. Beberapa Filsuf Dari Oxford Corak baru pemikiran filsafat yang dirintis oleh Bertrand Russell, Moore dan Wittgenstein, dapat mengubah wajah filsafatInggris terutama yang berpusat di Oxpord dan Cambridge. Sejak dikembangkannya filsafat bahasa biasa Ludwig Wittgenstein pengaruhnya cukup kuat pada perkembangan pemikiran filsafat di Inggris pada abad XX, bahkan meluas ke Eropa dan Amerika. Tradisi di Oxpord sebenarnya memang cukup ketat sebab filsuf yang bukan professor dari universitas Oxpord lazimnya sangat sulit untuk mendapatkan tempat di Oxpord. Namun demikian walaupun lambat akan tetapi pengaruh filsafat bahasa biasa Wittgenstein cukup kuat dan bahkan dikembangkan dengan berbagaimacam modifikasi, antara lain filsfu yang terkenal di Oxpord yaitu: Gibert Ryle, John Langshaw Austin dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf Oxpord tersebut lazimmnya juga mendapatkan pendidikan filsafat Yunani dan mereka kebanyakan juga memiliki latar belakang pendidikan filologi klasik dan linguistic sehingga tidak mengherankan kalau hal itu sangat mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Namun hampir dapat dikatakan bahwa semua pemikiran filsafatnya. Namun hampir dapat dikatakan bahwa semua filsuf oxpord kebanyakan meneruskan tradisi filsafat bahasa biasa.

1. Gilbert Ryle Gilbert Ryle seorang filsuf Oxford yang memiliki reputasi filsafat yang cukup besar. Melambungnya nama Ryle nampaknya mercusuar filsafat Inggris berpindah dari Cambridge ke Oxford. Ryle yang pernah mendapat pendidikan bahasa terutama filologi klasik pada tahun 1945 menjadi Profesor di Oxford dan pada tahun 1947 ia menggantikan Moore sebagai pimpinan majalah Mind sampai tahun 1971. Pemikiran filsafat Ryle mendasarkan pada filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy). Warna filsafat Ryle Nampak adanya pengaruh dari pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam hal titik tolaknya pada bahasa biasa, sedangkan prinsip analisisnya menunjukkan garis lurus pada prinsip analsisis Moore Ryle memang mendasarkan pada prinsip filsafat bahasa biasa, namun demikian Nampak unsure logika juga mempengaruhi pemikirannya. Hal ini Nampak pada bukunya yang paling popular yaitu The Concept of Mind, yang antara lain ia membahas dan menganalisis berbagai macam penggunaan bahasa sehari-hari terutama dalam filsafat yang sering terjadi kekeliruan kategori atau dikenal dengan istilah category mistake. Berdasarkan pemikiran filsafatnya itu terdapat suatu kemungkinan ia memadukan prinsip atomisme logis dengan filsafat bahasa biasa melalui suatu analisis bahasa. Memang terdapat suatu perbedaan dengan atomisme logis yang mendasarkan pada bahasa ideal dengan struktur logis yang menggambarkan struktur logis realitas duni. Ryle tidak mendasarkan pada struktur logika bahasa melainkan ia memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip logika, yaitu sering terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari menyalahi prinsip-prinsip logika.

a. Kekeliruan Kategori (Category Mistake)

Karya Filsafat Ryle yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Concept of Mind adalah merupakan karya yang

terpenting di Inggris dalam periode setelah perang dunia kedua. Dalam karyanyaini ia membahas tentang konsep-konsep yang menyangkut hidup psikis, seperti misalnya pencerapan, persepsi, fantasi, pengingatan, pemikiran, pengertian, kehendak, motif dan lain sebagainya. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari Ryle menganalisisnya secara terinci dan mendalam, dan dengan demikian banyak ditemukan kekacauan dan kekeliruan dalam filsafat dan pada akhirnya dapat segera dilakukan pembenaran-pembenaran serta kesalahan dapat disingkirkan. Menurut Ryle pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah kekeliruan mengenai kategori (category mistake). Kekeliruan terjadi dalam penggunaan bahasa dalam melukiskan fakta-fakta yang termasuk kategori satu dengan menggunakan cirri-ciri logis yang menandakan kategori lain (Bertens, 1981:54). Misalnya seorang anak yang pergi ke kebun binatang dan melihat singa, harimau, gajah, kijang dan banteng, kemudian ia mengatakan bahwa berikutnya ia inginmelihat binatang menyusui. Penggunaan bahasa ini adalah merupakan suatu kekeliruan kategori (category mistake) sebab binatang-binatang menyusui tidak berada di samping singa, harimau, gajah, kijang dan banteng yang pernah dilihatnya. Menurut Ryle dalam filsafat penggunaan bahasa sehari-hari sering juga terjadi kekeliruankategori sehingga persoalan-persoalan filsafat seringkali timbul karena kekeliruan tersebut. Analisis tentang penggunaan bahasa sehari-hari dalam filsafat dilakukan Ryle antara lain terhadap konsep Descartes. Menurut Ryle filsafat Descartes tentang manusia bertumpu pada suatu category mistake. Pandangan Descartes tentang manusia mendasarkan pada pandangan yang dualistic yaitu dua substansi yang berbeda yang meliputi roh atau substansi berpikir (res cogitans) dan materi atau substansi yang meluas yang disebut (res extensa). Manusia mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk yang berpikir (cogito) yang tidak bersifat kebendaan jadi merupakan suatu substansi yang ekkal, dan juga mengenal dirinya sebagai suatu

kesadaran. Di lain pihak terdapat substansi yang kedua, yaitu yang tidak berpikir yang bersifat kejasmanian yang bersifat lapang dan meluas. Perubahan yang terjadi pada dunia jasmani ini dapat diterangkan atas dasar-dasar kausal mekanis yang murni. Dunia keluasan inilah dipandangnya sebagai dunia mesin yang memiliki sifat-sifat mekanis. Hal yang memiliki sifat yang demikian ini termasuk juga binatang yang pada hakikatnya tidak memiliki kesadaran danmemiliki system yang otomatis mekanis dan tidak memiliki roh atau jiwa. Realitas tentang manusia yang demikian ini menurut Ryle merpakan dua unsure yangmemiliki corak logis atau kategori yang berbeda, dan sangat janggal bilamana merpakan suatu kesatuan yang harmonis. Dalam hubunganini Ryle mengungkapkan sebagai the myth of the ghost in the machine, sebagai suatumitos tentang hantu dalam sebuah mesin (Ryle, 1983:23). Filsafat Ryle ini merupakan suatu kritik yang sangat tajam pada konsep Rene Descartes, yang pada saat itu lazimnya merupakan dasar tumpuan dari konsep manusia. Secara ontologism konsep Descartes tersebut bahwa manusia mempunyai jiwa atau raoh dan dengan cara yang sama dia juga memiliki tubuh atau raga. Roh atau jiwa itu secara logis dapat dibandingkan dengan tubuh pada hal dalam kenyataannya memiliki eksistensi yang berbeda dan tidak terbuka bagi orang lain dan hanya dikenal melalui introspeksi. Para filsuf mengakui bahwa intelegensi manusia misalnya merupakan suatu hal yang dikuasai oleh hukum-hukum yang lain. Namun mereka keliru dalam mengandaikan melalui bahasa bahwa kata intelegensi itu menunjuk kepada suatu hal, pada hal fungsi intelegensi menurut Ryle hanyalah melukiskan tingkah laku seseorang. Dengan maksud memperlihatkan secara kongkret bagaimana para filsuf mencampuradukkan kategori-kategori yang berlainan. Ryle membedakan pelbagai jenis kata, misalnya menurutnya perlu dibedakan kata-kata yang menunjuk pada suatu disposisi (mengerti bahasa perancis misalnya) misalnya dengan kata-

kata yang menunjuk pada suatu peristiwa (mendengarkan siaran radio berbahasa perancis). Suatu ungkapan ia tidak merokok misalnya dapat dipakai dalam dua arti tadi yaitu untuk menunjukan suatu disposisi bahwa (ia sudah biasa tidak merokok) atau untuk menunjuk suatu kejadian kongkrit (ia sekarang tidak merokok). Dalam masalah ini penggunaan bahasa sehari-hari oleh para filsuf sering terjadi makna yang satu berpindah kepada makna yang lainnya (kedua). Analisis yang diungkapkan oleh Ryle adalah perbedaan antara task verb dengan achievement verb, yaitu kata kerja yang mengacu pada suatu tugas dan kata kerja yang mengacu pada suatu hasil. Dua kata kerja ini sering digabung sebagai pasangan. Kalau demikian maka suatu aktivitas yang sama diucapkan dengan cara yang berlainan oleh dua jenis kata kerja itu, jadi kita tidak perlu mengandaikan dua aktivitas. Beberapa contoh kata misalnya mencari, mendapatkan, mendengarkan, mendengar, menengok, melihat. Contoh yang lain misalnya bilaman seseorang mengungkapkan bahwa seorang atlit lari seratus meter dan menang. Dalam hal ini kita menggunakan dua macam istilah yaitu lari sebagai suatu task verb, adapun menang adalah sebagai achievement verb. Hal ini perlu disadari bahwa achievement verb itu tidaklah menunjukan suatu akvititas di samping lari tetapi suatu hasil yang diperoleh dari lari. Atlit itu tidak berbuat dua hal, pertama lari dan kedua menang, melainkan ia hanya melakukan satu hal saja yaitu lari sekuat tenaga dan menang. Dengan analisis-analisis serupa itu Ryle mengkritik dengan keras dualism sebagaimana konsep Rene Descartes dan berupaya menghindari monism materialistis tentang manusia. Kata-kata psikis tidak menunjuk pada suatu taraf hidup yang tersembunyi bagi pihak lain. Namum kepada suatu tingkah laku yang dapat diamati oleh setiap orang, tetapi hal itu tidak berarti bahwa filsafat Ryle sendiri luput dari segala kesulitan terbesar bagi Ruyle, yaitu bahwa ia

terjebak

pada

behaviorisme,

meski

ia

berupaya

untuk

menghindarinya (Bertens, 1981:56).

b. Bahasa Biasa (The Ordinary Language)

Filsafat bahasa biasa yang mendasarkan pada suatu konsep bahwa masalah-masalah filsafat dapat diselesaikan dan dijelaskan melalui analisis bahasa. Mereka lazimnya mendasarkan bahwa bahasa biasa, yaitu bahasa sehari-hari pada hakikatnya telah cukup untuk melakukan analisis filsafat. Namund emikian perkembangan konsep filsafat bahasa biasa sampai pada priode Ryle belum pernah ada filsuf yang berupaya untuk mendeskripsikan tentang penggunaan bahasa biasa beserta pembedaan-pembedaannya, dan dalam kesempatan inilah Ryle berupaya untuk mengungkapkan penggunaan bahasa biasa. Menurut Ryle perlu dibedakan antara penggunaan dari bahasa biasa (the use of ordinary language) dan penggunaan bahasa yang biasa (the ordinary linguistic usage), dan antara penggunaanyang baisa dari ungkapan (the ordinary use of the expression). Bilamana kita membahas penggunaan bahasa biasa maka perlu diperjelas pengertian luar biasa, esoteris, teknis, puitis, notasional, atau bahkan dimaksudkan bahasa kuno. Pengertian biasa (ordinary) dapat berarti umum (common) atau yang sedang belangsung (current), bahas pergaulan sehari-hari (colloquial), atau bahasa harian, bahasa yang sederhana (vernaculler), bahasa alamiah (natural language) dan hal inilah yang harus dijernihkan dalam penggunaan bahasa. Filsafat bahasa biasa menurut yang Ryle pada dari hakikatnya atau

memperhatikan

penggunaan

biasa

bahasa,

penggunaan bahas yang baku, yang standard dan bukannya

penggunan bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari (colloquial language). Oleh karena itu tugas filsafat adalah berkaitan dengan analisis penggunaan yang biasa dari ungkapan-ungkapan tertentu dan bukannya menganalisis bahasa yang digunakan dalam kehidupans ehari-hari. Tujuan dilakukannya analisis bahasa yang baku atau yang standard dalam penggunaan ungkapan-ungkapan dalam filsafat adalah untuk mendapatkan suatu kejelasan yang memadai bagi pengalaman bahasa-bahasa yang baku atau yang standard tersebut (Charlesworth, 1959:180). Hal ini dalam wacana filsafat sering kita jumpai misalnya penggunaan istilah kebenaran keadilan, keberadaan, wajib, keindahan dan banyak istilah-istilah lainnya. Istilah-istilah ini sering kita jumpai dalam bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Namun demikian pengertian serta makna yang terkandung di dalamnya jelas memiliki perbedaan. Oleh karena itu penyimpangan penggunaan yang terjadi dalam ungkapan-ungkapan filsfat itulah yang perlu mendapatkan suat penjelasan yang memadai, dan manakala makna penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut telah disepakai dan dianggap baku dalam filsafat maka persoalan inilah yang mendapat perhatian dalam filsafat bahasa biasa. Ryle berpendapat bahwa banyak diskusi filsafat itu berkaitan dengan persoalan yang menyangkut tentang penggunaan yang biasa dari ungkapan. Dalam pengertian ini persoalan filsafat bahasa biasa berkenaan dengan penggunaan kata, ungkapanatau istilah yang memang bersifat esoteris (khusus). Dalam berbagai macam ilmu pengetahuan banyak dijumpai istilah-istilah yang bersifat teknis dan khusus, misalnya dalam ilmu social, politik, hukum biologi, fisika, matematika, teologia, psikologi, ekonomi, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang diguakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan itu harus dianalisis dengan menggunakan bahasa biasa untuk mendapatkan suatupengertian yang memag bersifat teknis atau khusus. Upaya analisis tersebut untuk memperjelas (to eculidate) penggunaan yang biasa (standard)

dari artian-artian atau istilah-istilah teknis yang sebenarnya cukup biasa dalam ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dalam masalah ini analisis filsafati itu berkenaan dengan penggunaan yang biasa, yang standar atau yang baku, yang dianggap umumd ari suatu ungkapan dalam suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu (Poerwowidagdo:11). Misalnya dalam ilmu hukum istilah wajib memiliki penekanan yang berbeda dengan pengertian wajib dalam bahasa sehari-hari. Istilah wajib dalam ilmu hukum dapat berarti memiliki daya imperative (memaksa), namun wajib dalam pengertian seharihari dapat diartikan keharusan moral. Ungkapan atau istilah permintaan dalam suatu hukum penawaran-permintaan dalam ilmu ekonomi memiliki makna yang berbeda dengan pengertian istilah permintaand alam bahasa sehari-hari. Dalam hal ini yang perlu mendapatkan perhatian dan penekanan adalah kata penggunaan dan bukannya perkataan biasa atau ungkapan. Filsafat bahasa biasa itu berkenaan dengan penggunaan yang biasa, yang standard, yang baku dan yang benar. Hal ini berlawanan dengan penyalahgunaan dan bukannya berkaitan dengan penggunaan yang dilawankan dengan ketidakbergunaan dari ungkapan-ungkapan. Proses analisis ungkapan dalam filsafat bahasa biasa harus memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam penggunaan ungkapan. Satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ungkapan adalah aturan-aturanlogika (rules of logic). Penggunaan (use) itu adalah suatu metode atau cara, yaitu sebuah teknik untuk melakukan sesuatu. Penggunaan ungkapan itu dapat sah atau tidak sah secara logis (yaitu harus sesuai dengan hukum logika),mungkina tau tidak mungkin, penuh arti atau nirarti. Misalnya suatu ungkapan Amin lebih tua dari bapaknya, ia berada di luar rumah tetapi duduk di kamar tengah, dan banyak istilah lain yang tidak sesuai dengan hukum-hukum logika.

Pemikiran Ryle ini memang memiliki cirri khas dibandingkan dengan konsep Moore maupun Wittgenstein. Ia memang menggunakan prinsip-prinsip analisis istilah-istilah dalam filsafat terutama yang digunakan filsuf-filsuf lain namun ia mendasarkan pada prinsip-prinsip logika. Ryle juga mendasarkan pada bahasa biasa dalam konsep filsafat analitika bahasanya sebagaimana dilakukan oleh Wittgenstein, kalau Wittgenstein mendasarkan analisisnya pada bahasa biasa atau bahasa sehari-hari dalam filsafat bahasa biasanya, akan tetapi Ryle brpendapat bahawa analisis filsafat bahasa biasa itu bukannya berkaitan dengan bahasa sehariahari melainkan dengan analisis bahasa yang baku, yang standard, yang benar atau yang biasa.

2. John Langshaw Austin Austin adalah seorang filsuf yang menaruh minat tehadap filsafat bahasa biasa. Filsuf yang juga sebgai professor di univesitas Oxford tersebut namkan meneruskan garis pemikiran filsafat bahasa biasa Wittgenstein. Namun demikian nampaknya Austin sebagai salah satu filsuf yang memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap bahasa biasa dalam arti penggunaanya dalam pergaulan hidup sehari-hari. Menurut Austin kita akanmendapatkan pelajaran yang sangat banyak dari perhatian kita terhadap bahasa sehari=-hari yang digunakan dalam pergaulan hidup. Bahkan menurutnya tidak jarang masalah-masalah filosofis akan Nampak dalam bentuk yang baru jikalau didekati dengan menggunakan unsure-unsur yang terkandung dalam bahasa sehari-hari. Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dengan situasi kongkrit di mana ungkapan-ungkapan kita kemukakan dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Ungkapan yang sering dilontarkan Austin adalah what to say when, yang berarti unsure bahasa (what), dianggap sama pentingnya dengan menamakan konsep itu dengan linguistic

phenomenology, sebab nama itu dinyatakan percobaannya untuk menjelaskan fenomena-fenomena dengan melalui penyelidikan bahasa. Sebagai seorang filsuf bahasa biasa Austinmemiliki perhatian yang khas terhadap penggunaan bahasa biasa, sehingga ia memiliki cirri khas dibandingkan dengan Wittgenstein dan Gilbert Ryle. Wittgenstein mendasarkan pada makna bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam berbagai bidang kehiudpan sehingga dikembangkannya dalam teorinya yang dikenal dengan (language games). Ryle lebih menekankan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan0aturan logika, sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau yang tidak sesuai dengan kategori logika, yang dikenal dengan (category mistake). Ia juga membedakan dan memperjelas filsafat bahasa biasa, yaitu pembedaan istilah penggunaan bahas ayang biasa (the use of ordinary language), dan penggunaan bahasa yang biasa (the ordinary linguistic usage), demikian juga tentang penggunaan yang biasa dari ungkapan (the ordinary use of the expression). Namun Austin dalam pemikiran filsafat bahasa biasanya ia menaruh perhatian dan menekuni tentang pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang (speech acts) tindakantindakan bahasa). Karya yang paling popular adalah Philosophical Papers yang ditulis tahun 1961, yang memuat berbagai macam paper merupakan kumpulan-kumpulan bahan kuliah yang diberikan di universitas Oxford, dan karyayang berupa buku yaitu ; How to Do Things with Words yang ditulis tahun 1962.

1. Pembedaan Ucapan Bahasa Sumbangan Austin yang termasyur dalam filsafat bahasa yaitu pembedaan ucapan performatif (performative utterance) dan

ucapan konstatif (constative utterances.). sebelum Austin kebanyak filsuf hanya ditentukan atas dasar formulasi bahas tertentu misalnya menurut atomisme lgis atau filsafat bahasa biasa Wittgenstein. Kedua ucapan tersebut tidak hanya berbeda dalam ucapannya namun memiliki perbedaan juga dalam hal situasi serta persyaratan yang harus dipenuhinya. Perbedaan tersebut mengandung konsekuensi bagi penuturannya baik penurut 1 maupun 2. Selain itu pembedaan itu memang tidak bersifat mutlak karena pada situasi tertentu seringkali kedua macam ucapan itu memiliki kesamaan. Pemikiran Austin ini merupakan suatu kontribusi yang sangat berharga bagi pengembangan aspek pragmatic pada studi bahasa yang Nampak pada akhir-kakhir ini banyak mendapat perhatian dari kalangan linguis. Pembedaan tentang macam ucapan-ucapan tersebut dikemukakan secara rinci oleh Austin sebagai berikut :

Ucapan Konstatif (Constative Utterance) Bahasa yang digunakan manusia dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam ucapan yang memiliki konsekusensi dalam penggunaannya. Ucapan konstatif adalah salah satu jenis ucapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan factual, ang menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang dikonstatir dalam ucapan tersebut. Dalam pengertian ini ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah, yang nampaknya memiliki kemiripan dengan ungkapan proposisi sebagaimana dikemukkaan oleh kaum atomisme logis. Namun demikian terdapat perbedaan karena konsep Austin walupun cucapan konstatif itu dapat dibuktikan benar atau salahnya oleh si pendengar umum Austin tidak melukiskan fakta melalui ucapan konstatif itu berdasarkan atas konsekuensi ucapan dengan kata yang terjadi yang dilukiskan melalui ucapan konstatif itu terdapat perbedaan karena konsep Austin walaupun ucapan kosntatif itu dapat dibuktikan benar atau salahnya oleh pendengat, namun Austin tidak melukiskan fakta melalui ucapan konstratif itu berdasarkan

formulasi logika. Benar atau salah dari ucapan konstatif itu didasarkan atas konsekuensi ucapan dengan fakta yang terjadi yang dilukiskan melalui ucapan tersebut (lihat Austin, 1962:3). Untuk memahami macam ucapan tersebut dapat kita analisis contoh berikut: 1) Undang-Undang Dasar 1945 disyahkan tanggal 18 Agustus 1945 2) Di kebun binatang Gembira Loka ada seekor gajah yang sedang beranak 3) Perekonomian Indonesia mengalami goncangan karena jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar A.S. 4) BAnyak tenaga kerja wanita Indonesia terlantar dan bermasalah di Arab Saudi. Contoh-contoh kalimat tersebut termasuk ucapan yang bersifat konstatif, yaitu ucapan yang melukiskan suatu fakta atau kejadian pada waktu yang telahlampau. Hal itu dapat dibuktikan benar atau salahnya berdasarkan fakta atau kejadian itu sendiri, artinya apakah fakta yang dilukiskan tersebut benar-benar terjadi pada waktu yang telah lalu. Untuk membuktikan kebenaranya dapat dilakukan misalnya dengan menyelidiki atau membuktikannya. Oleh karena itu menurut Austin bahwa ucapan konstatif itu isinya mengandung acuan kejadian atau fakta historis yaitu kejadian masa lampau yang merupakanperistiwa nyata atau benar-benar terjadi (lihat Austin, 1962:6). Menurut Austin bahwa filsafat bahasa biasa tidak dapat dibatasi dengan penentuan bahasa yang bermakna atau tidak bermakna berdasarkan formulasi logika belaka sebagaimana dilakukan oleh kaum atomisme logis atau sebaliknya, kita tidak dapat hanya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu ungkapan itu hanya tergantung pada penggunaannya tanpa ditentukan benar atau salahnya ungkapan tersebut berdasarkan pada fakta atau peristiwa pada waktu yang lampau. Selain itu peristiwa atau fakta yang dimaksudkan Austin bukanlah sebagai fakta menurut atomisme logis

menunjukkan realitas dunia. Fakta dalam pengertian ini menurut Austin bahwa suatu ungkapan itu benar-benar menunjuk pada suatu kejadian atau peristiwa yang telahlalu yaitu peristiwa yang terjadi sebelum ungkapantersebut diucapkan. Dalam pengertian inilah bahwa ucapan konstattif itu memiliki acuan historis yang mengacu pada suat peristiwa. Oleh karena itu problema-problema filsafati seringakli muncul karena penggunaan bahasa sehari-hari yang sangat dibatasi penggunaanya terutama konsekuensi atas ungkapan-ungkapan tersebut baik bagi penutur maupun pendengar tuturan bahasa. Pada hal menurut Austin selain ucapan yang dikategorikan ucapan konstatif yang mengungkapkan suatu peristiwa atau kejadian pada waktu yang telah lalu terdpat juga ucapan formatif.

Ucapan Performatif (Performative Utterance) Menurut Austin selain ucapan konstatif terdapat juga jenis ucapan yang disebut ucapan performatif. Ucapan performatif tidak dapat ditentukan benar dan salah berdasarkan peristiwa atau fakta yang telah lampau, melaikan suatu ucapan yang memiliki konsekuensi perubuatan bagi penuturannya. Dengan suatu ucapan performatif seseorang bukanya memberitahukan suatuperistiwa atau kejadian, melainkan dengan mengucapkan kalimat itu seseorang sungguh-sungguh berbuat sesuatu misalnya mengadakan suatuperjanjian. Oleh karena itu Austin menamakan ucapan semacam itu sebagai ucapan performatif (performative utterance), yang berdasarkan pada kata di dalam bahasa Inggris to perform dan performance (Bertens, 1981:59). Beberapa contoh ucapan performatif dapat diamati pada contoh kalimat berikut : 1) Saya menunjuk saudaara sebagai ketua panitia ujian Negara kelompok ilmu ekonomi

2) Aku berjanji akanmemberi hadiah kepada saudara, jika saya naik pangkat. 3) Saya mengangkat saudara menjadi Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Ucapan-ucapan semacam itu tidak dibuktikan benar atau salahnya baik berdasarkan logika maupun fakta yang terjadi melainkan berkaitan dengan layak atau tidak layak diucapkanoleh seseorang (Austin, 1962:54). Ucapan-ucapan tersebut juga bukan berkaitan dengan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan yang diucapkannya oleh seseorang, melainkan suatu ucapan performatif akan tidak layak diucapkan manakala seseorang tersebut tidak memiliki kewenangan dalan mengucapkannya. Misalnya ungkapan saya mengangkat tidak menjadi Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada adalah tidak layak bilamana diucapkanoleh seoran gmahasiswa kewenangan untuk mengucapkan ungkapant ersebut. Menurut Austin ucapan-ucapan performatif tersebut memiliki syaratsyarat sebagai berikut :
1) Suatu ucapan performatif pasti tidak sah jikalau diucapkan oleh

seseorang yang tidak memiliki kompetensi dengan masalah ini atau suatu keadaan yang tidak memenuhi syarat atau tidak mengizinkan ucapan itu. 2) Suatu ucapan performatif juga tidak sah jikalau seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak bonafide atau tidak bersikap jujur. Misalnya seseorangyang berjanji akan tetapi tidak mau menepatinya. 3) Akhirnya suatu ucapan performtif juga tidak sah manakala orang yang bersangkutan menyimpang dari apa yang diucapkannya. Misalnya saya menunjuk saudara untuk menggantikan kedudukan saya sebagai sekretars organisasi kita, akan tetapi orang yang bersangkutan masih tetap menduduki jabatansekretaris, sehingga ucapan tersebut tidak konsekuen (Bertens, 1981:59).

Perlu diperhatikan bahwa tiga isyarat yang berlaku bagi uccapan performatif tidak mengakibatkan suatu ucapan itu salah karena ucapan performatif itu tidak berkaitan dengan kualifikasi benar atau salah melainkan happy atau unhappy. Layak atau tidak layak, wajar atau tidak wajar (Austin, 1962:54). Oleh karena itu ucapan performatif itu hanya bisa mengalami suatu kegagalankegagalan (infelicities). Berdasarkan cirri-cirinya ucapan performatif itu menurut Austin memiliki cirri-ciri sebagai berikut : 1) Diucapkannya oleh orang pertama (penutur pertama) 2) Orang yang mengucapkan hadir dalam situasi tersebut 3) Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu) 4) Orang yang menyatakan terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut (Austin, 1962:56-57). Ketiga syarat dan keempat cirri ucapan tersebut sangat menentukan kelayakanatau ketidaklayakan suatu ucapan performatif. Bilaman kita analisis syarat dan cirri-ciri ucapan perfomatif sangat berkaitan dengan keterlibatan si penutur dalam hubungandengan ucapan tersebut. Dari empat cirri tersebut satu cirri yang sangat menentukan ucapan performatif yaitu orang yang mengucapkan hadir dalam situasi tertentu serta terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.

2. Tindakan Bahasa (Speech Acts)

Dalam karyanya How to do Things with Words Austin juga berupaya untuk merinci macam-macam ucapan bahasa dalam kaitannya dengantindakan dalam mengucapkannya atau yang dikenal dengan speech acts. Sesuatu yang menarik perhatian karya Austin adlahspeech acts. Sesuatu yang menarik karya Austin adalah kemiripan pemikirannya dengan pemikiran Wittgenstein yang

kedua yaitu filsafat bahas biasa. Memang bilamana kita perhatikan detail-detail metode kedua filsuf itu memiliki kemiripan, namun justru Austin termasuk filsuf Inggris yang berhasil merinci penggunaan bahasa biasa sebagaimana ditekankan oleh Wittgenstein. Salah satu kelebihan filsafat Austin adalah mampu mengolah filsafat bahasa biasa dalam suatu perspektif yang bersifat menyeluruh. Menurut Austin bahwa dalam filsafat bahasa biasa tidak hanya terbatas pada analisis makna bahasa biasa saja melainkan juga menganalisis macam-macam ungkapan atau ucapan dalam kaitannya dengan tindakan si penutur bahasa. Menurut Austin tindakan bahasa dibedakan atas tiga macam yaitu (1) locutionary acts, yaitu suatu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan suatu makna tertentu, (2) illocutionasy acts, yaitu merupakan suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, in saying dengan menggunakan suatu daya tertentu yang membuat si penutur bertindak atau berlaku karena yang diucapkannya, dan jenis tindakan bahas ayang terakhir adalah (3) perlocutionary acts, yaitu suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan suatu efek,reaksi, pikiran atau tindakan bagi yang mendengar atau orang kedua yang diajak berbicara.

Tindakan Lokasi (Locutionary Acts) Jenis tindakan bahasa lokusi ini menurut Austin sifatnya lebih umum artinya suatu tindakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu. Tindakan lokusi dimaksudkan untuk mengatakan sesuatu secara jelas, yaitu tindakan bicara si penutur dikaitkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya. Perhatian kita dalam tindakan bahasa lainnya, dan menghubungkannya dengan sesuatu yang

diutamakan (Austin, 1962:94). Jadi sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturan yang diucapkan itu dimaksudkan untukmemperjelas tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Jadi tindakan bahasa lokusi yaitu tindakanbahasa untuk mengatakan sesuatu, misalnya : ada seekor kucing di kebun, ia mengatakan, pukulah saya!.hal ini berarti melalui ucapan tersebut mengarah dan mengacu pada orang ketiga. Melalui ucapan lokusi ini tidak menuntut tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Tindakan lokusi ini tidak mengandaikan situasi si penutur untuk melaksanakanisi tuturannya itu dan lebih menonjolkan gaya bahasa si penutur dalam mengungkapkan sesuatu, misalnya memberitahukan tentang sesuatu kejadian atau peristiwa tertentu. Austin menggolongkan locutionary acts menjadi tiga macam tindakan bahasa yaitu: (1) phonetic act, (2) phatic act, dan (3) hretic act (Austin, 1962:95). Tiga tindakan bahasa tersebut merupakan semacam sub kelas dari tindakan lokusi. Konsekuensinya ketiga bahasa tersebut harus termanifestasi agar tindakan bahasa lokusi dapat berhasil dengan baik.
(1) Phonetic act

Bahasa pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan unsure empiris yaitu yang berupa bunyi bahasa. Oleh karena itu tindakan ponetik yaitu suatu tindakan bahasa dengan mengucapkan bunyi tertentu sehingga memiliki makna leksikal (yaitu makna bahasa yang terkandung dalam kosakata). Oleh karena itu dalam suatu tindakan bahasa pasti dilakukan melalui tindakan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa.

(2) Phatic act

Tindakan bahasa patic adalah merupakan suatu sub klas dari tindakan bahasa lokusi, yaitu berupa pengucapan kosakata tertentu. Misalnya jenis-jenis bunyi tertentu yang membentuk suatu bahasa tertnetu, contoh sebagai berikut: Dia berkata, Saya akan tidur di kamar. Dia berkata, pergi. Dia berkata, Tikus itu ada didapur. Dia berkata, Apakah temanmu ada di rumah?. Tindakan bahasa patic sebagaimana Nampak dalam contohcontoh tersebut merupakan suatu penampilan bunyi bahasa dalam suatu system kosa kata yang tersusun dalam suatu tata bahasa. Dengan tersusunnya kosa kata tersebut dalam suatu system tata bahasa, berarti menurut suatu kaidah tertentu sehingga memiliki makna tertentu dan oleh karena itu dituturkan melalui bunyi, karena intonasi juga makna bahasa.

(3)Rhetic act Tindakan bahasa rhetic adalah penampilan suatu

tindakan bahasa dengan menggunakan kosa kata tertentu yang ada pada phatic act, dengan acuan dan pengertian yang sudah pasti. Misalnya pada contoh kalimat berikut: Dia berkata bahwa dia akan tidur di kamar. Dia berkata bahwa dia menyuruhku pergi. Dia berkata bahwa tikus itu ada di dapur. Dia berkata bahwa apakah temanku ada dirumah. Berdasarkan contoh-contoh sebagimana kitalihat di atas maka dapat disimpulkan bahwa phatic act merupakan suatu kalimat langsung, adapun rhatic act merupakan suatu kalimat yang tidak langsung (reported speech).

Lebih

lanjut

Austin

menjelaskan

bahwa

untuk

menampilkan suatu phatic act, atau jikalau seseorang menampilkan phatic act maka ia menampilkan juga phonetic act, tetapi bukan sebaliknya.kaerna jikalau seekor binatang mengeluarkan suara maka suara tersebut bukanlah suatu phatic act. Dalam pengertian phatic act harus digunakan dua hal yaitu kosakata dan tata bahasa. Seseorang tidak mungkin menuturkan kata-kata tanpa suatu pengertian, dalam hal ini intonasi harus diperhatikan juga karena dalam bahas lisan intonasi memiliki suatu makna tertentu. Jadi dengan tindakan bahasa yang menampilkan kosa kata dan tata bahasa maka mengharuskan kita memerhatikan suatu kaidah dalam menggunakan bahasa, dan tidak dipenuhinya dengan benar kaidah dalam tata bahasa maka suatu tindakan bahasa itu dapat terjadi bersifat tidak bermakna. phatic act sebagaimana phonetic act pada dasarnya dapat ditirukan dan didengarkan (termasuk intonasi, gerakan tangan dan isyarat). Austin lebih lanjut menambahkan bahwa dalam rhetic act, sense, dan reference (misalnya, menamai dan menunjuk) itu sendiri adalah tindakan penghubung yang terjadi dalam menampilan rhetic act. Menurut Austin kita tidak dapat menampilkan suatu rhetic act;, tanpa adanya suatu acuan. Maka dapat disimpulkan bahwa kita dapat menampilkan suatu phatic act yang bukan merupakan suatu rhetic act, tetapi tidak sebaliknya (Austin, 1962:97, bandingkan Wicoyo, 1997:41),

Tindakan Illokusi (Illocutionary Act) Menurut Austin tindakan bahasa illokusi yaitu suatu

penampilan tindakan bahasa dalam mengatakan sesautu, yang dilawankan denga suatu tindakan bahasa dengan menggunakan

sesuatu. Austin membedakan tindakan bahasa illokusi ini menjadi lima macam yaitu : (1) Verdictives (2) Exercitives (3) Commisives (4) Behabitives
(5) Expositives (Austin, 1962: 150)

(1) Verdictives Tindakan bahasa verdictif adalah suatu tindakan bahasa dalam mengatakan ssuatu yang ditandai dengan adanya suatu keputusan (verdict) sebagaimana dilakukan oleh hakim, wasit dan yuri. Suatu tindakan bahasa verrdictif memiliki suatu hubungan dengan kebenaran dan kesalahan, menurut ketepatan itulah isi dari suatu keputusan. Tetapi keputusan tersebut barangkali dapat berupa misalnya suatu perkiraan, perhitungan atau tafsiran. Tindakan bahasa ini merupakan salah satu usaha untuk mengetahui atau menentukan apakah sesuatu itu benar atau telah sesuai dengan suatu kenyataanatau tidak. Tindakan-tindakan bahasa yang termasuk tindakan verdiktif adlah sebagai berikut: (a) Membebaskan (acquit) (b) Menghukum (convict) (c) Memutuskan (find as a matter of fact) (d) Menyangka (hold as a matter of fact) (e) Menafsirkan (inter prt as) (f) Memahami (understand)

(g) Mengirakan (read it as it) (h) Memerintah (rule) (i) Menghitung (calculate) (j) Memperhitungkan (reckon) (k) Memperkirakan (estimate) (l) Menempatkan (locate) (m)Menetapkan tempat (place) (n) Menentukan tanggal (date) (o) Mengukur (measure) (p) Menilai (value) (q) Melukiskan (describe)

(2) Exercitives Tindakan bahasa exersitif adalah suatu jenis tindakan bahasa yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh. Macam-macam contoh tindakan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Menunjuk (appointing) b) Memilih (choose) c) Memerintah (ordering) d) Member suara (voting) e) Memaksa (urging) f) Menasehati (advising) g) Memperingatikan (warning) h) Menamai (name) i) Memproklamirkan (proclaim) j) Mengarahkan (direct) (Austin: 155)

(3) Commissives Tindakan bahasa kommisitif adalah jenis tindakan bahasa dengan melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Jadi si putur bahasa mengucapkan suatu tindakan bahasa dalam melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Hal ini memiliki konsekuensi kepada si penutur bahasa untuk melakukan sesuati. Secara lebih luas sebenarnya tindaka bahasa macam ini mempunyai suatu hubungan dengan tindakan verdiktif dan exersitif. Contoh-contoh tindakan bahasa kommistif ini adalah sebagai berikut: a) Berjanji (promise) b) Melakukan (undertake) c) Kontrak (contract) d) Bersumpah (swear) e) Menyetujui (agree) f) Mengumumkan (declrase for)

g) Melawan (appose)
h) Bertaruh (to bet on) i)

Mendukung (espouse) (Austin, 1962: 156)

(4) Behabitives Tindakan bahasa behabitif adalah tindakan bahasa dalam melakukan sesuatu yang menyangka simpati, sikap, memaafkan, memberikan, selamat yang senantiasa timbul dalam komunikasi social. Seseorang dalam melakukan tindakan bahasa tersebut memiliki tujuan bagi orang yang diajak bicara yaitu bertujuan untuk menghibur misalnya bagi yang sedang mengalami kesusahan, ikut bergembira bilamana yang diajak berbicara baru

mengalami kebahagiaan atau kesenangan, juga meminta maaf jikalau melakukan suatu kesalah dan lain sebagai berikut. Beberapa contoh bagi tindakan bahasa behabitif adalah sebagai berikut:
(a) Pemberian selamat (congratulation) (b) Tantangan (challenging) (c) Pemberian maaf (apologizing) (d) Kutukan (cursing) (e) Ikut berduka cita (condoling) (Austin, 1962: 159).

(5) Expositives Tindakan bahasa yang dikelompokkan pada tindakan expositif adalah sekelompok tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan suatu pandangan, memberikan suat keterangan atau pendapat, memberikan suatu penjelasan tentang penggunaanpenggunaan dan dari acuan. Bilamana kita simpulkan secara keseluruhan yang

menyangkut kelima macam tindakan bahasa yang termasuk illocutionary act tersebut adalah sebagai berikut: tindakan bahasa verdiktif adalah suatu tindakan bahasa yang digunakan untuk memutuskan, tindakan bahasa exercitif adalah tindakan bahasa yang berkaitan dengan suatu pernyataan yang tegas dalam hal pengaruh atau kekuatan, tindakan bahasa kommisif tindakan bahasa behabitif adalah tindakan bahasa yang menyangkut persetujuan sikap dan yang terakhir tidakan bahasa expositif adalah suatu tindakan bahsa dalam menguraikan, menjelaskan, memberikan argumentasi, serta komunikasi dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian kelima macam tindakan bahasa illokusi tersebut sebenarnya saling berkaitan (lihat Wicoyo, 1997:45).

Tindakan Bahasa Perlokusi (Perlocutionary Act) Bilamana tindakan bahas lokusi danillokusi lebih

menekankan pada peranan tindakan si penutur bahasa, maka pada tindakan bahasa perlokusi lebihberkaitan dengan respon atau efek bagi orang yang diajak berbicara oleh si penutur bahasa. Tindakan bahasa perlokusi atau perlocutionary act yaitu suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan efek,, reaksi atau respon atas pikiran atau tindakan pada orangyang diajak berbicara. Oleh karena itu pada tindakan bahasa perlokusi adalah memiliki hubungan dengan akibat yang ditimbulkan berkaitan dengan isi ucapan atau ungkapan bahas bagi si pendengar. Menurut Austin, bahwa bilamana seseorang itu mengatakan sesuatu seringkali menimbulkan pengaruh terhadap perasaan, pikiran atau pengaruh lain yang berupa perilaku bagi si penutur itu sendiri, orangyang diajak berbicara ataupun orang lain yang mendengarkan isi atau makna ungkapan bahasa yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan merencanakan atau merancang, mengarahkan serta menetapkan suatu tujuan tertentu pada perkataan disebut tindakan bahasa perlokusi (Austiin, 1962:101). Ungkapn-ungkapan bahasa yang termasuk pada kelompok tindakan bahasa perlokusi antara lain sebagai berikut: (a) Meyakinkan (b) Menipu (c) Menakuti (d) Merayu (e) Mengarahkan, dan ungkapan-ungkapan lainnya.

Bilamana kita bandingkan dengan tindakan bahasa illokusi maka tindakan bahasa illokusi tersebut adalah tindakan bahas yang membuat si penutur atau si pembicara melakukan suatu tindakan karena berkaitan dengan apa yang dikatakannya. Adapun tindakan bahasa perlokusi adalah tindakan bahasa yang karena ucapan atau tindakan bicara dari pembicara, timbul suatu efek bagi si pendengar atau pengaruh bagi si pendengar baik secara aktif ataupun secara pasif. Memang suatu tindakan bahasa illokusi dapat menjadi sarana bagi tindakan bahasa perlokusi akantetapi tidakdapat sebaliknya. Menurut Austin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan perlokusi itu merupakan suatu akibat nyata, yang tidak meliputi atau tidak mencakup akibat yang lazim terjadi, misalnya janji yang dilakukan oleh si pembicara (penutur), hal inijelas merupakan tindakan illokusi. Kiranya suatu perbedaan antara sesuatu yang kita rasakan secara nyata menimbulkan suatu akibat yang nyata pula, suatu tindakan perlokusi, adapun sesuatu yang kita lakukan yang menimbulkan akibat yang lazim atau sudah wajar terjadi itu merupakan suatu tindakan illokusi (Austin, 1962:102). Suatu perbedaan yang paling menonjol antara tindakan illokusi dengan tindakan perlokusi adalah akibat yang ditimbulkan atau efek yang ditimbulkan oleh perbuatan melalui ucapan bahasa. Pada tindakan perlokusi efek atau akibat dari tindakan bahasa itu merupakan suatu hasil yang diinginkan, direncanakan atau diperhitungkan sebelumnya oleh si pembicara. Dengan perkataan yang lain efek atau akibat yang timbul pada si pendengar itu memang merupakan maksud si penutur untuk mempengaruhinya.

3. Peter Strawson Filsuf analitik yang menaruh perhatian terhadap filsafat bahasa biasa adalah Peter Strawson. Ia juga sebagai filsuf Oxford yang

berkedudukan sebagai professor pada universitas tersebut dan karyakaryanya yang popular antara lain individuals : Analisis Essays in Descriptif Metaphysics (1959), selain itu ia juga menulis buku yang berjudul Introduction to Logical Theory (1952); The Bounds of Sense (1966), dan sebuah buku tentang filsafat Kant Meaning and Truth (1970). Dalam majalah Mind ia mengkritik ajaran Russell dengan judul the Theory of Definite Descriptions yang cukup popular dikalangan filsuf Inggris.

Pemikiran Filosofis Konsep pemikiran filosofis Strawson tertuang dalam karyanya yang berjudul Individuals dan kepada buku ini ia memberikan anak judul Analisis Essay in Descriptive Metaphisics. Sesuatu yang menarik perhatian dalam buku tersebut adalah munculnya kata metafisika secara eksplisit. Ia memang termasuk penganut paham filsafat bahasa biasa sebagaimana filsuf-filsuf Oxford lainnya, dan sebagaimana diketahi bahwa filsuf yang menganut filsafat bahasa biasa tidak mengembangkan doktrin mengkritik metafisika atau barangkali persoalan metafisika bagi menganut ordinary language kurang mendapat tempat. Keadaan yang demikian inilah yang membawa Strawson mendapat perhatian, karena di samping ia tetap setiap terhadap paham ordinary language akan tetapi ia berupaya untuk mengangkat kembali pamor metafisika di kalangan filsuf Inggris. Menurut Strawson memang melalui ordinary language filsuf dapat mengembangkan konsep-konsepnya, namun demikian tugas filsafat tidak boleh dibatasi hanya pada penyelidikanitu saja. Filsafat juga harus berusaha melukiskanour conceptual structure,yaitu susunan konsep-konsep dasar yang menandai pemikiran kita. Susunan konseptual itu diandaikan begitu sja kalau kita menyelidiki cara bagaimana ucapan-ucapan kita dipakai. Oleh karena itu apa yang dimaksud itupun dapat dilukiskan juga dan inipun merupakan suatu tugas filsafat pula.

Strawson

beranggapan bahwa dalam pemikiran kita terdapat

sejumlah konsep dan kategori yang tidak berubah dan oleh karena itu tidakmengenal sejarah. Struktur konseptual tesebut memainkan peranan dalam pemikiran sehari-hari maupun dalam pemikiran yang lebih teknis sebagaimana dipraktekan dalam ilmu pengetahuan. Usaha metafisika deskriptif adalah untuk menggali dan menelanjangi struktur itu. Menurut pandagan Strawson istilah descriptive metaphysics bertentangan dengan revisionary metaphysics. Pengertian revision metaphisics adalah suatu konsep metafisika yang meninjau kembali realitas, suatu metafisika yang mengemukakan suatu struktur baru, adapun metafisika deskriptif itu tidak melakukan suatu perubahan sama sekali. Menurut Strawson filsuf-filsuf yang termasuk penganut metafisika revisioner adalah Descartes dan Liebniz; adapun metafisika deskriptif antara lain sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles dan Kant (Bertens, 1981:65). Dengan demikian Peter Strawson membedakan dua macam metafisika yaitu :
(a) Descriptive Metaphisics, yaitu suatu metafisika yang hanya berusaha

untuk menguraikan batas-batas konseptual dari bahasa kita.


(b) Revisionary metaphisics, yaitu metafisika yang berusaha untuk

mengadakan suatu revisi atau pembaharuan terhadap batas-batas konseptual dari bahasa kita (POerwowidagdo: 11). Masalah pokok yang dibahas daam individuals yaitu persoalan refernsi atau menunjuk kepada suatu objek. Dalam ucapan-ucapan yang kita kemukakan senantiasa menunjukkan kepad suatu objek. Strawson ingin memecahkan makna bahasa yang dipahami oleh si penutur bahasa tanpa menimbulkankemaknagandaan. Untuk itu menurut Strawson kita harus menacari objek-objek individual yaitu sense data atau sense impressions, mislnya merah dan bahwa semua objek lain dapat diasalkan kepada data-data atau kesan-ksesan itu. Bagi Strawson basic particulars bukannya unsure yang terdapat dalam hal-hal lainnya (bukan semacam atom), melainkan suatu objek individual dan semua

objek laind apat diidentifikasikan melalui objek yang ditunjukkan itu hadir sendiri. Misalnya ;oran gyang duduk di situ di ujung deretan pertama. Dalam masalah ini memang tidak terdapat suatu kesulitan apapun. Permasalahannya adalah bagaimana kalau yang kita maksudkan adlah objek yang tidak hadir. Misalnya orang yang memakai topi hitam, hal ini senantiasa memungkinkan bagi pendengar bahwa ucapan itu tentang oranglain daripada yang dimaksudkan. Menurut Strawson untuk menghindari kedwiartian (kemaknagandaan) yaitu dengan cara menentukan objek individual itu dalam ruang dan waktu. Misalnya pada contoh orang yang pakai topi hitam tadi, orangyang bersangkutan selalau dapat melukiskan misalnya orang yang memakai topi hitam, yang beridrilima meter di depan buku gerbang Gedung MPR RI di Jakarta, pada tanggal 10 Oktober 1998 jam 10.00 pagi WIB. Menurut Strawson objek-objek individual yang dilukiskan dalam rangka system ruang danwaktu adalah objek-objek material. Jadi itulah individu-individu yan dimaksud oleh Strawson yang memungkinkan kit amengidentifikasi hal-hal lain seperti pengalaman psikis, peristiwaperistiwa, proses-proses dan bagian-bagian fisis yang kecil. Konsep strawson yang menarik secara khusus adaah tentang

persona. Konteksnya adalah kesulitan yang dialami oleh para filsuf untuk mengidentifikasikan keadaan-keadaan sadar, dengan menunjuk pada objek-objek material. Terlebih dahulu Strawson menyelidiki dua kemungkinan yang ternyata harus ditolak kedua-duanya. Kemungkinan pertama disebut the no ownership theory, yaitu suatu keadaan seorang Bertrand Russell bicara tentang saya, bilamana dikatakan rasa sakit saya, pengalaman saya, dan lain sebagainya. Pengalaman misalnya hanya dapat diidentifikasikan sebagai pengalaman seseorang. Kemungkinan yan kedua adalah sebagaimana dikemukakan oleh Descartes dan kawan-kawannya, yaitu teori-teori yang berdasarkan dualism. Kalau demikian maka keadaan-keadaan sadar dimiliki oleh suatu private-ego, suatu aku yang tersembunyi bagi orang lain. Membicarakan tentang pengalaman saya senantiasa berarti membedakan dengan pengalaman orang lain. Menurut Strawson hanya

ada satu jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ini, yaitu dengan mengikuti persona sebagai suatu konsep yang tidak dapat dianalisis lagi. Konsep persona tidak dibentuk oleh konsep tubuh dan konsep roh. Tetapi merupakan suatu individu yang tunggal. Tentang suatu persona dapat dikatakan tentang benda-benda material, misalnya beratnya 70 kg, maupun hal-hal yang hanya dikatakan tengan ersona saja (main gitar, belajar filsafat, bertaqwa terhadap Tuhan dan lainsebagainya). Ucapan terakhir ini dapat dikatakan tentang orang lain berdasarkan tingkah lakunya. Kalau kita misalnya berbicara tentang kegembiraan saudara X, yang kita maksudkan adalah apa yang Nampak atas dasar tingkah lakunya. Ucapan terakhir ini dapat dikatakan tentang orang lain

berdasarkantingkah lakunya. Kalau kita misalnya berbicara tentang kegembiraan saudara X yang kita maksudkan adlah apa yang Nampak atas dasar tingkah lakunya. Demikianlah kiranya Strawson dalam karyanya individuals berupaya untuk memberikan suatu argumentasi-argumentasi atas akal sehatkita, terutama dalam pemikirannya tentang objek-objek material dan persona-persona yang merupakan suatu basic particular. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya jalan keluar bagi argumentasi akal sehati dalam mengatasi konstatasi metafisika revisioner (bertens, 1981:670. Konsep Strawson itu memang sangat khas terutama dikalangan filsuf filsfat bahasa basa yang lazimnya kurang akrab dengan analisis bahas ayang berkaitan dengan metafisika dan Strawson berupaya untuk mencobanya melalui ordinary language (Kaelan, 2002:155-182).

BAB IV SEMIOTIKA

A. Filsafat Bahasa dan Semiotika Sebagaimana dipahami bahwa perhatian para filsuf terhadap bahasa telah dilakukan sejak zaman Yunani Kuno, tatkala para filsuf seperti Herakleitos

menyelidiki hakikat realitas dunia fenomenal. Herakleitos tidak sependapat bahwa hakikat realitas diatas dunia terdapat hakikat dunia yang murni sebagai suatu manifestasi dunia ideal. Menurutnya tidak ada sesuatu hakikat yang murni, definitive dan mutlak, melainkan segala sesuatu yang ada senantiasa "sedang menjadi" yang dalam filsafat dikenal dengan 'panta rhei' artinya tidak ada yang tetap. Dalam pengertian ini menurut Herakleitos segala sesuatu senantiasa dalam proses menjadi dan berubah-ubah (bertens, 1989:10). Dalam masalah ini Herakleitos tidak puas hanya dngan perubahan saja melainkan senantiasa mengkaji dan menyelidiki prinsip perubahan. Menurut Herakleitos prinsip ini tidak dapat ditemukan dalam realitas benda material. Arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah alam material melainkan dunia manusiawi. Dalam dunia manusiawi ini kemampuan berbicara secara verbal menduduki komposisi yang sentral. Manusia harus memahami ucapan-ucapan dalam kehidupan agar dapat memahami alam semesta. Dalam pengertian inilah maka manusia dalam mengungkap makna realitas dunia material bukannya dengan melalui medium bahasa. Jikalau manusia gagal menemukan pendekatan ini melalui medium bahasa, maka manusia akan gagal pula memahami fenomena material, dengan demikian amak manusia mengalami kegagalan dalam memahami hakikat maka dunia material melalui filsafat bahasa. Bahkan dalam pemikiran Herakleitos ini kata 'logos' bukanlah semata-mata gejala antropologis semata, melainkan juga mengandung kebenaran kosmis unviersal. Dalam hubugan ini kata dalam bahasa, tidak lagi dilihat sebagai kekuatan magis, namun dipahami dalam fungsi semantik dansimbolis. Dengan demikian maka pemikiranfilsafat Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa (Casirer, 1987, 170). Bahkan menurut Borgman, masa Herakleitos ini dikenali sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgman, 1974:3). Perhatian manusia terhadap bahasa pada zaman Yunani Kuno tersebut mengalami perkembangan yang cukup menarik, yaitu bahasa tidak hanya dipahami sebagai media dalam memahami realitas kosmis, melainkan tentang hakikat bahasa itu sendiri dalam hubungannya dengan alam. Dalam hubungan ini apakah bahasa itu dikuasai oleh alam yang disebut 'fisei' atau bahasa itu bersifat alamiah 'nomos'. Pendapat yang menyatakan bahawa bahasa adalah alamiah (fisei), sumber dalam prinsip-prinsip abadi yang terdapat di alam semesta yang tak dapat diganti di luar

manusia itu sendiri dan oleh karena itu tidakd apat ditolak. Kaum naturalis dengan tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatkan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk. Jadi terdapat suatu hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Kaum naturalis selanjutnya menyatakan bahwa bahasa tidak hanya bersifat fisis belaka melainkan mencapai makna secara alamiah atau 'fisei'. Komposisi fonetik adalah cermin komposisi benda, sehingga sejak itulah muncul suatu bidang kajian untuk mencari asal usul kata yang disebut sebagai 'etimologi'. Dalam hubungan dengan pemikiran filosofis tentang bahasa, Plato juga mengembangkan prinsip 'anomatopeia' yang secara prinsip mendasarkan bahwa hakikat bahasa manusia tidak dapat dipahami jika berdasasrkan teori bahasa semata, melainkan berdasarkan teori umum pengetahuan manusia (Casirer, 1987:171). Pemikiran Plato inilah yang merupakan awal pemikiran filosofis tentang bahasa yang mampu menjembatani antar anama-nama dan benda-benda atau sesuatu yang diacu oleh bahasa. Selain Plato filsuf besar yang mengembangkan pemikiran tentang filsafat bahasa adalah Aristoteles, yang mendasarkan pemikirannya pada prinsip metafisis. Dalam karyanya yang berjudul Peri hermenias, Aristoteles mengemukakan pemikirannya tentang kualifikasi kata yaitu 'onoma' , 'rema', dan 'syndesmoi'. Onoma adalah bentuk yang berupa vokal yang secara konseptual mempunyai makna tak berwaktu, tak ada satu bagianpun daripadanya yang memberi tanda secara sendiri-sendiri. Adapun 'rhema' adalah apa yang bersama menandai waktu, adapun 'syndesmoi' adalah sebagai penghubungan partikel yang dalam linguistik sering disebut sebagai konjungsi. Secara ontologis pemikiran filosofis Aristoteles tentang bahasa itu mendasarkan pada core philosophy pemikirannya yang dikenal dengan 'hhilemorfisme', yang secara sederhana mengungkapkan bahwa hakikat bahasa adalah meliputi materi dan benetuk (Arens, 1984:21). Aristoteles juga mengembangkan prinsip analogi dalam bahasa yang merupakan pengaruh dari pemikiran logikanya yang bertitel organon (Liang Gie, 1975:21). Prinsip logika bahasa yang dikembangkan Aristoteles memberikan prinsip dalam ilmu bahasa bahwa dalam suatu bahasa itu terdapat suatu keteraturan (analogi). Misalnya jamak dalam bahasa Inggris dikenal dengan menambahkan 's' pad akata jama tersebut. Misalnya kata 'cow'-'cows', 'book-books', 'girl-girls's, dan

sebagainya. Namun disamping teori Aristoteles tersbut juga berkembang teori yang menyatakan bahwa bahawa pada hakikatnya tidak beraturan atau arbiter (manasuka), dan teori ini dikenal dengan prinsip 'anomalia' (parera, 1983:42). Pemikiran zaman Yunani tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf bahasa dari Roma, sehingga pada periode ini dikenal dengan Zaman Romawi. Pada zaman in Varo mengmbangkan pemikirannya tentang bahas amenjadi semakin rinci. Zaman romawi ini dikembangkan tentang morfologi, dan telah mengembangkan pembagian kelas kata yang sampai saat ini masihdiwarisi oleh ilmu bahasa. Bahkan pada zaman ini berkembang konsep Pricia, yang mengembangkan fonologi dan morfologi, dan membagi kelas kata menjadi 8 macam. Demikian pula pada abad pertengahan Thomas Aquinas juga mengembangkan filsfat bahasa, yang mendasarkan bahasa pada sitem logika. Nampaknya arah perkembangan filsafat bahasa juga mengikuti trend perkembangan filsafat saat itu, yang menekankan pada perkembangan ilmup negetahuan. Pada zaman modern par filsuf lebih menekankan pada logos, yaitu pengetahuand an ilmu pengetahuan seperti Rene Descartes, Thomas Aquinas, John locke, David Hume, August Comte dan filsuf lainnya. Demikian pula dalam bidang ilmu bahasa Ferdinand De Saussure yang mengikuti tradisi strukturalis yang mengembangkan dasar-dasar linguistik umum ynag mengembangkan pemikirannya bawha bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda. Terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan antara penanda dan petanda, antara bahasa dengan sesuatu yang diacunya, antara signifier dengan sifnified. Teori tentang semiotika yang mengikuti tradisi Saussure, menekankan bahwa semiotika adlah bidang ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (Saussure, 1990:15). Berdasarkan pengertian tersebut maka bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagiand ari aturan-aturan sosial yang berlaku. Hal ini kiranya senada dengan teori filsfat analitis menurut Wittgenstein bahwa ungkapan bahasa adalah merupakan suatu ungkapan kehidupan, dandalam kehidupan terdpat suatu rule of the game yaitu aturan-aturan dalam menggunakan ungkapan tersebut. Selanjutnya Wittgenstein menekankan bahwa dalam setiap konteks kehidupant erdapat suatu aturan penggunaan masing-masing. Tokoh lain yang mengembangkan semiotika yang bahkan banyak memberikan dasar-dasar paradigmatik terhadap semiotika adalah Charles Sanders Peirce,

sementara tradisi Saussure yang dikembangkan oleh Roland Barthers yang elbih dikenal dengan istilah semiologi meskipun kedua istilah tersebut mengacu pada ilmu yang sama. Berbeda dengan Saussure, semiotika Peirce lebih banyak didasari pemikirannya tentang logika. Pemikiran Peirce sederhana, logika adalah mempelajari tentang bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran itu menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda (Zoest, 1992:1). Sedangkan logika Peirce juga mengembangkan ilmu bahasa, sehingga sebenarnya ia adalah juga sebagai filsuf bahasa. Dalam filsafat bahasa selain membahas hakikat bahasa sebagai sautu sistem tanda juga mengkaji tentang bagaimana hakikat bahasa sebagai suatu ungkapan kehidupan manusia. Pada abad XX par afilsuf mengembangkan paradigma baru dalam berfilsafat, bahwa hakikat bahasa adalah merupakan objek material dalam upaya mengkaji hakikat segala sesuatu, seperti keadilan, etika, kebenaran, keagamaan, dan lain sebagainya. Filsuf George Edward Moore berpendapat bahwa banyak kalangan filsuf mengalami kekacauan dalam berfilsafat, oleh karena kekacauan dalam penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa. Ungkapan bahasa dalam pengertian ini bukan sekedar bahasa sebagai sitem tanda, melainkan bahasa sebagai suatu ungkapan dalam kehidupan manusia. Moore melakukan kritik terhadap para filsuf idealisme, misalnya dalam bidang etika. Kritik Moore tersebut dituangkan dalam karyanya yang berjudul Principia Ethica (1903). Pemikiran yang revolusioner dari Moore ini membuka cakrawala baru dalam pemikiran filsafat bahasa yang dalam filsafat kontemporer disebut sebagai aliran filsafat analitika Bahasa. Filsuf analitis selain melakukan kritik terhadap pemikiran etika juga mengembangkan tentang metode ilmu pengetahuan melalui analitika bahasa. Ludwig Wittgenstein dalah Tractatus (pemikiran I), beranggapan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan gambaran realitas dunia empiris. Sehingga konsekuensinya struktur logis realitas bahsas adalah sepadan dengan struktur logis realitas dunia empiris. Oleh karena itu menurut pemikiran Wittgenstein hakikat bahasa tidak hanya merupakan suatu sistem tanda melainkan secara ontologis menggambarkan realitas dunia empiris. Dasar-dasar pemikiran inilah yang membuka cakrawala baru, bahwa hakikat bahasa adalah merupakan dasar paradigmatik tentang metodologi dalam ilmu pengetahuan. Prinsip metodis yang dikembangkan oleh Wittgenstein dalam aliran atomisme logis ini, dikembangkan

leibh lanjut oleh kelompok Lingkungan Wina yang juga dikenal sebagai aliran positivisme logis, dan aliran inilah yang mengembangkan bahasa sebagai metode dalam ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai metode kuantitatif. Berdasarkan uraian diatas maka semiotika merupakan sub kajian filsafat bahasa yang lebih menekankan pad kajian tanda. Dua tokoh filsuf bahasayang mengembangkan semiotika pada awalnya mendasarkan pemikiran filsafatnya pada hakikat bahasa, di satu sisi Saussure mengembangkan pemikirannya berdasarkan strukturalisme dan berkembang ke arah prinsip-prinsip dsar linguistik umum. Berbeda dengan Saussure, Pierce mendasarkan semiotika pad alogika, pragmatik dan linguistik, sehingga konsep Peirce lebih menekankan pad pengembangan semiotika komunikasi. Akhirnya setelah semiotika berkembang nampaknya akan membangun suatu bidang ilmu tersendiri yang disbut bidang semiotika. Namun demikian kiranya perlu dipahami bahwa sampai saat ini bidang ilmu semiotika kiranya masih enggan untuk berkembang menjadi ilmu tersendiri terpisah dari filsafat bahasa, sebagaimana bidang ilmu lain seperti ilmu sosial, linguistik, sejarah, budaya, dan bidang lainnya. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semiotika lebih merupakan suatu sistem epistemologis dalam pendekatan bidang ilmu tertentu seperti sastra dan komunikasi. Dengan istilah lain semiotika belum menemukan body of knowledge tersendiri sebagai salash satu bidang ilmu disamping ilmu-ilmu lainnya, dengan dasar ontologis, epistemologis, dan dasar aksiologis tertentu.

B. Pengertian dan Lingkup Semiotika Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani "semeion" yang berarti 'tanda', atau 'seme' yang berarti penafsiran tanda (cobley dan Jansz, 1999:4). Istilah 'Semeion' ini sebelum berkembang pada awalnya berakar pada tradisi studi kalasik atau skolastik atas seni retorika, poetika, dan logika. Nampaknya istilah 'semeion' itu diderivasikan dari istilah kedokteran hipokratik atau asklepiadik dngan perhatiannya 'tanda' pad amasa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain. misalnya asap menandakan adanya api (Kurniawan, 2001:49). Semiotika adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tand. Tanda-tanda adlah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-masa manusia. Tanda-tanda terletak dimana-mana, kata adalah tanda, demikianpula gerak, isyarata, lampu lalulintas,

bendera dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukanlah hanya sekedar harfiah melainkan leibh luas misalnya struktur karya sastra,, struktur film,, bangunan, nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap sebagai tanda dalam kehidupan manusia (Zoest, 1992:vii). Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa maka huruf, kata, frase, klausa dan kalimat tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam hubungannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dngan apa yang ditandakannya (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sitem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra misalnya kerap diperhatikan hubungan antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan tanda dengan apa yang ditandakannya (semantik). Sebuah teks apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, serta ungkapan bahasa lainnya yang merupakan suatu tanda, dapat dilihat dalam suatu aktivitas penanda yaitu suatu proses signifikansi yang enggunakan tanda yang menghubungkan objek dengan interpretasi (Sobur, 2004:17). Semiotika atau semiologi menurut istilah Barthes, pad prinspnya hendak mempelajari bagiamana kemanusiaan(humanity), memaknai hal-hal,s egala sesuatu (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, melainakanjuga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:2179, Kurniawan, 2001:53). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara sesuatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dngan maknanya dan bagaimana tanda disusun, secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang serba beragam ini, agar setidaknya kita dapat memilikipegangan. Menurut Pines apa yang dikerjakan semiotika adlah memberikan kejelasan kepada manusia untuk menguraikan aturan-aturan dalam suatu kehidupan dan membawa manusia pada suatu kesadaran dalam kehidupan ini (dalam Berger, 2000:14). Hal ini kiranya

sejalan dengan tesis dari Wittgenstein, yang mengembangkan teori 'language games', bahwa dalam kehidupan itu terdapat bebagai macam konteks kehidupan, yang masing-masing kehidupan memiliki aturan-aturannya sendiri-sendiri (rule of the game), dan aturan itu terkandung dalam ungkapan bahasa dalam kehidupan. Jadi semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi dengan menggunakan tanda (sign) dan berdasarkan pada sign sistem (code) (segers, 2000:4). Sementara Cobley dan Jansz (1999:4) menjelaskannya bahwa semiotika adalah sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji dan menganalisis tanda, yaitu bagaimana tanda-tanda dalam kehidupan manusia itu atau bagaimana sistem penandaan itu berfungsi. Peirce menjelaskan bahwa semiotika adalah sebagai bidang ilmu yang mengkaji hubungan diantara tanda. Objek, dan makna, sementara Carles Moris menyebutnya sebagai suatu proses tanda ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme (Segers, 2000:5). Berdasarkan tingkatan hubungan semitoika, Nauta membedakan menjadi tiga tingkatan yaitu syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan pragmatic level (tingkatan pragmatik). Berdasarkan lingkup permbahasannya semiotika dibedakan atas tiga macam, yaitu semiotika murni, (pure), semiotika deskriptif (descriptive), dan semiotika terapan (applied) (sobur, 2004:19). Pure semiotic membahas tentang dasar filosofis semiotika, yaitu berkatian dengan metabahasa, dalam arti hakikat bahasa secara universal. Pembahasan tentang hakikat bahasa sebagaimana dikembangkan oleh Saussure, bahwa bahasa adalah sebagai suatu sistem tanda, sedangkan bagi Peirce tentang hakikat tanda dalam hubungannya dngan objek, ground serta penafsir. Buku-buku yang membahas tentang semiotika murnia antara lain a Theory of Semiotic karya Umberto Eco (1976), dan the Meaning of information (1972) karya Doede Nauta. Adapun deskriptif semiotic, adalah lingkup semiotika yang membahas tentang semiotika tertentu, misalnya sistem tanda tertentu atau bahasa tertentu secara deskriptif. Sedangkan aplied semiotik adalah lingkup semiotika yang membahas tentang penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya dalam kaitannya dengan sistem tanda sosial, sastra, komunikasi, periklanan, dan lain sebagainya (lihat Sobur, 2004:19). Walaupun ribuan tahun yang lalu para tokoh filsafat Yunani telah membahas tentang fungsi tanda, serta di abad pertengahan pembahasan tentang penggunaan

tanda juga telah disinggung oleh banyak filsuf, meskipun kadng lebih menonjol tentang tanda bahasa, namun istilah semiotika sendiri baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert seorang filsuf Jerman. Perkembangan berikutnya par atokoh filsafat bhasa baru ramai membhas secara sistmatis pada abad XX ini. Misalnya Peirce mengembangkan pemikirna tentang semiotika pada tahun 1939, Roland Barthes membahasnya dalam buku yang berjudul element de Semiologie (1953). L.J. Prieto di dalam bukunya yang berjudul Mes Semiologies (1953), G. Mounin di dalam bukunya yang berjudul Introduction a la semiologies (1970). Umberto Eco membahas semiotika dalam bukunya yang berjudul A Theory of Semiotics 91976), yang antara lain membahas pemikiran tentang batas-batas penelitian semiotika. Bidang semiotika ini kemudian menjadi lahan yang subur dan bermunculan berbagai tulisan semiotika sepergi Ch. Morris dalam bukunya yang berjudul Writting on the General Theory of Signs (1971), Roman Jacobson dalam karyanya yang berjudul Coup d'Oeilsur le Developpement de la Semiotique 91975), dan T.A. Sebeok dalam karyanya yang bertitel Contributions to the Doctorine of Signs (1977) (Zoest, 1992:viii). Berdasarkan pembahasan diatas sebenarnya perkembangan semiotika diilhami oleh dua orang filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussarure dan Charles Sanders Peirce. Dengan lain perkatana dasar ontologis dan epistemologi semiotika diletakkan oleh dua tokoh tersebut. Meskipun kedua tokoh tersebut memberikan dasr-dasar paradigmatik tentang semiotika, namun sebenarnya di antara kadua tokoh tesebut tidak terdpat hubungan kausalitas. Kedua filsuf terebut memang hidup seazaman, namun dalam paradigmatik yang berbeda. Semiotika peirce diwarnai oleh filsafat pragmatisme dan logika, sehingga konsep semiotikanya juga sangat dilandasi oleh dasar-dasar logika dan aspek pragmatis. Ia merancang semiotika sebagai suatu teori yang baru sama sekali, dengan konsep-konsep yang baru dan tipologi yang sangat rinci. Berbeda dengan Peirce, Saussure adalah seorang ahli linguistik, bahkan oleh kalangan linguis dunia, ia dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Baginya bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda, dan merancang konsep yang sangat canggih tentang ilmu bahasa beserta aspek terapannya. Oleh karena itu konsep Saussure tentang hakikat bahasa merupakan paradigma bagi sistem linguistik modern. Saussure menyadari bahawa sitem tanda yang disebut bahasa hanyalah salah satu di antara sistem tanda lainnya dalam

kehidupan manusia. Dalam satu kalimat ia mengungkapkan gagasan, bahwa pada suatu saat harus ada teori tentang tanda yang mencakup semua sistem itu, dan ia mengusulkan dan menyebut teorinya dengan 'semiologi'. Kenyataan bahwa di antara Saussure dan Peirce keduanya tidak saling mengenal, menunjukkan bahwa meskipun istilah semiotika (menurut Peirce) dan semiologi (menurut Saussure) berbeda, namun mengacu pada pengertian yang sama. Namun pandangan filosofisnya memiliki perbedaan, atau dengan perkataan lain memiliki kekhasannya masing-masing. Kekhasan dan perbedaan itu dikarenakan pada latar belakang filosofis yang berbeda. Peirce mendasarkan semiotika pad tradisi filsafatnya sendiri yaitu pragmatisme dan logika, sedangkan Saussure mendasarkan semiotika pada filsafat bahasanya, yang merupakan dasr epistemologis linguistik umum. Menurut peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda-tanda, dan diantaranya tanda=-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori. Dengan megembangkan semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat yang penting pada linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi tidak sebaliknya (Zoest, 1992:2). Menurut Peierce (dalam Berger, 2000:14) tanda-tanda berkaitan dengan objekobjek yang menyerupainya. Keberadaan memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Dengan demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tegas ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dalam tulisan yang tersebar dalam berbagai teks dan dikumpulkan dua puluh lima tahun setelah kematiannya dalam Ouvres Completes (karya lengkap). Teks-teks tersebut mengandung pengulangan dan pembetuland an hal ini menjadi tugas penganut semiotika Peirce untuk menemukan koherensi dan menyaring hal-hal yang penting. Peirce menghendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pad asegala macam tanda, dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia

memerlukan konsep-konsep baru. Untuk melengkapi konsep itu ia menciptakan kata-kata baru yang diciptakannya sendiri. Dalam penyebarluasan itu, teori Peirce telah banyak mengalami perubahan. Misalnya dalam keinginannya untuk membangun semiotika behavioris. Morris telah mencampurkan konsep-konsep yang dibuatnya sendiri ke dalam konsep-konsep Peirce. Konsep Peirce telah diperkenalkan di Eropa oleh Max Bense (Jerman) yang menggunakannya dalam penelitian estetika dan analisis tekstual. Demikian pula semiotika Peirce dikembangkan oleh George Klaus dan diintegrasikan dengan pemikirannya sendiri (zoest, 1992:4,5). Bahkan di Eropa pemikiran Peirce berkembang dengan sukses melalui karya eklektis Umberto Eco dari Italia. Dalam karya Eco tahun 1972 dan (1976), konsep Peirce dapat dikembangkan pad penelitian bidang teater, musik, iklan, kebudayaan, artistektur, dan lains ebagainya. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengembangkan dasr-dasar teori linguistik umum. Menurut Lyons, Saussure adlah seorang tokoh besa ryang berasal dari Swiss pendiri sebagai pendiri dan Bapak linguistik modern (Lyons, 1995:38). Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai suatu sistem tanda. Ia menambahkan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum, dan untuk itu ia mengusulkan nama semiologi. Berdasarkan pernyataan ini sebenarnya tidak ada perbedaan epistemologis antara kata semiotika dan semiologi. Dasar filosofis inilah yang menarik Barthes untuk mengembangkan semiologi, berdasarkan paradigma sistem linguistik umum yang telah dibangun oleh Saussure. Memang perlu dimaklumi dalam perkembangan berikutnya pendekatan epistemologis tersebut menyebabkan penggunaan istilah itu denganberdasarkan ciri khas masing-masing, lazimnya yang mendasarkan pada filsafat bahasa Saussure menggunakan istilah semiologi, sedangkan yang mendasarkan filsafat Peirce, menggunakan istilah Semiotika. Ketika para pengikut Saussure secara bertahap menyusun teori semiologi secara umum yang telah diramalkan kehadirannya oleh Saussure mengilhami mereka, melainkan juga karena pada waktu mereka mengerjakan teori, linguistik berkembang dengan pesatnya. Baiks ecara implisit maupun eksplisit para ahli semiotika yang mengikuti tradisi Saussure menganggap bahwa tanda-tanda linguistik mempunyai kelebihan dari sistem semiotika yang lain (Zoest, 1992:2). Menurut Grenz, suatu kelebaihan yang luar biasa dari teori Saussure adalah ia

menolak teori historis tentang bahasa yang pada abad ke-19 berkembang pesat di Eropa. Menurut Saussure bahasa adalah penanda (significant) dan petanda (signifie), dan studi bahasa adalah berkaitan dengan objek material ujaran dan perilaku bahasa manusia secara empiris yang disebut parole, dan bahasa pada hakikatnya adalah merupakan suatu sistem tanda (Grenz, 2001:178), Ahli semiotika yang mendasarkan pada filsafat Saussure, dalam teorinya menggunakan istilah atau kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan istilahistilah dari linguistik. Pasca teori Saussure, teori linguistik yang paling banyak menandai studi semiotika adalah teori Hjelmslev, seorang strukturalis dari Denmark. Pengaruh itu nampak pada teori semiologi komunikasi. (Prieto, Buyssnes, Mounin). Teori ini merupakan pendekatan semiotika yang hanya memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud (signal), yang digunakan dngan sadar oleh mereka yang mengirimnya (si pengirim) dan mereka yang menerimanya ( si penerima). Sistem semiotik dari rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu contoh penggunaan tanda seperti ini. Pengaruh Hjelmslev terlihat lagi dalam penelitian para tokoh semiotik yang menaruh perhatian pad atanda-tanda yang tanpa maksud yang berupa symptom, yang sering dihasilkan oleh pengirim tanpa disadari. Para ahli semiotika ini tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai tanda itu. Roland Barthes adalah tokoh yang paling terkenal dari aliran semiotika ini, yang populer disebut 'semiotika konotasi'. Pada penggunaan konsep linguistik ditambahkan penggunaan konsep psikoanalisis (aliran Freud) atau sosiologis (marxis), dalam kerja kaum semiotik yang cenderung memberikan tempat yang tinggi dan sentral, yaitu tempat yang biasanya diduduki oleh filsafat. Julia Kristeva adalah tokoh yang paling dikenal dari aliran ini biasanya disebut 'semiotika ekspansionis'. Aliran semiotika ini juga mengambil aspek epistemologi paham linguistik modern Noam chomsky yang beraliran transformasionalisme generatif (Zoest, 1992:4). Jadi jika kita simpulkan kedua tokoh semiotika tersebut memang tidak memiliki hubungan kausalitas baik dari segi ontologis, epistemologis maupun aspek aksiologis. Ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang dikenal dengan linguistik umum, ia belum mengenal studi sebagaimana ditulis oleh Peirce pada masa itu. Roman Jakobson (1966) menyatakan sebagai berikut, bahwa ctatan

tentang semiotika yang telah dikembangkan oleh Peirce di atas kertas selama setengah abad, penting dari segi sejarah, dan sampai tahun 1930-an belum diterbitkan, atau jikalau paling tidak catatan-catatan tersebut telah dikenal oleh para ahli linguistik, maka pandangan Peirce pasti akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan teori linguistik internasional (lihat Zoest, 1992:5). Dua tipe semiotika yang dikembangkan olehdua filsuf tersebut memang memilkiki ciri khas serta karakteristik masing-masing. Namun demikian kedua tipe tersebut tidak perlu dipandang sebagai suatu kontradiksi, misalnya signifikansi dan komunikasi, statis dan didnamis, konvensional dan progresiv, dogmatis dan revolusioner, teori dan praksis, dan seakan-akan tidak ada ruang lain (Piliang, 2004:v). Jika dikaji secara filosofis kedua tipe semiotika tradisi Saussure danPeirce justru sebenarnya saling memperkaya, meskipun secara epistemologi menunjukkan ciri khas masing-masing. Para ahli semiotika membedakan semiotika signifikansi (semiotic of signification) dicirikan berdasarkan filsafat bahasa Saussure, dan semiotika komunikasi (semiotics of communication) adlaah semiotika yang berdasarkan filsafat Peirce. Semiotika signifikansi yang berakar pada tradisi filsafat bahasa Saussure, meskipun lebih menaruhp erhatian terhadap tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak berarti bahawa semiotika tersebut mengabaikan penggunaan tanda secara kongkrit oleh individu-individu di dalam konteks komunikasi sosial. Demikian pula semiotika komunikasi yang mendasarkan pada filsafat Peirce, meskipun menekankan pada produksi tanda secara sosial dan pross interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda (lihat Piliang, 2004:vii). Dalam kenyataannya pembahasan dua macam model semiotika tersebut justru terjadi interaksi yang saling memperkaya dan saling melengkapi. Semiotika Signifikansi Sebagaimana dipahami oleh para ahli semiotika, bahwa terdapat dua tradisi yang besar yang mengikuti pandangan dua filsuf besar yaitu filsuf bahasa Ferdinad de Saussure yang merupakan bapak linguistik modern dan Charles Sanders Peirce yang memiliki latar belakang filsfat pragramtisme, logika dan bahasa. Semiotika yang mengikuti tradisi Saussure lebih dikenal dengan istilah 'semiologi, sedangkan

tradisi Peirce dipopulerkan dengan istilah semiotika. Pandangan filsafat Saussuretentang bahas amenyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda, oleh karen aitu bahasa merupakan sarana komunikasi manusia maka bahasa juga sebagai sistem tanda dalam komunikasi manusia (Piliang, 2004:vii). Jika bahasa sebagai sistem tanda dalam komunikasi sosial manusia maka implisit dalam pengertian tersebut terdapat sebuah relasi, bahwa bila tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang berlaku. Oleh karena itu dalam semiotika terdapat pengertian sistem tanda (sign system). Sussure tidak mengakui bahwa bahsa memiliki keteraturan secara alamiah, melainkan dalam bahasa terdapat konvensi sosial (social convention), dan bahasa adalah sebagai convensi yang arbitrer. Meskipun demikian karena keterkaitannya sistem tanda bahasa dngan sistem sosial, maka konvensi juga mengatur tanda secara sosial tentang pemilihan, pengkombinasikan dan penggunaan tanda secara tertentu, sehingga sistem tanda ini memiliki nilai sosial. Hal inilah yang memungkinkan bahasa sebagai sarana komunikasi sosial, yang memiliki aturan tertentu yang disepakati bersama. Berkaitan dengan hal ini, Saussure mengusulkan dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial (parole). Perbedaan antara langue dan parole ini sangat sentral dalam pemikiran bahasa Saussure, oleh karena sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Culler, ia mempunyai konsekuensi lebih luas pada bidnag-bidang di luar linguistik, sdisebabkan secara esensial ia merupakan perbedaan antara 'institusi' dan 'event', antara sistem yang memungkinkan berbagai tindak tanduk sosial, dan contohcontoh aktual tingkah laku itu sendiri, atau dengan analogi yang lebih ekstrem, antara sebuah 'kitab suci' dan bagaimana setiap orang 'mengamalkannya' (Pilliang, 2004:vii). Apa yang secara epistemologi disebut 'semiotika signifikasi' pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat 'langue, sementara 'semiotika komunikasi', adalah semiotika pada tingkat parole. Meskipun demikian, analogi istitusi dan evenet, sistem vs tindakan, pedoman dan pengamalannya untuk menjelaskan dua model analisis bahasa Saussure tersebut, bisa menjebabk pada kerangka pikir relasi

horisontal atau relasi 'satu arah' (Pilliang, 2004:vii), yang dogmatis dan hegemonis antara yang pertama dan yang kedua. Akan tetapi bertentangan dengan pandangan tersebut, yang akan dijelaskan nanti Saussure justru melihat relasi antara langue dan parole sebagai relasi yang saling menghidupkan dan saling mengembangkan. Dalam kerangkalangue, Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda (signifier) untukmenjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang penanta (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna. Dalam melihat relasi pertandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention), yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilahyang disebut sebagai siginifikansi (signification). Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvisi tertentu (Fiske, 1990:85). Meskinpun demikian, signifikansi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapatingkat relasi tersebut, mulai dariyang sederhana sampai yang sangat kompleks. Kompleksitas relasi inid igambarkan oleh Roland Barthes lewat tingkatan signifikansi (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. Barhtes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Denotasi adalahtingkat pertandaanyang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makan yang ekplisit, langsung dan pasti. Sementara konotasi adalah tingkat pertandaanyang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga menjadi makan yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makan yang berkaitan dengan mitos. Mitos sebagaimana diungkapkan dalam pemahaman semiotika Barthes adalah sistem pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (Barthes, 1967; Pilliang, 2004:viii). Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu,semacam mesin untuk memproduksi makna. Akan tetapi, seperti setiap mesin, hanya terdapat kemungkinan yang terbatas bagi setiap orang dalam menggunakannya. Demikian

pula bahasa, manusia tidak bisa membayangkan sebuah bahasa, yang hanya mempunyai satu kata saja untuk menjelaskan setiap hal, misalnya kata rem. Dalam bahasa kita disediakan perbendaharaan kata atau tanda (vocabulary), serta perangkat aturan main bahasa (gramar, sintak) yang harus kita patuhi. Jika kita ingin menghasilkan sebuah ekspresi yang bermakna. Semiotika signifikansi, dalam hal ini, menaruh perhatian padarelasi sistematik antara perbendaharaan tanda, aturan pengkombinasiannya (code), serta konsep-konsep (signified) yang berkaitan dengannya. kode adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang didalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga kemungkinan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain (Eco, 1979:48). Ada berbagai rule of the game atau aturan penggunaan dalam bahasa. Aturan pertama, menurut Saussure bahwa di dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan (difference). Misalnya, tidak ada hubungan keharusan antara kata peci dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup kepala kitaL apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan antara peci, picu, pacu, poci, dst. Kata-kata mempunyai makna disebabkan diantara katakata tersebut ada perbedaan, disebabkan mereka berada didalam relasi perbedaan. Aturan main kedua adalah perbendaharaan tanda dan cara kombinasinya. perbedaan; dalam bahasa, menurut Saussure hanya dimungkinkan lewat operasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigms dan aksis syntagms. Paradigms adalah satu perangkat tanda (kamus, perbendaharaan kata) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Syntagms adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu,s ehingga menghasilkan ungkapan bermakna. Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan Saussure tersebut, Roland Barthes mengembangkan sebuah model relasi antar apa yang disebutnya system, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan syntagm, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu (Barthes, 1967:125). Meskipun demikian, semiotika signifikansi yang dikembangkan oleh Saussure dan Barthes banyak mendapat kritik dari berbagai pihak. Semiotika signifikasi dianggap mengandng banyak kelemahan, terutama sifatnya yang statis, dogmatik dan mekanistik. Semiotika struktural dianggap terlalu menyandarkan diri pada sistem dan struktur yang tidak berubah, sehingga menutup pintu bagi peran manusia

sebagai subjek (Subject), yang mempunyai potensi-potensi kreativitas dan produktivitas dalam mengubah bahasa (Pilliang 2004:vii-xii). Berbagai pembacaan mendalam terhadap karya Saussure menunjukkan bahwa Saussure sesungguhnya tidak anti perubahan, sebagai mana yang sering dituduhkan. Sebaliknya, sebagaimana yang dikemukakanoleh Paul J. Thibault, dalam Rereading Saussure: The Dynamics of Signs in social Life, ada sifat-sifat fleksibilitas yang dcukup kuat pada filsafat bahasa Saussure, yang melihat strutkru dan sistem bahasa sebagai sesuatu yang dapat berubah, sesuai dengan perkembangan sosial dan lingkungan, meskipun demikian, perubahan tersebut tidaklah sewenang-wenang dan anarkis (Piliang, 2004,x). Saussure melihat, bahwa sistem bahasa (langue) merupakan kondisi yang harus ada dalam setiap penggunaan tanda secara konkrit (parole). Setiap pengguna bahasa akan mengacu pada sistem bahasa tersebut. Akan tetapi, dalam proses penggunaan bahasa tersebut, terbuka pintu bagi sebuah titik awal perubahan sistem (change in system). Relasi atas langue dan parole bukanlah sebuah relasi yang statis dan tidak berubah, sebaliknya justru merupakan basis dari sifat dinamis bahasa. Dengan demikian, tidak benar merupakan basis dari sifat dinamis bahasa. Dengan demikian, tidak benar pengguna bahsa dilihat hanya sebagai subek yang pasif dihadapan hegemoni sistem dan atuaran bahasa tersebut. Sistem bahasa justru dapat berubah ketika ia diui secara terus menerus di dalam praktik kehidupan sosial. Akan tetapi, sistem bahasa tidak bisa diubah oleh individu-individu semata sebagai pengguna bahasa pada tingkat parole, sebab dengan demikian, dapat berkembang egoisme atau anarkisme bahasa. Sistem bahasa hanya bisa diubah oleh individu dan kolektivitasnya (Thibault, 1998:27). Artinya, tindak individu dalam penggunaan bahasa dalam mengubah sistem tanda, selama perubahan tersebut diterima secara kolektif, dan kemudian menadi konvensi baru. Dengan demikian, struktur bahasa yang berdasarkan pemikiran saussure dilihat sebagai bersifat sinkronis, kini dapat mengalami perubahan ketika sistem tersebut ditempa di dalam praktik-praktik penggunaan bahasa secara diakronik, yang didalanbya lingkungan, keadaan, situasi dan hal-hal baru yang berkembang di dalam praktik tersebut menuntut sistem untuk berubah (Piliang, 2004:xi). Dengan demikian, langue adalah produk sosial, dalam pengertian, bahwa ia secara terus menerus ditempa di dalam praktik penggunana bahasa komunitas,

yang didalamnya langue dipelihara prinsip dasarnya, akan tetapi sekaligus diubah secara evolusioner. Konsekuensinya adalah bahwa langue tidak dapat berdiri sendiri secara otonom dalam kaitannya dengan parole, melainkan saling mempengaruhi secara timbal balik. Dengan perkataan lain, struktur dan relasi bahsaa di dalam sistem bahasa yang ada tidak bersifat permanen, kemestian dan tak berubah, melainkan subek dari transformasi historis dan sosial. Ketimbang besifat stabil, bahasa justru selalu bergerak dalam kondisi ketidakstabilan yang permanen (permanen instability) (Thibault, 1998:28). Meskipun demikian, perubahan yang dimaksud Saussure bukanlah perubahan yang sewenang-wenang, anarkis, dan tanpa aturan. Perubahan tersebut dilandasi oleh prinsip dialektika sosial sendiri, yang didalamnya terjadi proses tesis dan sintesis sebagai jalan kearah pengkayaan, penyempurnaan dan kompleksitas bahasa secara terus menerus. Parola adalah semacam kebebasan kombinasi (freedom of combination). Akan tetapi, kebebasan disini bukanlah dalam pengertian kebebasan random, tidak sistematis, atau anarkis. Dalam berkomunikasi subek tetap saa secara aktif menggunakan sumber daya langue berdasarkan pengalaman masa lalu dan pola pola regulernya, akan tetapi ia menyesuaikan sesitem tersebut dengan perubahan dan ketidakpastian situasi yang ada (contingency). Dengan demikian, kebebasan dalam parole bukanlah kebebasan tanpa batas. Individu-individu tidak mempunyai kebebasan untuk memproduksi kombinasi semau dan sesukanya. Aktivitas produksi makna dalam parole dimungkinkan sekaligus dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh sistem bahasa. Penggunaan bahasa secara kreatif dan inovatif selalu dalam konteks transformasi sumber-sumber sosial dan semiotis secaa evolusioner, bukan perubahan yang acak dan revolusioner (Pilliang, 2004: xii); (Thibault, 1998:78). Pemikiran Saussure tentang dinamika dan dialektika perubahan, sperti yang dijelaskan Thibault di atas, sesungguhnya telah menempatkan Saussure tidak pada posisi "membelenggu' subjek pengguna bahasa lewat 'kekuasan struktur' (hegemony of structure), sebagaimana yang sering dituduhkan, akan tetapi pada posisi yang relatif tidak berbeda dengan Peirce. Saussure mengakui parole sebagai ruang tempat berlangsungnya perubahan, hanya saja ia tidak memfokuskan diri pada ruang tersebut, tetapi pada 'sistem bahasa' (langue), yang merupakan prakondisi dari

parola. Artinya, Saussure mengakui tidak saja aspek signifikansi dari semiotika, akan tetapi juga aspek komunikasinya. Hanya saja, ia tidak masuk terlalu jauh ke dalam aspek komunikasi tersebut, 'medan' yang justru dimasuki secara intens oleh Peirce (Pilliang, 2004:xii).

Semiotika komunikasi Peierce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subek atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce adalah ...something which stands to somebody for something in some respect or capacity (Winfried Noth, 1995:42). Tampa pada definisi Peirce ini peran subjek (somebody) sebagai bagian tak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi, menurut Umberto Eco dalam A Theory of semiotic, adalah semiotika yang menekankan aspek produksi tanda (sign production), ketimbang sistem tanda (sign system). Sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekera tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengkombinasikannya, dalam rangka memproduksikan sebuah ekpresi bahasa bermakan (Eco, 1979:15); Pilian, 2004:xii). Bila Saussure dianggap mengabaikan subjek sebagai perubahan sistem bahasa, Peirce sebaliknya melihat subek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model tradic yang digunakan Peirce (representamen + object + Interpretant = sign) memperlihatkan peran besar subek ini dalam proses transformasi bahasa. tanda dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak terbatas (unlimited semiosis), yaitu proses penciptaan rangkaian interpretant yang tanpa akhir di dalam sebuah rantai produksi dan reproduksi tanda yang didalamnya tnda mendapatkan tempat hidupnya, bertumbuh, dan berkembang bika (Winfried Noth, 1995:43). Umberto Eco yang sering disebut-sebut sebagai penengah antara semiotika signifikasi Saussure dansemiotika komunikasi Peirce melihat salah kaprah dalam melihat model-model semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi sebagai sebuah relasi oposisi biner. Menurut Eco sistem tanda (langue) dan proses

interpretasi tanda secara tak terhingga (Semiosis) tidak bisa dilihat dalam keranka oposisi biner. Ada pandangan yang keliru, bahwa seakan-akan orang tidak menyatukan antara doktrin tanda (doctrine of sign) dan doktrin semiosis sebagai proses interpretasi tanpa akhir. Dalam hal ini, seakan-akan orang harus memilih antara teori tanda (teori signifikansi) dan teori semiosis (yang disebut uga oleh Eco teori praktik signifikant, teori proses komunikasi, teori teks dan teori wacana). Keharusan memilih di antara dua teori inilah yang merupakan salah kaprah dalam semiotika, yang membuat seakan-akan Saussure danPeirce merupakan dua kubu perang, yang tidak dapat didamaikan, sebagai dua seteru yang tidak dapat dipertemukan. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Eco, bagaimanapun uga tanda adalah asal usul dari proses semiosis, sehingga dengan demikian tidak ada oposisi antara keliaran semiosis (dan aktivitas interpretasi) Peirce dan kekakuan dan kebekuan tanda Saussure (Eco, 1979:1); (pilliang, 2004:xiii). Dapat dilihat di sini, bahwa pandangan Eco ini sejalan dengan pandangan Thibault, yang melihat sifat-sifat dinamis, progresif dan transformatif yang sama-sama dimiliki oleh Saussure maupun Peirce, yang menyebabkan jurang yang memisahkan antara kedua ahli semiotika itu sesungguhnya tidak ke sedalam sebagaimana yang dibayangkan. Ini berarti, bahwa semiotika itu sesungguhnya tidak sedalam sebagaimana yang dibayangkan. Ini berarti, bahwa semiotika signifikansi dan semiotika komunikasi semata adalah penamaan dari dua proses yang satu sama lain sesungguhnya saling berkaitan, saling mengisi, saling mempengaruhi timbal alik (reciprocal) dan tidak dapat dipisahkan begitu saja sebagai dua medan yang otonom. Lewat sebuah otonom yang mendalam tentang karya Peirce dan Saussure, Eco memberikan sebuah elaborasi yang komprehensif dan kritis mengenai model signifikasi Saussure, dan model produksi tanda Peirce di dalam A Theory of Semiotics. Eco mengelaborasi lebih jauh konsep dinamika tanda yang tidak dikembangkan secara khusus oleh Saussure, dan tidak diuraikan secara detail oleh Peirce. Menurut Eco, ketika seseorang menuturkan kata (atau image), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda (yang sebagaimana konsep produksi dalam ekonomi melibatkan berbagai lapisan pekerja (labor), khususnya pekerja tanda. Ia mempekerakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan

mengkombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu). Ketika orang lain membaca kata (atau image) tersebut, maka ia menggunakan tenaga kera interpretasi, dengan cara mengerahkan segala kemampuan baca dan kode (kode) yang dipahaminya, dalam rangka memahami kata (atau image) tersebut. Di dalam proses pertukaran kata (atau image) tersebut sesungguhnya berpeluang teradi proses perubahan kode (the changing of codes) (Eco, 1979:152). Dalam hal ini, Eco melihat semacam dialektika antara kode (code) dan pesan (message). Meskipun kode mengontrol penyampaian pesan, akan tetapi pesan itu sendiri dapat merestruktur kode, yang memberi peluang bagi kreativitas bahasa. Orang dapat merestruktur ekspresi maupun isi pesan mengikuti kemungkinankemungkinan dan kapasitas pengkombinasinya yang dinamis. Proses komunikasi dapat menciptakan semacam diskursus baru (new discourse), yaitu ketika ekspresi atau isi komunikasi betul-betul baru dan tak terumuskan (undefinable) lewat kode yang ada (Eco, 1979:188). Dalam hal ini, Eco melukiskan sebuah situasi diskursus yang didalamnya berlangsung proses kreativitas yang mengubah aturan (rule changing creativity), yaitu ketika situasi diskursus menuntut adanya perubahan aturan main. Seperti seorang pelukis, dalam komunikasi sseorang dihadapkan pada keharusan menemukan sebuah fungsi tanda yang baru. Akan tetapi, oleh karena setiap penggunaan fungsi tanda diatur oleh sebuah kode, ia harus mengusulkan cara baru pengkoden (new coding). Untuk mengusulkan sebuah kode, berarti mengusulkan korelasi, dan setiap korelasi harus berdasarkansebuah konvensi (convention). Akan tetapi, oleh karena konvensi itu sendiri belum ada, maka ia harus melandasi korelasi tersebut berdasarkan konvensi baru (new convention) (Eco, 1979:189); (Pilliang, 2004:xiv). Proses dinamika bahasa seperti ini, sebagaimana yang kita lihat di atas halnya dimungkinkan ketika sistem bahasa (langue) dan proses penggunaan tanda secara sosial merupakan sebuah spiral, yang satu sama lain saling mendinamisasi, sehingga menciptakan sebuah sistem bahasa yang selalu siaga terhadap berbagai situasi atau lingkungan baru, yang menuntut danya perubahan. Akan tetapi, sebagaimana yang diingatkan oleh Saussure, proses dinamika bahasa tersebut bukanlah proses yang semena-mena, oleh karena produk akhir dari setiap perubahan sistem adalah konvensi baru, yang merupakan produk sosial dari bahasa (Pilliang, 2004:xii-xiv).

Semiotika 'ekstra-komunikasi' Ada sebuah 'medan bahasa' yang secara sepintas tampak 'melampaui' ruang kontroversi antar a'semiotika signifikansi' dan semiotika komunikasi', yaitu sebuah 'medan ekstra', yang untuk itu sebuah neologi semiotika perlu diusulkan, yaitu apa yang disebut 'semiotika ekstra-komunikasi'. Meskipun semiotika seperti ini masih bergantung pad akonsep-konsep tanda dan komunikasi, akant etapi ia mempunyai hubungan yang 'ironis' dengannya. Dalam hal ini, kitatampaknya diajak untuk berpikir sedikit ekstrem tentang teori komunikasi. Bahwa ada semacam 'medan komunikasi;, yang didalamnya yang menjadi fokus atau motif bukanlah 'pesan' (message), melainkan 'sesuatu' yang berada di luar relasi komunikasi sender/message/receiver, apakah itu yang disebut noise, turbulensi, disorder, chaos, disinformasi, simulasi atau ironi (Piliang, 2004:xv). Bila semiotika signifikansi Saussure dianggap terlalu bersandar pada langue sebagai 'pusat' (center) yang dituduh menghalangi inovasi dalam bahasa, maka semiotika 'ekstra-komunikasi' lebih menaruhp erhatian pada kemungkinan baru yang tidak terpikirkan' (unthinkable),'tak terbayangkan' (unimaginable) atau bahkan 'tak terpresentasikan ' (unrepresentable) di dalam bahasa. Bila diciptakan ruang kreativitas dalam bahasa, dan bila dibuka pintu bagi kemungkinan untuk menyingkap berbagai hal yang tak terpikirkan dan tak terpresentasikan dalam bahasa, maka bahasa harus melepaskan sandarannya pad cara berpikir sistem dan struktur. Cara-cara berpikir seperti inilah yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Derrida, Kristeva, Deleuze & Guattari, Serres dan Baudrillard. Dalam konteks semiotika ekstra-komunikasi' ini, Michel Serres melihat elemen noise yang selama ini dianggap sebagai 'ekses' dalam komunikasi sebagai elemen yang sanga tpenting dalam komunikasi. Ia mengemukakan, bahwa noise bukanlah semata elemen 'pengganggu' komunikasi, melainkan salah satu unsur penting dalam komunikasi itu sendiri. Hal ini disebabkan bahwa noise pada kenyataannya mempunyai ciri0ciri yang tidak berbeda dengan pesan (message). Artinya, noise itu juga membawa sebuah pesan. Bila didalam sebuah ruang kelas, misalnya, ketika seorang guru tengah asyik berbicara, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk yang berasal dari tawuran pelajar di jalan, maka hirukpikuk di sini tidak hanya dilihat sebagai 'pengganggu' komunikasi guru-murid, akant etai ia juga

sebuah 'pesan' misalnya murid harus berjaga-jaga terhadap akibat samping dari tawuran tersebut (Serres, 1995:dalam Pialang, 2004:xix). Noise, dengan demikian, justru menjadi bagian yang sama pentingnya dengan pesan dalam komunikasi. Jacques Derrida melihat, bahwa semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Saussure sarat dengan kecenderungan 'logosentrisme' yaitu kecenderungan bahasa untuk merayakan sifat metafisik dan dogmatik dari langue, dengan menutup prose permainan dan produktivitas tanda. Ini tampak, misalnya, pada kecenderungan determinasi speech atas writting, languae atau paroe, signified atas signifier, determinasi seperti ini menjadi sebab utama dari 'penutupan' (foreclosure) berbagai kemungkinan tafsiran kreatif yang disediakan oleh bahasa dan tanda. Derrida lalu membedakan antara dua cara penafsiran, yaitu : penafsiran 'restropektif' (restropective), yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau orisinil, dan tafsiran 'prospektif' (prospective), yang secara eksplisit membuka pintu bagi indeterminasi makna, didalam sebuah 'permainan bebas' (free play) (Derrida, 1987:20). Derrida menggunakan istilah differance untuk menjelskan sebuah proses permainan bebas penanda yaitu berupa 'pergerakan' dari satu penanda ke penanda lainnya, dengan melepaskan diri dari determinasi sistem. Ia juga menggunakan istilah 'diseminasi' (dissemination) untuk menjelaskan sebuah situasi 'ketidakterisian makna' disebabkan absennya petanda. Di dalam determinasi, kondisi 'ketidakterisian makna' dan 'ketidakterisian kode' ini dibiarkan secara tak berhingga, sebab perhatian lebih dipusatkan pada permainan dan ekspresi itu sendiri. Sedikit berbeda dengan Serres, Baudrillard melihat sebuah model komunikasi, yang didalamnya pusat perhatian bukanlah pad pesan, makna atau noise, melainkan pada 'permainan medium' itu sendiri. Dipengaruhi oleh pemikiran McLuhan, Baudrillard melihat, bahwa justru 'medium' itu sendiri yang kini menjadi pesan (medium is the message). Artinya, pusat perhatian dan motif dalam komunikasi telah beralih ke pencarian pesan ke arah keterpesonaan yang ditimbulkan oleh permainan, teknik dan kecanggihan teknologi medium itu sendiri. Di dalam the Ecstras of communication, Baudrillard melukiskan tentang bagaimana relasi komunikasi, yang disebutnya 'ekstasi komunikasi', telah memerangkap setiap orang di dalam keterpesonaan tindak, teknik dan teknologi komunikasi itu sendiri, sehingga pesan komunikasi yang sesungguhnya menjadi tidak dipentingkan lagi. Komunikasi telah beralih darimotif mencari pesan lewat medium, ke arah motif

penikmatan kesenangan (ekstasi) yang disediakan oleh medium itu sendiri, yang kini mengambil alih pesan, dan bahkan telah berubah menjadi 'pesan' itu sendiri (Boudrillard, 1988, dalam Pilliang, 2004, xvii). Bila pemikir sebelumnya menaruh perhatian pada 'ekses-ekses' pada rantai komunikasi, Jacques Lacan memfokuskan diri pada 'kegalauan' atau 'turbulensi' dalam sistem pertandaan. Di dalam model komunikasi yang dikemukakan lacan, yang disebut model komunikasi 'skizofrenia', terjadi semacam 'keterputusan' rantai pertandaan (antara penanda dan petanda, antara penanda dan penanda lainnya), yang menciptakan serangkaian penanda-penanda yan satu sama lainnya tidak berkaitan, sehingga tidak mampu menghasilkan sebuah ungkapan bermakna. Di dalam bahasa skizofrenia, semua penanda dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan car ayang stabil, sehingga menciptakan semacam persimpangsiuran penanda-penanda yang kemudian tercipta adalah semacam 'kegalauan dalam pertandaan', yang untuk itu sebuah neologi lain dapat diusulkan untuk menjelaskannya, yaitu apa yang disebut 'semiotika chaos', yang untuk penjelasannya diperlukan konsep teoritis atau pengembangan lagi (Piliang, 2004:xii-xvii).

C. Filsuf Semiotika dan Pemikirannya 1. Ferdinand de Saussure Saussure lahir di Jenewa tahun 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu, karena keberhasilannya dalam bidang ilmu pengetahuan. Ia hidup sejaman dengan Sigmund Freud dan Emile Durkheim, meskipun tidak banyak bukti bahwa di antara mereka saling berkomunikasi. Setelah satu tahun kuliah di Jeneewa pada fakultas fisika dan kimia, nampaknya Saussure kurang tertarik pada bidang tersbut, dan kemudian ia pindah ke universitas Leipzig untuk belajar ilmu bahasa. Kemudian pada umum 21 tahun ia belajar bahasa Sansakerta selama 18 bulan, dan pada saat itulah ia menerbitkan memoire-nya yang sangat terkenal berjudul Memoire sur le Systeme Primitif des Voyelles dans les Langues Indo-Europeenes (Memoir tentang Sistem Huruf Hidup Primitif dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa).

Pada tahun 1880, setelah mempertahankan tesisnya tentang kasus generatif mutlak dalam bahasa sansakerta, Saussures pindah ke Paris. Pada tahun 1881 ia diangkat menjadi dosen dalam bahasa Gothic dan bahasa Jerman Kuno di Ecole Pratique des Hautes Etudes. Selama sepuluh tahun ia mengajar di Paris sampai diangkat menjadi professor bahasa Sansakerta dan bahasabahasa Indo-Eropa di Universitas Jenewa (Lechte, 2001:232, 233). Menurut Lyons (1995:38), Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda. Ia sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku. Catatan-catatan kuliahnya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline. Karyanya yang disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat ia memberi kuliah linguistik umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, judul course in General Linguistics (Lechte, 2001:232). Karya ini dikemudian hari merupakan sumber teori linguistik yang paling berpengaruh. Karya itulah yang dikenal dengan istilah strukturalisme (Grenz, 2001: 178). Banyak aliran linguistik yang berlainan dapat dibedakan pada waktu ini, tetapi semuanya secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh strukturalisme Saussure (Sobur, 2:44 ). Menurut Stanley J. Grenz, kehebatan Saussure adalah ia berhasil menyerang pemahaman historis terhadap bahasa yang kembangkan pada abad ke-19 memulai studi bahasa dengan fokus kepada prilaku linguistik nyata (ucapan manusia, parola). Studi demikian menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh, seperti geografi, perpindahan penduduk, perubahan jumlah penduduk, dan faktor-faktor lainnya yang memperngaruhi perilaku linguistik manusia (Grenz, 2001: 178). Saussure menggunakan pendekatan anto-historis yang melihat bahasa sebagai sistem yang utuh dan harmonis secara internal (langue). Ia mengusulkan teori bahasa yang disebut strukturalisme untuk menggantikan pendekatan historis dari para pendahulunya. Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simponi, kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara kesluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Untuk memahami bahasa, kita harus melihatnya secara sinkronis, sebagai sebuah jaringan hubungan antara bunyi dan makna. Kita tidak boleh

melihatnya secara atomistik, secara individual. Saussure mempertanyakan pendekatan terhadap studi bahasa yang dilakukan oleh pencerahan. Para ahli bahasa abad Pencerahan melakukan studi dengan mengurusi kepingankepingan detail dan sebagai orang luar (yang tidak terlibat dalam bahasa itu sendiri). Baginya, bangsa adalah sebuah keutuhan yang berdiri sendiri. Pendekatan inilah yang disebut-sebut sebgai linguistik struktual (Sobur, 2004: 44). Pada perkembangan selanutnya, pemahaman struktual demikian menjadi dasar bagi pemikiran postmodernisme yang diwariskan Saussure. Para ahli linguistik sebelum dia melihat bahasa sebagai fenomena alamiah yang berkembang sesuai hukum-hukum yang baku. Mereka mengatakan bahwa struktur bahasa kita mencerminkan proses logika berpikir. Misalnya, kategori dalam logika mengatakan subtansi dan kualitas. Kategori dalam bahasa menerjemahkannya menajadi kata benda dan kata sifat. Kata-kata ini merupakan label bagi benda-benda yang bisa dikenali sehingga bahasa adalah klasifikasi. Saussure mengatakan sebaliknya bahwa bahasa adalah fenomena sosial. Tampaknya memang, pandangan Saussure berbeda total dengan ilmu bahasa abad ke-19, dan juga dengan epitemologi Pencerahan. Jika bahasa adalah sebuah fenomena sosial, maka setiap sistem bahasa ditentukan oleh kebiasaan sosial. Bahasa itu bersifat otonom: struktur bahasa bukan merupakan cerminan dari struktur pikiran atau cerminan dari fakta-fakta. Struktur bahasa adalah milik bahasa itu sendiri (Grenz, 2001: 180)/ Sebetulnya, sebelum tahun 1960 tidak terlalu banyak orang dalam lingkungan akademik atau luarnya yang pernah mendengar nama Saussure. Namun, sesudah tahun 1968, kehidupan intelektual Eropa menjadi ramai dengan perbincangan tentang karya-karya bapak strukturalisme dan linguistik ini. Selain sebgai seorang yang memupuk berlangsungnya tradisi intelektual, Saussure juga merupakan seorang tokoh pembaruan intelektual dan ini jelas dalam karyanya, Caurse in General Linguistics, yang membuatnya tekenal dari luar lingkungan linguistik (Sobur, 2004: 45). Sebagaimana dijelaskan di depan bahw Saussure dilahirnkan di Jenewa pada tahun 1857 dalam sebuah karya keluarga yang sangat terkenal di kota itu

karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Durkhein meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan mereka. Selain sebagai seorang ahli lingustik, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan. Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi Strauss, yaitu pandangan tentang (1) signifeir (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran): (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serata (5) syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik). Signifier dan Signified. Yang cukup pentinga dalam upaya mengangkap hal pokok pada teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifer (penanda) dan signified (pertanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara manusia, binang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut mengekpresian, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-pengrtian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sistem konvensi sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bendtuk penanda (signified). Dengan sebuah ide atau pertanda (signifer). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai da segi: Penanda atau pertanda; signifier atau signified; signifiant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tanpa tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas

dari penanda; pertanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas,kata Saussure (Sobur, 2004: 46). Jadi, meskipun antara penanda atau petanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 18982, dalam Ahmisa-Putra, 1998: 35). Maka itu, setiap upaya untuk memaparkan teori Saussure mengenai bahasa pertama-tama harus membicarakan pandangan Saussure mengenai hakikat tanda tersebut. Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citraan saurau (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifer), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan kata tersebut. Ambil saja, misalnya, sebuah kata apa saja, maka kata tersebut pasti menunjukkan tidak hanya suatu konsep yang berbeda (distinct concept), namun juga suara yang berbeda (distinc sound). Berlawanan dengan tradisi yang membesarkannya, Saussure tidak meneria pendapat yang menyatakan bahwa ikatan mendasar yang ada dalam bahasa adalah antara kata dan benda. Namun, konsep Saussure tentang tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Meski demikian, bahkan secara lebih mendasar Saussure negungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh dalam teori linguistiknya: bahwa hubungan antara penanda dan yang ditandakan (pertanda) bersifat menasuka atau berubah-ubah. Berdasarkan prinsip ini, struktur dasar suatu bahasa tidak lagi dianggap muncul dalam etimologi dan filologi, tetapi bisa ditangkap dengan sangat baik melalui cara bagaimana bahasa itu mengutarkan (yaitu konfigurasi linguistik tertentu atau totalitas) perubahan. Karena itu, pandangan nomenklaturis menjadi suatu landasan linguistik yang sama sekali tindak mencukupi (Sobur, 2004: 47); (Lechte, 2001: 235).

Form dan Content. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) ini oleh Gleason (Pateda, 1997: 35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea. Memang demikianlah wujudnya. Saussure membandingkan form dan content atau subtance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji catur itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi, aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya. Untuk membedakan antara form (bentuk, wadah) dan content (isi) ini, Saussure (Ahimsa-Putra, 2001:39) memberikan contoh lain yang kini sangat populer, yakni kereta api. Umpamanya saja, kita tahhu bahwa di Stasiun Bandung ada kereta api Parahyangan Bandung-Jakarta pukul 07.50 (kalau tidak telat). Pada hari senin, kita naik kereta api ini ke Jakarta. Hari selasa berikutnya kita naik lagi kereta api ini ke Jakarta, dan kita katakan kita naik kereta api yang sama walaupun gerbong danlokomotifnya boleh jadi sama sekali sudah berbeda, karena kereta api tersebut bisa saja berganti setiap hari, baik gerbong maupun lokomotifnya. Juga susunan gerbong dan jumlahnya. Apa yang tetap di sini sehingga kita lalu mengatakan kita naik kereta api yang sama tidak lain adalah wadah kereta api tersebut, sementara isinya berubah-ubah. Begitu pula halnya dengan kata-kata. Kata sinkronisasi, misalnya, dapat diucapkan secara berlain-lainan oleh individu-individu yang berbeda, dan mungkin juga diberi makna yang berbeda. Walaupun demikian, kata tersebut tetaplah satu dan sama. Yang bervariasi, kata Saussure adalah the phonic and psychological matter, sedangkan wadahnya yaitu kata sinkronisasi sebagai bagian darisebuah sistem bahasa tetap sama (Ahimsa-Putra, 2001:40). Lalu persoalannya adalah, apa sebetulnya yang membuat suatu kata berbeda dalam phonic dan conceptual form-nya? Dengan kata lain, bagaimana suatu kata itu memperoleh maknanya? Atas pertanyaan ini Saussure memberikan jawaban yang lain dengan jawaban yang biasanya diberikan pada masa itu. Menurut Saussure, yang memberikan pada suatu kata disstinctive form-nya, atau bentuk khasnya, tidak lain adalah differensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata yang lain. Kata kalam, misalnya dibedakan menurut suaranya dengan kata salam, dan malam, namuns ecara

konseptual kata tersebut dibedakan dengan buku, pena, kertas, tinta dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang memisahkan suatu kata dengan katakata yang lain terutama yangmemisahkannya dengan kata-kata yang paling berdekatan (menurut suara maupun konsep) itulah yang memberikan identias pada kata tersebut. Jadi kata padi dalam bahasa Indonesia, umpamanya tidak persis sama dengan kata rice dalam bahasa Inggris, karena kata Indonesia tersebut terpisah dari kata atau dibedkan dengan kata rice. Artinya, kata padi tidak masuk dalam differensiasi system arti dalam bahasa Inggris (Sobur, 2004:48). Langue dan Parola. Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ialah yang meletakkan dasar perbedaan antara langue dan parole (Ricoeur, 1976:2-3) sebagai dua pendekatan linguistic yang pad agilirannya nanti dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori wacana. Hal ini pun diakui Roland Barthes (1996:80) yang menyatakan bahwa konsep (dikotomis) langue/parole sangat penting dalam pemikiran Saussure dan pasti telah membawa suatu pembaruan besar pada linguistic sebelumnya. Ketika itu , tutur Barthes, linguistik disibukkan oleh usaha mencari sebabsebab perkembangan bersejarah dalam perubahan ucapan, asosiasi spotan dan tindakan yang berjalan dengan itu, yang dengan sendirinya merupakan linguistik individual. Untuk mengembangkan dikotomi yang terkenal itu, Saussure mulai dengan sifat bahasa yang berbentuk amak dan beragam, yang pada pandangan pertama tampak bagaikan suatu realitas yangtak dapat dikelompok-kelompokkan kita seakan-akan tidak akan menemukan kesatuan di dalamnya, kaerna realita itu sekalipun bersifat fisik, fisiologi, psikis, individual dan juga sosial, kata Barthes. Padahal, katanya lagi, kekacauan itu dapat hilang dari semua keragaman tersebut dapat disarikan suatu obek sosial yang murni, suatu kesatuan sistematis dari konvensi yang memang perlu untuk komunikasi. Obek itu tidak tergantung dri materi tanda yang membentuknya, dan disebut langue. Di samping itu, terdapat parole yang mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bnyi, realisasi aturan-aturan, dan kombinasi tanda-tanda yang teradi sewaktu-waktu) (Sobur, 2004:49). Saussure membedakantiga istilah dalam bahasa Perancis: language, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran) terpaksa kita mengambil

alih istilah-istilah yang diberikan oleh buku Saussure sendiri, sebab dibidang ini kekhususan bahasa Perancis tidak mudah terjemahkan oleh bahasa-bahasa lain. Langage mengacu pada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parola (Bertens, 2001: 181-182; Alwasilah, 1993:77). Language adalah suat kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dn stimulus yang menunjang. Singkatnya, language adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langage ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan psikologis pada bagian tertentu maka dia tidak bisab erbicara secara formal. Dalam pandangan Barthes (1996:81) apa yang disebut langue itu adalah langage dikurangi parole: Itu adalah suat institusi sosial dan sekaligus juga suatu sistem nilai, katanya. Sebagai sistem sosial, langue, menurut Barthes, sama sekali bukan tindakan, tidak direncanakan sendiri: itulah sisi sosial dari langage. Individu tak dapat membuatnya sendiri, tidak juga dapat mengubahnya;l hal itu harus merupakan perjanian bersama. Apabila orang ingin berkomunikasi, ia harus mengikuti keseluruhan perjanjia itu, katanya. Selain itu, produksi masyarakat itu bersifat otonom, seperti permainan yang mempunyai aturan-aturan sendiri: orang tidak dapat menggunakannya kecuali setelah mempelajarinya. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial dan budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu (Hidayat, 1996:23). Alwasilah (1993:77) menyebut langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahas seauh merupakan milik bersma dari suatu golongan bahasa tertentu. Akibatnya , langue melebihi semua individu yang berbicara bahasa itu, seperti uga sebuah simfoni tidak sama dengan cara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes tertentu (dengan segala kekurangannya umpamanya). Jika ahli-ahli linguistik menyelidiki bahasa, mereka membatasi diri atas langue saja (Sobur, 2004:50); (Bertens, 2001:182). Langue ini ada dalam benak orang, bukan hanya abstraksi-abstraksi saa. Langue adalah sesuatuyang berkadar individual dan juga sosial universal. Langue dimaksudkan sebagai cabang linguistik yang menaruh perhatian pada

tanda-tanda (sign) bahasa atau ada pula yang menyebutnya sebagai kode-kode (code)bahasa (Kleden-Probonegoro, 1998:107). Yang termasuk dalam tanda bahasa dan kode inia dalah apa yang oleh para ahli disebut fonem, yaitu satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukan kontras makna (Kridalaksana, 2001:55-56) atau satuan bunyi terkecil yang berfungsi untuk membedakan arti (muliono, 1988:243). Misalnya dalam bahasa Indonesia /h/ adalah fonem, karena membedakan makna kata harus dan arus; /b/ dan /p/ adalah dua fonem yang berbeda karena bapa dan papa berbedad engan maknanya. Fonem merupakan abstraksi, sedangkan ujud fenotisnya tergantung pada beberapa faktor, terutama posisinya dalam hubungan dengan bunyi lain, selain itu, termasuk dalam tanda bahasa juga ada yang disebut morfem, yaitu satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Moeliono, 1988:592). Apa yang dinamakan langue itu, menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem (Bertens, 2001:182). Guna menjelaskan hal tersebut, ia mengemukakan perbandingan yang lalu menjadi terkenal, yakni bahsa sebagai langue dapat dibandingkan dengan main catur. Untuk mengerti permainan catur, tidak perlu dikatahui bhawa permainan ini berasal dari Parsi. Asal usulnya permainan catur tidak relevan untuk memahami permainan itu sendiri. Juga bahan dari mana buah-buah catur dibikin (kayu, gading, plastik), tidak memberikan kontribusi sedikit pun untuk pengertiannya. Permainan catur merupakan suatu sistem relasi-relasi di manas etiap catur mempunyai fungsinya. Dan sistem itu dikonstruksikan oleh aturan-aturanya. Menambah atau mengurangi jumlah buah catur berarti mengubah sistem esensial. Atau mengubah seluruh sistem. Demikian pula bahasa, bahasa itu bikan substansi, melainkan bentuk saja, kata Saussure. Maksudnya, bahan dari dama bahasa itu terdiri, tidak mempunyai peranan. Yang penting dalam bahasa adalah aturanaturan yang mengkonstitusikannya yaitu unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain. Dalam bahasa yang esensial ialah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu. Dalam bahasa Tionghoa, nada-nada memegang peranan penting. Namun menurut Saussure, bukan adanya nada-nada membentuk bahasa tionghoa sebagai bahasa, melainkan aturan-aturan yang berlaku bagi nada-nada tersebut (Sobur, 2004:51).

Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya tidak disadari oleh pengguna bahasa yang bersangkutan. Maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Kalau langue bersifat sinkronik, dalam arti tnda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat diakronik dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi pembicaraan. Berkebalikan dengan langue, parole merupakan bagian dri bahas ayang sepenuhnya individual (Budiman, 1999:89). Pertama-tama parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Selain itu, parole juga dapat dipandang seagai mekanisme psikofisik yang memungkinkan subjek menampilkan kombinasi-kombinasi tadi. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena adanya keberulangan inilah, setiap tanda bisa menjadi elemen dari langue. Juga, karena merupakan aktivitas kombinatif ini pula, maka parole terkait dengant indakan individual dan bukan semata-mata sebentuk kreasi. Berlainan dengan langue yang merupakan institusi dan sistem, parole seperti telah disinggung, merupakan suatu tindakan individual yan merupakan seleksi dan aktualisasi; parole itu terdiri atas kombinasi dan berkat kombinasi inilah maka subjek pembicara dapat menggunakankode bahasa itu untuk mengungkapkan pemikiranpribadinya (Bertens, 1996:81). Pengertian parole yang luas ini dapat disebut wacana. Kemudian, parole juga merupakan mekanisme psikofisik dan hal inilah, menurut Barthes, yang memungkinkannya menampilkan kombinasi tersebut. Menurut Bertens,dalam jalur semiologis itu ada kemungkinan bahwa pembedaan yang dibuat Saussure diubah, dan, justru hal itu perlu dicatat, kata Barthes. Barthes mencontohkan busana. Tentunya, kata dia, di sini perlu dibedakan tiga sistem yang berbeda, sesuai dengan realita yang

digunakandalam komunikasi dalam busana yang tertulis artinya digambarkan oleh suatu majalah mode dengan bantuan bahasa yang diucapkan dapat dikatakan bahwa di ini tak ada parole. Busana yang di gambarkan tidak pernah sesuai dengan realisasi individual aturan-aturan dalam mode itu. Menurutnya, merupakan suatukesatuan sistematik tanda dan aturan; itu adalah langue dalam keadaan yang murni. Berkaitan dengan ini, menurut Saussire, seperti dikutip Barthes (1996:82), tidak mungkin ada langue tanpaparola; yang memungkinkan hal tesebut (adanya langue sebelum pewujudan parole) kali ini diterima, karena di satu pihak bahasa mode tidak datang dari masa yang berbicara, melainkan dari kelompok pengambil keputusan yang dengan sadar mengembangkan kode, dan di lainpihak abstraksi yang menyatu pada setiap langue dikonkritkan di sini dalam bentuk bahasa tertulis: mode pakaian(tertulis) adalah langue pada atataran komunikasi pakaian, dan parole pada tataran komunikasi dengan katakata. Synchronic dan Diachronic. Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum menghiraukan diakornis. Apakah yang dimaksud denga kedua istilah ini? Kedua istilah ini berasal dari kata Yunani Khrona (waktu) dan dua awalan syn dan dia masing-masing berarti bersama dan melalui. Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalamlinguistik oleh Saussure adalah perbedaan antara studi bahasa sinkronis dandiakronis (perbedaan itu kadang-kadang digambarkan dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tesebut (pada suatu masa) (Lyons, 1995:46). Bertens (2001:184) menyebut : sinkronis sebagai bertepatan menurut waktu. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu. Perhatian dituukan pada bahasa sezaman yang diujarkan oleh pembicara (pateda, 1994:34)l jadi bisa dikatakan besifat horizontal, misalnya menyelidiki bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun 1965. Penting untuk disadari bahwa deskripsi sinkronis pada dasarnya tidak terbatas pad aanalisis bahasa lisan modern. Seseorang dapat melakukan analisis sinkronis bahasa-bahasa mati (usang, asalkan ada cukup keterangan yang dilestarikan dalam naskahnaskah yang telah sampai kepada kita (Sobur, 2004:52).

Diakronis dalam hal ini mengandung pengertian menelusuri waktu Bertens, 2001:184). Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan searah (melalui waktu); misalnya studi diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan di masa catatan-catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini, atau mungkin meliputi jangka waktu tertentu yang lebih terbatas. Atau dengan kata lain, linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Dapatlah kita katakan bahwa studi ini bersifat vertikal. Misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia (dulud isebut bahasa Melayu) yang dimulai dengan adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai sekarang. Pada dasarnya, bahasa bisa dipelajari menurut dua sudut pandangan itu: sinkronis dan diakronis. Kita dapat menyelidiki suatu bahasa sebagai sistem yang berfungsi pada saat yang tertentu (dandengan begitu tidak memperhatikan bagiamana bahasa itu telah berkembang sampai keadaan saat itu) dan kita bisa menyoroti perkembangan suatu bahasa sepanjang waktu. Saussure menekankan perlunya pendekatan sinkronis tentang bahasa, bertentangan dengan ahli-ahli linguistik abad ke-19 yang hampir semua mempraktikkan suatu pendekatan diakronis tentang bahasa: mereka mempelajari bahasa dari sudut pandangan komparatif-historis dengan menelusuri proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan-perubahan fonetis, dan seagainya. Justru karena bahasa merupakan suatu sistem dalam arti yang diterangkan tadi, linguistik harus mempelajari sistem bahasa sebagaimana dipakai sekarang ini, dengant idak mempedulikan perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang telah menghasilkan sistem itu. Atas dasar itu, linguistik tidak saja mengesampingkan semua unsurekstralingual, linguistik melepaskan juga objek studinya dri dimensi waktu. Dengan demikian telah dibuka jalan untuk studi yang kemudian disebut struktural. Menurut Bertens, itu tidka berarti bahwa Saussure menolak penyelidikan diakronis tentang bahasa (Bertens:2001: 184-185). Saussure berpendapat bahwa penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis. Linguistik komparatif historis harus membandingkan bahasa-bahasa sebagai sistem-sistem. Oleh sebab itu, sistem terlebih dahulu mesti dilukiskan tesendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi

atau perkembangan salah satu unsur bahasa, terlepas dari sistem-sistem di mana unsur itu berfungsi (Sobur, 2004:53). Syntagmatic dan Associative. Satu lagi struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure tentang sistem pembedaan di antara tanda0tanda adalah mengenai syntagmatic dan associative (paradigmatic) atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hbungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Cobley dan Jansz (1999:16-17) memberi contoh sederhana. Jika kita mengambil sekumpulan tanda seekor kucing berbaring di atas karpetL maka satu elemen tertentu kata kucing, misalnya menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan dengan seekor, berbaring, karpet. Sekarang kita lihat bagaimana kemudian kata kucing dikombinasikan denganelemenelemen lainnya. Kini digabungkan dengan seekor, berbaring, di, atas, dan karpet kata kucing menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Melalui cara ini, kucing bisa dikatakan memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan singa dan anjing. Hubungan paradigmatik tersebut, menurut Cobley dan Jansz, harus selalu sessuai dengan aturan sintagmatiknya, bagaimana garis x dan garis y dalam sebuah sistem koordinat. Sejauh tetap memenuhi syarat hubungan sintagmatik, penggantian tersebut bersifat fleksibel. Misalnya, bisa saa kita kucing diganti dengan anjing karena keduanya memiliki hubungan paradigmatik. Pengubahan ini terbukti tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, selain pertukaran dua kata benda (Sobur, 2004:54-54).

2.

Charles Sanders Peirce Charles Sanders Peirce lahir dari keluarga intelektual pada tahun 1893,

ayahnya Benyamin adalah seorang Profesor matematika di Harvard University. Selama lebih dar tiga puluh tahun Peirce banyak melaksanakan tugas astronomi dan geodesi untuk survei pantai Amerika Serikat. Dari tahun 1879-1884 ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidnag logika di universitas John Hokins. Kualifikasi dan kemampuan seperti itu tidak terlalu menampilkan kreativitas intelektual yang menonjol saat itu. Ia tidak hanya menerjemahkan istilah

semiotika dari bahasa Yunani kuno, yang sekarang menjadi populer itu tetapi ia juga menjadi seorang pemikir dan pengembang tentang karya-karya Kant dan Hegel yang dibacanya dalam bahasa Jerman, dan ia juga terpengaruh oleh filsafat Yohanes Duns Scotus (Lechte, 2001:226). Dalam filsafat ia menjadi tokoh Pragmatisme, juga mengembangkan karya logika dan matematika, khususnya semiotika. Menurut Aart van Zoest (1993:8) Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Pierce adalah seorang pemikir yang argumentatif, demikian menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999:20). Namun ironisnya, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, teman-temanya membiarkan dia hidup dalam kesusahan sampai meninggalnya, tahun 1914. Ia diperbolehkan menjadi lektor di suatu universitas hanya lima tahun. Setelah itu Peirce di berhentikan. Barangkali karena Peirce, seperti dituturkan Cobley dan Jansz (1999:18), tidak dapat menjadi contoh dari gaya hidup akademik yang santun, lingkungan tempat dia secara bertahapmengkonstruksi semiotikanya. sifat pemarah dan sulit diatur itu diduga karena penyakit sarafnya yang sering kambuh dan kerusakan kulit di sekitar wajah yang sangat parah, tulis Cobley dan Jansz. Konon, Peirce sangat temperamental (Sobur, 2004:39). Peirce menulis tentang berbagai masalah yang satu sama lain tidak saling berkaitan, tentunya karena bidang yang diminatinya sangat luas. Ia menekuni ilmu pasati dan alam, kimia, astronomi, linguistik, psikologi, dan agama. Dalam hal ini ia tak sekadar sebagai seorang penggmbar, melainkan sebagai seorang ilmuwan yang penuh tanggung jawab, ia mengetahui banyak hal. Kerapkali disebut bahwa selain menadi seorang pendiri pragmatisme. Peirce memberikan sumbangan yang penting pada logika filsafat dan matematika, khususnya semiotika. Yang jarang disebut adalah bahwa Peirce melihat teori semiotikanya karyanya tentang tanda sebagai yang tak terpisahkan dari logika. Namun bagaimanapun juga, Peirce menurut pandangan Roy. J. Howard (2000:154), sangat berjasa karena telah mengidentifikasi, dari logika ilmu ke dalam kepentingan intelektual, yaitu tindakan komunikatif dan telah menunjukkan bagaimana ia menggaris bawahi kepentingan teknis ilmu.

Walaupun Peirce menerbitkan tulisan lebihdari sepuluh ribu halaman cetak, namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telaah mengenai masalah yang menadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya tentang tanda, pemikiran Peirce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami modifikasi dan penajaman lebih lanjut. Peirce terkenal karena teori tandanya dan didalam lingkup semiotika, Peirce sebagaimana dipaparkan Lechte (2001:227), seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Perumusan yang terlalu sederhana ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya, yaitu C. oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tesebut. Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh unsur pertama, objeknya adalah unsur kedua, dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara. Peirce memang berusaha untuk menemukan struktur terner di manapun mereka bisa terjadi. Ketiga unsur ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda, maka tand tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memiliki penafsir).

Hubungan antara Tanda dan Acuannya Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. menurut Peirce makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Iamenyebutnya representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebutnya oleh Peirce sebagai objek. Sering juga disebut sebagai designatum atau denotatum (denotatum adalah kelas penunjuk). Dalam bahasa Perancis digunakan kata referent (dalam bahasa Indonesia disebut acuan). Jadi suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi seperti

itu adalah fungsinyayang utama. Selainitu representasi seperti itu dapat terlaksana berkat bantuan sesuatu, misalnya berkat bantuan suatu kode. Tandatanda lalu lintas hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang mengerti tentang rambu-rambu lalu lintas. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi oleh Peirce disebut ground. Seringkali ground suatu tanda merupakan kode, meskipun kadang tidak demikian. Kode adalah suatu sistem peraturan, kode ini bersifat transindivdual (melampuai batas individu). Akan tetapi, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Selain itu, tanda diinterpretasikan, yang berarti bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant harus dibedakan dengan interpretateur,yang menunjuk kepada penerima tanda. Jadi tanda selalu terdapat dalam hubungan triadik, yaitu dengan ground-nya dengan objek atau acuannya, dan dengan interpretantnya (Zoest, 1992: 8, Pateda, 12001:44). Dalam hubungan dengan pengirim dan penerima, kajian ini dibahas dalam bidang pragmatik semotik. Dalam hubungan dengan ungkapan bahasa kata table (meja), dalam kalimat Metteez ce livre sur la table (taruhlah buku ini di atas meja), dapa tmenjelaskan apa yang telah diuraikan di muka. Ungkapan dalam kalimat ini hanya akan diakui sebagai tanda oleh orang yang mengerti dan menguasai bahasa Perancis. Jadi dalam hubungan ini bahasa itu adalah ground, dalam hal ini suatu kode, suatu kesatuan konvensi, peraturan bagimasyarakat yang menggunakan bahasa Perancis. Berkat hal-hal tersebut ornag yang menggunakan tanda ini mengetahui apa yang diacunya dan bagiamana harus menginterpretasikanya. Bila kita akui bahwa kalimat yang dikutip tadi diucapkan dalam suatu situasi khusus kata table mengacu pada objek tertentu, sebuah meja (Zoest, 1992:8). Atas dasar hubungan ini, Peirce (lihat Pateda, 2001:44) mengatakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qulaisign , sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya katakata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada

hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia. Pada pembahasan tentang hubungan antara tanda dan acuannya, Peirce membagi dalam tiga hal. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut icon (ikon). Sebuah hubungan peta geografis dalam hubungannya dengan alam yang dipetakan dan sebuah potret dengan orangnya adalah hubungan ikon. (2) hubungan antara tanda dengan acuannya dapat pula timbul karena kedekatan eksistensi, hubungan tanda seperti ini disebut indeks. Sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar panah penunjuk arah adalah sebuah indeks. Hubungan indeks dapat juga menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api, (3) Hubungan yang ketiga adalah hubungan yang sudah erbentuk secara konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat dan hubungan tanda itu disebut sebagai simbol. Misalnya banyak kosa kata yang merupakan suatu hasil konvensi masyarakat pengguna bahasa tertentu. Mislanya kota kata kursi, itu adalah simbol yang merupakan hasil konvensi mengapa kursi itu tidak disebut pisang goreng hal itu adalah merupakan suatu kesepakatan dalam masyarakat yang sifatnya arbitrer atau manasuka (Lihat Zoest, 1992:9). Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representament) dibagi atas, rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya saa menadakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent signt atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce (lihat Pateda, 2001:4547) membagi tanda menjadi sepuluh jenis:

(1)

Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras

menunjukkan kualitas tanda. Misanya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan. (2) Iconic sinsign,yakni suara tand yang memperlihatkan kemiripan.

Contoh foto, diagram, peta dan tanda baca. (3) Rhematic Indexial Sinsign yakni tanda berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung, menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggutnyawa orang yang mandi di situ akan di pasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini. (4) kantor. (5) Iconic Legissign, yakni tanda yang menginformasikan norma Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah

atau hukum. Misalnya, rambu lalu lintas. (6) Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada

objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, Mana buku itu? dan dijawab, itu! (7) Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi

dan menunjuk subek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputarputar di atas mobil ambulans menandakan orang sakit atau orang yang celaka yang tengaah dilarikan ke rumah sakit. (8) Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang

dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau. (9) Dicent Symbol atau Propotion (proposisi) (proposisi) adalah

tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, pergi! penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan serta merta kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengar hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang kita dengar

hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap. (10) Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang

terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, gelap. orang itu berkata gelap sebab it menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata begitu. Tentu saja penilaiant ersebut mengandung kebenaran (Sobur, 2004:42,43).

3.

Roland Barthes Roland Barthes lahir di Cherbourg pada tahun 1915 dan tatkala ia masih

kanak-kanak ayahnya telah meninggal dunia dalam suatu pertempuran. Sejak itulah ia diasuh oleh ibu dan kakek neneknya. Sebelum menyelesaikan sekolah dasr dan menengahnya di Paris, Barthes menghabiskan masa kecilnya di Bayonne, Perancis barat daya. Antara tahun 1943 dan 1947 ia menderita penyakit TBC, dan masa istirahanya dimanfaatkan untuk membaca banyak hal, dan menerbitkan artikel peramanya tentang Andre Gide. Setelah mengaajar di Rumania dan Mesir, tempat pertemuannya dengan A.J. Greimas ia mengajar di Ecole des Houtes Etudes en Sciences Sociales. Barthes diangkat dalam keanggotan college de France pada tahun 1977, sampai akhir hayatnya tahun 1980 (Lechte, 2001:192). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukuralis yang aktif mempraktikkan model linguistik, dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama: eksponen penerapan stukturalisme dan semiotika pada studi sastra Bertens (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70an, ia berpendapat bahwa bahasa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pandangan ini dalamWriting Degree Zero (1953; terj. Inggris 1977) dan Critical Essays (1964; Terj. Inggris 1972). Setelah mengajar bahasa dan sastra Perancis di Bukarest (Rumania) dan Kairo (Mesir) tempat

pertemuannya dengan Algirdas Greimas, ia mengajar di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales. Setelah kembali ke Perancis ia bekerja untuk Centre National tde Recherche Scientifique (Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah). Melalui lembaga penelitian ini, ia banyak mengabdikan dirinya dalam pelbagai penelitian di bdiang sosiologi dan leksiologi. Disinilah ia banyak menulis tentang sastra. dari tahun 1960, ia menjadi asistem dan kemudian menjadi Directeur dEtudes (Direktur studi) dari seksi keenam Ecole Pratique des Hautes Etudes, sambil mdengaar tentang sosiologi tanda, simbol, dan representasi kolektif serta kritik semiotika. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk semiologi literer di College de France. Tahun 1980 ia meninggal pada usis 64 tahun, akibat ditabrak mobil di jalanan Paris sebulan sebelumnya. Barthes telah menulis buku, yang beberapa diantarnaya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le degree zero de Zecriture atau Nol Deraat di Bidang Menulis (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree Zero,1977). Kritik Barthes atas kebudayaan borjuis sangat menonjol dalam buku ini. Setahun kemudian Barthes menerbitkan Michelet (1954). Buku Barhtes lain yang banyak mendapat sorotan adalah Mythologies (Mitologimitologi) (1957). Dalam buku ini ia menganalisis dan kultural yang dikenal umum seeprti balap sepeda Tour de France, reklame dalam surat kabar dan lain-lain sebagai geala masyarakat borjuis. Lalu, terbit pula Critical Essays (1964), dalam buku kecil ini Barthes melukiskan prinsip-prinsip linguistik dan relevansinya di bidang-bidang lain; Criticism and Truth (Sistem Mode) (1967). Buku ini merupakan suatu percobaan untuk menetapkan Metode Analisis struktural atas mode pakaian wanita. Dilihat sepintas lalu, mode pakaian merupakan sesuatu yang kebetulan dan sepele. Tapi Barthes memperlihatkan bahwa di belakangnya terdapat suatu sistem. Untuk itu ia menyelidiki artikelartikel tentang mode pakaian dalam dua majalah dari tahun 1958 sampai 1959. Mode ditafsirkan sebagai suatu bahasa yang ditandai sistem relasi-relasi dan oposisi-oposisi (mislanya antara pelbagai warna, bahan tekstil yang tertentu, krah tertutup atau terbuka, dan lain-lain),

Buku terakhir karya Barthes adalah S/Z (1970), yang oleh bertens (2001:210) pantas sebuah buku dengan judul cukup aneh, buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja Barthes.. dalam karya ini, ia menganalisis sebuah novel kecil yang relatif kurang dikenal, berjudul sarrasine, ditulis oleh sastrawan Perancis abad ke-19, Honore de Balzac. Dalam penilaian John Lechte (2001:196), buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode ang ditinjau Barthes adalah (Lechte, 2001:196; Lihat pula Indriani, 2001:145-149); kode hermeneutik (kode teka-teki), kodes emik (makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik, atau kode kultural yang meembangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2004:65). Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalamteks. Kode teka teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi.dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia menlihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan kontoasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes mengangap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fisik yang paling khas bersifat strutkural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bnyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Mislanya, seorang anak belajar bawha ibunya dan anaknya berbeda satu sama lain dan

bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu di antara keduanya dan berbeda dari yang lain atau pun pada taraf pemisahan dunia secra kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secaramitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikoeekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes. Kode proaretik atau kode tindakan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya , antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteles dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau laur utama, secra teoritis Barthes melihat semua lakukan dapat dikodfikasi, dari terbukanya pintu sampai pertualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakukan di-isi sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilahan ala Todorov). Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001:196), bukan hanya untuk membanguns uatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sngat forml, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2004:67). Buku-buku Barthes yang lain dapat disebut lagi mislanya (The Empire of Sign (Kekaisaran Tanda-Tanda) (1970), dalam buku ini Barthes menerapkan semiotika pada kebudayaan Jepang, sebuah negara yang banyak dikagumi Barthes seperti sebaliknya juga disana terdapat minat khusus untuk Barthes dan strukturalisme pada umumnya. Lalu dalam buku lainnya, Sade, Fourier, Loyola (1971), Barthes menyelidiki persamaan dan perbedaan antara Marquis de Sade, pengarang tentang erotik, Fourier, tokoh komunisme utopistis, dan

Ignatius dari Loyola, pengarang tentang hidup kristiani yang namanya tercantumdalam daftar orang Santo dari Gereja Katolik. Selanjutnya,a Barthes membuat tulisan tentang kesenangan dan membaca dalam the Pleasure of the Text (1973). Buku ini memberikan petunjuk tentang aya-gaya tulisan yang lebih bersifat tidak menyatu, bersifat pribadi, dan remi fiksi (Lechte , 2001:196). Ia juga menulis otobiografinya dengan judul Roland Barthes by Roland Barthes (Roland Barthes oleh Roland Barthes) (1975). Buku ini, seperti dikutip Bertens (2001:211), seluruhnya ditulis dengan menggunakan orang ketiga (ia atau juga RB). Hal ini menruut Bertens dapat ditafsirkan sebagai geala yang menunjukkan bahwa pada Barthes-pun terdpat tendensi untuk menghilangkan subjek dari teks (Sobur, 2004:67). Dalam The Death of Author (kematian Sang Pengarang). Karya-karya lain yang ditulis Roland Barthes adalah A loves Discourse: Fragments (1977); Camera Lucida; Refections on Photography (1980); The Grain of the Voice : Interviews (1962-1980 (1981) dan The Responsibility of Forms (1982). Karya-karya tersebut memang sangat beragam, berkisar dari teori semitoika, essai kritik sastra, pemaparan tulisan historis Jules Michelet sehubungan dengan obsersinya, telaah psikobiografis tentang Sarrasine yang menggusarkan kelompok tertentu dalam sastra Perancis, seperti juga karyakarya yang lebih bersifat pribadi tentang kepuasan dalam wacana, cinta dan dalam bidang fotografi (Sobur, 2004:68). Pada 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis, Les Letters Nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas Mythologies of the Month (Mitologi bulan ini), sebagian besar dengan menunjukkan bagiamana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasrnya adalah mitos-mitos (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat (Cobley & Jansz, 1999:43). Buku yang mengumpulkan esay tersebut dengan sangat tepat di beri judul Mythologies dan dipublikasikan tahun 1957 membeberkan perenungan-perenungan tentang penari-penari perut, Citroen tipe terbaru, busa detergen, wajah Greta Garbo, steak dari keripik, serta remehremeh lainnya. Disini, seperti dipaparkan John Lechte (2001:193), imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur populer dan literer, serta barang-barang konsumsi

sehari-hari menemui telaah subjektif yang cukup unik dalam hasil penerapannya.Kadang-kadang prosa Barhtes dalam Mythologies yang mampu menggabungkan kehati-hatian dan kepuasan dengan ketajjam kritisnya mengingatkan kita pada Walter Benjamin. Meskipun demikian, tidak sperti Benjamin, Barthes pada dasarnya bukanlah seorang filsuf Marxis atau kritikus kultural dengan inspirasi religius (Sobur, 2004:68). Memang, dalam setiap eseinya,Barthes, sepeti dipaparkan Cobley & Jansz (1999:44), membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan danmenunjukkan bahw konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut bianya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peranpembaca (The reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungis. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke dua,yang dibangun diats sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologiesnya secara tegas ia bedakan daridenotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobles & Jansz, 1999). 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda) 5. CONOTATIVE SIFNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

3. Denotative sign (tanda denonatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIES (PENANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Gambar 3.1. Peta Tanda Roland Barthes Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz, 1999. Introducting semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51; (Sobur, 2004:69).

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenai tanda singa, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin(Cobley, dan Jansz, 1999:51). Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya inilah sumbangan Barthes yang snagat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk suatu sitstem (ERC). Sistem demikian ini dapat dilihat dirinya sendiri menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menadi dua sudut artikulasi demikian (Barthes, 1983, dalam Kurniawan, 2001:67). 1. Konot asi 2. denota sir E C E C Objek bahasa E C E C Metabahasa

Gambar 3.2. Dua Sudut Artikulasi Barthes Sumber (Barthes 1983, dikutip dari Kurniawan, 2001; Sobur, 2004:70).

Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC) RC. Di sini sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi.pada artikulasi kedua (sebelah kanan), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER (ERC). Di sni sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan, 2001:67).

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi dan dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, demotnasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secra tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi ustru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makan dand engan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barhtes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yangisebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001:28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang uni, mitos dibangun oleh suatu ranai pemaknaanyang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah uga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Imperialisme Inggris, misalnya ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti teh (yang menjadi minuman wajib bangsa Inggris namun di negeri itu tak ada satu pun pohon teh yang ditanam), bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar ke delapan penuru, bahasa Inggris yang kita telah menginternasional. Artinya dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam peraktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentukbentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wuud pelbagai bentuk tersebut (Sobur, 2004:71).

Apa yang menjadi alasan atau pertimbangan Barthes memepatkan ideologi dengan mitos? Ia memampatkan ideologi denganmitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif adalah petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001:28). Seperti Marx, Barthes juga memahami idelogi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan tiulah sebabnya didalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebanyakan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan,d engan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh. Latar, sudut pandang, dan lain-lain, karya Berthes itu cukup menarik kalangan ahli semiotia. (Sobur, 2004:64-70).

4.

Roman Jakobson Roman Jakobson lahir di Moskow pada tahun 1896. Ia adalah murid ahli

fonologi Rusia Nikolai Troubetzkoy. Jakobson dianggap sebagai salah seorang ahli linguistik abad kedua puluh yang cukup dikenal, dan pelopor utama supayapendekatan strukturalis pad abahasa, khususnya karena ia sangat menekankan bahwa pola suara bahasa 0wilayah penelitian Jakobson yang pertama dan utama pada hakikatnya bersifat relasional. Hubungan antar suara dalam konteks tertentu menghasilkan makna dan signifikansi (significance). Pengaruh Jakobson pada semiotika abad ke-20 sangat besar. Menurut Umberto Eco suatu alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu buku khusus tentang semiotika adalah karena seluruh eksitensi keilmuwannya merupakan contoh hidup dari pencarian semiotika (Cobley dan Jansz, 1999:142). Menurut Lechte (2001:107), pada tahun 1914 Jakobson memasuki fakultas historikko-filologi di Universitas moskow dan masuk bagian bahsa di jurusan Slavia dan Rusia. Telaah bahasa menjadi kunci dalam upaya memahami sastra dan folklore (cerita rakyat). Pada 1915m Jakobson mendirikan lingkungan linguistik di Mowkow dan terpengaruh oleh Husserl, sehingga akibatnya, fenomenologi Husserl cukup penting dalam membentuk

pemikiran filsafat bahasanya saat ia berusaha melihat hubungan antara bagian dengan keseluruhan dalam bahasa dan kultur dalam kehidupan manusia. Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistik abad kedua puluh yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bisa hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001: 108). Pemikiran awalnya yang penting, seperti dipaparkan john Lechte, adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan). Memahami bagaimana berbagai bentuk afasia mempengaruhi fungsi bahasa, berarti memahami bagaimana kerusakan pada bagian pemilihan dan subtasi kutub metaforis atau dalam gabungan dan kontekstualisasi kutub metonomia. Yang pertama memperlihatkan ketidakmampuan pada tingaktan metalinguistik p; sedangkan yang kedua berarti adanya masalah dalam upaya menjaga hieraraki satuan-satuan linguistik. Pada yang pertama, yang hilang adalah hubungan kesamaan, sedangkan pada yang kedua adalah kesinambungannya. Menurut Jakobson bahasa memiliki enam macam fungsi (Sudaryanto, 1990: 12), yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkapan keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkapan keinginan pembiacara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyadi pesan. Setiap fungsi bersejajar dengan faktor fundamental tertentu yang memungkinkan bekerjanya bahasa. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen; fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar dengan faktor pendengar yang diajak berbicara; fungsi metalingual (4) sejajar dengan faktor sandi atau kode; fungsi fatis (5) sejaar dengan faktor kontak (awal komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan (Sobur, 2004: 56). Fungsi tertentu yang enam jumlahnya itu mengungkapkan, menyatakan, menjelaskan, menafsirkan faktor tertentu yang juga enam jumlahnya itu; dan

dalam setiap pengunaan bahasa cenderung menonjol salah satu fungsi tanpa menghilangkan fungsi yang lain (Sudaryanto, 1990:12). Langkah-langkah analisis struktural atas fonem yang dilakukan oleh Jakobson antara lain (ahimsa-putra, 2001:56): (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang mebedakan tanda-tanda kebahasaan tau dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada tidaknya ciri pembeda dalam tanda-teanda tersebut; (b) memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain (c) merumuskan dalil-dalil sigtimatis mengenai istilah-sitilah kebahsaan dengan distinctive features yang dapat berkombinasi dengan tandatanda kebahasaan tertentu lainnya; (d) menentukan perbedaan-perbedaan antar tanda yang masih dapat saling menggantikan (Pettit, 1977, dalam AhimsaPutra, 2001:56). Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Misalnya saa /c/ dan /j/ dalam pancang dan panjang. Keduanya adalah konsonan yang diartikulasikan dengan melekatkan bagian tengah lidah pada langit-langit mulut. Keduanya bukan huruf hidup, bukan bunyi sengau (nazal), bukan bila-bial, bukan pula dental. Keduanya memiliki ciri-ciri positif dan negatif tesebut. Meskipun begitu ,meskipun ciri-ciri itu tidak ditangkap atau diketahui, ciri-ciri itut idaklah menjelaskan perbedaan diantara kedua-nya (Ahimsa-Putra, 2001:56). Ciri pembeda yang penting di situ adalah suara (voice). Fonem /c/ tidak bersuara voiced sedang fonem /j/ bersuara + voiced). Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan proses komunikasi teks sastra. dalam artikelnya yang terkenal linguistics dan poetics. Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal (Segers, 2000:15). Adresser (pengirim) mengirimkan suatu pesan message (pesan) kepada seorang adresser (yang dikirimi). Agar operatif, pesan tersebut memerlukan context (konteks) yang menunuuk pada (...) sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikan, suatu code

(kode ) secra penuh atau paling tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu contact (kontak), suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirimi, memungkinkan keduanya, memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1960, dalam Segers, 2000:16). Proses komunikasi verbal diskemakan sebagai berikut:

CONTEXT MESSAGE ADRESSER __________________ CONTACT CODE (lihat Sobur, 204:58) ADRESSE

Dengan model tesebut memungkinkan Jakobson untuk melanjutkan konsepnya mengenai fungsi puitik. Fungsi puitik bertumpu pada orientasi spesifik pembaca ke arah pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu pesan itu. Fungsi puitik itu kerap didefinisikan oleh Jakobson sebagai seperangkat (eistellung) yang mengarah kepada pesan secara terpusat (Segersm 2000:16), atau dikatakan juga merupakan fungsi dari ekspresi pemikiran bahasa puitik (Berger, 2000a:16). Menurut Jakobson (berger, 2000a:208), salah satu fungsi dari pesan-pesan tersebut adalah penggunaan alat-alat literatur sebaga metafora dan metonimi. Pesan-pesan juga memiliki fungsi-fungsi emotif dan referensial. Fungsi emotif atau fungsi ekspresif yang berfokus pada pengirim, menurut Jakobson (1996:70), emnunjukkan ekspresi langsung dari sikap pembicara terhadap apa yang dibicarakan. Hal ini , menurutnya cenderung menimbulkan kesan emosi tertentu, baik yang betul-betul maupun yang dibuat-buat. Oleh karena itu, istilah emotif yang diperkenalkan dan dianjurkan oleh Marty, menurutnya lebih disukai dari pada istilah emosional (Sobur,2004:59). Disebutka, Strata emotif yang paling murni dalam bahasa dapat terlihat dalam bentuk kata seru. Bentuk itu berbeda dengan sarana referensial bahasa,

baik melalui pola bunyi (sekuen bunyi aneh atau bahkan bunyi-bunyi yang tidak biasa), maupun melalui peran sintaksis (kata-kata itu bukan komponen, tetapi padanan kalimat-kalima). Jakobson memberi contoh : tut! Tut! kata Mc Ginty: ucapan yang lengkap dari tokoh Conan Dyle ini terdiri dari dua kata onomatope yang menirukan suara onga mengisap sesuatu.fungsi emotif dibentang secara nyata dengan tanda seri dam terasa pad seluruh ucapan: baik pada tataran bunyi, gramatikal, maupun leksikal, Apabila kita menganalisis pengertian informasi pad aspek kognitif bahasa, katanya, seseorang yang menggunakan unsur-unsur ekspresif untuk menunjukan kemarahan atau sikap ironisnya, menurut Jakobson, dengan jelaskan kemarahan atau sikap ironisnya, menurut Jakobson, dengan jelas memberi tambahan informasi dan tentu saja perilaku verbal ini tak bisa disamakan dengan kegiatan non-semiotik nutritif seperti makan jeruk, misalnya. (Jakobson, 1996:71). Fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, jika perhatian hanya diarahkan pada pesan itu sendiri, Rien T. Segers melihat,s esungguhnya Jakobson telah menunjukkan pada 1935 bahwa fungsi puitik atau estetik, tidak terbatas pada teks sastra khususnya dan karya seni umumnya, tetapi muncul uga dalam artikel surab kabar, ceramah dan sebagainya (Jakobson, 1935: dikutip Segers, 2000:16). Seseorang dapat mengimajinasikan bahwa dalam bacaan, mislanya dalam studi searah, fungsi putik (yang disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra ) bersaing keras dengan fungsi referensial (suatu deskripsi tentang situasi-situasi tertentu dalam sejarah. Lechte (2001:111-112) melihat, dalam telaah tentang praktik perpuisian, menjadi pelopor dalam menunukkan segala bentuk pertentangan (pertentangan fenomik, pertentangan antara penglihatan dan suara, pertentangan antara nada dan irama) namun secara khusus pertentangan antara konsonan-konsosnan muncul dalam kelahiran sebuah puisi. Ia juga, seperti dipaparkan Lechte, adalah orang pertama yang menekankan pentingnya irama dalam puisi karya Maryakovski dan Khlebnikov. Singkatnya, belum pernah ada ahli linguistik yang berhasil menganalisis puisi dan menyingkapkan struktur diskursus poetika. Di sini Jakobson menyatukan dimensi-dimensi literer dan linguistik secara keseluruhan melalui pengertian tentang struktur yang mempersatuakannya (Sobur, 2004:59).

Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang mengatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat diferensial (differential) atau membedakan. Pembedaaan atau diferensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu : sintagmatis dan paradigmatis (Ahimsa-putra, 2001:54). Memang, di dalam linguistik pasca-Saussure, istilah sintagmatik selalu diperlawankan dengan paradigmatik. Sebuah sintagma merujuk kepada hubungan in praesentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, di dalam uaran atau tindak tutur tertentu. Karena tuturan selalu diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik, kadangkala disebut juga sebagai relasi-relasi linear (Budiman, 1992a: 110-111); (Sobur, 2004:60).

5.

Louis Hjelmslev Ahli linguistik dan semiotik Hjelmsle ini lahir di Denmark tahun 1899,

danmeninggal tahun 1966. Ia dikenal sebagai ahli linguistik penerus yang berpengaruh dari tradisi Saussure (Masinambow, 2000b:iii) (Lechte, 2001:213). Ia juga diakui lanigan sebagai tokoh linguistik yang berperan dalam pengembangan semiologi pasca-Saussure (Lanigan, 1988:124-128); Kurniawan, 2001:17). Pakar linguistik dan semitotika ini lahir di Denmark pada tahun 1899, dan meninggal pada 1966. Pemikiran pokoknya ia tuangkan dalam beberapa karya tulis, antar lain lewat dua karyanya yang terbaik, Prolegomena to theory of Language (1943), yang kemudian diterjemahkan oleh Francis J. Whitfield (1963); Language: An Introduction (1970). Hjelmslev mengembangkan sistem dyadic system yang merupakan ciri sistem Saussure (Masinambow, 2001:4). Ia membagi tnda kedalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure. Namun, konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan penambahan, bahwa baik expression maupun content mempunyai komponen form dan substance sehingga terdapat expression form pada satu pihak, dan expression substance dan contend substance pada pihak lain. Maka, dengan perluasan ini, diperoleh gambaran bahwa sebelum expression form terbentuk, terdapat bahan tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang melalui

expression subtance memperoleh batasan yang akhirnya terwujud dalam expression form tersebut. Demikian pula hanya dengan content form yang dari content substance diberikan batas-batas pada bahan tanpa bentuk. Hjelmslev sendiri memberikan metafora bahwa form adalah ibarat jala yang dilempar ke laut; pada saat pelemparan terlihat bayangan jala itu yang diibaratkan sebagai substance yang memberikan batasan pada hamparan laut. Hamparan laut itu diibaratkan sebagai bahan amorphous, tanpa bentuk (Sobur, 2004:61). Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure sadalah dalam menegaskan perlunya sebuah sains yang mempelajari bagaimana tandahidup dan berfungsi dalam masyarakat (Cobley & Jansz, 1999:39). Langkah pertama yang krusial dalam proyek ini adalah mengedepankan langue sebagai sebuah sistem yang mengatur setiap produksi tanda. Kontribusi penting lainnya adalah usaha perluasan semiologi Saussure sebagai logika deduktif. Hjelmslev menegaskan bahwa tanda-tanda tidak bisa dengan sederhana dibanguns ebagai kombinasi diferensial dari penanda dan petanda. Bagi , Hjelmslev, sebuah tanda dan sebuah tanda masing-masing harus secara berturu-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Hjelmslev beranggapan bahwa fungsi simbolik yang muncul dalam bahasa, yang memuat baik representasi eidetik maupun empiris dari pemaknaan, bergerak dari semiotik konotatif dan semiotika denotatif dan akhirnya sampai pada metasemiotika dari referensi yang real. Metasemiotika yang dimaksud Hjelmslev adalah bentuk penghubungan tanda-tand dalam teks sastra sebagai fakta semiotis hingga membuahkan gambaran semiotisnya (Aminudin, 2000:47). Ia juga menambahkan kepada semiotika Saussure dengan memperhatikan hakikat dari sebuah tand dalam koneksi logisnya dengan tanda-tanda lain. Dalam pandangan Hjelmslev, logika digital Saussurean dan diferensial either/or (korelasi) membatasi sebuah sistem yang tidak lengkap. Dia mengusulkan bhawa diferensiasi bisa juga diselesaikan oleh kombinasi dari sebuah logika analog dari diferensiasi both/and mempertahankan relasi dalam sebuah proses (Lanigan, 1988); (Sobur, 2004:61). Sebagai rekonstruksi yang oleh Hjelmslev disebut scientific semiotic, metasemiotika merupakan rekonstruksi sistemis yang (1) dilakukan interpreternya, (2) mengandung hubungan multiplanar, dalam arti tanda dalam

teks selain memiliki hubungan dengan tanda-tanda yang lain dalam kesatuan teksnya, juga memiliki jaringan hubungan dengan subsistem yang lain secara eksternal, dan (3) dalam kesadaran batin interpreter, metasemiotika ada sebagai lambang kebahasaan yang memiliki kerangka hubungan secara internal maupun eksternal. Metasemiotika sebagai rekonstruksi interpreter tidak mempunyai pengetahuan tentang sistem tanda yang ditafsirkannya dan tidak mempu mengadakan formulasi dan rekonstruksi (Aminuddin, 2000:47). Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengadung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Menyinggung ihwal manifest desnity , maka dimensi yang hendak dijelaskan Hjelmslev tampak begitu terang jika kita mencoba menjelaskan bagaimana kta manifest desnity dipersepsi oleh orangorang Amerika pada kurun waktu tertentu. Seperti dikatakan Cobley dan Jansz (1999), cukup mudah untuk mengenali petanda dalam dsemboyan ini. Arti denotatif yang terkandung didalamnya pun cukup mudah diketahui, yaitu: takdir yang tak terhindarkan. Kenyataannya, kata Cobley dan Jansz. Manifest Desnity, yang diciptakan pada 1845, adalah klise yang digunakan oleh presiden-presiden Amerika abad ke-19 untuk merujuk dan membenarkan upaya kolonisasi seluruh dataran. Karena itu, bisa dikatakan bahwa dalam tanda tersebut terkandung kekuatan konotasi. Sebagaimana tanda yang lain, secara potensial konotasi dapat mengaktifkan keseluruhan sistem penandaan yang ada dalam masyarakat (Sobur, 2004:63). Hjelmslev (Lechte, 2001:205) mengatakan bahwa sebuah semiotika denotatif adalah sebuah semiotika adalah sebuah semiotika di mana bidangnya bukanlah yang semiotik, sedangkan semiotika konotatif adalah sebuah semiotika di mana bidangnya bersifat semiotik. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya demikian yang berlangsung. Bidang kandungan bisa menjadi semiotika, dan menurut Hjelmslev ini disebut sebagai suatu metasemiotika. Menurut Hjelmslev, linguistik adalah sebuah contoh metasemiotika: telaah tentang bahasa yang juga adalah bahsa itu senriri. Para penulis seperti Barthes, Todorov, dan Eco menggunakan pengertian tentang semiotika konotatif dan

denonatif, namun mereka masih berhati-hati sehubungan dengan pengertiantentang metasemiotika tersebut (Sobur, 2004:63).

6.

Umberto Eco Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di wilayah Piedmont Italia.

Ayahnya, Guilio Eco, seorang akuntan dan veteran dadri tiga perang berbeda. Awalnya ia belajar hukum, namun kemudian mempelajari filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi ahli semiotika. Sebelum menjadi intelektual termasyhur dalam bidang semiotika, ia mempelajari teori-teori estetika Abad Tengah. Di universitas Turin, ia menulis tesisnya tentang estetika Thomas Aquinas dan meraih gelar doktor dalam bidnag filsafat pada 1954, dan diterbitkan tahun 1956 (Lechte, 2001:199). Saat usia Eco baru 22 tahun. Dia kemudian memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk Program Budaya dijaringan televisi RAI (Sobur, 2004:72). Sejak 1975 dia menjadi profesor di Universitas Bologna. Menurut pengakuannya (Cox, 2001:3), ia merupakan praktisi Katolik sampai umur dua puluh dua tahun. Meski begitu, ia tidak marah atau bersikap anti agama setelah menjadi eks katolik. Pada suatu waktu dengan sangat menyesal ia pernah menceritakan bagiamana telah kehilangan iman, dan menekankan bahwa konsep moralitas yang kokoh yang menggarisbawahi hdiup dant ulisannya mungkin berasal dari informasi awal kekatolikannya. Formasi ini, seperti dikatakan Harvey Cox (2000:3), memang kerap muncul dalam tulisantulisannya, bahkan mungkin beberapa di antaranya sengaja diperlihatkan. Pada 1959 muncul karya keduanya, Sviluppo dellestetico medievale, sekaligus dia berhenti dari RAI. Pada 1962, Eco menerbitkan Opera-opera (The Open Work). Tulisan-tulisannya muncul dalam Il giorno, La Stampa, Corriere della Sera, La Repubblica LEspresso dan Il Manifesto. Pada 1966 dia pindah ke Milan dan menerbitkan Le poetische di Joyce: dall summ al finnegans Wake. Di Milan dia mulai menyusun teorinya tentang semiotika La strutura assente (The Absent Structure). Tahun 1976, ia menerbitkan A Theory of Semiotics. Lalu, pada 1979, Eco menyunting A Semiotic Landscape, kumpulan esai semiotika. Kemudian di susul dengan The Rule f the Reader: Explorations in the Semiotics of Texts (1981) dan Semiotics and the Philosophy of Language

(1984). Novel-novelnya antar lain The Name of The Rose (1983), Foucaults Pendulum (1988), dan The Island of the Day Before (sobur, 2004:73). Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yangpaling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintergrasikan teori-teori semitika sebelumnya danmembawa semiotika secara lebih mendalam. Paul Cobley dan Litza Jansz (1999:172) dalam Introducing semiotics menulis, Umberto Eco pernah berupaya menjawab secar apanjang lebar tentang luas wilayah dan batas-batas semiotika;dalam pernyataannya, kemudian tampak jelas bagi kita bahwa yang sesungguhnya hendakdia katakan adalah keseluruhan sejarah umat manusia. Karya-karyanya merupakan sintesis produktif dari hampir semua mazhab semiotika abad ke-20 yang didukung oleh pengetahuan yang luas berupa warisan kajian-kajian klasik tentang tanda (Littlejohn, 1996:71). Lewat Novel The Name of the Rose dan Foucaults Pendulum, nama Umberto Eco menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Kedua karya ini mengarah ke aspek-aspek msa lalu dan masa kini dalam teori tentang tanda, seperti halnya pada sekumpulan naskah yang bersifat intelektual (khususnya tentang abad pertengahan) dan naskah lainnya (Sherlock Holmes dalam The Name of the Rose, dan Corpus Hermeneuticum dalam Foucauls Pendulum). Terakhir, korespondensinya dengan Cardinal Carlo Maria Martini, mereka tuangkan dalam buku Belief or Nonbelief? A Confrontation 91997). Buku tersebut kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia dengan judul Beriman atau Tidak beriman? Sebuah konfrontasi (Maret 2001) ; (Sobur, 2004:73). Ketika koran Italia La Correra de la Serra, demikian Harvey Cox dalam pengantar pendahuluannya pada buku Belief or Nonbelief, mengundang dan mempertemukan novelis intelektual Umberto dan uskup intelektual Carlo Maria Martini untuk melakukan perubahan pandangan dalam halaman-halaman koran mereka, para editor jelas-jelas dngan ide-ide segar dan imajinatif. Namun saya ragu mereka mampu menangkap betapa cemerlangnya hasil konsepsi yang dpat dihasilkan dua orang tersbut hubungan korespondensi Eco-Martini, tambah Cox sebenarnya mampu membuka peluang percakapan intelektual mengenai agama menuju tingkatan yang baru. Diskusi tersebut, katanya,

memperlihatkan bahwa masing-masing pihak saling menguji dan menantang, namun keduanya masih tetap saling menghormati bahkan berusaha menyenangkan lawan bicaranya. Foucaults Pndulum berisi referensi berharga keagamaan abad tengah dan Corpus Hermeticum. Bagaimana pandangan cox tentang Eco yang lewat novel-novelnya cenderung lebih diwarnai dengan refleksi keagamaan yang cukup intens, nyaris bertolak belakang dengan suasana kehidupan masala lalu Eco yang pernah mengaku telah kehilangan iman?... siapa yang dapat melupakakn kutipan-kutipan bahasa latin yang, seperti surat-surat teriluminasi yang menghiasi teks-teks kitab suci lama yang diperbanyak melalui tulisan tangan, menjadi karangan bunga setiap awal bab The Name of The Rose? kata Cox dengan nada tanya. (Cox, 2001:3-4) kemudian menjelaskan: Jika ini digunakan oleh penulis-penulis lain,kebanyakan pembaca mungkin menemukan kutipan-kutipan seperti itu senga dipamerkan. Namun untuk beberapa alasan, kita biarkan saja Eco berada di antara mereka mungkin karena seluruh novel dan kesungguhanya menulis sejarah agama di Eropa saja yang menunukkan dia tidak sekadar ikut-ikutan. Ia mampu menulis dengan sama mudahnya antara filsfat dan estetika, Thomas Aquinas dan James Joyce, kompuer dan albigenses. Dengan ini ia mampu memuaskan dan saya akan mengatakannya dari perspektif Amerika keirihatian teman bicaranya dalam diskusi ini. Akankah para pemuka agama Amerika berpikiran sama dengannya dalam melihat negara ini, para pemikir yang tahu apa yang mereka katakan jika tidak setuju dengan para teolog, teman bicara yang selalu ragu-ragu namun tidak berprinsip skeptis. Akankah kita memiliki teman bicara yang seperti Eco menempatkan dirinya sendiri, mungkin tidak percaya pada Tuhan namun menyadari bagiamana arogannya bila pernyataan seperti Tuhan tidak ada dinyatakan (Sobur, 2004:75). Menurut pandangan Cox (2001:4) Eco merupakan salah satu orang bijak dewasa yang tidak tertarik pada penyangkalan keberadaan orang-orang beriman namun dengan sungguh-sungguh berusaha mencari iluminasi yang berbeda dari dasar hukum yang sama. Berkaitan dengan semiotika,, belakang ini semiotika menunukkan perhatian besr dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda dengan konsep yang lebih statis

yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika, serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonomis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dalam bukunya Theory of Semiothics (1976, 1979). Dia menjelaskan pandangan epistemologisnya dengan menggunakan suatu perbandingan. Objek semiotika boleh diibaratkan dengan permukaan laut tempat kiambang segera lenyap begit kapal lewat, atau hutan tempat jejak bekas pedati atau jejak kaki mengakibatkan sedikit banyak muncunya modifikasi abadi. Eco (1979:29) menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memustkan perhatian para modifikasi sistem tanda. Suatu perihal ekspresi bisa dihubungkan dengan perihal isi yang berbeda-beda. Dalam kasus bahasa Inggris untuk kata plane. Eco melihat tiga fungsi tanda: alat tukang kayu, dataran, dan pesawat terbant. Eco menyimpulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapt ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda-beda, ungkapan dan isi dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean) (Eco, 1979:49). Pada dasarnya,fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma: Kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks (Eco, 1979:56). Menurut Eco, sistem aturan, yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks; sebagian darinya kuat dan stabil, sedangkan yang lainnya lemah dan bersifat sementara. Pasanganpasangan yang bersifat konotatif termasuk dalam kelompok terakhir. Wana merah dan hijau pada lampu lalu lintas mempunyai arti yang ditentukan oleh konvensi inernasional dan merupakan bagian dari kode yang kuat. Lampu merah dan lampu hijau juga mengandung makna konotasional yang lemah dari kewajiban versus pilihan bebas, halus, versus kasar (Eco, 1979:127). Komentar yang sama juga boleh dibuat oleh terhadap nama Napoleon. Nama itu menunukkan suatu unit budaya yang dirumuskan dengan baik dan mempunyai tempat dalam bidang semantik dan sejarah. Tambahan lagi, budaya yang berbeda-beda dapat memberikan bermacam-macam konotasi terhadap nama tertentu ini (Eco, 1979:87). Eco yakin bahwa kode tersebut bukanlah kondisi alami Dunia Semantik Global, dan juga bukan struktur tetap yang

mendasari kompleks hubungan dan cabang-cabang setiap proses semitik (Eco, 1979:65). Dalam hal ini ia terpaksa menggunakan apa yang disebut konsep abduksi (abduction) sepeti dianjurkan Peirce. Ini merupakan reaksi sementara terhadap fakta-fakta dan situasi yang belum dikodifikasikan, atau pelbagai kode yang belum dimengerti oleh si penerima. (Ia juga tahu bahwa Peirce mengikuti dua kasus yang agak berbeda di sini. Karena itu, Eco tidak menjelaskan kasus kode-kode tersebut yang tidak terpahami). Ia melihat bawah suatu konteks ambigu yang tidak terkodekan yang ditafsirkan secara konsisten, jika diterima masyarakat menghasilkan sebuah konvensi, dan dengan demikian menimbulkan pasangan pengkodean (Eco, 1979:132). Dari sinilah, prinsip fleksibilitas dan kreativitas bahasa berasal. Hubungan antara kode dan pesan, yang dengand emikian kode mengontrol pengeluaran pesan dan pesan-pesan baru dapat merestruktur (menyusun kembali) kode, merupakan dasar bagi aspek ganda bahasa sebagai kreativitas yang terikat aturan dan kreativitas yang mengubah aturan (Eco, 1979:161). Ichwal Toeri yang dimunculkan Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics, John Lechte (2001:200) menyatakan, walaupun A theory of Semiotics secara eksplisit terkait dengan teori tentang pembangkitan kode dan tanda, titik tolak yang mendasarinya adalah pengertian Peirce tentang semiosis yang tak terbatas. Menruut Eco, semiosis yang tak terbatas terkait dengan seenis penengah dalam kaitannya dengan kedudukan pembaca. Meskipun semiosis yang takt erbatas ini adalah hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengantanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya, Eco ingin menghindari kemungkinan makna tunggal di satu sisi melawan maknayang tak terhingga di sisi lain. Akant etapi, semiosis yang tak terbatas lebih terkait dengan pengertian interpretan dri Peirce dimana makna ditetapkan dalam kaitannya dengan kondisi kemungkinan (Lechte, 2001:199). Motivasi yang mirip tampak jelas dalam pembahasan Eco tentangt anda dan penandaan yang tertulis dalam semiotic and the Phylosophy of language (1984). Di sini Eco, seperti di kutip lechte (2001:203), berpendapat bahwa tanda itu tidak hanya mewakili sesuatu yang lain (dengan demikian hanya memiliki arti seperti yang tercantum dalam kamus), namun juga mesti

ditafsirkan. Pandangan yang berlaku di sini adalah interpretant menurut Peirce, yang menghasilkan semiosis tidak terbatas. Secara umum kode bisa berbentuk tunggal, jenis kode morse dimana suatu kode tertentu (garis dantitik) sesuatu dengan sekelompok tanda, yaitu hurufhuruf abjad. Kode dengan jenis ini di mana satu sistem unsur diterjemahkan ke sistem lainnya memiliki penerapan yang sangat luas, sehingga hubungan antara DNA dan RNA dalam biologi bisa dianalisis menurut kode. Walaupun dia memberikan sejumlah contoh dalam jenis-jenis kode ini, minatnya yang utama adalah dalam bahasa sebagai yang tersusun atas langue (di mana kode= tata baasa, sisntaksis, sistem) dan parole (laku bahasa). Di sini kode sesuai dengan struktur bahasa. Bisa juga dengan menggunakan istilah Hjelmslev seperi yang juga dikatakan Eco kode mengaitkan bidang ungkapan bahasa dengan isinya. Eco menggunakan istilah kode-s untuk menunjukkankode yang dipakai dengan cara ini. Dengan kata lain: kode-s bahas itu setara dengan organisasi tertentu pada unsur parole.tan pa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak meiliki arti apa pun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain misalnya kode kesopanan dalam pernyataan yang sama). Hal ini tidak asing lagi bagi karya Saussure.m namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, dan disamping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Ia melakukan hal ini dengan mengembangkan suatu model yang disebutnya, mengikuti Quillian, sebagai suatu model Q model kode yang meninjau semiosis yang tak terbatas (Sobur, 2004:75-78). Menurut Eco, unsur-unsur pokok dlaam tipologi cara pembentukan tanda adalah : 1. Kerja fisik: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda. 2. Pengenalan atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kandungan tanda, seperti tanda, gejala, atau bukti. 3. Penampilan: suatu obek atau tindakan menjadi contoh enis objek atau tindakan.

4. Replika: kecenderungan kearah ratio difficilis secara prinsip, tetapi mengambil bentuk-betuk kodifikasi melalui pengayaan. Contoh-contohnya adalah emblim, notasi musik, dan tanda-tanda matematika. 5. Penemuan: kasus yang paling jelas dari ratio difficult.sebagai yang tidk terlihat oleh kode, menjadi landasan suatu kontinuum materi baru (Lechte, 2001:203). Menurut Lechte (2001:203), yang Eco usulkan melalui model Q dan melalui penemuan pembentuk tanda yang sering diabaikan ahli semiotika konvensional adalah kebutuhan dalam melakukan peninjauan kemampuan sistem bahasa agar pembaruan danpenyebaran bisa dilakukan. Bukannya bersifat statis dan tertutup, sistem tanda itu menurut Eco bersifat terbuka dan dinamis (lihat Sobur, 2004:79).

7.

Julia Kristeva Julia Kristeva selain sebagai tokoh semiotika juga sebagai tokoh teoretisi

feminis. Orientasi psikoanalisisnya dalam karyanya selalu meletakkan perhatiannya pada bahasa dan segala manifestasinya. Julia Kristiva lahir di Bulgaria pada tahun 1941 ini mencapai reputasi yang istimewa sebagai seorang linguis dan ahli semiotik ketika ia bergabung dengan kelompok Tel. Quel diParis pada akhir 1960-an dan tahun 1965 ia berangkat ke Paris untuk menuntut ilmu. Ia masuk ke dalam kehidupan intelektual paris,aktif mengikuti seminar Roland Barthes dan terlibat dalam dunia pemikiran kesastraan (Lechte, 2001:220). Melalui semiotika revolusionernya ia mengembangkan kemungkinan bentuk-bentuk pelanggaran, subversir dan kreativitas antisosial dalam bahasa. Sebagaimana halnya Derrida, Kristeva menjadikan semiotika struktural Saussure sebagai objek subversi dan pembongkaran.kristeva melihat semiotika Saussure sebagai satu wacana yang hanya menawarkan makna tunggal, disebabkan di dalam menjelajahi ruang epistemologisnya, menolak hadirnya subjek sebagai agen perusahan dan subversi bahasa (Pilliang, 1999:296). Van Zoest (1993:4) menyebut Kristeva sebagai pencetus munculnya semotika ekspansif. Ciri aliran ini, menurut van Zoest, ialah adanya sasaran akhir untuk kelak mengambil alih kedudukanfilsafat. Karena begitu terarahnya

pada sasaran, semiotika jenis ini terkadang disebut ilmu total baru. Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionistis, diganti oleh penelitian yang disebut praktik arti. Para ahli semiotika jenis ini, tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurakn analisis mereka dengan pengertianpengertian dari dua aliran hermeneutika yang sukses pada zaman itu, yakni psikoanalisis dan Marxisme (Sobur, 2004:79). Dalam An Introductory Guide to Post-Structuralisme and Post Modernism, Madan Sarup (1993),s ebagaimana dikutip Fathul A. Husein (2002), mengungkap model umum dari prinsip-prinsip prkatik penandaan Kristeva sebagai berasal dari pemikiran psikoanalsis-struktural Jaques Lacan yang mengintegrasikan analisis Freudian dan semiologi struktural. Dalam pandangan Sarup, konsepsi Kristeva mengenai fungsi-fungsi semiotik dan simbolik beroperasi dalam dimensi psikologis, tekstual, dan kehidupan sosial berdasarkan distingsi Sigmund Freud yang menyruak di antar apenggerakpenggerak pra-Oedipal dan seksual Oedipal. Dengan begitu, semiotika Kristeva bisa dikorelasikan dengan yang anarkhis, penggerak-penggerak komponen praOedipal dan zona polymorphous erotogenic, organ-organ tubuh dan lubanglubang, yang bersumber dari proses-proses primer yang berorientasi materials ebagai sumber pertama ritme dan gerak hidup manusia sejak kita semua berumah tinggal dalam tubuh Ibu. Dengan kata lain, semiotika Kristeava, menurut Sarup, adalah material kulit telanjang (raw material) dari signifikasi yang bersifat badanian dan hal libidinal yang mestimemanfaatkan, sekaligus menyediakan, saluran kearah regulasi dan kohesi sosial. Sedangkan simbolik Kristeva, dalam pandangan Sarup, adalah sebuah sistem yang teroediplaisasikan dan diregulasi oleh proses-proses sekunder dibawah Hukum Sang Ayah. Dalam hal ini simbolik merupakan keteraturan lapisan atas dari semiotika. Ia mengontrol beragam proses-proses simiosis yang bagaimana pun bersifat rapuh dan bisa rusak ataupudar pada momen-momen penting historis, linguistis, dan psikologis tertentu. Hasilnya adalah teks yang bisa dipahami (understandable text) yanglahir dari pergolakan norma-norma halus. Yang semiotik jadinya meluapi batas-batas teks-teks tersebut dalam momen-momen

istimewa yang khas Kristeva, yakni tiga serangkai kekuatan subversif yaitu kegilaan, kekudusan, dan puisi (Sobur, 2004:80). Karya-karya Kristeva mengenai bahasa, subjektivitas, dan seksualitas yang secara khusus dilandasi psikoanalisis Lacanian tersebut, telah menjadi pusat perdebatan di kalangan feminis kontemporef. Bagi sementara orang, ia memang dikenal sebagai teoreetisi feminis. Profesor dibidang linguistik pada universitas Paris VIII yang sekaligus seorang psikoanalis ini mulai merenungkan sifat feminitas (yang dilihatnya sebagai sumber yang tak ternama dan terungkapkan). Ia selalu menaruh minat pad sifat bahasa dan segala manifestasinya. Ia bahkan telah menunjukkan minatnya pada tahun 1990 dengan menerbitkan sebuah roman a cle yang berjudul les samourais. Karya Kristeva ini, seperti kata John Lechte (2001:220-225), mengingatkan kita pada karya de Beauvoir, Mandrins, dan tampaknya juga merupakan suatu pembongkaran pada kehidupan dan cinta kaum avant-garde intelektual di Paris. Di sini, yang menjadi pusat perhatianadalah generasi kristeva yang datang sesudah Sartre. Lechte melihat,pergulatan Kristeva pada hubungan antara bahasa dan pentingnya bahasa bagi pembentukan subjek mendorong Kristeva untuk mulai mengembangkan teori tentang semiotika (le semiotique) pada tahun 1974 dalam tesis doktornya, La revolution dulangage poetique (Revolusi dalam Bahasa Puisi). Di sini ia membedakan le semiotique dari baik la semiotique (semiotika konvensional) maupun yang simbolis lingkungan representasi, imaji dan semua bentuk bahasa yang sepenuhnya terartikulasi. Pada tataran yang sepenuhnya bersifat tekstual, yang semiotis dan simbolis, masing-masing berkorespondensi dengan apa yang disebut sebagai genoteks dan fenoteks. Menurut Kristeva (Lechte, 2001:221), genoteks itu bukan linguistik, ia hanya suatu proses.sebaliknya, fenoteks sesuai dengan bahasa komunikasi. Ini adalah tataran tempat kita biasa membaca saat kita mencari makna kata. Meski demikian, baik fenoteks maupun genoteks tidak bisa berdiri sendiri. Mereka selalu ada bersama dalam proses yang disebut Kristeva sebagai proses penandaan (Sobur, 2004:81). Dalam pengertian lebih luas, genoteks adalah teks yang mempunyai kemungkinan tak terbatas, yang menjadi substratum bagi teks-teks aktual.

Genoteks dapat pula dianggap sebagaisuatu sarana yang membuat seluruh evaluasi historis bahasa dan aneka praktik penandaan.selruuh kemungkinan yang dimiliki oleh bahasa dimasa lampau, sekarang dan masa ayangakan datang sebelum tertimbun dan tenggelam di dalam fenoteks tecakup didalamnya (Budiman, 1999a:41). Fenoteks adalah teks aktual yang bersumber dari genoteks. Fenoteks meliputi seluruh fenomena dan ciri-ciri yang dimiliki oleh struktur bahasa, kaidah-kaidah genre, bentuk melismatik yang terkode, ideiolek pengarang, dan gaya interpretasi.singkatnya,s egala sesuatu di dalam performansi bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi, performansi bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi, dan ekspresi, segala sesuatu yang dapat diperbincangkan, yangmembentuk jalan nilai-nilai budaya, yang secara langsung berhubungan dengan alibi-alibi ideologis di suatu zaman (Budiman, 1999a:35). Dalam karya besarnya yang ia tulis tahun 1974, La revolution du language poetique (Revolution in Poetic Language), kristeva tidak hanyamenunjukkan bagiamana landasan semiotika bahasa (suara dan iramanya, dan berbagai landasan pengucapannya) dipelajari oleh para penulis avant-garde abad ke-19, sperti Malarme dan Lautreamnt, tetapi ia juga menunjukkan bagaimana bahasa puisi memberikan pengaruhnya dalam masa pembentukan sejarah dan ekonomi tertentu, yaitu masa Perancis Republik ketiga (Lechte, 2001:221-222). Kristeva (dalam Pilliang, 1999:270)menyebut bahasa puitik sebagai produkd ari sifnigiance, yang dikatakannya merupakansatu-satunya bahasa yang dapat menghasilkan revolusi. Bahasa puitik, menurutnya,a dalah bahas yang melalui kekhususan operasi pertandaannya, merupakan satu proses pengguncangganjingan tidak boleh dikatakan, penghancuran-identitas maknamakna dan transendensi (termasuk di dalamnya subversi terhadap kecenderungan agama). Disebabkan oleh sifat antikemapanan, kebenaran absolut, dan dogmatisnya, bahasa puitik dapat dikatakan sebagai musuh dari lembaga sosial. Sebenarnya kata Kristeva, yang dicari dalam proses pertandaan bahasa puitik bukanlahperpaduan dan kemantapan identitas danmaknamelainkan penciptaan krisis-krisis dan proses pengguncangan segala sesuatu yang telah melembaga secara sosial. Bahasa puitik menghasilkan tidak saja penjelajahan

estetik yang baru, tidak saja keperczyaan dan penandaana yang sudah melembaga, tetapi dalam bntuk yang radikal,tata bahasa sendiri. Dalam bentuknya yang paling radikal, bahasa puitik merupakan batu sandungan komunikasi pada masyarakat dan peradaban yang dibangun berlandaskan rasionalistas transedensi (Pilliang, 1999:270). Kristeva membedakan antara dua praktik pembentukan makna dalam wacana,yakni (1) signifikasi, yaitu makna yang dilembagakan dan dikontrol secara sosial (tanda di sini berfungsi sebagai refleksi dari konvensi dan kodekode sosial yang ada), dan (2) signifiance, yaitu makna yang subversif dan kreatif. Sifnigicance adalah proses penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas, pelepasan rangsangan-rangsangan dalam diri manusia melalui ungkapan bahasa. Ia merupakan sebuah perjalanan menuju batas-batas terjauh dari subjek, batas terjauh darikonvensi moral, tabu dan kesepakatan sosial dalam satu masyarakat. Hanya melalui penyaluran rangsangan dalam diri secara bebas dan pelanggaran batas terjauh inilah dihasilkan revolusi dan jouissance dalam bahasa (sobur, 2004:83). Dalam Revolution in Poetic Language ini, Kristeva juga terus mengembanggkan teorinya tentang subjek sebagai subjek yang berada dalam proses; akan tetapi sekarang secara eksplisit ia memakai teori psikoanalisis, Lancanian. Maka, semiotika menjadi disamakan dengan chora feminin,yang kira-kiramenyatakan kedudukan ibu yang tidak bisa dipresentasikan. Ini, seperti dikutip Lechte, adalah sejanis asal usul, tetapi bukanyang bisa diberi nama, karena akan menempatkannya pada lingkungan simbolik dan memberi kita suatu pengertian palsu.seperti pada yang feminim secara umum, chora berada pada sisi dimensi material dan puitis dari bahasa. Sementara ahlimelihat, minat Kristeva dalam menganalisis sifat bahasa puitis yang heterogen, sejak ia masih kuliah di Paris pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,membedakannya dar para ahli semiotika lain yang lebih tertarik untuk melakukan formalisasi cara kerja bahasa konvensional. Inimemberi rasa untuk menangkap bahasa dalam bentuknyayang dinamis, keluar dariaturan dan praktis, bukan dalam bentuknya sebagai suatu peralatan statis, seperti yang sudah dikemukakan oleh beberapa ahli linguistik.

Lechte (2001) mencatat tidak kurang dari delapan karya pokokKristeva.dari karya-karya tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain : Revolution in Poetic Language (1974), Powers of Horror, An Essay on Objection (1980) About Chinesse women (1986), Black Sun (1987); dan Strangers to Ourselves (1988). Dua buku pertamanya dalam bahasa perancis Semeiotike, Recherches pous une semantique (1969) dan Le Texte du roman, Approche semilogique dune structure discursive tranformatielle (1970), banyak menguraikan ihwal semiotika dan semantika (Sobur, 2004:83). Salah satu ciri yang menonjol pada karya Kristeva adalah keinginannya untuk melakukan analisis pada yangtidakbisa dianalisis yaitu yang tidak bisa diungkapkan, yang heterogen, hal lain yang bersifat radikal pad akehidupan individu dan kultural. Meskipun ini bisa membuka jalan kepada mistisisme, Kristeva menunjukkan minat yang sama kepada penerapan simbolik terhadap lingkup yang tak teraknalisis ini. secara khusus, karya-karyanya yang lebih kemudian jelas menegaskan bahwa adalah bodoh jika hal-hal yang lain ditingalkan sepenuhnya (Lechte, 2001:220). Kristeva melihat bahwa dalam sejarah sistem-sistem pembentukan tanda, khususnya dalam seni, agama dan ritual, di sana acapkali muncul jika kita lakukan retrospeksi fenomena terpisah-pisah yang tertahan dalam latar belakang sistem-sistem penandaan komunal atau paling tidak yang secara cepat berintegrasi ke dalamnya untuk menunjukkan proses sangat penting dari proses pembentukan tanda atau signifikasi. Dalam hal ini ia beranggapan bahwa wacana-wacana yang magis, shamanisme, esoterisme, karnaval, dan puisi (baca: seni) yang sukar dipahami (incomprehensible), sebagai upaya untuk menggarisbawahi batas-batas wacana yang bisa berguna secara sosial sekaligus memperlihatkan dengan jelas represi-represi apa yang terkandung didalamnya, sebuah proses yang melampaui subjek berikut struktur-struktur komunikatifnya. Subjek dalam hal ini adalah subjek yang tidak berdiri melulu sebagai subjek yang statis yang hanya berada dalam satu bentuk imajiner saja (Sobur, 2004:84). Masalahnya kini, kata Kristeva, pada momen historis macam apakah perubahan sosial akan sanggup bertahan terhadap, atau mengharuskan, manifestasi proses sepertiapakah esoterisme (sesuatu yang hanya bisa dipahami

oleh kalangan tertentu),dalam pergeseran bata-batas sosial sanggup meneguhkan praktik-praktik penandaan yang seiring sejalan terhadap perubahan sosial-ekonomi, dan secara lebih hakiki, bahkan terhadap revolusi? Dan di bawah kondisi-kondisi seperti apakah yangpuitik dan yang esoterik itu mampu memperingatkan kita kepada adanya jalan buntu, sebuah bonus tak berbahaya yang ditawarkan tatanan sosial pengguna esoterisme untuk memperluas dan menumbuhsuburkannya, selain membuatnya lebih fleksibel? Untuk menjawab berbagai persoalan seperti itu, kristeva mengetengahkan sebuah distingsi antara apa yangdisebut semiotik dan simbolik (Husein, 2002). Dua elemen inilah yang dimata Kristeva mengomposisikan seluruh peristiwa penandaaan. Elemen semiotik adalah penggerak-penggerak jasmaniah atau yang bersifat fisis yang berlangsung dalam signifikasi. Ia berhubungan dengan ritme, nada, dan dimensi gerak dari praktik-praktik penandaan. Di isnilah arti penting tiga dekade lebih Kristeva menulis teoretisasi yang, seperti dikutip Fathul A. Husein (2002), mengungkap hubungan antara pikiran dan tubuh,kultur dan natur, psike dan soma, persoalan dan gambaran, dengan mendesak keduanya bahwa penggerak-penggerak yang fisis itu berlangsung dalam representasi penandaan. Sedangakn elemen simbolik yang membutat rujukan (reference) menjadi mungkin. Dalam mencermati hal ini Kristeva memberikan contoh bahwa kata-kata memiliki makna rujukan (referential meaning) oleh karena struktur simbolik bahasa. Pada sisi lain, kata-kata memberi makna hidup (life meaning) atau makna non-referential oleh karena kandungan simiotiknya. Tanpa simbolik, semua signifikasi hanya akan tinggal igauan belaka. Sebaliknya, tanpa semiotik, semua signifikasi hanya kehampaan tanpa nilai penting apapun untuk hidup hkita. Dengan demikian, tandas Kristeva pada hakikatnya signifikasi menuntut sekaligus semiotik dan simbolik, tidak ada signifikasi tanpa kombinasi keduanya (Sobur, 2004:85). Julia Kristeva mulai dikenal pada akhir 1960-an sebagai seorang penerjemah karya formalis Rusia, Mikhail Bakhtin. Dalam kaitan ini ia menonjolkan teori Bakhtin tentang novel dialogis seperti juga pengertiannya tentang karnaval. Segera setelah itu, kristeva menjadi seorang teoritisi bahasa dan sastra dengan konsepnya yang khas Kristeva,yatiu seminalisis. Seminalisis adalah sebuah pendekatan terhadap bahasa sebagai suatuproses

penandaan (signifying process) yang heterogen dan terletak pada subjek-subjek yang berbicara (speaking subjects). Semanalisis berbeda dengan semiotik sistem-sistem yang melakukan deskripsi sistematis terhadap kendala-kendala sosial dan simbolik di setiap praktik penandaan. Titik berangkat semanalisis adlah suatuteori makna yang niscaya menyesuaikan dirinya dengan teori tentang subjek yang berbicara. Semanalisis mengkaji strategi-strategi bahasa yang khas dalam situasi-situasi yang khas, ia merupakan pengkajian terhadap bahasa sebagai wacana yang spesifik, bukan sebagai sistem (langue) yang berlaku umum. Sebagai suatu teori tekstual yang tidak berorientasi pada sistem, semanalisis mendekati dan memahami makna secara kontekstual, menganggap bahwa pengkajian teks beserta dengan konteksnya masing-masing adalah sama pentingnya (Budiman, 1999a:105-106). Semanalisis memahami makna bukan lagi sebagai sistem tanda, melainkan sebagai proses penandaan yangmemperlihatkan pelepasan dan artikulasi lebih lanjut dari drives yang dikendalai oleh kode sosial dan belum tereduksi kedalam sistem bahasa, yakni yang dinamakan sebagai genoteks oleh Kristeva (1989, dalam Budiman, 1999b:110). Dalam bukunya Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature, Jonathan Culler (1982:246-247) melihat genoteks ini sebagai teks yangmemiliki kemungkinan tanpa bata dan menjadi landasan bagi teks-teks aktual.kemunculan genoteks senantiasa diindikasikan oleh disposisi semiotika. Menurut Kristeva, dalam upaya mengenali disposisi semiotika ini perlu diidentifikasikan perubahan pada subjek yang berbicara tadi yaitu subjek yang kini memiliki kapasitas untuk merombak orde yang telahmerangkapnya dengan begitu saja. (Sobur, 2004:83-86). Menurut Kristeva, prinsip yang paling mendasar dari intertekstualitas adalah bahwa setiap halnya tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain setiap teks mengacu kepada teks-teks yang lain. Dengan kata lain,intertekstualitas dapat dirumuskan secarasederhana sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain. Gerakan intertekstualitas ini tanpa batas, sejajard engan proses semiosis yang juga tak berujung pangkal.dalam pandangan kristeva, setiap teksmemperoleh bentuknya sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan transformasi dari

teks-teks lain. Bagi dia,s ebuah karya hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks-teks lain yang menjadai resapannya. Melalui hal terakhir inilah seseorang, beserta harapanharapannya,dapat membaca dan menstrukturkan teks, menemukan ciri-ciri yangmenonjol di dalamsebuah teks dan memberikannya sebuah struktur (Budiman, 1999:51-52); (Sobur, 2004:86).

8.

Algirdas Julien Greimas Algridas Julien Greimas lahir di Lithuania pada tahun 1917. Ia pertamakali

datang ke Perancis untuk belajar hukum di Universitas Grenoble. Saat it sedang di kota itu, ia mulai berminat kepada kultur Abad pertengahan. Sesudah menyelesaikan licence es lettres pada tahun 1939, Greimas mulai mempelajari dialek franco-provencale. Ia kembali ke Lithuania pada tahun 1940, hanya untuk menyaksikan invasiyangdilakukan oleh Jerman dan Rusia. Setelah kembali ke Prancis pada tahun 1944, iamemulai program doktoralnya yang berpuncak dalam tesisnya tentang, mode : Le mode en 1830. Essai de description du vocabulaire vestimentaire dapres les journaux de mode de Iepoque (1948). (Mode dalam tahun 1830-an. Essai deskriptif tentang perbendaharaan kata vestimentary dalam surat kabar masa itu). Dalam judul ini tampak nuansa dari karya Barthes, The Fashion System, yang pada awalnya juga dibuat sebagai suatu tesis doktoral. Pada tahun 1956, Greimas menerbitkan sebuah artikel yang berpengaruh dan penting tentang karya Saussure, yang memanfaatkan karyaduatokoh penting lainnya, yaitu Maurice Merleau Ponty dan Calude levi Strauss. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun-tahun penuh ketenangan strukturalisme sekitar tahun 1966, bersama R. Barthes, J. Dubois, dan tokoh lainnya, Greimas mendirikan jurnal language dan juga menerbitkan karya awalnya tentang semantik struktural yaitu Semantique Structurale (semantik struktural). Bersama Todorov Kristeva, Genette, dan tokoh lainnya. Greimas juga menjadi anggota penelitian semiotik milik kelompok Levi-Strauss di College de France. Tokoh ini meninggal pada thun 1992 (Lecthe, 2001:205, 206). Dalam sebuah pernyataan terbuka yang ditulis pada tahun 1975 tentang hubungan antara karyanya dengan karya Vladamier Propp, A.J. Greimas

mengatakan bahwa meskipun nilai heuristiknya agak berkurang dan meskipun pandangan ini tidak terlalu asli, kita masih tergoda untukmengikuti contoh Propp, dan menggunakan prinsip untuk bergerak dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari yang sederhana ke yang rumit, dari ceritarakyat (sastra lisan) ke sastra tulisan, dalam upaya kita untuk membenarkan model teoretis parsial dan bahkan pada fakta yang tidak teratur, agar pengetahuan kita tentang narasi dan organisasi diskursif menjadi semakin meningkat (Greimas, 1988:xxiv). Dalam pernyataan ini paling tidak ada dua hal yang menarik. Yang pertama adalah bahwa contoh dari Prop dalam mengembangkan model cerita rakyat Rusia mekipun terkenal sangat kaku maih mempengaruhi karya para ahli semiotika dalam tahun 1970-an yang terilhami secara ilmiah; yang kedua adalah para pembaca bisa melihat bahwa di sini pengertian metafisis sering disebut-sebut: pergerakan dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari yang sederhana ke yang rumit, dan bahkan gerakan dari sastra lisan ke tulisan. Hal ini tampaknya datang dari suatu perwatakan filosofis tertentu yang memberi momentum pada semiologi Greimas, namun pada saat yang memberimomentum pad semiologi Greimas, anmun pada saatyang sama sangat ingin ia hindari atau ingin ia ubah. Mengikuti Greimas, upaya untuk secara implisit menyandarkan diri pada kerangka metafisis atau sekumpulan asumsi akan berakibat dikacaukannya semiotika dengan lingkungaanontologi atau keberadaan itu sendiri (Lechte, 2001:205). Barangkali sejak saat linguistik ingin memisahkan lingkungan linguistik dari lingkungan ekstra linguistik akan cenderung muncul kesulitan yang bersifat konseptual atau bahkan yang bersifat empiris. Seperti yang akan kit alihat, meskipun Greimas tidak lalri dari masalah kesulitan tersebut, mungkin ia bergerak lebih jauh dari ahli semiotika lainnya, baik dalam mengembanagkan teori diskursus yang sepenuhnya semiosis (baca: deskriptif), maupun dalma menyadari segala kesulitan yang datang saat melakukannya. Akhirnya, buah dri upaya untuk membaca Greimas ini sesuai dengan kerja keras yang dilakukan sekalipun dorongan yang dilakukannya dengan tanpa kenal lelah agar semiotika menjadi ilmiah, beresiko menjadikannya positivistik.

Lintasan intelektual Greiman adalah hasil dari upaya untuk melakukan analisis dan melakukan formalisasi setiap aspek diskursus. Seperti halnya dalam diskursus naratif, didalam diskursus deskriptif terdapat diskursus tentang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Greimas telah manulis tentang diskursus hukum, khususnya pada hukum Prancis yang terkait dengan berbagai perusahaan dagang, dan menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan bentuk, setiap diskursus hukum datang dari tata bahasa hukum yang berbeda dari tata bahasa alami yangmemunculkan diskursus ini ((Greimas, 1990:108). Adanya satuan-satuan yang berbeda dari linguistik konvensional yang terus muncul adalah salah satu petunjuk tentang adanya kemungkinan model hubungan antara satuan-satuan ini. Greimas menyadari pentingnya suatu sistem, satu buah tanda tidak melakukan penandaan. Walaupun begitu, tidak seperti Saussure Greimas menekankan bahasa sebagai suatu kesatuan struktur penandaan yang mensyaratkan bahwa sistem itu sebelumnya sudah ada, tetapi harus diartikulasikan atau dibentuk. Oleh sebab itu, cara kerja bahasa ini menjadi titik pusat perhatian penelitian Greimas, dan disini kita bisa melihat pengaruh Merleau Ponty. Selain itu, meskipun Greimas mempelajari hubungan antara unsur-unsur diskursus paling banyak berupa diskursus naratif namun bukan hanya kualitas substantif unsur-unsur ini, ia juga mengambil jarak terhadap dorongan idealis yang datang dari para bapak linguistik umum. Dalam mengembangkan jalinan istilah yang autentik suatu kosa kata yang sebenarnya berguna untuk menguraikan dan melakukan analisis secara semiotik pada lingkup diskursus Greimas mengikuti jejak Hjelmslev. Pada tingkat yang sedikit lebih rendah, kita temui: seme (satuan artiminimal), sememe (inti semie dan semes kontekstual yang sesuai dengan arti kata tertentu), Classeme (atau semes contekstual) anaphora (yang mengaitkan ujaran atau paragraf), dan sebagainya (courtes, 1982:12). Kosa kata semacam ini berbeda dari terminologi linguistik konvensional karena satuan analisisnya itu bukan kalimat melainkan diskursus. Mekipun demikian, Greimas sering tampil sebagai yang dipengaruhi linguistik konvensional baik dalam belokan teknis yang diberikannya kepada istilah umum seperti inventarisasi,praanggapan, ataupraktis, maupun bagaimana linguistik itu (dalam kata-kata Greimas sendiri) menjadi disiplin semiotika yang paling berkembang, menjadi yang

dianggap memiliki klaim terkuat dalam statusnya sebagai ilmu (Greimas, 1990:12). Ketegaran ilmiah yang biasa diterima pada linguistik membuat hal ini menjadi suatu awal bangkitnya seorang peneliti yang lebih menghargai ketegaran karya intelektual daripada karya-karya lainnya, yang kemudian memulai kariernya dalam leksiografi. Pada tahun 1969, Greimas menerbitkan karyanya yang berjudul Dictionnaire de lancien francais (kamus Bahasa Prancis Kuno) Lechte, 2001:207). Walaupun begitu, semantika struktural melepaskan diri dari konsep makna linguistik konvensional dengan tidak menitikberatkan baik pada kata maupun pada kalimat secara terlepas dari konteks, tetapi bertitik tumpu pada satu jaringan yanag memunculkan makna di dalamnya. Seperti yang telah kita lihat, karena bagi Greimas pengertian tentang suatu jaringan hubungan berjalan seiring dengan pemakaian bahasa, suatu semantika struktural akan menjadi suatu semiotika struktural saat makna diubah mnjadi satuan-satuan analisis yang menjelaskan pembentukan makna dalam satu konteks tertentu. Semiotika struktural menguraikan makna dari makna. Makna ini tidak bersifat intensional (terkait dengan subjek psikologis) atau hermeneutik (makna yang ada sebelum bahasa dipakai). Singkatnya, Greimas berusaha mempelajari pembentukan makna dalam diskursus makna sebagai suatu proses penandaan. Pengertian diskursus oleh Greimas adalah seperti yang dimaksudkan oleh Benveniste: bahaa sebagai yang dipakai oleh penutur bahasa itu. Oleh sebab itu, diskursus itu adalah bahasa sebagaimana ia dipakai. Bila dipahami dengan cara ini, akan jelas bahwa Greimas itu pertama-tama lebih tertarik pad sisi parole dalam persamaan langue/parole. Walaupun begitu, langue, atau sistem tidak dilupakan, karena bila kita ingin membangun suatu tata bahasa semiotika pembentukan makna, maka ujaran harus dipahami sebagai yang tertata dengan cara tertentu. Ujaran tidak brsifat kontingen atau sebarang saja. Karena alasan ini maka semiotika struktural aksi dari Greimas yang mirip dengan etnografi dari Bourdieu lebih menyukai strategi daripada aturan. Aturan itu mensyaratkan adanya seorang pelaku dibalik suatu tindakan yang patuh kepada aturan-aturan ini. Pengertian aturan banyak mendominasi pemikiran para ahli strukturalis awal, yang akibatnya mengutamakan para pelaku dibalik tindakan. Sebaliknya, bagi Greimas, yang ada hanyalah para actant entitas yang

dibentuk oleh konfigurasi tindakan-tindakan diskursif itu sendiri. Dengan cara yang sama, pada suatu semiotika struktural jenis Greimasian, tidak ada subjek dibalik diskursus, yang ada hanyalah subjek yang dibentuk oleh tindakan diskursif itu sendiri. Bisa saja ada sutu subjek puncak, namun ini tidakmenjadi bahan pemikiran semiotika selain ontologi. Oleh sebab itu, Greimas mengatakan bahwa pelaku sintaksis (Syntactic actant) bukan orangyang berbicara (subjek ontologis) melainkan orang yang berbicara manusia semu yang dibentuk oleh tindak bercakapnya (Greimas, 1990:12). Selain itu, seperti para pemikir strukturalis lainnya, Greimas cukup cerdik untuk tidak mempsikologisasikan subjek diskursif. Seorang pelaku bisa sama dengan dua orang pelaku psikologis, misalnya sepasang suami istri yang bersama-sama membentuk fungsi yang sesuai dengan diungkapkannya suatu narasi. Bisa juga, sebuah kota bisa menjadi actant, seperti kota paris dalam analisis Greimas pada Two Friends karya Maupassant (Greimas, 1988:xxiv). Agar kita bisa memahami cara actant (Greimas, 1988:xxiv) dalam suatu diskursus naratif, Greimas mengembangkan sejumlah istilah kunci yang perlu dipahami secara penuh agar semua yang sudah dikerjakannya bisa dipahami, atau ditinjau dengan kritis. Istilah kunci pertama adalah modalitas.dalam linguistik, pada awalnya istilahini menunjuk pada yang mengubah predikat pada sebuah ujaran (1988:193). Maka, dalam sebuah pernyataan, John harus menulis surat, predikatnya adalah dalam cara kewajiban. Dalam logika, modalitas terkait dengan cara bagaimana sesuatu itu bisa berarti suatu hal atau bukan suatu hal, benar atau salah, sebagai contoh, mengatakan ia sakit pada tahun 1930 dalah memberikan suatu modalitas temporal kepada satu keadaan sakit. Mungkin penggunaan modalitas oleh Greimas lebih dekat kepad a pengertian linguistik karena ia ingin memberikan status aksiomatik pada pengertian ini. Maka dari itu, modalisasi adlah yang mencirikan dan membatasi setiap situasi actantial yang memang selalu ada dalam situasi semacam itu. Oleh sebab itu ingin untuk, harus, mengetahui,mampu untuk,melakukan, adalah, dan lainnya,membentuk nilai-nilai dasar yang sesuai dengan tingkatan-tingkatan eksistensi tertentu pada jagat semiotika mikro yang otonom: ingin untuk dan mampu untuk berkaitan dengan eksistensi pada tataran semu nilai modal, mengetahui dan mampu

untukberhubungan dengan tataran aktualisasi. Singkatnya modalisasi adalah upaya meletakkan bentuk suatu deklarasi aksiomatik, ia didasarkan atas suatu prosedur hipotetiko-deduktif, bukannya pada yang bersifat induktif (Lecthe, 2001:209). Modalisasi bersikap berlebihan dalam menentukan tindakan para actant yaitu subjek dalam diskursus naratif. Karena secara khusus mereka terkait dengan tindakan, secara niscaya mereka tidak bersifat kontinyu. Oleh sebab itu, mereka tidak mampu memasukkan keadaan-keadaan yang kontinyu, seperti pada nafsu dan emosi, atua kepada perwatakan modalisasi pada keadaan subjek (Greimas, 1991:5), lebih dari upaya bertindak. Lebih jauh lagi, jika modalitas datang dari suatu aksiomatik yang membangkitkan ketidakteraturan, ketidaklengkapan, kekusutan, dan ketidakstabilan proses-proses yang sangat sulit untuk distabilkan. Untuk menghadapi hal ini, Greimas memperkenalkan istilah aspektualitas dalam telaah semiotika tentang nafsu. Di sini aspektualitas kelihatan dominan dalam puisi karya Paul Eluard, Capital de l a douleur, kaerna puisi ini lebih menitikberatkan ketidaklengkapan daripada nilai semantik yang diinginkan objek itu. Oleh sebab itu, cinta hanya bisa diraih pada saat-saat pertama, tatapan saat kelopak mata terbuka hari saat fajar, kehidupan manusia saat masa kecil. Secara singkat, puisi Eluard menghargai situasi permulaan. Hal kunci pada aspektualitas adalah kedudukan penting yang dianggapnya ada pada tubuh dalam kaitannya dengan nafsu dan perwatakan subjek, suatu hal yang bisa mengawali bidang penelitian yang tampaknya bersifat sangat abstrak dan sarat pemikiran (cerebral) (Lechte, 2001:2009). Isotopi adalah istilahpokok lain dalam kosa kata semiotika Greimas. Sebagaimana ditunjukkan Ronald Schleifer dalam pendahuluan edisi terjemahan bahasa Inggris dari Semantique structurale, melalui pengertian tentang isotopi,Greimas mampu memindahkan titik pusat perhatian semiotika darikalimat diskursus. Terpinjam dari ilmu kimia (Greimas sering meminjam istilah dari ilmu-ilmu alam), isotopi terkait dengan tingkatan-tingkatan makna yang sejajar dalam suatu diskursus homogenyang tunggal. Hal ini berbeda dngan pertentangan hierarkis permukaan/laten, yang menganggapnya mubazir, dan lebih mirip dengan struktur permainan kata. Isotopi memungkinkan berbagai unsur berbeda (makna, tindakan, ujaran) menjadi

terkait dengan satu diskursus yang sama. Dalam telaahnya tentang cerita pendek karya Maupasant, Two Friends, Greimas yang menunjukkan bahwa suatu isotop bisa berupa aktorial saat kalimat yang mengungkapkan berbagai tindakan pada akhirnya menunjuk ke satu pelaku, paris diskursif saat kalimat-kalimat yang dibuat secara independen dilihat merujuk pada subjek yang sama, figuratif saat naskah menjadi sarana berbagai alegori atau perumpamaan, dan tematis saat naskah ini menyarankan adanya pengetahuan yang berkembang di luar pengetahuan naratif (dalam kasus yang bersangkutan, tentang perikanan dan persahabatan). Yang diyakini Greimas dalam isotopi adalah bahwa pembedaan kandungan mimpi antara yang laten dan yang tampil menurut Freud dalam interpretation of Dreams sudah tidak berlaku lagi (Greimas, 1990:112). Tanpa menolak baik wawasan yang mendalam dari isotopi maupun kerumitan masalah, mungkin perlu kita ingat bahwa saat Greimas meninjau bagaimana suatu naskah yang sudah homogen (misalnya, Two Friends) menjadi homogen, maka Freud sering berhadapan dengan suatu kumpulan yang sangat heterogen, yang darinya harus disusun suatu naskah yang homogen. Hasilnya, pemahaman tentang, yang tampil dan laten tampak menjadi berbeda dalam kedua kasus tersebut. Sekarang kita coba mengkaji upaya yang dilakukan Greimas, pertama dalam kaitannya dengan masalah yang meninjau pemisahan yang bersifat semiotik danmetafisis yangmuncul sejak awal dan kedua, dalam kaitan dengan analisis Greimas tentang bagian akhir dari telaah semiotiknya tentang karya Maupassant yang telah disebutkan di atas,yaitu Two Friends (Lechte, 2001:2010). Sehubungan dengan pemisahan yang semiotik dari yang metafisis atau ontologis, kita bisa menanyakan hal apakah pemisahan ini memang layak, bila bahasa alami yang banyak mengandung penyelubungan metafisis harus menjadi sarana ilmu semiotika itu sendiri?. Bukti yang ditunjukkan oleh bahasa Greimas sendiri tampaknya mengakui kesulitan yang ada dalam hal ini. Terkait dengan telaah Greimas tentang karya Maupassant, Two friend, sudah jelas bahwa secara metodologis kita perlu memeriksa komentar tentang akhir kisah secara terpisah dari yang mendahuluinya. Meskipun begitu, yang

akan diuraikan di bawah ini adalah garis baesar dari upaya untuk menganalisis karya Greimas secara keseluruhan. Pertama, kitalihat bahwa naskah yang dianalisis Two Friend hanya terdiri atas enam halaman, sedangkan naskah analisisnya hampir 250 halaman panjangnya. Kontras semacam ini, yangmenjadi ciri khas upaya Greimas (Greimas, 1990:59). Tampaknya mulai mempertanyakan kemungkinan praktis dalam melakukan analisis, bukan hanya naskah yang panjang, tetapi juga naskah yang lebih rumit. Selain itu, para pembaca bisa mulai bertanya-tanya apakah Greimas benar-benar telah meninggalkan keindahan linguistik yang mencirikan telaah tentang kalimat. Lebih penting lagi adalah bahwa cara yang dilakukan dalam menganalisis akhir kisah membangkitkan keraguan tentang kejelasan pandangan penelitian Greimas. Setelah tertangkap oleh tentara Prussia (waktu itu sedang berlangsung perang Prancis-Prussia) pada saat sedang memancing, dua orang bersahabat ini (the two friends) ditembak karena dianggap menjadi mata-mata perancis, tubuh mereka diberi beban dan dimasukan kedalam sungai tempat ikan yang akan mereka pancing. Eksekusi selesai, perwira Prussia yang memerintahkan eksekusi ini kemudian memerintahkan ikan yang ada untuk dimasak. Segera sesudah itu, para baris terakhir tertulis: kemudian iamulai mengisap pipanya lagi. Di sini para pembaca akan terhenyak oleh adanya kontras yang tajam antara baris terakhir dengan yang mendahuluinya. Bisa kita tafsirkan bahwa (karena tampak tidak bersatu dengan bagian sebelumnya atau mungkin lebih baik,karena tampak seperti begitu saja diletakkaamn) baris terakhri ini menjadi kunci muatan emosional ceritaini, muatan baris terakhir ini menjadi kunci muatan emosional cerita ini, muatan yang dimunculkan oleh ketidakpedulian tanpa rasa iba sedikit pun dalam hati si perwira Prussia. Meskipun melalui penggunaan isotopi ia sering merujuk ke simbolisme Kristen dan yang lainnya, namun dalam kaitan dengan kisah ini Greimas tidk meninjaunya sedikit pun. Ini adalah yang dituliskan Greimas dalam bagian yang terkait dengan baris terakhir kisah ini: Mengisap pipa jelas merupakan representasi figuratif dari keadaan tenang, yang dicirikan dengan tiadanya gangguan somatik atau nologis. Bagi Greimas, baris terakhir ini adalah unsur yang memberikan sumbangan pada sebagian diskursus naratif yang ingin dibangunnya. Dalam

terang ini ia berusaha menyingkapkan struktur yang menentukan kemungkinan adanya diskursus naratif, kemungkinan yang dibentuk oleh modalitas, isotop, tindakan kognitif dan pragmatis, dan sebagainya. Tata bahasa ini akan menjadi suatu sistem yang implisit terdapat didalam diskursus narasi. Ia (tata bahasa) lebih mendahulukan strategi daripada aturan. Mekipun demikian, secara mendasar tata bahasa ini masih berada di luar sistem yang ingin diisolasikannya; ia masih mendominasi naskah ajar (tutor text) dan tampaknya inginmenjadikan naskah ajar ini sebagai sasaran kuncinya, yang sekaligus disepadankan dengan upaya untuk menghindari penguasaan (maksudnya, pembingungan/mistifikasi) naskah oleh tata bahasa (Lechte, 207-211). Berdasarkan hal ini, semangat ilmiah yang berada di belakang proyek Geimas ini mensyaratkan adanya keterbukaan dalam upaya melakukan modifikasi teori bila menemui kesulitan. Oleh sebab itu, mungkin pada prinsipnya muatan emosional pad anaskah ini seharusnya ikut dikaji, sekalupun itu berarti bahwa semiotika struktural terpaksa harus menerima tandangan yang paling berat (Lechte, 211).

9.

Tzvetan Todorov Sebagaimana halnya Julia Kristeva, Tzvetan Todorov lahir di Bulgaria dan

datang ke Paris pada tahu 1963. Setelah menyelesaikan sarjana tingkat pertamanya dan dengan rekomendasi yang diperolehnya dari Universitas Sofia, perjumpaan dan pergulatan pertama Todorov dengan karakter dan lingkungan konservatif Sorbonne pra-1968 berlangsung saat ia melamar untuk melakukan penelitian tentang teori sastra di fakultas sastra perguruan tinggi tersebut. Dekan fakultas tersebut menanggapi perminaan Todorov dengan dingin dan mengatakan bahwa teori sastra tidak dipelajari di fakultasnya dan tidak ada keinginan untukmelakukannya (Dosse: 1991:240). Ia tidak mundur oleh penolakan ini, lalu ia mulai membaca di perpustakaan universitas Sorbonne, dan melalui salah seorang staf perpustakaan ini ia mulai berhubungan dengan Gerard Genette yang menyarankan agar Todorov mengikuti seminar Roland Barthes di Ecole des Houtes Etudes en Sciences Sociales (Lechte, 2001:239). Hubungan dengan Barthes yang menjadi pembimbing dalam menyelesaikan doctorat de toisieme cycle pada tahun 1996 memungkinkannya untuk

mengembangkan artikel pada jurnal semiotika interdisipliner yang berpengaruh, yaitu communications. Dua artikel awalnya pun diterbitkan. Salah satunya, berjudul La description de la signification en litterature meninjau berbagai tingakatan analisis struktural dan menekankan bahwa dalam analisis struktural ini bentuk objek literer lebih utama daripada subtansi isinya yang terkait dengan semantik (Todoro, 1964: 4). Pada saat itu, seperti para teoretisi struktural lainnya (misalnya Barthes dan Genette), Todorov mengaitkan telah tentang makna dengan kerangka hermeneutik (yang berararti juga humanis). Baru setelah karya-karya A.J. Greimas dikenal secara luas, suatu pradigma struktural kemudian bisa dikaitakn dengan bidang semantik. Satu artikel penting lainnya artikel awal Todorow yang menunjukkan pengaruh formalis Rusia adalah Le categories du recit litteraire (Todorov, 1966: 125). Di sini Todorov mengulang pernyataan bahwa uraian pada suatu karya serarah pada makna unsur-unsur karya sastra itu : kritikus sastra tampaknya berupaya memberikan interpretasi, makna unsur-unsur ini ada dalam hubungan antara usnur-unsur tersebut. Namun, jika memang demikian, bagaimana dengan makna (sens) karya ini secara keseluruhan? Mengatakan bahwa suatu makna itu bersifat relasional berarti bahwa unsurunsur makna ini membentuk suatu sistem: mereka tertata dengan cara tertentu dan tidak hanya berbentuk suatu kumpulan yang bersifat ad hoc. Apakah karya ini secara keseluruhan terlepas dari prinsip ini, sehingga maknanya bersifat khas dalam otonomi dan ketunggalannya? Todorov mengatakan tidak, makna sutu karya (berlawanan dengan interpretasinya) datang dari hubungannya dengan karya-karya lain yang ada dalam sejarah sastra. Makna dari Madame Bovary harus dipertentangkan dengan sastra romatik (Lechte, 2001 : 240);(Todorov, 1966: 126). Sambil menggemakan karya Genette tentang narasi (recit)Todorov terus melakukan analisis tingaktan kisah (historia) dan diskursus dalam artikel telaahan tersebut. Pendekatan ini mengarah ke sejenis telah yang dilakukan dalam Litterature et signification buku yang didasarkan atas tesis doktoral Todov yang mengambil novel epistolari abad kedelapan belas karya Laclos berjudul Les Liaisons dangereuses sebagai naskah telahnya. Pada setiap kisah narasi terdapat berbagai tindakan atau peristiwa, namun

tidak berlangsung dengan mengikuti suatu krologi ideal. Tindakan dan peristiwa tersebut membentuk suatu kerangka yang sering agak rumit dan kemudian menyatu pada satu krtitik. Hanya bila tingakatan-tingakatan peristiwa dan tindakan dipelajari dengan cukup memadai, kita bisa mempelajari logika dari segala jalinan ini. Dengan menggunakan Les Liaisons dangereuses sebagai contoh, Todorov menunjukan bahwa : (1) segala tindakan dalam suatu narasi itu tidak bersifat sebarang, tetapi mengikuti logika tertentu; (2) sebuah narasi bisa memiliki lebih dari struktur yang muncul saat dua model yang berbeda bisa berjalan sama baiknya dakan analisis ini; dan (3) di sini tidak mungkin mengisolasi tingakatan tindakan dalam rangka melakukan analisis padanya bisa tindakan yang berlangsung dalam suatu narasi itu setara dengan keragaman situasi psikologis para pelakunya seperti yang berlangsung dalam Les Liaisons dangereuse (Lechte, 2001: 240). Secara umum, Todorov berupaya memperjelas berbagai proses (procedes) yang memuncukan narasi. Segala proses ini harus tetap reatif tidak tampak bagi para pembaca agar narasi ini bisa tampil sebagai kisah yang penuh intrik. Proses-proses ini juga setara dengan fungsi atau makna (sens) setiap unsur yang ada dalam narasi itu. Seperti Genette, Todorov juga tertarik untuk melakukan analisis waktu, narasi, subjektivitas (atau konteks atau proses narasi), dan objektivitas (atau narasi sebagai penyebutan atau tindak linguistik yang lengkap) pada suatu naskah tertentu. Dalam bukunya, Litterrature et signifacation (1967), Todorov mengembangkan analisis tentang les Liasions dangereuses yang dimulai dalam artikelnya yang dibuat pada tahun 1966. Bahkan pada inti argumennya terdapat sebuah genre (jenis) yang didasarkan atas berhasilnya harapan melalui peniruan saat novel epistolari ini didasarkan atas seumlah proses yang ada di dalam struktur novel, baik sebagai laku bahas (enonciation) yang memunculkannya gaya dan subjektivitas maupun sebagai sebuah kisah (enonce). Meskipun demikian, apakah dalam setiap novel ada kisah semacam ini? Todorov mengatakan ini adalah kisah yang diciptakan novel itu sendiri. Dengan merangkum pandangannya dalam literature et signification, Todorov merangkum pandangan banyak kaum teoretisi strukturalis generasi tahun 1960-

an. Maka dari itu, ia lalu menulis: Melalui rangkaian peristiwa setiap karya, setiapnovel, mengisahkan kembali kisah penciptaannya, ceritanya sendiri. Pencarian makna akhir ini akan sia-sia karena makna suatu karya adalah untuk mengungkapkan dirinya sendiri mengisahkan eksistensinya sendiri kepada kita (Todorov, 1991:49). Hal ini tampil dengan bagus dalam surat terakhir dari Les Liaisons Dangereusses yang menjelaskan penerbitan kumpulan surat yangmenyusun novel ini. Pada satu tataran, fakta dari kaya fiktif ini bukan suatu fiksi; akan tetapi, perbedaan antara fiksi dan non fiksi menjadi problematis bila karya fiktif ini dilihat sebagai proses penciptaanya sendiri karena sekarang fakta dari fiksi ini (yaitu yang berupa non-fiksi) tampaknya menjadi sifat pokok dari fiksi (Lechte, 2001:241). Saat Todorov berbicara tentang pencarian makna akhir suatu karya yang berada di luar karya itu sendiri yaitu pencarian makna yang berada di luar eksistensi karya yang bersangkutan secara implisit ia mengambil jarak dari pendekatan hermeneutik pada naskah, pendekatan yang sering diarahkan untuk menangkap pesan akhir naskah (yang sering bersifat ideologis). Cukup menarik bahwa setelah membuat tulisan yang cukup berpengaruh tentang Decameron, tentang strukturalisme, dan literatur tentang yang fantastik semua didasarkan atas pengertian tentang otonomi relatif dari naskah literer arah oeuvre Todorov mulai berubah ke telaah sejarah dan teori tentang simbol. Todorov berpendapat bahwa bahkan dalam zaman strukturalis sekalipun, pengaruh Romantisme tidak bisa dihindari. Pada tahun 1981, Todorov kembali ke para pembimbing formalis Rusianya saat itu ia lebih banyak melakukan penafsiran terhadap pemikiran mereka daripada memasukkan metode-metode formalis mereka ke dalam karyanya. Dengan cara ini, upayanya untuk membaca kembali oeuvre, Bakhtin menjadi suatu titik balik dalam seluruh pendekatannya pada teori sastra. bila pada tahun 1960-an Todorov menggunakan formalisme ataumelalui strukturalisme sebagai cara untuk menolak pendekatan terhadap realisme sosial yang benar secara ideologis, maka pada awal 1980-an Todorov mulai berusaha mempergunakan kerangka yang lebih bersifat interpretatif yang ditujukan untuk melawan pendekatan apolitis pada analisis tekstual formal. Todorov paling menghargai aspek antropologi filosofis dalam karya Bakhtin yang memikirkan masalah

tentang yang lain. Bagi Todorov, yang lain dalam prinsip dialogis yang diartikulasikan oleh Bakhtin menduduki tempat yang sangat penting. Dari sini a berpendapat bahwa pandangan mendasar pada Bakhtin adalah menyadari tidak adanya karya seni, sesudah Dostoyevski, yang tidak bisa menangkap yang lain penolakan kesatuan yang ada pada saya memiliki pasangannya dalam pengakuan status baru engkau pada yang lain. Oleh sebab itu, yang lain tidak lagi menjadi obek, tetapi menjadi subjek. Pandangan ini diperoleh Todorov dari Dostoyevski melalui karya-karya Bakhtin lebih lanjut. Kemudian Todorov bertanya, Akan tetapi, bukankah ini adalah ciri pokok pengetahuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti yang telah diuraikan Bakhtin, yaitu tidak berhubungan dengan objek-objek bisu ilmu alam, dan mengubahnya menjadi suatu dialog naskah yang mengetahui dan agar diketahui? (Todorov, 1991:107; Lechte, 2001:243). Diawali dengan usulan bahwa peneliti harus dilihat sebagai yang terkait di dalam objek telaah harus mengalami dialog dengannya Todorov mulai melakukan sederetan penelitian yangmelihat bagaimana searah dan kultur Eropa dan Perancis saling terlibat satu sama lain. Dua tulisan yang penting di sini adalah The Conquest of America (1982), dan Nous et les autres (1989). Dalam The Conquest of America Todorov menganalisis dan melakukan interpretasi dokumen tentang Columbus dan penemuan benua Amerika pad tahun 1492. Ini adalah sebuah telaah yang penuh pengabdian telaah yang dilakukan oleh seorang moralis yang memikirkan hubungan antara orang-orang Eropa dengan Indian, diri pribadi dengan yang lain, identitas dan perbedaan. Seperti yang sering ditunjukkan Todorov, jika Columbus memiliki tingkatan sadar dan tidak sadar, suatu cara yang sangat khas dan tidak berubah dalam memahami kehidupan (termasuk pandangan tentang apa yang akan ditemuinya di belahan dunialain), yang penting adalah mengetahui bagaimana hal ini berpengaruh pada sikapnya saat ia benar-benar bertemu dengan orang-orang Amerika Tengah. Pada satu tingkat, ini berarti bahwa perilaku Columbus bisa diramalkan: ia bertemu dengan yang lain melalui prasangka kulturalnya (termasuk religi). Orang-orang Indian dilihat dan diperlakukan sebagai binatang liar, yang hanya cocok untuk menjadi budak bangsa Eropa. Bisa juga, orang-orang Indian diserang diperlakukan sepergi aning buduk dalam

pertemuan nyata, sedangkan secara berjarak diidealkan sebagai orang liar yang mulia, seperti yang dikatakan Kitab Suci. Menurut Todorov, pada saat yang sama alteritas manusia ditolak sekaligus diterima oleh orang-orang Eropa. Todorov ingin menampilakn dua aspek dalam penaklukan Amerika, pertama ia ingin menunjukkan bagaimana tanda dan inerpretasinya, bahasa dan komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dalam kontak yang dilakukan oleh orang-orang Spanyol dan Aztec pada abad keenam belas, abad penaklukan. Di sini Todorov berpendapat bahwa orang-orang Spanyol memenangkan perang penaklukan atas pimpinan Hernando Cortes sebagaian besar karena para penakluk itu mampu bertindak berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan, Cortes berusaha mendapatkan informasi tentang dan dengan demikian memahami cara hidup orang yang akan dia perangi. Sebaliknya, Moctezuma dan orang-orang aztec terbelenggu oleh pandangan tentang dunia yang tergantung pada upaya membaca masa kini secara kaku melalui prisma masa lalu. Orang-orang Aztec ini menyandarkan diri pada nubuat dan pemahaman tentang nasib yang terkait erat dengannya. Sebagai contoh, orang-orang Aztec melihat kedatangan orang-orang Eropa sebagai suatu pertanda buruk, dan mengambil perwatakan psikologis yang negatif dalam hubungannya dengan itu. Meskipun dipengaruhioleh keyakinan Kristen, tidak seperti orang-orang Aztec, Cortes berusaha mempelajari bahasabahas orang-orang yang dijumpainya ini dengan banyak cara. Ia tidak hanya mengandalkan informasi yang datang dari para informannya, tetapi ia juga mempergunakan mitos-mitos orang Aztec dalam sebuah muslihat yang bertujuan untuk menyesatkan musuhnya. Oleh sebab itu, Cortes memupuk ilusi kaum Aztec bahwa ia adalah seorang dewa, dan suatu ketika ia menipu para penduduk asli pulau yang sekarang adalah kepulauan Bahama agar mereka berpikir bahwa mereka akan dibawa ketahan terjanji milik para nenek moyang mereka, saat mereka diadikan budak oleh Cortes ini. Singkatnya, Cortes menyadari pentingnya bahasa dan pengetahuan tentang kultur Aztec, dan ia memanipulasikan situasi yang ditemuinya demi keuntungannya (Todorov, 1984:49). Meskipun ia memiliki pengetahuan tentang kultur orang Aztec dan ini adalah hal pokok kedua yang bisa dipikirkan dalam hubungan dengan

penaklukan ini, jelas bahwa Cortes berperanan dalam menghancurkan kultur Aztec. Ini karena orang Spanyol termasuk Cortes hanya tertarik pada emas, dan tidak mampu melihat laan mereka sebagaimanusia seperti mereka. Kengerian tentang hal ini mencapai puncaknya selama berlangsungnya kolonialisme Spanyol. Saat itu antara tahun 1500 dan 1600 mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga populasi Amerika Selatan yang pada saat itu berjumlah 80 juta jiwa menjadi hanya satu juta jiwa saat penduduk dunia baru berjumlah 400 juta jiwa. Meskipun ia mampu melakukan pengenalan dan pemahaman tentang yang lain perjuangan Cortes ini akhirnya membawa kehancuran bagi suku Aztec. Dalam kesimpulannya, Todorov menegaskan lagi komitemennya pada prinsip dialog menurut Bakhtin. Dialog sejati, di mana suara yang lain bisa didengar dengan cara tidak mendengarkan suara kita saja atau dengan cara tidak membungkam suara orang lain, dialog seperti inilah yang bisa dan mungkin dilakukan. Dialog adalah pengakuan prinsip Rimbaud bahwa saya adalah yang lain juga, di mana saya dan kamu muncul bersama-sama. Dialog ini mensyaratkan adanya kualitas lain, semakin ini direalisasikan, semakin banyak ia menghasilkan kemampuan untuk melakukan improvisasi menghadapi situasi sebagaimana adanya dan bertindak dengan tepat. Walaupun begitu, salah satu pendirian Todorov yang bisa diperdebatkan adalah bahwa ia menyebutkan peradaban Barat (baca: Eropa) sebagai asal usul dialog dan karya penulisan, serta kemampuan improvisasi yang dibawa oleh karya penulisan ini. Walaupun tokoh ini tidak bermaksud untuk mengklaim bahwa kultur Eropa itu lebih tinggi derajatnya daripada kultur-kultur lain, masih tidak jelas apakah maksud ini sudah direalisasikan atau belum. Dalam karya berikutnya nous et les autres (diri sendiri dan orang lain) tentang dialog antara diri dan orang lain, Todorov meninjau tema-tema tentang ras, bangsa, tulisan-tulisan yang universal dan eksotik dalam karya berbagai penulis Levi-Strauss, Montalgne, Gobineau, Renan, Tocqueville, Chateaubriand, Autaud, dan lain-lain. Di sini yang paling manarik Todorov adalah bagaimana berbagai pengarang menunukkan rasa kepercayaannya kepada perenungan gaya Perancis tentang keanekaragaman manusia mulai dari etnosentrisme yang merangkum semuanya (yang lain dianggap sebagai objek), ke relativisme yang merangkum semuanya (yang lain adalah segalanya dan diri

sendiri bukan apa-apa). Renan dan Barres adalah orang-orang yang mewakili pandangan pertama. Sedangkan menurut Todorov, Levi Strauss mewkili pandangan kedua. Karena Todorov biasanya bersikap hati-hati untuk tidak tergesa-gesa mengambil sikap sehubungan dengan rasisme, kolonialisme atau universalisme, tampak bahwa ia memang lebih siap untuk melakukan analisis semiotik pad anaskah daripada menangani masalah-masalah filosofis dan mora. Sebagai contoh, dalam membahas pandangannya tentang humanisme yang berkelakuan baik, ia bersandar pada pengertian apriori bahwa pada dasarnya kebebasan manusia sebagai suatu spesies adalah masalah pribadi: dikatakan bahwa kebebasan adalah ciri khas spesies manusia. Jelas bahwa lingkungan saya mendorong saya untuk mereproduksi perilaku yang diunggulkannya akan tetapi, sya masih memiliki kemungkinan untuk terdcerabut darinya. Di sini ada banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Todorov; dapatkah seseorang berbicara tentang kebebasan dalam kaitannya dengan manusia sebagai suatu spesies tanpa jatuh ke dalam biologisme? Apa bentuk hubungan yang sejati antara kemanusiaan dan individu? Jika kebebasan adalah khas pada individu, apakah ini tidak berarti bahwa pada individu ini terdapat kebebasan terhadap kemanusiaa? Apakh tidak mungkin terjadi suatu keadaaan di mana seorang individu memilih satu nilai yang ada dalam masyarakat? Bukankah ini lebih tepat sebagai soal pilihan moral atau politik yang konservatif? Singkatnya, bukannya Todorov tidak membangkitkan hal-hal penting dalam nous et les autres, melainkan ia Cuma memberikan jawaban atas masalah-masalah filosofis yang rumit secara tidak lengkap dalam buku yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang pengalaman kontemporer mengenai interaksi antara diri pribadi dan yang lain. Dalam masa antara penerbitan Conquest of America dan Nous et les autres, Todorov terus menulis tentang sifat dan kritik sastra dalam karya seperti Critique de la critique (1984) dan La Nation de la litterature (1987). Karya-karya ini secara sebagian bisa dipertentangkan dengan Frele Bonheur, essai sur Rousseau (1985) yang berupaya untuk menangkan intensitas pemikiran Rousseau, dan Face a lextreme (1991) tentang naiz dan totaliteranisme komunis (Lechte, 2001:244).

Secara umum, oeuvre Todorov cukup menarik dan penting sehubungan dengan ketegangan antara keketatan analisis struktural yang diberikannya dengan tulisan tentang komitmen moral tulisan Todorov dalam tahap poststrukturalis. Pertanyaan terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah apakah ketegangan ini seharusnya memang ada ataukah justru dinafikan saja (Lechte, 2001:245).

10.

Michael Riffaterre Nama Michael Riffaterre sebetulnya tidak begitu tersohor jika

dibandingkan dengan tokoh-tokoh semiotika atau strukturalisme lainnya. Namanya mulai dikenal terutama sejak ia menerbitkan bukunya semiotic of Poetry (1978). Dalam karya inilah Riffaterre mendeklarasikan sebuah pengertian puisi yang tidak sekadar membawa nuansa baru, namun juga membuatnya lekat dengan semiotika, yaitu bahwa sebuah puisi mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang dikandungnya (a poem says one things and means another). Riffaterret (Budiman, 2001:22) menyebut gerakan atau strategi ini dengan ketidaklangsungan (indirection), yang terjadi karena (1) sebuah tanda bergeser dari satu makna ke makna lain atau berfungsi mewakili tanda lain (disflacing); (2) adanya ketaksaan, kontradiksi atau kekosongan makna (distorting); dan (3) sebuah teks memberi peluang bagi pemaknaan unsur-unsur bahasa yang tidak bermakna seandainya berada diluar teks tersebut (creating) (Sobur, 2004:86). Riffatere memperkenalkan istilah Superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari seumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan daat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan ganya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks (Taum, 1997:62). Pokok-pokok pemikiran Riffaterre dalam semiotika adalah apa yang kreap disebut-sebut para ahli sebagai a dialectic between text and reader, dialektika antara tataran mimetik (istilah Peirce: tataran kebahasaan, mana denotatif) dan tataran semiotik (istilah Peirce: tataran mistis, maka konotatif) serta pada pihak lain dialektik antara teks dan pembaca. Pertentangan antara arti, (meaning) dan

makna (significance) memainkan peranan yang sangat menentukan. Arti karya sastra selalu berhubungan dengan tema dan bersifat lugas,objektif dan umum. Adapun karya sastra selalu berhubungan dengan amanat, dan bersifat kias, majas, subjektif dan khusus.Jadi, maksud karya sastra adalah arti yang dihubungkan dengan konsep, seseorang (tokoh atau pelaku), situasi dan sebagainya telah terimajinasikan. Akant etapi, dalam menurunkan arti ke dalam makna mestilah dilakukan dengan adanya bukti-bukti berdasarkan fakta yang ada. Jika tanpa adanya bukti-bukti, maka manka yang ditangkap itu akan bergeser dan berubah-ubah (Santosa, 1993:29-30). Didalam melakukan komunikasi dengan karya sastra, pembaca sesungguhnya dituntut untuk menemukan makna yang dikandung karya itu secara kreatif dan dinamis. Hal ini disebabkan bahw pembaca merupakan satusatunya pelaku yang menciptakan pertalian antara teks, penafsir, dan interteks. Di samping itu, dalam batinnya uga berlangsung transfer semiotik dari tanda yang satu ke tanda yang lain secara terus menerus. Berdasarkan alasan inilah Riffaterre mengkritik model komunikasi Roman Jakobson tentang pesan estetiknya. Superreader ditanggapi secara serius oleh Jakobson dan Levi-Strauss (196) tentang puisi Baudelaire yang berjudul Les Chats. Metodologi analitik yang diadopsi oleh Roman Jakobson danLevi-Strauss secara mendasar denga metodologi Riffaterre. Bauer (1972) dan Ponser (1972), seperti dikutip Rien T. Segers (2000:47) menyebut pendekatan Jakobson dan Levi Strauss sebagi suatu analisiss struktural deskriptif, sedangkan pendekatan Riffaterre disebut sebagai analisis resepsi. Hal ini jelas bahwa perspektif penelitian Jakobson dan Levi-Strauss adlah teks, sedangkan perspektif Riffaterre adalah pembaca (ideal) (Sobur, 2004:88). Hipotesis yang merupakan landasan analisis Riffaterre terhadap les chats adalah bahwa fenomena puitik, yang bersifat linguistik, bukanlah melulu suatu pesan, sebuah puisi, tetai seluruh tindakan komunikasi. Manakala sebuah teks analisis, ada dua faktor yang penting, yaitu teks dan pembaca. Pertama-tama Riffaterre ingin menganalisis proses resepsi yang didasarkan pada seorang pembaca ideal atau superreader. Dalam kasus ini superreader Riffaterre adalah Baueelaire sendiri (yang memutuskan untuk menganalisis soneta dalam Les

fleurs du mal), Gautier (yang mempara frasekan soneta), aneka penerjemah puisi, kritikus (termasuk Jakobson dan Levi-Strauss) karya Larousse Dictionnaire du XIX-eme slecle untuk kutipan soneta-soneta dan informaninforman seperti murid-murid Riffaterre. Pembaca super mensintesiskan beberapa sikap komunikasional dan dia memiliki informasi-informasi yang maksimum. Karena dia tidakmempunyai hubungan dengan dunia nyata, menurut Bauer (1972, dalam Segers, 2000), ia mampu mengambil sikap subjektif terhadap teks, karena konsentrasi superhuman-nya, ia mungkin menyadari benar-benar proses resepsi ini. Roland Posner (1972), seperti dikutip Segers (2000:48), menekankan keuntungan perspektif pembaca dalam interpretasi Riffaterre. Masalah yang tampaknya tidak dapat dipecahkan dalam pendekatan Jakobson, tidak semua ada dalam analisis Riffaterre. Riffaterre tidak dapat menenggelamkan dirinya sendiri dalam karakteristik tekstual yang amat banyak karena hanya karakteristik dan menerangkan pengalaman tertentu itu yang dipertimbangkan. Keuntungan lebih lanjut analisis Riffaterre adalah penekanannya pada intersubjektivitas. Ia tidak menilai struktur, tetapi bermacam-macam struktur. Menurut Posner, Riffaterre tidak menggolongkan unsur-unsur teks abstrak, melainkan pembaca yang ditandai oleh penilaian yang ketat. Ia tidak menilai struktur, melainkan menyusun kelompok penilaian yang sudah pasti (Sobur, 2004:8). Riffaterre, yang mengkritik metode Jakobson dan Levi Strauss dan menanggapi analisis mereka terhadap les chats dengan interpretasinya sendiri, memasukkan faktor waktu dalam kedua aspeknya. Pada tempat pertama, faktor waktu memegang peranandalam proses membaca. Riffaterre menggunakan konsep pengalaman kontras dalam menentukan struktur puitik oleh pembaca: Setiap hal dalam teks yang mengajukan pembaca super (superreader) secara tentatif dianggap sebagai komponen struktur puisik (Riffaterre, 1966, dikutip Fokkema & Kunne-Ibsch, 1998). Kontras muncul ketika harapan pembaca mengenai struktur repetitif terbukti salah dan kemungkinan meramal diperkecil. Tanpa menolak prinsip ekuivalensi (riffaterre ternyata memerlukannya untuk menetapkan pola-pola harapan), ia membuatnya tergantung pada persepsi pembaca selama serangkaian waktu dalam prsoes membaca. Bila pengalaman

kontras terjadi, menurut Riffaterre ia bisa mempengaruhi makna secara retroaktif, dalam teks yang telah dirasakan. Setelah pemenuhan proses membaca, pengaruh ini tampak jelas: Maka, keseluruhan data dan epngetahuan akhir, menggelora lagi untuk memodifikasi apa yang telah kita rasakan sebelumnya (Riffaterre, 1966, dalam Fokemma & Kunne-Ibsch, 1998); (Sobur, 2004:89). Analisis Jakobson dan Levi-Strauss terhadap Les Chats oleh Riffaterre dianggapberhasil (Fokemma & Kunne-Ibsch, 1998:98). Berhasil dalam pengertian bahwa analisis tersebut menyajikan demonstrasi yang menyakinkan mengenai jalinan yang luar biasa yang oleh mereka bagian-bagian uaran dijaga kesatuannya. Namun, seperti dikutip Fokemma dan Kunne Ibsch dan di sini fokusnya terhadap pembaca tidak bisa diragukan lagi ia mempunyai keberatan mengenai ekuialensi yang menghindarkan persentibilias, sekalipun keberatankeberatan itu mungkin dalam pengertian yang sangat teoritis. Pembagian menjadi tiga dan empat seperti yang dilakukan Jakobson dan Levi-Strauss, menurut pendapatnya, patut dicontoh dalam kurangnya perseptibilitas ini. Penekanan pada bentuk bahasa yang diperlukan demi efek puitik, sekurangkurangnya harus tampak, jika tidak, itu tidak relevan. Bekerja dari pendirian tersebut (Riffaterre harus menolak dua pembagian yang telah disebut diatas (Fokemma & Kunne-Ibsch, 1998:99) Pembagian tiga dan empat, terutama yang terakhir, menggunakan konstituen yangmungkint idak bisa dirasakan oleh pembaca, dan karena itu konstituen-konstituten ini harus tetap berbeda dari struktur, puitik, yangd iharapkan memberi tekanan pada bentuk pesan, untuk membuatnya lebih tampak, lebih memaksakan. Bagi Riffaterre yang penting, bagi yang sepenuhnya setuju dengan prinsip ekuivalensi, seperti kata Fokkema& Kunne-Ibsch, adalah kontak antara teks dengan pembaca, kontak ini menentukan akseptabilitas obersvasi ekuivalensi dan kepentingan estetisnya. Berkenaan ddengan prinsip ekuivalensi, perbedaan antara Jakobson/Levi-strauss dan Riffaterre, menurut Ruwet (1968), seperti dikutip Fokkena & Kunne-Ibsch (1998:99), bisa dilukiskan sebagai berikut: dua orang yang pertama mengumpulkan sebanyak mungkin potensi relasi ekuivalensi, sedangkan Riffaterre berkeinginan untuk hanya memikirkan relasi-

relasi ekuivalensi yang direalissir. Dengan cara itu, Riffaterre menemukan pemecahan hierarkisasi. Michael Riffaterre (1978, dalam Santosa, 1993) tidak setuju dengan model komunikasi sastra yang diaukan Jakobson, yaitu menyejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa. Di sini Jakobson hanya memperhatikan aspek kebahasaan dalam artian yang terbatas saja, dengan mengabaikan aspek-aspek lain. Potensi kebahasaan sebagai alat komunikasi dengan sesama manusia, lepasdari arti kata tidaklah cukup. Model komunikasi sasra Jakobson yang demikian itu dapat menghilangkan relevansi sosial budaya. Lebih jauh Riffatere menjelaskan bahwa yang menentukan makna sebuah karya sastra adalah pembaca secara mutlak, yait berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca susastra. Dalam kesempatan ini pembaca mempergunakan segala kemampuan dan pengetahuannya yang ada pada dirinya, yaitu untuk menentukan apa yang relevan dengan fungsi puitik karya sastra. analisislinguistik pad asalah satu pihak tidaklah cukup dan pada pihak lain dapat melampaui batas kemampuan seorang pembaca. Oleh sebab itu, karya sastra lebih dari pada struktur bahasa dan menonjolkan karya sastra sebagai sarana komunikasi dan berfungsi sebagai koneks stilistika yang sama dengan koneks harapan pembaca. Pola harapan pembaca ini ditentukan oleh segala ssuatu yang pernah dibaca atau didengarnya sehingga susastra mendapatkan maknanya secra menyeluruh (Sobur, 2004:89,90). Dibandingkan dengan analisis deskriptif dari Jakobson dan Levi-Strauss, ada pula kerugian yang berkaitan dengan analisis resepsi Riffaterre (segers, 2000:48). Posner menunjukkan bahwa analisis ini testabel hanya sampai tingkatan tertentu, dan secara teoritik tidakmenentu. Lagi pula, seseorang dapat menanyakan bagaimana pembaca ideal dikonstruksikan dan elemen-elemen mana yang harus dimiliki atau diikatnya. Bauer (dalam Segers, 2000:48) menanyakan apakah tidak lebih benar mendasarkan analisi pada seumlah pembaca real (dan bukannya pada seorang pembaca super) danmenyelidiki respons-respons mereka mengenai teks sebagai suatu kelompok. Selanjutnya ia mengemukakan alasan bahwa materi Riffatere telah dirakit dengan menggunakan kuesioner sehingga dasar dan hasil analisis resepsi dapat dicek. Akant etapi, kritik ini tidak diterapkan pada analisis resepsi historis.

Bagaimana pokok pandangan Riffaterre terhadap puisi? Ahli semiotika, yang selalu disebut-sebut dan dipuji-puji teori nya itu oleh pakar-pakar sastra di Indonesia, pernah menyatakan bahwa secara ekstrem dapat dikatakan, puisi itu tidak lain daripada sekedar permainan belaka (This is an extreme case but exemplary, for it may tell us much about potrys being more of a game than anithing else) (Sastrowardojo, 1988:14). Ia sampai kepada kesimpulan yang belaku secara umum itu tentang puisi setelah mempelajari sajak-sajak Stephane Mallarme. Ditemukannya pada sajak-sajak penyair Prancis itu bahwa pertentnagna yang mendasar, yang menjadi wadah dari kesastraan (literatiness), sekurang-kurangnya sepanjang kesastraan itu terwuud dalam puisi dapat sampai pada titik, tempat sajak merupakan suatu bentuk yang sama sekali kosong dari pesandalam arti yang biasa, yakni tanpa isi, emosi, moral atau filsafat, katanya. Pada titik itu sajak adalah suatu bentukan (construct) yang seakan-akan tiada lain kerjanya daripada bereksperimen dengan tata bahasa teksnya, atau barangkali dengan gambaran yang lebih baik, suatu bentukan yang tiada lain daripada senam indah kata-kata (a calisthenics of words), suatu kesibukan perakitan kata-kata (a verbal setting-up exercise) (Sobur, 2004:91). Dikatakannya bahwa penyerupaan dengan kenyataan (mimesis) dalam sajak atau puisi sangat palsu dan semu (quite spurious and illusoryi), diwujudkan hanya demi pembentukan tanda (semiosis), sedang tanda itu suatu rujukan kepada kata nothing, kekosongan. Semiosis adalah lawan dari mimesis (Budiman, 1999a:107).dalam membaca sebuah puisi atau figur verbal apa pun, seorang penafsir akan menemukan bahwa pembacaan yang bersifat harfiah atau mimetik tidak akan memadai. Sebaliknya, proses pembacaan figuratif, yang dinamakan sebagai semiosis, melibatkan suatu tilikan ke arah struktur paradigmatik yang mengelilingi kata-kata dan struktur inertekstual yang mengelilingi suatu teks puitik. Bagi beberapa ahli semiotik lain, misalnya saa Barthes, semiosis merupakan sinonim bagi signifikasi (Budiman, 1999a:107). Di dalam pernyataannya yang dikatakan Subagio Sastrowardojo, (1988:15) sebagai berbelit-belit Riffaterre berkesimpulan bahwa bersajak adalah bermainmain dengan kata belaka seperti dalam kecantikan, sedangkan apa yang dikatakan di dalam sajak adalah kosong dari isi atau pesan, apakah itu

perasaan, moral atau filsafat. Itulah bagi Riffaterre ciri umum atau hakikat puisi. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978, dalam Pradopo, 2001:74-75) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Riffaterre berbicra dalam kaitannya dengan pemaknaan puisi, tetapi sesungguhnya dapat dikenakan juga pada prosa. Jdi, ketaklangsungan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secra tidak langsung, dengan cara lain. Ketidaklangsungan ekpresi itu menurut Riffaterre (Pradopo, 2001:75) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning) (Sobur, 2004:92). Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonomi dalam karya sastra. metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pad umumnya,t idak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga untuk mengganti bahasa kiasan lainnya, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, senekdoki, perbandingan epos, dan alegori. Penyimpangan arti menurut Riffaterre disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kontradiksi ialah mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks atau ironi. Nonsense adalah kata-katayang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian bunyi tidka terdpat dalam kamus. Akan tetapi, dalampuisi nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense itu untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Penciptaan arti menurut Riffaterre merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mepunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra). jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks, di luar linguistik. Diantaranya adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima). Tipografi dan homologues.

Menyinggung soal makna sajak, Riffaterre berpendapat, untuk bisa memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Pradopo, 2001:84). Pembacaan heuristic adalah pembacaan berdasar struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konensi (sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi dasarnya. Pembacaan hermeneutik dlaah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya (Sobur, 2004:86-92).

11.

Jacques Derrida Jacques Derrida, dilahirkan pada 1930 dalam keluarga Yahudi di El Biar,

Al Jazair. Sementara menyelesaikan gelar sarjananya, ia tertarik mempelajari filsafat. Ia pergi dari rumahnya ke Prancis untuk menjadi anggota militer. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia tetapi tinggal di Perancis untuk studi ke Ecole Normale Superieure (ENS), Paris. Sementara studinya semakin mau, Derrida memutuskan tidak menulis tesis ini untuk mencapai gelar doktor. Ia menyadari permasalahan yang ada dalam ilmu filsafat, khususnya dalam hubungannya dengan literatur. Ia kian yakin pada kesimpulannya bahwa filsafat adalah semacam bentuk sastra literatur (Grenz, 2001:222). Jacques Derrida adalah filsuf postmodern yang paling akuran. Jika Foucault adalah murid Neitzsche yang paling seati, maka Derrida adalah penafsir postmodern yang terpenting tentang Nietzsche, kata Satnley J. Grenz (2001:221), seorang Pioneer McDonald dan profeson teologi dan etika di Regent College, Bancouver, Britihs Columbia. Apa yang dikatakan Grenz, tidaklah berlebihan. Pembaca yang jeli akan segera mengenali bahwa melalui gagasan-gagasan tentang intterpretant dna rantai abadi semiosis banyak argumen yang mesti diabuat Derrida berkenaan dengan teorinya tentang tanda, telah tersirat dalam semiotika Charles Sanders. Peirce. Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis hermeneutik seauh ia berhubungan dengan bahasa dan makna. Akan tetapi, beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru seorang filsuf yang anti hermeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sasatra mengklasifikasikan dia di antara kritikus sastra, meskipun

dia sendiri mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf atau sastrawan (Derrida, 1972, dalam Sumaryono, 1993). Ia seringkali juga disebut sebagai post strukturalis, meski ia sendiri menyangkal kecenderungan strukturalis (Sumaryono, 1993: 109). Namun, sayangnya nasib Derrida kurang begitu beruntung di dunia akademik. Di Inggris, seperti dituturkan Cobles dan Jansz (1999:100), selama 1970-an dan awal 1980-an, baik Foucault maupun Lacan yang berpengaruh terutama karena teori filmnya, meskipun dalam bentuk yang sudah diacak-acak, menjadi figur-figur intelektual terkemuka. Sebaliknya, Derrida sering mendapat hambatan dari masyarakat akademik Inggris. Bahkan, pada 1992, saat ia menjadi filsuf yang barangkali paling terkenal di dunia, ada yang melakukan kampanye menolak penghargaan akademik yang hendak diberikan kepadanya di Cambridge. Meskipun demikian, di wilayah studi-studi tekstula (terutama teori sastra) Derrida akan menjadi seorang mahaguru, melalui rangkaian jabatan profesor di Amerika, barangkali cara penafsiran Derrida memang cocok dengan atmosfir Amerika, kata cobley dan Jansz. Derrida banyak disebut-sebut sebagai lelaki yang sangat cerdasa. Tetapi karya-karyanya sulit dimengerti. Seperti Foucault, ia belaar dibawah bimbingan Husserl, tokoh fenomenologi Jerman yang hidup di tahun 1859-1938. Ia dengan tekun mempelajari karya-karya filsafat tokoh-tokoh besar, mulai dari filsuf-filsuf Yunani klasik seperti Plato, dan Aristoteles, kemudian Kant, Hegel, Freud, Neitzsche, Husserl, dan Heiddegger. Ia mengandaikan para pembaca tulisannya adalah orang-orang yang termasuk pakar di bidang seni dan sastra. Ia banyak mengutip teks-teks Yunani dan Jerman asli dan sangat sering mengupas kembali naskah-naskah berbahasa Perancis. Sekarang ia mengajar di ENS sebagai maitre-asisstent, dosen tetap bidang filsafat. Ia juga menjadi profesor tamu pada Universitas California, Irvine, dan Universitas Cornell (Sobur, 2004:94). Sejak 1974, Derrida aktif dalam berbagai kegiatan himpunan dosen filsafat yang memperjuangkan posisi yang wajar bagi pengajaran filsafat di tingkat sekolah menengah: Greph (Groupe de recherche sur lensignement philosophique) (Kelompok penelitian tentang Pengajaran Filsafat). Kelonpok ini didirikan ketika dalam rangka rencana pembaruan pendidikan peranan

filsafat pada sekolah menengah mulaid ipersoalkan. Ia banyak menulis artikel dalam terbit-terbitan perhimpunan ini, misalnya dalam Qui a peur de la philosophie? (1977), (Siapa takun pada Filsfat?). beberapa diantara artikel itu, ditambah dengan karangan-karangan baru, dikumpulkan dalam buku Du Droit a la philosophie (1990) (Tentang Hak atas filsafat). Jacques Derrida memulai kariernya sebagai filsuf akademis tahun 1955. Ia mulai memperoleh perhatian publik pada tahun 1965 sewaktu ia menerbitkan dua artikel panjang yang mengulas buku-buku tentang sejarah dan bentuk penulisan pada sebuah urnal yang terbit di Paris, Critique. Karya ini membentuk landasan bagi buku Derrida yang menurut ohn Lechte (2001:169) dianggap paling terkenal, yakni Of Grammatology (1976). Buku-buku lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, diantaranya, meliputi : Speech and Phenomena (1973), The Origin of Geometry (1977). Limited Inc (1977), Writing and Difference (1978), Spurs: Nietzsches Style (1979), Positions (1981), Dissemination (1981), The Archeology of the Frivolus; Reading Condillac, (1981), Margins of Philosophy (1982), Signeponge/Signsponge (1984), dan The Post Card (1987). Tulisan-tulisan Derrida sangat sulit ditafsirkan. Ia mengatakan bahwa selama ini ilmu filsafat hanya berani menilai dan menghakimi jenis sastra literatur lainnya, tetapi menolak digolongkan sebagai salah satu jenis sastra. Ia sangat keberatan terhadap para filsuf yang menganggap diri mereka sebagai pengamat yang objektif. Mereka merasa disiplin ilmu mereka mempunyai hak melemparkan pertanyaan mendasar terhadap ilmu-ilmu lainnya misalnya : Apa itu literatur? Atau apa itu puisi? Derrida keberatan dengan konsep demikian (Grenz, 2001: 222). Guna melawan kecenderungan ini, ia menghantam poisisi filsafat. Ia menganggap dirinya mampu memandang dari sebuah titik puncak terhadap aktivitas secara literatur lainnya. Sebaliknya, Derrida memasukkan bentuk sastra literatur lain ke dalam area filsuf (misalnya, puisi)., dengan demikian, secara tidak langsung ia mewaspadai usaha filsafat untuk membagi tulisan menjadi beberapa bentuk. Strategis ini membuat tulisan Derrida melawan struktur yang ada. Tulisan-tulisannya bergerak antara sifat bermain-main dan sifat sengaja mempermainkan aturan-aturan literatur yang selama ini ada.

Ia, seperti diceritakan Grenz, menggunakan beberapa teknik untuk menghasilkan sifat tersebut. Banyak tulisannya bersifat percakapan dengan tulisan-tulisan filsuf besar dan penulis terkenal lainnya. Terkadang ia mencampurkan dua teks dengan meletakkan secaraberdampingan sebanyak beberapa halaman yang terpisah secara vertikal atau horizontal. Terkadang pula ia menyajikan percakapan yang mencakup beberapa suara atau satu suara utama yang diinterupsi oleh seorang juru bicara. Melalui semua ini, derrida tampil sebagai seorang ahli membuat makna ganda dan makna tersembunyi. Ia mengajak kita menuju cara baru dalam membaca dan menulis (Sobur, 2004:95). Melihat karya-karya Derrida secara sepintas lalu kiranya cukup untuk menyimpulkan bahwa hampir semua karangan yang ditulisnya hingga sekarang merupakan komentar atas pengarang-pengaran lain: filsuf-filsuf, para ilmuwan misalnya Freud, Saussure, dan Levi-Strauss, dan para sstrawan. Namun, komentar dalam bentuk yang khusus, sebab dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Ia tidak memberi penafsiran begitu saja. Ia juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian mengenai praandaian-praandaian dan implikasi-implikasi dalam teks-teks yang dibicarakan. Dengan mengomentari teks-teks tersebut ia menyajikan suatu teks baru. Ia menyusun teksnya sendiri dengan membongkar teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur atau langkahlangkah ini oleh Derrida disebut dekkonstruction, pembongkaran (Bertens, 2001:328). Agak berbeda dengan pendahulunya, Derrida bukan seorang pembuat mitos baru. Ia tidak berusaha menyusun sesuatu yang baru berdasarkan yang lama. Tujuannya bersifat destruktir (menghancurkan), menghancurkan tradisi logosentrisme Barat. Derrida hendak melucuti cita-cita modern yang memandang filsafat sebagai ilmu murni, sebagai suatu penelitian objektif. Ia juga menolak konsep adanya hubungan langsung antara bahasa kita dan realitas di luar kita. Senjata yang Derrida gunakan adalah dekonstruksi. Dekonstruksionisme menjadi paham yang amat penting dan berpengaruh besar terutama sekali karena ia menghadapkan dirinya dengan satu paham yang amat

berakar dalam lama tradisi filsafat dan pemikiran pada umumnya, tradisi yang hidup berabad-abad dan tetap hidup sampai sekarang. Paham ini adalah apa yang oleh Derrida disebut sebagai logosentrisme tadi atau fonosentrisme. Selain itu, secara lebih khusus, dekonstruksionisme juga berhadapan dengan paham yang sebelumnya juga amat berpengaruh, yatiu strukturalisme. Derrida (Selden, 1989, dikutip Faruk, 2001: 179) mendefinisikan logosentrisme sebagai keinginan akan suatu pusat. Asal istilahnya berpusat pada Perjanjian Baru. logos yang mengkonsentrasikan pusat kehadiran pada sabda Tuhan, pada mulanya adalah kata. Dalam bahasa Yunani, logos itu sendiri kata. Dan kata berarti sesuatu yang diucapkan, bersifat fonotok, sehingga logosentrisme juga disebut ifonosentrisme. (Sobur, 2004:97). Dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Justru dekonstruksi menolak definisi karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut (Grenz, 2001:235). Ia mulai dengan menegaskan bahwa dekonstruksi bukan sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita agar tidak menggantikan pembacaan dekonstrusktif dengan pemahaman konseptual tentang pembacaan tersebut. Meski sulit didefinisikan, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi. Intinya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah segala sesuatu yang derrida tolak. Dekonstruksi menggunakan asumsi filsafat atau filologi tentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme adalah anggapan adanya sesuatu diluar sistem bahasa kita yang dapat diadikan acuan untuk sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan :benar (Grenz, 2001:235). Ilmu filsafat adalah menjadi target utama dekonstrusi. Derrida menegaskan bahwa tradisi filsafat Barat terlalu logosentris atau objektivistik. Filsafat terlalu ditekan untuk selalu mencari dasar transenden bagi bahasa kita. Bagi Derrid, tidak ada tulisan yang dapat dibatasi oleh dasar transenden. Tulisan tidak mempunyai acuan lain di luar dirinya. Tak ada kerangka acuan yang dpapat menghasilkan sesuatu selain dongeng yang diciptakan dari kata-kata. Menurutnya, prinsip utama filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan segala bahasa. Prinsip utama filsafat harus berupa simbol-simbol

yang tidak berdasarkan sesuatu apa pun selain bahasa. Tambahnya pula, tujuan filsafat bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem ini, tetapi merobohkannya (dekonstruksi). Lewat suatu pendekatan yang disebut sebagai pembongkaran atau dekonstruksi, Derrida memulai penelitian mendasar pada bnetuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas. Secara kasar bisa dikatakan bahwa hasil dari penelitian ini tampaknya menyingkap sebuah tradisi yang dipenuhi dengan paradoks dan aporia logis. Dekonstruksi pertama kali dibakukan Derrida dalam bukunya De La Grammatologie (of Grammatology) tahun 1967. Istilah yang dipakai Derrida adalah pinjaman dari Heidegger, hanya saja Derrida membumbuinya dengan beberapa resep linguistik dan metode gramatologi ciptaannya. Ia menerapkan metode ini dalam metafisika Barat klasik, dimulai dari Plato dan berakhir di tangah Heidegger. Derrida mengklaim kerelativitasan metafisika, meski hampir semua filsuf para-Heidegger mengagungkan pembahasan tersebut (Sobur, 2004:97). Ketika hendak melukiskan bentuk hubungan antara sejarah metafisika dan kehancuran sejarah metafisika. Derrida mulai dngan mengomentari atau mengutip kritik metafisika Nietzsche, kritik atas konsep yang ada dan kebenaran untuk disubstitusikan dengan konsep-konsep permainan, interpretasi, tanda (tanda tanpa kehadiran kebenaran), kritik Freudian atas kehadiran-diri, yaitu kritik atas kesadar-an, akan subjek, akan identitas diri dan kedekatan diri atau kepemilikan diri, dan lebih radikal lagi adalah penghancuran metafisika, ontoteologi, determinasi yang ada sebagai kehadiran, alat Heidegger. Semua wacana destruktif ini dan semua analogianalogi mereka, kata Derrida, terjebak dalam semacam lingkaran. Lingkaran ini unik, jelas Derrida. Lalu ia menggambarkan bentuk hubungan antara searah metafisika dan kehancuran sejarah metafisika itu. Di sini, Derrida (2001: 28) menandaskan: Tak ada makna dalam tindakan tanpa konsep-konsep metafisika dalam rangka melawan metafisika. Kita tidak mempunyai bahasa tidak sintaksis dan tidak juga leksikon yang asing bagi sejarah ini adalah, kita tidak dapat mengeluarkan sebuah dalil destruktif tunggal yang belum termasuk ke

dalam bentuk, logika, dan postulat-postulat implisit dari apa yang tepatnya dicari untuk dipertentangkan. Ia kemudian mengambil contoh metafisika kehadiran diserang dengan bantuan dari konsep tanda. Namun sejak setiap orang mengharapkan untuk memperlihatkan bahwa tak ada petanda transendetal atau khusus, dan bahwa bidang atau pengertian yang saling mempengaruhi, mulai sekarnag, menurutnya tidak mempunyai batas. Ia, kata Derrida, seharusnya memperluas penolakannya terhadap konsep dan kata tanda itu sendiri yang tepatnya sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Karena pengertian tanda selalu dipahami dan ditegaskan, dalam maknanya, sebagai tanda diri, penanda mengacu pada suatu petanda, penanda berbeda dan petandanya sendiri. Menurut Derrida, jika tanda, penanda dari petandanya sendiri. Menurut Derrida, jika seseorang menghapus perbedaan radikal antara penanda dan petanda, maka kata penanda sendiri yang seharusnya ditinggalkan sebagai konsep metafisika (Sobur, 2004:99). Mengomentari pendapat Levi-Strauss dalam pendahuluan bukunya Le cru etle cuit bahwa ia telah berusaha melebihi oposisi antara yang dapat dirasakan dan dapat dimengerti dengan menempatkan diri (dirinya sendiri) sejak awal pada tingkatan tanda-tanda. Kepentingan, kekuatan dan legitimasi dari tindakannya, menurut Derrida, tidak dapat membuat kita lupa bahwa konsep tanda tidak dengan sendirinya melewati atau menjangkau oposisi antara yang dpat dirasakan dan dapat dimengerti tersebut. Dalam pandangan Derrida, konsep tanda ditentukan oleh oposisi ini: melalui dan melalui keseluruhan totalitas sejarahnya, serta oleh sistemnya. Tapi, katanya, kita tidak dapat melakukan sesuatu pada konsep tanda (Sobur, 99). Menurut Derrida (2001: 29-30), kita tidak bisa menyerah begitu saja pada kompleksitas metafisika pada memberikan kritikan yang kita arahkan melawan kompleksitas ini, tanpa risiko penghapusan perbedaan (seluruhnya) dalam identitas diri suatu petanda yang direduksi menjadi dirinya sendiri atas penandanya, atau kepada apa yang dianggap sebagai sesuatu yang sama, hanya dengan mengeluarkan hal itu keluar dirinya. Karena ada dua jalan heterogen penghapusan perbedaan antara penanda dan petanda: pertama, cara klasik, tercapai dengan reduksi atau penurunan penanda, terutama dalam penyampaian tanda pada pemikiran yang lain, cara yang kita gunakan berlawanan dengan

yang pertama disini, tercapai dengan menempatkan ke dalam pertanyaan, yang didalamnya reduksi sebelumnya berfungsi, pertama dan terutama sebagai oposisi antara yang dapat dirasakan dan dapat dimengerti. Paradoksnya adalah bahwa pengurangan metafisika dari tanda, membutuhkan tanda yang sedang dikurangi (Sobur, 2004:99). Opposisi, dalam pandangan dia, adalah bagian dari sistem, bersamaan dengan reduksi. Dan apa yang ia katakan di sini tentang tanda, menurutnya, dapat diperluas pada semua konsep dan semua kalimat metafisika, khususnya pada wacana mengenai struktur. Tapi tandas Derreida, ada banyak cara terperangkap dalam lingkaran ini. Mereka relatif naif, empirik, sistematik, dekat pada formulasi atau bahkan dengan pembentukan lingkaran ini tandasnya. Inilah, menurut Derrida perbedaan-perbedaan yang menjelaskan keragaman wacana destruktif dan ketidaksetuuan antara mereka yang membuatnya. Hal tersebut, katanya, berada di dalam konsep-konsep yang yang diwariskan, misalnya dari metafisika yang dikerjakan Neitszche, Freud dan Heidegger. Karena konsep ini bukanlah unsur-unsur atau atom-atom dan karena mereka diambil dari seubah kalimat dan sebuah sistem, setiap keterangan berhubungan dengan seluruh metafisika, inilah jelas Derrida, yang memungkinkan para penghancur ini untuk saling menghancurkan satu sama lain. Dicontohkannya, Heidegger menganggap nietzshce, dengan kejernihan dan kekakuannya sebagai tidak jujur dan salah konstruksi, sebagai ahli metafisika terakhir, penganut Plato terakhir. Seseorang, katanya dapat melakukan hal yang sama pada Heidegger sendiri, pada Freud, atau pada orang yang lain. Dan sekarang ini, menurut Derrida tak ada penggunaan yang tersebar lebih luas (Derrida, 2001:31). Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku (Assyaukanie, dalam Nurcahyono, 1999:95). Konsep dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (signifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatologiy, Derida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni,

karena semua tanda senantiasa sudah mengadung artikulasi lain (Subangun, 1994:61). Dekonstruksi, pertama sekali adalah usaha membalik secara terus menerus hierarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahwa sebgai medannya. Dengan demikian yang semula pusat, fondasi, prinsip di plesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi dan tidak jadi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan hampir tanpa batas. Strategi dekonstruksi dialankan dengan asumsi bahwa filsafat barat bisa mempertahankan ide tentang pusat sebagai kehadiran murni hanya dengan cara menekan efek-efek metaforis dan figuratif yang menjadi karakter bahasa. Puncak dekonstuksi Derrida, yang banyak disbut sementara ahli sebagai dekonstruksi postmodernisme terutama dalam kaitannya dengan bahasa, dikemas dalam dua pokok, yakni : (1) mimesis tanpa asal usul (mimesi without origin), dan (2) apokalips tanpa akhir (apokalupse without end) (Tedjoworo, 2001: 39-40). Pertama, mimesis itu tanpa asal usul, menurut Derrida, cara terbaik untuk mendekonstruksi metafisika asal usul (origin) adalah dengan mendalami penyelidikan atas menulis (ecriture). Ia mengacu pada terminologi menulis yang meliputi segala aspek pengalaman yang ditandai dengan jejak-jejak signifikansi. Tidak ada peristiwa awal dalam suatu lingkaran makna. Tidak ada peristiwa awal dalam suatu lingkaran makna. Sebaliknya, yang ada adalah repetisi dan reiterasi. Menulis karenanya adalah sebentuk mimesis. Sekilas pandangan ini seolah-olah kembali pada pandangan Plato tentang mimesis, namun yang dipahami adalah pandangan Derrida ini sama sekali menolak paham asal usul (originalita). Plato membandingkan jiwa manusia dengan sebuah buku (Biblos). Yang mengkopi dan mengilustrasikan pengalaman manusia dalam proses menulis-mimetik yang dilakukan oleh penulis internal (grammateus) dan pelukis internal (zographos-demiurgos). Dalam pandangan Derrida, mimesis tidak mengacu pada origin tertentu. Mimesis hanyalah demi mimesis (Sobar, 2004:101). Jacques Derrida mengacu pada dekonstruksi ganda terhadap paham asal usul dan terhadap pemahaman akan mimesis dalam teks m malararme berjudul

Mimique. Apa yang terjadi dalam mimesis sebetulnya adalah suatu dekonstruksi diri (Self deconstruction). Tidak ada imitasi terhadap sesuatu dan peniruan tidak mengimitasi apa pun. Gerakan yang terjadi dalam menulis, membentuk figur dan imaji yang tidak dapat diasalkan pada ucapan yang mendahuluinya. Kedua, apokalips tanpa akhir, istilah apokalips di sini bearti suatu penyingkapan (un-cover, apokaluptein). Derrida membuat suatu perbandingan saling dekonstruktif dalam tulisannya yang berjudul Glas, menampilan dua kolom tulisan satu sastra, dan satu filosofis yang mengolah apokalips suci St. Yohanes apokalips profan Jean Genet. Ia mengomentari keduanya dengan analisis dekonstruktif terhadap datang (come). Kata ini disebutnya sebagai yang memperkuat nada apokaliptik. Kata ini juga membuka suatu permainan dekonstruktif tanpa pernah terjadi objek di bawah tatanan logosentris. Kata datang tak dapat diurai maupun diinterpretasikan dalam suatu analisis atas kata tersebut; karena ia adalah suatu alamat tanpa subjek.: kita tidak atahu siapa yang berbicara atau kepada siapa kata itu diarahkan. Juga kata itu tidak dapat disituasikan secara temporal, bagai upaya konseptual maupun linguistik untuk memutuskan makna dari sesuatu. Bahasa, menurut Derrida, hanyakah suatu parodi atas parodi, bukan lagi mema ciri dekonstruktif maupun linguistik untuk membatalkan saat naratif linier imajinasi manusia. Akhirnya, ciri dekonstruktir pemahaman kata datang itu meruntuhkan be utuskan makna atas parodi, bukan lagi parodi atas kehidupan atau apa pun. Kita bahkan tidak bisa mengimjinasikan apa iatu keberandalam pemahaman apokalips tanpa akhir ini. Apolkalip tanpa akhir hanya dapat dipahami sebagai suat akhir yang tak berakhir Sobur, 200;93-101. Berkaitan dengan semiotika, agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan dan kematapan tanda dan kode dan makna-makna semitoika yang dikembangkan oleh Derrida bsebagai salah seorang pemikir psot strukturalisme, lebih mampu mengakomodasi dinamika, ketidakpasatian, geolak dan kegelisahan-kegelisahan yang mencirikan budaya chaos bagi Deririda (2001:24), kegelisahan, selalu merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasikan dalam permainan, ditangkap oleh permainan.bila pada

semiotika konvensional yang ditekankan adalah proses signifikansi, yaitu memfungsikan tanda sebagai refleksi dan kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika poststrukturalis yang ditekankan adalah proses significance, yait sebuah proses penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas (Pilliang, 2001:310). Didalam Positions, Derrida juga menemukan bahwa kita tidak bisa lagi terpaku pada makna/pertanda (signified) yang transenden, yang melampaui bentuk ungkapan/penanda (signifier). Bedanya bentuk ungkapan dan makan itu kini cenderung mengapung (floating). Setiap makan menadi bentuk ungkapan baru berikutnya. Hubungan antar ungkapan dan makna yang pasti (Signifier/signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Pilliang, 2001:310). Ini pulalah yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos, semiotika ketidakberaturan (Sobur, 2004:102).

PENULIS: PROF. DR. KAELAN, M.S.

You might also like