You are on page 1of 27

Menjadi Pemimpin

Kita paham bahwa pemimpin tidak dilahirkan dari ruang-ruang kelas. Pengajaran mengenai berbagai konsep tentang kepemimpinan, hakikatnya, gaya-modelnya, atribut-atribut dan sifat-sifatnya, jenis-jenis karismanya, bakat dan talenta yang diperlukan, tentu berguna. Namun, hal menjadi pemimpin bukanlah soal pengetahuan semata. Orang tidak bisa menjadi pemimpin dengan melakukan riset secara online di internet, berapa tahun pun itu dilakukan. Ia harus keluar kelas, beranjak dari kursinya, meninggalkan perpustakaan, dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Pelatihan kepemimpinan juga akan bermanfaat. Meningkatkan keterampilan berkomunikasi, jelas perlu. Mengasah kemampuan untuk menunjukkan arah (direction), membagi-bagi peran dan tugas, pasti penting. Menumbuhkan kemahiran dalam memotivasi dan membangkitkan kembali semangat yang terkulai, sangatlah vital. Menajamkan kemampuan untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat dan berpikir kreatif out of the box, juga tak bisa disangkal arti pentingnya. Tetapi, hal menjadi pemimpin bukanlah soal-soal pelatihan. Sejuta sertifikat dari lembaga-lembaga pelatihan kepemimpinan yang paling terkemuka di bumi ini, tidak otomatis membuat seseorang menjadi pemimpin. Jika pengajaran dan pelatihan kepemimpinan merupakan syarat perlu, tetapi belum memadai, maka unsur apalagi yang penting dan harus ada agar orang menjadi pemimpin? Apakah unsur yang justru esensial dan vital dalam proses membentuk seseorang menjadi pemimpin? Studi dan pengalaman saya yang terbatas menunjuk pada satu hal sederhana: pendidikan. Untuk menjadi pemimpin seseorang perlu mengalami proses pendidikan. Artinya, ia mengalami proses pemanusiawian dirinya sendiri secara berkelanjutan. Ia perlu menemukan contoh-contoh yang dijadikannya panutan; dan ia sendiri bertanggung jawab untuk membentuk dirinya agar mengalami proses transformasi menjadi teladan-contoh-panutan bagi lingkungan konstituennya. Ia harus menjadi manusia transisi, kata Stpehen R. Covey. Menjadi pemimpin, kata Warren Bennis, adalah menjadi diri sendiri yang otentik. Jadi, hal menjadi pemimpin memerlukan kelengkapan dari proses pendidikan, proses pengajaran, dan proses pelatihan. Di antara ketiga proses tersebut, pendidikan adalah jiwanya, spiritual aspeknya. Dan jiwa atau spiritualitas pemimpin tidak berasal dari kelas-kelas pelatihan atau buku-buku yang berisi pengajaran luar biasa. Jiwa pemimpin berpijak pada realitas hidup lingkungannya; realitas hidup konstituen dengan segala masalah dan potensinya. Dan realitas itulah yang ingin diubahnya; ingin ia bentuk-ulang sehingga menjadi lebih baik, lebih maju, lebih berkebudayaan, lebih berkeadilan, lebih sejahtera, lebih berkesesuaian dengan hakikat, harkat, dan martabat kemanusiaan. Singkatnya, lebih sesuai dengan visi sang pemimpin. Spirit Perubahan Dalam konteks mikro, sebuah organisasi yang tidak menumbuhkan spirit perubahan adalah organisasi yang masa depannya terancam. Perusahaan yang semangat inovasinya melempem tidak akan bertahan sebagai perusahaan terkemuka dalam jangka panjang. Sebab spirit perubahan dan semangat inovasi adalah sekadar pertanda hadirnya pemimpin dalam organisasi terkait.

Tanpa hal itu, pemimpin tidak hadir, tidak eksis. Yang ada hanyalah pejabat, pemangku jabatan. Yang berperan adalah manajer, pengelola yang memuja efisiensi. Yang eksis adalah bos, pemberi instruksi dengan senjata reward and punishment. Spirit perubahan, yang merupakan hakikat pendidikan sejati, adalah inti dari bisnis pemimpin. Ia menggerakkan orang untuk melakukan perubahan. Entah itu dalam perubahan yang bersifat evolutif-gradual-perlahan; perubahan dengan kecepatan menengah-reformatif-parsial; atau perubahan yang bersifat radikal-revolusioner-total. Entah perubahan untuk membuat sesuatu menjadi lebih besar (bigger), lebih tinggi (higher), lebih baik (better), lebih kuat (stronger), lebih cepat (faster), lebih mudah (easier, friendlier), dan sebagainya. Entah itu menyangkut kinerja produksi, kinerja penjualan dan pemasaran, kinerja keuangan, atau kinerja perusahaan secara keseluruhan, kepuasan konsumen, pertumbuhan pangsa pasar, profit margin, dan sebagainya. Pembawa Perubahan Karena perubahan adalah inti bisnis pemimpin, maka menjadi pemimpin berarti bergaul di lingkungan pendobrak status quo (kemapanan). Para pembawa perubahan yang anti kemapanan ini bisa dikelompokkan menjadi empat. Pertama, orang-orang muda yang baru keluar dari pelatihan. Mereka telah mempelajari sejumlah hal namun belum pernah mempratikkannya. Keluguan dan kurangnya pengalaman justru menjadi keunggulan mereka. Albert Einstein dalam bidang sains, Fred Smith dengan Federal Express, dan Steve Jobs-Steve Wozniak dengan Apple-nya, pernah mewakili kelompok ini. Kedua, orangtua yang pindah bidang kegiatannya (shifting field). Karena baru pindah bidang, orang-orang model ini belum terkontaminasi dengan apa yang bisa dan tidak bisa dlakukan dalam bidang yang baru dimasukinya. Mereka akan menerobos saja pakem-pakem lama, dan kemudian mencatatkan hal-hal baru. Alex Mueller, fisikawan yang mulai menggeluti super konduktor di usia lanjut; Edward Deming, ahli statistik yang kemudian berkecimpung di dunia manufaktur di usia lanjut, sehingga melahirkan gerakan Total Quality Management (TQM); dan Bill Weimer, sarjana fisika yang beralih rupa dari seorang ahli teknik menjadi ahli pemasaran di IBM; adalah beberapa contoh legendaris dari kepeloporan orang-orang gerusia di atas 40 tahun yang pindah bidang. Ketiga, orang-orang lama yang nyentrik dan tidak konvensional. Mereka biasanya dikenal karena tidak disiplin, susah diurus, suka mengajukan pertanyaan kepada manajemen. Paul Garvin, pendiri Motorola, membawa radio dari ruang keluarga menjadi radio mobil; Robert Galvin, mengeluarkan Motorola dari bisnis elektronik konsumen lalu memasuki produksi chip terpadu; kedua ayah-anak itu tidak takut menerobos peraturan-peraturan untuk membawa perusahaannya berkembang. Keempat, pelaksana lapangan. Mereka tidak mengetahui apakah masalah yang mereka hadapi khusus atau generik; mereka hanya tahu bahwa masalah harus dipecahkan agar tugas mereka selesai. Spread sheet elektronik dan sistem switch telepon ditemukan oleh pelaksana lapangan semacam ini.

Jadi, untuk menjadi pemimpin yang membawa perubahan, bergaullah dengan orang-orang muda yang masih fresh graduate; ajak bicara orangtua yang beralih bidang pengabdian; dengarkan pandangan orang-orang nyentrik yang tidak konvensional dalam perusahaan; dan seringseringlah turun ke bawah untuk berbicara dengan pelaksana lapangan. Semoga. Andrias Harefa; Penggagas Visi Indonesia 2045; Trainer Coach Berpengalaman 20 Tahun; Penulis 35 Buku Best-seller. Beralamat di www.andriasharefa.com dan aharefa@gmail.com. Tulisan ini sudah dimuat di Bisnis Indonesia Minggu edisi 9 Agustus 2009. Tags:

Pemimpin Baru
July 27, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

Kita paham bahwa Indonesia sedang dalam proses persalinan massal. Para pemimpin-pemimpin baru sedang dilahirkan. Mereka yang dalam proses perebutan kekuasaan tahun-tahun ini akan digantikan oleh orang-orang yang sama sekali baru dalam satu dekade ke depan. Zaman baru telah datang dan tak bisa dihindari. Dan zaman baru meminta pemimpin-pemimpin baru. Tentang pemimpin baru, John Scully, mantan CEO Apple Computer, pernah mengatakan bahwa, Para pemimpin baru menghadapi ujian baru, misalnya bagaimana ia dapat memimpin orang yang tidak pernah memberi laporan kepadanyaorang-orang yang berada di organisasi lain, di Jepang dan Eropa, bahkan para kompetitor. Bagaimana Anda dapat memimpin di lingkungan yang padat ide dan berisikan jaringan-jaringan yang interdependen ini? Ini memerlukan seperangkat keterampilan yang sama sekali baru, yang berbasis pada ide-ide, orang-orang, dan nilai-nilai. Para pemimpin tradisional mengalami kesulitan untuk menerangkan apa yang sedang terjadi di dunia, karena mereka mendasarkan penjelasannya pada pengalaman. Pernyataan singkat di atas sarat makna. Mari kita telusuri beberapa di antaranya. Pertama, kepemimpinan yang bertumpu semata-mata pada pengalaman tidak lagi dapat diandalkan. Kita tidak sedang bergerak ke belakang, ke tempat pengalaman itu terjadi (terra firma). Kita, suka atau tidak suka, sedang bergerak ke depan, ke suatu tempat yang bahkan belum pernah kita datangi (terra incognita). Itu sebabnya kita tidak bisa menjelaskan tempat baru itu dengan berkaca pada pengalaman. Ia tidak berada dalam pengalaman kita. Ia justru berada di ruang kemungkinan-kemungkinan, di ruang-ruang maya yang merupakan proyeksi dari pikiran-pikiran manusia.

Kedua, kalau pengalaman tidak bisa dijadikan tumpuan utama, maka kemana para pemimpin baru itu berpaling? Jawabnya tegas: kepada ide-ide, orang-orang, dan nilai-nilai. Pemimpin baru bergaul dengan dunia maya, dunia virtual, dimana berbagai macam gagasan berseliweran untuk saling diapresiasi dan saling dikritisi sekaligus. Tembok-tembok birokrasi diluluhlantakkan dan suasana formal berubah menjadi informal dan kerap personal. Berdasarkan nilai-nilai tertentu, orang-orang yang secara fisik dekat menjadi berjauhan; sementara mereka yang secara fisik berjauhan menjadi berdekatan. Perekat dan magnetnya bukan hirarki organisasi yang struktural, tetapi kesamaan nilai-nilai yang dianut. Barack Obama mungkin menjadi contoh paling populer untuk menegaskan hal ini. Ia datang dengan gagasan-gagasan, dengan orang-orang muda yang bergairah, dan menawarkan nilai-nilai yang diyakini lebih baik dari para pemimpin tradisional. Kita tidak perlu menjadi ahli ilmu politik lebih dulu untuk memahami, bahwa kemenangan Obama tidak berbasiskan pengalaman, melainkan lebih berbasiskan pada gagasan-gagasan segar di tengah pasar pengalaman yang kumuh oleh kepongahan. Obama melakukan hal yang benar (doing the right thing), berorientasi jangka panjang, bercumbu dengan masa depan, menginovasi dan mengembangkan, bertanya apa dan mengapa, mengatur irama dan arah bersama. Ia tidak tampil sebagai pemberi perintah, tetapi lebih sebagai penjual gagasan. Ketiga, ujian bagi para pemimpin baru adalah bagaimana ia menembus batas-batas yang ada untuk mengembangkan pengaruhnya. Bagaimana seorang pemimpin perusahaan memengaruhi tidak saja pegawai, dan konsumennya, tetapi juga mereka yang di luar perusahaannya, pegawai di organisasi pemasok, bahkan pegawai di organisasi kompetitornya. Atau bagaimana pemimpin sebuah partai politik (sebagai organisasi) memengaruhi tidak saja konstituennya sendiri, tetapi juga konstituen dari parta politik yang lain. Bukankah fenomena koalisi-koalisi antar partai merupakan ujian yang sangat jelas mengenai kiprah para pemimpin baru? Bukankah ujian semacam ini telah membuat para pemimpin tradisional kalang kabut dalam menentukan posisinya sendiri? Konstituen dari partai-partai yang lemah kepemimpinannya, nampak kucarkacir tersedot magnet dari para pemimpin di luar partai sendiri. Dan patut diduga fenomena ini masih akan terus berlangsung sampai satu dekade mendatang; sampai lahir pemimpin-pemimpin baru yang lolos ujian. Keempat, karena pemimpin baru menghadapi lingkungan yang padat ide dan berisikan jaringanjaringan yang interdependen, ia tidak lagi sekadar main perintah seperti komandan upacara. Ia juga tidak memiliki ilusi berlebihan untuk bisa mengontrol semua hal bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, para pemimpin baru sangat sadar bahwa ia berkewajiban untuk menginspirasi konstituennya dan mengembangkan kepemimpinan di segala level organisasi. Pemimpin baru percaya pada konsep the leader in you dan the leader in us. Itu sebabnya pemimpin baru lebih berkutat pada soal-soal visi dan nilai-nilai bersama. Jika para pemimpin tradisional mengambil posisi sebagai komandan upacara (mengatur barisan yang seragam), maka para pemimpin baru memilih posisi sebagai pemandu orkestra (mengatur orang-orang dengan fungsi dan peran yang beraneka ragam, sesuai jenis alat musik yang dipegangnya). Keempat hal di atas memberi sedikit gambaran kepada kita tentang sosok pemimpin baru untuk zaman ini: pertama, karena pengalaman tidak bisa jadi acuan, maka senioritas dan usia tidak bisa lagi dijadikan isu untuk mengukur kecakapan seorang pemimpin. Kaum muda mendapatkan

peluang untuk memainkan peran strategis mereka tanpa harus menunggu restu orangtua; kedua, pemimpin baru haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai luhurtermasuk nasionalismedan mampu berpikir kreatif, serta cakap mengomunikasikan gagasan kepada publik, baik tertulis maupun lisan; ketiga, mampu bertenggang rasa, toleran, dan solider, apalagi dalam konteks masyarakat yang multikultur seperti Indonesia. Indonesia sedang dalam proses persalinan massal. Mari kita songsong para pemimpin baru. Selamat datang pemimpin! * Andrias Harefa, Pelatih Trainer Berpengalaman 20 tahun; Penulis 35 Buku Best-Seller; Penggagas Visi Indonesia 2045. Dapat dihubungi di www.andriasharefa.com. Artikel ini juga dimuat di Bisnis Indonesia Minggu rubrik Spiritual Leadership. Tags:

Konstituen
June 29, 2009 by admin Filed under Leadership 1 Comment

Konstituen adalah seseorang yang secara aktif mengambil bagian dalam proses menjalankan organisasi dan yang memberikan otoritas kepada orang lain untuk bertindak mewakili dirinya. Seorang konstituen memberikan otoritas kepada pemimpin, bukan sebaliknya. Konstituen itu bisa pegawai/ bawahan, tetapi juga bisa konsumen, para pemegang saham, para pemasok, dan mitra bisnis lainnya, dan warga negara, demikian Kouzes dan Posner (Credibility, 1993) mengusulkan istilah pengganti follower atau employee. Dan dalam buku tersebut, mereka merasa perlu menegaskan pentingnya seorang pemimpin untuk menghargai para konstituen dengan segala perbedaannya lewat paparan sepanjang 30 halaman. Definisi diatas menegaskan bahwa konstituen adalah pemegang otoritas yang sesungguhnya. Dan bila otoritas itu dipercayakan atau diberikan kepada orang lain, maka orang lain itu kita sebut pemimpin. Apa yang kemudian dapat dilakukan oleh sang pemimpin berdasarkan otoritas yang dititipkan kepadanya itu? Ia dapat bertindak mewakili atau atas nama konstituennya itu (on his/her behalf) dalam rangka memberikan pelayanan. Kouzes dan Posner juga mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu hubungan timbal balik antara mereka yang memilih untuk memimpin dan mereka yang memutuskan untuk mengikuti (cetak miring penulis). Dengan kata lain, menjadi pemimpin itu soal pilihan, dan menjadi pengikut atau konstituen itu soal keputusan. Pada titik ini kita melihat kepemimpinan sebagai sebuah transaksi atau perjanjian antar pihak. Ada kesepakatan, pembagian peran, dan distribusi tanggung jawab. Dan layaknya sebuah perjanjian, ia memberikan tidak saja hak (untuk bertindak

atas nama konstituen, memangku jabatan, menerima fasilitas jabatan, dst) tetapi juga kewajiban (untuk melayani konstituennya). Dalam dunia politik kontemporer, sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung mulai 2004 silam, kita menyaksikan adanya kontrak-kontrak politik yang diajukan oleh kelompokkelompok tertentu kepada capres dan cawapres yang berlaga untuk menang. Ada kontrak yang dilakukan secara terbuka di depan umum. Ada pula yang dilakukan secara diam-diam dan menjadi isu durkampanye (kampanye hitam) antar calon pemimpin nasional. Dalam dunia bisnis, konstituen eksekutif puncak perusahaanCEO, dewan direktur, dsbyang pertama umumnya adalah para shareholder (pemegang saham untuk perusahaan publik) atau owner (pemilik perusahaan privat). Seorang eksekutif dipilih atau ditunjuk oleh shareholders atau owner(s). Keterlibatan pegawai dan pelanggan, dan pemasok mungkin ada, tetapi sangat tidak menonjol atau bahkan nol. Meski demikian, dalam proses berikutnya sang eksekutif wajib memenangkan hati konstituen yang non-shareholders dan non-owners itu. Ia harus mengupayakan sendiri legitimasi yang lebih besar, baik dari serikat pekerja, para pemasok, bahkan lingkungan sosial dimana proses bisnis perusahaan berlangsung. Bila tidak, maka ia akan sulit menjalankan perannya sebagai pemimpin bisnis. Konstituen abad 21 Apakah ada perbedaan antara konstituen pada masa lampau dengan konstituen pada era milenium ketiga ini? Menurut Warren Bennis (1997), yang paling menonjol mungkin ini: konstituen masa kini memiliki banyak pilihan dan opini karena mereka memiliki informasi yang dipasok oleh media cetak (koran, majalah, tabloid, jurnal, dsb) dan elektronik (radio, televisi, personal computer, modem, faksimili, CD ROM, email, internet). Apa yang dulu tersimpan rapi di benak para eksekutif puncak dan file-file manajemen, kini tersedia di internet bagi semua (atau sebagian besar) orang. Dan informasi ini bersifat memberdayakan konstituen. Mereka menjadi relatif lebih berpengetahuan dan karenanya lebih demanding (menuntut) ketimbang sebelum era dunia yang dilipat (internet). Artinya, konstituen masa kini sangatlah berbeda dalam cara mereka menilai para pemimpin formalnya karena mereka memiliki informasi. Sungguh keliru jika masih saja ada pemimpin formal, baik dalam organisasi publik maupun yang bersifat privat, yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara yang mengandalkan kekerasan senjata, intimidasi, dan teror. Era ini ditandai dengan peringatan bahwa kekuatan pedang (senjata dan kekerasan) telah dikalahkan dengan kekuatan pena (informasi dan pengetahuan). Karena konstituen masa kini memiliki akses yang relatif luas terhadap informasi, maka para pemimpin yang kurang berpengetahuan akan semakin ditinggalkan. Konstituen menuntut agar pemimpinnya memiliki pengetahuan yang luas, terutama tentang situasi dan kondisi riil yang dihadapi konstituen pada masa kini dan berbagai kebutuhan, keinginan dan harapan konstituen di masa mendatang. Namun, disamping pengetahuan yang luas, para pemimpin juga diharapkan memiliki hati dan jiwa yang mau melayani konstituennya (servanthood attitude), serta memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya.

Adakah para pemimpin kita memahami karakteristik konstituen masa kini? Semoga. * ANDRIAS HAREFA; Penggagas Visi Indonesia 2045 - Beralamat di www.andriasharefa.com dan aharefa@gmail.com Tags:

Kerja Pemimpin
June 15, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

Kita paham bahwa kepemimpinan bukanlah posisi atau jabatan. Karena itu pejabat, mereka yang memangku jabatan, belum tentu pantas di sebut pemimpin. Lihat saja sejumlah pejabat yang turun dari jabatannya, entah karena diturunkan atau pensiun, sebagian malah jadi pesakitan di mata hukum karena terkait korupsi; sebagian lagi mengalami post-power sindrom. Kalau ia benar-benar pemimpin, tanpa jabatan pun banyak orang akan tetap mengikutinya. Bahkan untuk pemimpin besar sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, setelah mereka wafat pun banyak orang masih dengan bangga mengaku sebagai pengikut setianya. Kita paham bahwa kepemimpinan adalah pekerjaan. Cara menjadi pemimpin itu sederhana saja: kerjakanlah pekerjaan yang hanya pemimpin memilih melakukan jenis pekerjaan semacam itu; mereka yang bukan pemimpin akan menjauhi pekerjaan itu. Dan untuk itu tidak diperlukan apaapa kecuali diri sendiri. Kekayaan besar tidak diperlukan, sebab pemimpin yang tidak kaya juga melegenda. Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Nelson Mandela adalah contohnya. Ketiganya juga memulai karier sebagai pemimpin tanpa modal nama beken, tanpa dukungan partai politik atau konglomerat yang luar biasa. Mereka memulai pekerjaannya dengan bekal seadanya. Lalu apakah pekerjaan pemimpin itu? Apakah pekerjaan yang kalau dilakukan pasti membuat seseorang menjadi pemimpin? Mungkin tiga hal ini. Pertama, pemimpin mengerjakan proses idealisasi, memikirkan hal-hal yang ideal. Pemimpin melihat kenyataan masa kini sebagai sesuatu yang tidak ideal, tidak seharusnya begini, dan sekaligus membayangkan sesuatu yang ideal, yang seharusnya ada, dan yang benar-benar bisa terwujud, suatu saat nanti. Jadi, pemimpin berpikir ke depan. Pemimpin berurusan dengan masa depan. Tepatnya masa depan yang lebih baik bagi setiap orang di lingkungannya.

Karena pekerjaan pemimpin selalu berkaitan dengan masa depan, maka ia adalah pembaca tanda-tanda jaman. Ia membaca situasi dan kondisi dengan cara yang khusus, cara-cara yang membuatnya mampu bersikap optimis. Ia mampu melihat peluang dalam setiap tantangan yang menghadang. Itulah pekerjaan pertama pemimpin, di seluruh dunia, di sepanjang jaman. Kedua, pemimpin selalu bergairah untuk merumuskan apa yang ideal itu menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dikomunikasikan kepada orang banyak, terutama kepada konstituen yang mengikutinya dengan sukarela. Rumusan itu galib kita sebut visi, suatu penglihatan jauh ke depan tentang kemungkinan yang bisa tercipta dengan melakukan serangkaian aktivitas tertentu di masa kini. Bung Karno bicara mengenai Indonesia merdeka dan bhineka tunggal ika. Bung Hatta bicara soal ekonomi kerakyatan. Gandhi, King, dan Mandela bicara soal perlawanan tanpa kekerasan. Bunda Teresa bicara soal cinta kasih kepada orang miskin. Semua itu rumusan visi yang sederhana, namun berdaya gerak luar biasa, ketika dikomunikasikan dengan keyakinan yang besar, dengan totalitas diri yang nyaris tanpa pamrih. Ketiga, pemimpin selalu menawarkan agenda aksi. Mereka mencari strategi-strategi terbaik. Mereka mengajak bertindak. Mereka mengumpulkan orang untuk bergerak. Mereka berkolaborasi, melakukan koalisi, kerjasama kemitraan startegis, atau apapun nama dan istilah yang senyampang dengan itu. Mereka tak bisa diam, meski kadang mereka dipaksa menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Visi yang besar dan jelas menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk mencari cara merealisasikannya. Membicarakan visinya saja sudah membuat mereka bersemangat untuk segera bertindak. Dan dalam tiap tindakan (proses) merealisasikan visi itu, sang pemimpin memberikan dirinya total, nyaris tanpa pertimbangan. Ia ikhlas memberikan dirinyabaik waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan harta bendadan sangat kurang memikirkan dirinya sendiri. Pamrihnya yang utama, kalau boleh dikatakan pamrih, adalah membuat visi itu menjadi nyata, menjadi realita dan fakta sejarah yang baru yang membuat dunia di sekitarnya menjadi lebih baik. Dalam konteks bisnis, para pemimpin perlu berpikir keras untuk melakukan idealisasi dari usaha yang dipimpinnya saat ini. Seberapa idealkah keadaan perusahaan yang dipimpinnya saat ini, saat Amerika Serikat terpuruk oleh keserakahan yang diciptakannya sendiri? Bisakah para pemimpin bisnisdalam berbagai tekanan krisis dan pesimisme kronis yang bersifat global membayangkan bentuk yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih bermakna dari apapun yang sekarang eksis? Mampukah ia menerobos realitas dan seolah-olah menjadi tidak realistis karena berpikir ideal? Jika idealisasi sudah makin mewujud, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana memformulasikan hal itu menjadi visi bersama, visi organisasi, visi konglomerasi, yang dipahami oleh seluruh jajaran konstituen, pekerja, dan pengikutnya. Jika visi itu pernah ada, bagaimana merevisi hal yang penting itu dalam formulasi baru yang lebih bernyawa dan berbunyi nyaring. Formulasi dan reformulasi visi disatu sisi, serta upaya-upaya serius untuk

mengkomunikasikannya dilain sisi, adalah dua keping dari satu mata uang, yang satu tak banyak berguna tanpa yang lain. Selanjutnya, perlu diperbaiki agenda aksi berdasarkan strategi-strategi yang diperbaharui, yang telah diperkaya oleh tuntutan perkembangan jaman, yang memanfaatkan kecerdasan-kecerdasan terbaik dalam organisasi bisnis terkait. Inilah bekal bagi pelaksana lapangan untuk bertindak dari waktu ke waktu, namun tanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan tetaplah dipundak sang pemimpin. Jadi, wahai para pemimpin: bekerjalah! * Andrias Harefa, Pelatih Trainer Berpengalaman 20 tahun; Penulis 35 Buku Best-Seller; Penggagas Visi Indonesia 2045. Dapat dihubungi di www.andriasharefa.com Tags:

Mata Pemimpin
March 9, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

ada mata inderawi, ada mata budi, dan ada mata jiwa. Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill, Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVosJay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (greatclear-bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents). Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator, konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya. Kita tahu bahwa bisnis utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan survai pasar untuk mengenai kebutuhan konsumennya. Mereka merancang konsep produk dan jasa yang akan diproduksinya. Mereka mempersiapkan saluran distribusi, melakukan promosi, dan merekrut agen-agen sampai pengecer. Mereka menetapkan harga produk/jasa dan memberikan personal guarantee kepada para konsumen. Singkatnya,

mereka melakukan segala aktivitas pemasaran dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya laris terjual (sold). Apakah para pemimpin visioner itu cuma sekadar pemasar saja? Tidak. Mereka juga mengkonsumsi sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi pasangan dari visi yang dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada. Masalahnya mengapa banyak rumusan visi yang digagas oleh orang tertentu tidak dibeli oleh orang lain? Mengapa banyak orang yang gede rasa (ge-er), merasa memiliki visi dan menyebut dirinya pemimpin, tetapi tidak banyak (atau bahkan tidak ada sama sekali) orang-orang yang willing to follow enthusiastically? Saya tidak memiliki jawaban yang pasti. Namun studi dan perenungan saya selama tiga tahun terakhir sedikitnya menunjukkan 17 kemungkinan berikut: visi itu tidak cukup jelas; visi itu tidak cukup dikomunikasikan; visi itu tidak cukup menarik perhatian; visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang; visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat; visi itu tidak cukup ambisius; visi itu tidak cukup memotivasi; visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang; visi itu tidak menginspirasikan antusiasme; visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga; visi itu tidak mampu memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari; visi itu tidak merefleksikan keunikan; visi itu tidak diyakini dapat dicapai; visi itu tidak membuat orang bersedia berkorban; visi itu tidak bernafas atau tidak hidup; visi itu tidak dirumuskan secara positif; visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya. Hal di atas jelas menunjukkan bahwa visi itu bukan sekadar rumusan kata-kata indah yang puitis dan enak didengar. Bahkan visi juga bukan sekadar hasil olah pengetahuan (knowledge management), meski ia mencakup hal itu. Visi tidak mungkin diperoleh dari pelatihan (training) sebab pada hakikatnya visi bukan keterampilan. Visi harus berangkat dari hati (heart, perenungan dan proses pembelajaran), yang kemudian diberi bingkai oleh akal budi (ratio, pengetahuan), dan kemudian direalisasikan lewat tindakan nyata (act, agenda aksi). Dengan demikian hal ihwal tentang (apa) visi dapat diajarkan, dan bagaimana merumuskan visi dapat dilatihkan, tetapi keduanya belum cukup. Harus ditambahkan dengan faktor perenungan atau kontemplasi di peristirahatan batin (sanctuary). Dan mungkin perenungan dan kontemplasi itulah yang sangat sedikit dilakukan oleh banyak orang yang memegang jabatan kepemimpinan (formal) saat ini. Itu sebabnya kebanyakan visi pribadi, visi perusahaan, bahkan visi pemerintahan (pusat dan daerah) hanyalah sekadar basa-basi saja, asesoris penghias dinding yang meaningless (tanpa makna). Sekali lagi bisnis para pemimpin sejati adalah visi. Dan visi adalah soal penglihatan, soal mata. Apa saja yang dilihat oleh sang pemimpin akan menjadi bisnisnya. Untuk itu pemimpin sejati jelas harus melek, matanya harus fungsional. Ini menyangkut tiga hal.

Pertama, ia harus melek secara batin. Mata spiritualnya harus fungsional, hal mana ditandai oleh moralitas, integritas, dan karakter yang relatif tak tercela. Kedua, mata budinya juga fungsional. Ia tak pernah bosan menginvestasikan waktu, uang, dan seluruh hidupnya untuk mengejar ilmu pengetahuan, mencari informasi, mengumpulkan fakta, data, dan informasi, belajar dari sejarah tentang segala sesuatu yang menarik minat dan perhatiannya, yang dijadikannya urusan saya juga. Hal ini, antara lain, ditandai dengan wawasan dan pengetahuan yang membentang luas, sehingga ia acap kali dijadikan narasumber yang kredibel. Pandangan dan pendapatnya sering dijadikan acuan hidup banyak orang. Ketiga, mata inderawinya juga fungsional. Untuk mata fisik ini Helen Keller (buta tuli), Fanny Crosby (buta), Stevie Wonder (buta), dan mungkin juga Abdurrahman Wahid (agak terganggu penglihatannya) dapat disebut sebagai pengecualian yang amat sangat langka. Dari mana kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu melek, baik mata inderawinya, maupun terutama mata budi dan mata batinnya? Dari mana lagi kalau bukan dari kata-kata dan perbuatannya. Apa yang dilihat oleh seorang pemimpin dikomunikasikannya lewat kata-kata dan tindakan nyata. Ia tidak sembarang mengumbar kata. Ia memikirkan dan merenung-renungkan setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Ia mempercayai kekuatan kata. Ia menggunakan kekuatan kata untuk memberikan gambaran mengenai apa yang dilihat terutama oleh mata budi (eye of mind) dan mata batinnya (eye of spirit). Namun, pada sisi lain, seorang pemimpin sejati menyadari benar keterbatasan kata-kata. Karena itu ia bertindak, menyatakan kata-kata itu dalam bentuk perbuatan. Ia mengupayakan sedemikian rupa, agar kata-kata yang diucapkannya juga terlihat jelas dalam perbuatannya. Dengan demikian, baik kata maupun tindakan adalah ekspresi dari sebuah penglihatan (visi) yang dikomunikasikan dari dalam ke luar diri (inside out). Hasilnya adalah integritas, diri yang dikomunikasikan secara utuh (integer). Apa yang sesungguhnya dilihat oleh mata budi dan mata batin seorang pemimpin? Mungkin ini: pertama, ia melihat kondisi aktual yang tidak memuaskan dirinya, realitas yang tidak ideal dan tidak berkesesuaian dengan potensi yang ada, baik dalam konteks organisasi maupun dalam konteks masyarakat dimana ia berada; kedua, ia melihat kemungkinan untuk mengintervensi realitas yang tidak ideal itu dan dengan demikian menciptakan suatu realitas baru di masa depan yang secara mendasar lebih baik; ketiga, ia melihat sejumlah agenda aksi (strategi dan sejumlah taktik) yang bisa dilakukan untuk mengubah realitas masa kini ke arah realitas masa depan yang diimpikannya itu; dan keempat, ia melihat peran, tugas dan panggilannya yang unik dan relatif tak tergantikan. Karena penglihatannya itu, pemimpin tidak saja melihat dirinya sebagai peselancar yang menari di atas gelombang-gelombang perubahan zaman. Ia tidak melihat dirinya semata-mata sebagai pemberi respons atas berbagai gelombang besar perubahan. Ia juga melihat dirinya sebagai pembuat gelombang-gelombang perubahan itu sendiri. Ia tidak saja adaptif, mampu menyesuaikan diri, melainkan juga proaktif, mampu menginisiasi atau memprakarsai perubahan. Sekalipun pemimpin melihat realitas masa kini sebagai kondisi yang sangat tidak memuaskan dirinya, namun ia bukanlah seorang yang sinis menatap masa depan. Ia tidak pesimistik, melainkan justru optimistik dan penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan tiap kali realitas masa kini mencoba membunuh harapannya, maka sang pemimpin berjuang untuk memfokuskan pandangannya kepada kemungkinan melakukan sesuatu untuk mengubah realitas itu. Ia tidak mau dipenjara oleh masa kini, tetapi memberikan dirinya untuk ditawan oleh masa depan. Ia sebabnya ciri utama seorang pemimpin antara lain adalah menyuarakan harapan, baik lewat kata maupun lewat tindakan nyata. Bila kita dapat menyepakati bahwa kepemimpinan sejati dicirikan oleh visi, integritas

(selarasnya kata dan perbuatan), dan harapan, maka mungkin kita juga dapat menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan pemimpin. Yang kita miliki beberapa dekade terakhir ini adalah pejabat-pejabat, yakni orang-orang yang memahami kepemimpinan pertama-tama dan terutama sebagai sebuah jabatan elitis dan karenanya perlu diperebutkan. Yang kita miliki adalah manajer-manajer yang mengukuhkan status quo, mereka yang menerima realitas masa kini apa adanya, mereka yang mengikuti berbagai prosedur standar operasi yang sudah ada, mereka yang tidak pernah mampu mengubah haluan atau membuat perubahan. Jadi, masalahnya sekarang adalah siapakah yang mau menguji dan menggugat kembali penglihatannya? Siapakah yang tidak merasa puas dengan kondisi Indonesia masa kini dan pada saat yang sama mampu melihat kondisi masa depan yang lebih berkesesuaian dengan potensi masyarakat bangsa dan negara Indonesia? Siapakah yang masih mampu menyelaraskan kata dan perbuatannya (membangun integritas)? Siapakah yang masih mampu mempertahankan harapannya? Siapakah yang masih melek mata budi dan mata batinnya? Mari kita cari orangorang semacam itu, terutama di kalangan kaum muda. Dan mari kita nobatkan mereka menjadi pemimpin kita.[] Tags:

Entrepreneurial Leadership?
March 9, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

Dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini, V. Winarno, Ph.D, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, menyitir sebuah kesimpulan maha guru manajemen modern Peter Drucker. Menurut Drucker, era ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap survive . Dengan demikian manajemen, yang oleh Winarno diidentikkan dengan birokrasi, ketertiban, aturan dan prosedur, tak jarang membuat organisasi lambat menjawab perubahan. Keterlambatan ini seringkali tidak memuaskan pelanggan dan pada akhirnya akan merugikan organisasi. Dalam konteks ini ekonomi yang didasarkan kewirausahaan dirasakan lebih baik, karena setiap orang diberi kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam waktu cepat. Tema diskusi kala itu adalah From Entrepreneur to Intrapreneur: How to Institutionalize Creativity, Innovations, and Intrapreneurship in Your Company. Dalam tema tersebut terkesan ada harapan untuk mencari sejumlah cara agar entrepreneurship spirit dari orang perseorangan [biasanya pendiri organisasi bisnis] dapat ditularkan atau diakomodasi secara sistemik ke dalam

sebuah sistem organisasi dan membentuk apa yang bisa disebut sebagai entrepreneurial organization. Untuk itu diperlukan sejumlah intrapreneur alias intra corporate entrepreneur [entrepreneur dalam organisasi]. Dan mereka yang diharapkan memainkan peranan sebagai intrapreneur ini [siapa lagi kalau bukan] para manajer, terutama di lapisan tengah. Mereka inilah yang diharapkan melakukan berbagai kegiatan entrepreneurial dalam organisasi. Dalam diskusi tersebut, ikut hadir Marius Widyarto Wiwied, CEO PT Caladi Lima Sembilan, produsen kaos C-59 yang sudah memasuki pasar manca negara dengan merek C-Forty Nine. Ia berusaha membedakan antara manajer, entrepreneur, dan intrapreneur. Dari aspek kebebasan bertindak, manajer boleh dikatakan paling tidak bebas. Entrepreneur paling bebas, dan intrapreneur agak bebas. Ini nampak dalam hal pengambilan keputusan. Manajer harus bersetuju dengan penguasa [atasannya], menunda keputusan sampai merasa apa yang diinginkan atasannya tercapai. Entrepreneur mengikuti pandangan pribadi, mengambil keputusan dan berorientasi pada tindakan. Intrapreneur mahir mengajak orang lain menyetujui pandangannya, lebih sabar dan mau lebih berkompromi daripada seorang entrepreneur, sebab bagaimana pun intrapreneur tetap seorang pelaksana. Laporan hasil diskusi yang dipublikasikan oleh majalah MANAJEMEN tersebut, hemat saya, menunjukkan adanya pergeseran harapan terhadap peran manajer dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi pemerintahan [terutama BUMN dan BHMN]. Mereka yang menduduki posisi manajerial tidak lagi diharapkan sekadar menjalankan fungsi-fungsi manajemen, karena itu saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan organisasi di tengah arus perubahan yang semakin cepat. Mereka juga diharapkan memainkan peranan sebagai entrepreneur dalam skala dan intensitas tertentu. Ada sejumlah pertanyaan yang masih perlu dicari jawabannya terhadap pergeseran harapan atas peran para manajer itu. Pertama, apakah hal itu mengukuhkan sinyalemen sementara pihak mengenai matinya ilmu manajemen, atau sekadar menunjukkan bahwa manajemen tetap diperlukan, tetapi tidak cukup [necessary but insufficient]? Kedua, bagaimana dengan peran manajer sebagai pemimpin yang membuat lahirnya istilah Manager-Leader [antara lain dipergunakan oleh Andrew Tani dan kawan-kawan] atau Leader-Manager? Ketiga, jika manajer bisa dibedakan dengan entrepreneur dan intrapreneur, maka apa yang membedakan seorang entrepreneur dan intrapreneur dengan seorang leader? Keempat, apakah kita memiliki sejumlah contoh kasus untuk membuktikan bahwa kehadiran intrapreneur akan membuat organisasi berkembang ke arah innovative and creative organization? Kelima, jika kita ingin membangun sebuah entrepreneurial organization, maka apa saja prakondisi dan kondisi yang diperlukan untuk itu? Dan seterusnya. Meski pernah memikirkan kemungkinan matinya ilmu manajemen, namun belakangan ini saya menyadari bahwa manajemen [dalam arti birokrasi, aturan dan prosedur] tetap akan diperlukan dalam batas-batas tertentu. Manajemen itu ibarat tubuh manusia yang melaksanakan berbagai aktivitas sesuai dengan arahan akal sehat dan hati nuraninya. Tubuh penting, namun bukan yang terpenting. Kegagalan paradigma manajemen terletak pada dominasinya terhadap hal-hal yang tidak bisa dimanajemeni, yakni spirit manusia. Mungkin itu sebabnya Gede Prama mengumandangkan konsep manajemen sebagai spirit. Manajemen an sich tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya.

Terobosan pertama yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kepemimpinan, yang mulai marak sejak akhir dekade 80-an. Jika manajemen mengurusi benda-benda [things] dan kepemimpinan bertalian dengan orang [people], maka dalam pengelolaan sebuah organisasi yang beranggotakan manusia dan memiliki aset-aset non-manusia, manakah yang harus didahulukan atau diprioritaskan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan istilah mana yang lebih tepat Manager-Leader atau Leader-Manager. Terobosan kedua yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kewirausahaan, yang boleh dikatakan menyambut meilenium ketiga, abad ke-21. Jika paradigma kepemimpinan berusaha menggugah spirit manusia dalam organisasi, maka paradigma kewirausahaan menantang keberanian bertindak untuk menyatakan spirit tersebut dalam bentuk konkrit yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan [stakeholders]. Diperlukan setumpuk keberanian untuk melakukan hal-hal baru [kreatif] atau untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda [inovatif]. Tidak terlalu jelas bagi saya atribut macam apa yang membedakan seorang leader dengan seorang entrepreneur. Keduanya pastilah memerlukan keberanian bertindak yang digerakkan oleh visi tertentu. Keduanya pastilah memiliki kecenderungan tidak puas dengan apa yang telah ada [status quo], sehingga berupaya melakukan perubahan dan pembaharuan. Namun jika fokus pengembangan organisasi diarahkan melalui pengembangan manusia dalam organisasi, mungkin itu lebih dekat dengan soal leadership. Sementara fokus pengembangan organisasi melalui pengembangan produk dan/atau jasa yang kreatif [baru] dan inovatif [berbeda], mungkin hal itu lebih dekat dengan entrepreneurship. Dapatkah pengembangan manusia dan pengembangan produk/jasa dalam organisasi dipisahkan secara tegas? Saya tidak tahu. Akan tetapi saya kira isuisu organisasi akan bergerak dari leadership-management ke entrepreneurial leadership. Jika benar bahwa kepemimpinan organisasi kini dan di masa mendatang memerlukan pola kepemimpinan yang bercorak kewirausahaan [entrepreneurial leadership], maka bagaimanakah kita membedakannya dengan kepemimpinan yang bercorak manajemen? Pada titik ini saya kira penegasan Raymond W.Y. Kao, profesor di Nanyang Business School, Nanyang Technoligal University, Singapura, menjadi penting untuk disimak. Menurut Kao, kita harus meninggalkan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah mesin produksi uang untuk kepentingan segelintir orang saja [yakni investor yang sibuk mempersoalkan ROI-nya]. Dan sebagai gantinya kita harus menggunakan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah sebuah komunitas entrepreneur yang diciptakan untuk menghasilkan kesejahteraan bagi individu dan memberi nilai tambah kepada masyarakat. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan individu tertentu [para investor yang segelintir itu] hanya dapat diterima sepanjang usaha mereka memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Jika peningkatan kesejahteraan individu diukur dari Return on investment [ROI], maka nilai tambah bagi masyarakat diukur dari Return on labour [ROL, share of fruit of labour], Return on resources [ROR], dan Return on environment [ROE]. Jadi, dengan pendekatan entrepreneurial leadership, sebuah organisasi, terutama organisasi bisnis, tidak boleh hanya disibukkan dengan soal-soal seberapa cepat dan seberapa besar para shareholders memperoleh ROI-nya, tetapi juga soal-soal strategis lainnya seperti ROL, ROR, dan ROE dari kegiatan usahanya.

Dalam sistem politik dan ekonomi yang masih didominasi oleh paradigma manajemen, kehadiran entrepreneurial leader agaknya menjadi kerinduan banyak pihak di negeri ini. Ia bisa diharapkan untuk mengatasi kesenjangan yang amat besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin, sebab ia selalu concern tentang perluasan kesempatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup dimana usahanya berlangsung. Dan mengingat studi Arie De Geus dalam The Living Company [1997], kita dapat mengatakan bahwa organisasi yang dikendalikan oleh entrepreneurial leader akan menjadi organisasi bisnis yang mampu bertahan dalam jangka panjang [ratusan tahun], karena kepedulian mereka terhadap masalah-masalah socio-ekonomi dan lingkungan hidup di sekitarnya. Demikiankah? Tags:

Tangan Pemimpin
March 9, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

One become a leader through doing the work of a leader. Max De Pree Tangan adalah salah satu organ tubuh manusia yang paling sering dilibatkan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Mulai menggosok gigi, menyisir rambut, menyabuni tubuh, mengangkat, menulis, mengetik, menyalami, melambai, membelai, memijat, menggendong, memutar kunci, menggergaji, meng-klik ikon-ikon di keyboard, memetik gitar, menekan tuts piano, bertepuk, memukul, mencangkul, memotong, mencabut, dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan tanda tangan dijadikan penanda yang nyaris disetarakan dengan sidik jari untuk menyatakan keunikan personal. Singkatnya, secara umum dapat dikatakan bahwa dengan tangannya manusia mengerjakan banyak pekerjaan untuk menyatakan kehadirannya sebagai manusia. Secara simbolik kita dapat bertanya apakah yang dikerjakan oleh tangan seseorang yang menandakan bahwa ia layak kita sebut pemimpin? Hemat saya, pekerjaan pemimpin mungkin bisa diringkas menjadi mengerjakan sejumlah pekerjaan yang membuat masing-masing konstituen mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan untuk menciptakan suatu kehidupan bersama yang secara mendasar lebih baik di masa depan. Pemimpin tidak mengerjakan semua hal secara langsung, sebab itu memang tidak mungkin. Pemimpin hanya mengerjakan pekerjaan tertentu, yakni pekerjaan yang hanya dilakukan oleh mereka yang

memiliki kapasitas untuk memimpin. Nah, apakah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin? Sudah berulangkali saya tegaskan bahwa pekerjaan utama seorang pemimpin adalah melayani konstituennya (mulai dari anggota keluarga, pegawai, sampai warga negara), yang aktual maupun yang potensial. Pernyataan pemimpin sebagai pemegang amanah selaras dengan hal ini. Ia melayani bukan agar dilayani, melainkan agar konstituen yang dilayaninya dapat melayani kepentingan mereka sendiri sekaligus kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain pekerjaan pemimpin itu adalah memprakarsai, memulai, mengambil inisiatif pelayanan atas dasar rasa tanggung jawab dan kepedulian yang tulus ikhlas untuk merintis perubahan organisasi dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ibarat bola salju, pemimpin memulai tindakan dengan merendahkan dirinya agar menggelinding dari puncak gunung salju (baca: jabatan formal kepemimpinan), merengkuh tiap bongkah salju yang dapat diraihnya, dan terus meluncur ke bawah, semakin lama semakin besar, sampai cukup besar untuk melindas setiap pohon (baca: hambatan) yang merintangi jalannya. Atau ibarat pemimpin orkestra yang memulai pertunjukkan dengan memberi aba-aba kepada kelompok pemusik yang satu, lalu mengundang kelompok pemusik lainnya, dan seterusnya, sampai sebuah simfoni yang indah bergema menjangkau audiens yang menonton pertunjukannya. Dengan pemahaman yang demikian saya terpesona mendengarkan berbagai cerita (dan menyaksikan sebagian dari proses) perintisan pelayanan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh suster-suster Sarekat Putri Kasih (The Daugther of Charity) di Kediri. Dalam kesempatan berbincang dengan Sr. Anna Wiwiek Supraptiwi, pejabat Provinsial Puteri Kasih Indonesia, saya mencari tahu bagaimana mereka memulai berbagai aktivitas pelayanannya, terutama dalam melayani orang-orang jompo, anak-anak loper koran, dan para yatim piatu. Dan kemudian saya menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh para suster yang berpenampilan amat sederhana itu adalah pekerjaan yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkan kapasitas kepemimpinan dalam dirinya. Sebagai contoh, mereka saat ini mempunyai Panti Wreda St. Josep, yang didirikan sekitar tahun 1962. Pendirian panti yang satu ini bermula dari hal yang sederhana. Beberapa suster melihat seorang nenek yang yang terlunta-lunta di jalanan dan setelah diperhatikan tidak ada sanak keluarga yang mengurusnya. Karena belas kasihan, mereka membawa nenek ini ke susteran. Lalu satu per satu orang jompo yang terlunta-lunta di jalanan (sebagian dianggap gila oleh masyarakat setempat) diajak hidup bersama para suster itu, sampai jadilah sebuah Panti Wreda. Contoh lain hampir setali tiga uang. Pada suatu pagi, dalam perjalanan pulang dari rumah ibadah, beberapa suster melihat satu-dua orang anak kecil berdagang koran di perempatan lampu merah. Ini bukan pemandangan yang biasa di Kediri waktu itu. Anak-anak ini didekati, lalu ditanya sudah sarapan belum. Ternyata mereka tidak pernah sarapan pagi. Lalu sang suster mengundang anak-anak ini mampir ke susteran bila ingin sarapan. Anak-anak yang belum terbiasa diperlakukan seperti itu tak memberikan tanggapan. Baru dua-tiga hari kemudian dua orang anak mampir ke susteran menagih janji untuk diberikan sarapan. Mereka pun dilayani dengan baik. Esoknya datang lagi, dan makin hari makin bertambah jumlahnya. Akhirnya didirikan rumah singgah khusus untuk anak-anak loper koran ini. Di rumah singgah itu anak-anak tidak saja

mendapatkan sarapan pagi, tetapi juga didampingi mengerjakan tugas-tugas pelajaran sekolah dan sebagainya. Pelayanan yang agak khusus adalah melayani para pengungsi di Sampang, Madura. Sejumlah suster berangkat dari Kediri untuk tinggal bersama para pengungsi dan membantu kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka dibantu para relawan kemanusiaan yang tergerak hatinya sebagian adalah kaum muda NU untuk meringankan penderitaan pengungsi akibat perselisihan etnis di Kalimantan (Dayak versus Madura) beberapa waktu lalu. Hal yang sama mereka pernah lakukan di Papua dan (dulu) di Timor Loro Sae (Timtim). Sambil berseloroh para suster itu berkata, kalau ada bencana di suatu daerah, kami langsung kebagian pekerjaan. Para suster Sarekat Puteri Kasih memang telah terbiasa untuk melayani kemiskinan dan penderitaan di depan mata. Ini telah dimulai sejak tahun 1633 di Paris, Perancis. Sarekat ini didirikan oleh St. Vincensius A. Paulo dan St. Louisa de Mirillac, dan menjadi sarekat yang unik karena mempekerjakan biarawati di luar tembok-tembok biara. Pada masa revolusi Perancis, para Puteri Kasih ini menolong banyak orang miskin yang menderita di sana. Lalu sejak 1931, lewat jaringan Puter Kasih dari Belanda, mereka datang ke Indonesia. Mulanya di Surabaya, namun kemudian berpusat di Kediri. Di luar Sarekat Puteri Kasih, saya juga terpesona menyaksikan upaya para penerima Yap Thiam Hien Award, mulai dari Haji Muhidin, Jhony Simanjuntak, dan HCJ Princen (1992), sampai Ester Jusuf Purba dan Suraiya Kamaruzzaman (2001). Mereka semua adalah perintis, pemrakarsa, yang memulai suatu pelayanan, khususnya kepada kaum yang terpinggirkan. Tina di sekitar Senen, dan Mona di kawasan Kramat, adalah contoh lain dari kaum sarjana populis yang melayani anak-anak dan orang-orang miskin di Jakarta (Kompas, 24/12/01). Almarhum Romo Mangun di Kali Code dan Kedung Ombo, mendiang Solagratia S. Lumy dengan Kampus Diakonia Modern-nya, dan Wardah Hafidz yang memilih menjadi sahabat para tukang becak di Ibu Kota, adalah nama-nama lain yang juga memberikan pelajaran kepada kita tentang pekerjaan tangan seorang pemimpin. Bila kita dapat menerima bahwa seseorang menjadi pemimpin dengan mengerjakan pekerjaan seorang pemimpin (the work of a leader), terlepas dari apakah ia diberi jabatan formal kepemimpinan atau tidak, maka semua orang yang saya sebutkan diatas adalah pemimpin. Bahkan lebih dari itu. Sesungguhnya potensi kepemimpinan ada dalam diri setiap orang (Harefa: Berguru pada Matahari, Gramedia, 1998). Sebab tiap orang sesungguhnya memiliki peluang untuk memulai, memprakarsai, menerima tanggung jawab untuk mengambil inisiatif dalam memulai tindakan sederhana (melayani sesamanya dalam skala dan kapasitas yang sesuai dengan dirinya) untuk menciptakan organisasi dan masyarakat yang lebih baik. Ada begitu banyak pekerjaan yang menanti untuk dikerjakan di negeri ini, dan semua itu ada di depan mata. Masalahnya, dalam masyarakat kita kepemimpinan pertama-tama lebih dimengerti sebagai sebuah jabatan dan bukan sebuah pekerjaan. Ada begitu banyak orang yang sibuk berburu jabatan, tetapi malas bekerja apalagi sampai menjadi pelayan (being a servant). Banyak orang enggan mengambil inisiatif, memprakarsai suatu perbuatan baik, jika ia tidak melihat ada kemungkinan memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri (jabatan adalah salah satu bentuk keuntungan itu). Banyak orang enggan mengotori tangannya dengan pekerjaan yang penuh

lumpur yang diwariskan oleh angkatan sebelumnya. Banyak orang yang lebih suka menjadi kritikus yang bersih karena tidak mengerjakan apapun. Semua ini mungkin pertama-tama adalah masalah kurangnya kesadaran diri, dan kurangnya kepedulian sosial, atau bahkan tidak fungsionalnya hati nurani kita sebagai masyarakat bangsa. Dan akar-akar permasalahan ini boleh jadi bersumber pada mandulnya institusi-institusi formal di bidang kependidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Jiwa status quo (anti perubahan) yang telah menyatu dengan berbagai institusi formal itu agaknya masih terlalu kokoh untuk ditumbangkan oleh gerakan reformasi yang hingga kini nampaknya masih setengah matang. Jadi, entah berapa lama lagi kita harus menunggu lahirnya pemimpin-pemimpin baru dalam skala nasional, pemimpin-pemimpin yang mengerjakan pekerjaan sebagai seorang pemimpin, sekali pun dengan mengerjakan segudang pekerjaan ituyang menuntut keringat dan tangan kotormereka tidak memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.[] Tags:

Lidah Pemimpin
March 9, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

Sebab diam tidak selalu berarti emas, maka berbicara bisa berarti berlian. Salah satu cerita rakyat yang terkenal di Sumatera Selatan adalah tentang Si Pahit Lidah. Konon ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara keturunan seorang raja Hindustan. Kalau ia memanggil sesuatu [orang atau binatang] dan tidak memperoleh tanggapan sesuai keinginannya, maka ia akan berkata Jadi batu kau, dan jadilah sesuatu itu batu. Mungkin itu sebabnya ia dikenal sebagai Si Pahit Lidah. Ketika ia wafat, diketahui bahwa lidahnya berwarna hitam dan mengandung racun yang mematikan. Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya, kata KH Abdullah Gymnastiar, mubaligh muda dari Bandung yang, antara lain, dikenal sebagai penggagas konsep Manajemen Qalbu [2001]. Lalu dikutipnya ayat suci yang berbunyi, Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkata-katalah dengan kata-kata yang benar [QS Al-Ahzab:70], dan sabda Nabi Muhammad saw, Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam [HR Bukhari-Muslim]. Dengan cara itu Aa Gym, panggilan akrabnya, menegaskan bahwa lidah adalah amanah. Ketika berbicara tentang lidah, seorang pendeta Kristen mengutip ayat Alkitab yang berbunyi,

Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. [Yakobus 3:2]. Bagai seekor kuda yang dapat dikendalikan dengan kekang dimulutnya, atau bagai kemudi yang kecil mengendalikan sebuah kapal besar, demikianlah mereka yang mampu mengendalikan lidahnya, akan dapat menguasai dirinya dalam berbagai situasi. Baik cerita rakyat maupun kutipan ayat-ayat suci agama Islam dan Kristen di atas menegaskan bahwa kekuatan lidah adalah kekuatan kata-kata yang diucapkan, yang keluar dari mulut kita ketika berbicara. Kekuatan ini begitu dahsyat, sehingga bisa membakar orang banyak untuk bertindak, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Coba saya simak rekaman kaset pidatopidato Bung Karno yang tajam dan memukau audiens pendengarnya selama beberapa dekade. Begitu fasihnya ia menggunakan kekuatan kata-kata, mengelola the power of speech, sehingga tak ada yang membantah ketika ia menyebut dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat. Bahkan sampai hari-hari ini kekuatan lidah Bung Karno masih sulit dicarikan tandingannya, tidak saja di Indonesia, tetapi juga dalam skala global-internasional. Menyoal kekuatan lidah dalam konteks kepemimpinan boleh jadi akan membuat kita merindukan kehadiran seorang pemimpin yang mampu mengelola the power of speech untuk mengumandangkan suara batin kita yang dibungkam berbagai persoalan hidup sehari-hari. Kita memiliki sejumlah pemimpin yang fasih berbicara, sarat dengan pengetahuan dan informasi, memang. Masalahnya, apa yang mereka bicarakan dan cara mereka berbicara tidak nyambung dengan hati kita. Ketika mereka berbicara, sebagian besar kita merasa justru tidak terwakili, sekali pun sebagian dari mereka itu duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, atau bahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mereka berbicara tentang dirinya, partainya, golongannya, kelompoknya, tapi bukan tentang kita. Makin banyak mereka bicara, makin jauh terasa jarak antara kita dengan mereka. Lebih celaka lagi, sebagian pemimpin yang duduk di DPR khususnya, justru menjadi bisu dan tertidur lelap di bangku empuknya. Mereka tertidur saat mengikuti sidang-sidang yang membahas persoalan-persoalan bangsa, bahkan cukup banyak yang mangkir secara reguler dan hanya muncul untuk menandatangani slip gaji bulanan. Sebagaimana dikutip Daniel Dhakidae dalam buku Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pemilihan Umum 1999 [Kompas, 2000, hlm.xxiv], penelitian di tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 34 persen [170an orang] anggota DPR tidak pernah hadir, apalagi bicara, dalam sidang-sidang parlemen. Mereka ini agaknya tak memiliki kesadaran sedikit pun bahwa mereka dibayar oleh rakyat untuk bicara, untuk menggunakan lidahnya [bukan berbicara dengan tangan/baku pukul seperti yang didemontrasikan saat Sidang Istimewa MPR tahun 2001 silam]. Mungkin benar keprihatinan yang dinyatakan oleh sejumlah budayawan negeri ini. Kita memiliki terlalu banyak pemangku jabatan di tingkat elite yang terjebak pada dua situasi ekstrem. Pertama, mereka yang terlalu cepat bicara [too fast]; dan kedua, mereka yang terlalu terlambat bicara [too late]. Pada kelompok yang pertama, kita sering bingung dengan apa yang dibicarakannya karena permasalahan yang di angkat ke permukaan masih belum cukup data dan faktanya. Pada kelompok yang kedua, kita juga dibingungkan apa lagi yang harus dipertimbangkan untuk dapat menentukan sikap dan pendirian yang bersangkutan. Jadi, duaduanya hanya membuat kita, warga negara biasa, kebingungan dan merasa tidak terwakili. Kapankah waktu yang tepat bagi pemimpin untuk bersuara, menggunakan the power of speechnya? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Namun setidaknya kita bisa belajar dari nasihatnasihat orang bijak yang tersebar dalam bentuk pepatah, kata hikmat atau kata mutiara, bahkan ayat-ayat dalam kitab suci agama-agama. Sebagaimana dikutip pada bagian awal tulisan ini,

seorang pemimpin diharapkan untuk benar-benar mengendalikan lidah-nya. Ia diharapkan untuk tidak berbicara saat emosinya dalam keadaan tak terkendali. Ia diharapkan tidak asal bicara tanpa ada kejelasan mengenai data dan fakta. Ia tidak diharapkan bicara saat publik meminta dirinya untuk lebih banyak bertindak. Ia diharapkan tidak berbicara saat ia seharusnya mendengarkan. Ia diharapkan tidak bicara kalau kata-katanya hanya akan menghasilkan perdebatan yang tidak perlu. Ia diharapkan tidak bicara soal masalah-masalah diluar bidang kompetensi dan tugas utamanya. Ia diharapkan tidak berbicara jika kata-katanya bukan lagi bersifat mengingatkan, tetapi sudah mengarah pada mengutuk sesuatu yang belum pantas untuk dikutuk. Ia diharapkan tidak berbicara jika yang akan dikatakannya lebih merupakan pengulangan-pengulangan yang tidak perlu [klise, sloganistik, dsb]. Dan yang paling diharapkan mungkin adalah ia tidak berbicara tentang sesuatu yang patut diduga merupakan dusta, kebohongan yang memelintir makna sesungguhnya. Sebaliknya juga benar. Pemimpin tidak boleh diam membisu ketika semua fakta telah relatif gamblang bagi khalayak ramai [konstituennya]. Ia tidak diharapkan diam ketika berbagai wacana telah berkembang sedemikian rupa ke arah yang kontra-produktif. Ia tidak diharapkan diam ketika diam itu tidak lagi dipersepsi sebagai emas, tetapi sebagai kebodohan atau ketidakpekaan terhadap permasalahan yang berkembang [telat mikir]. Ia tidak diharapkan diam ketika diam dapat dipersepsi sebagai tanda persetujuan akan hal yang tidak mungkin boleh disetujuinya. Sekali lagi harus kita akui bahwa dalam konteks kepemimpinan, soal waktu bicara dan waktu diam mungkin sama peliknya dengan memilih apa yang harus dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya. Ini memerlukan kemampuan membaca teks [realitas] sesuai dengan konteks [situasi dan kondisi tertentu] agar dapat diinterpretasikan maknanya secara relatif benar, tidak bias. Ini memerlukan kepekaan nurani dan kecerdasan budi dalam memilih kata dan mengutarakannya. Ini memerlukan kematangan pribadi dan karakter terpuji serta seni komunikasi. Singkatnya, ini memerlukan aktualisasi seluruh potensi kemanusiaan sang pemimpin. Mungkin benar ilustrasi yang dipergunakan Aa Gym ketika ia mengatakan bahwa, Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup dilihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering keluar dari mulutnya. Ilustrasi ini sederhana, namun sangat mengena. Hati nurani yang bersih dan akal budi yang tajam sering terungkap dari kata-kata [juga tindakan] seseorang. Akan tetapi juga dapat dikatakan bahwa kata-kata yang sembrono, asal bunyi, kasar, dan menyakitkan hati pendengar, mencerminkan kemungkinan hati nurani yang terpolusi dan akal budi yang yang tak terasah baik. Republik yang sedang porak poranda ini memerlukan pemimpin yang mampu mengendalikan lidah-nya. Pemimpin yang melek mata hati dan mata budinya. Pemimpin yang tidak asal bicara, namun tak selalu diam membatu. Dimanakah mereka? Tags:

Telinga Pemimpin
March 9, 2009 by admin Filed under Leadership

Leave a Comment

Pemimpin seharusnya orang yang bertelinga Ia bukan saja harus dapat mendengar (hearing) tetapi mampu mendengarkan (listening) Salah satu rahasia kepemimpinan Mary Kay Ash adalah kemampuannya dalam mendengarkan orang lain. Ia pernah mengatakan bahwa pada saat ia sedang berusaha mendengarkan orang lain, Saya akan menutup mata dan telinga terhadap hal-hal lain. Saya langsung memandang orang yang berbicara kepada saya. Bahkan andai ada seekor gorila yang berjalan memasuki ruangan, barangkali saya tidak akan memperhatikannya. Mary Kay Ash mungkin mendramatisir soal seni mendengarkan ini. Namun, ia agaknya benarbenar meyakini bahwa kemampuan mendengarkan merupakan suatu kemampuan yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinannya. Ketika beberapa konsultan kecantikan (beauty consultant) yang bekerja di perusahaannya datang untuk minta nasihat, ia seringkali merasa bahwa yang perlu dilakukannya hanyalah mendengarkan cukup lama, sampai pihak yang meminta nasihatnya itu menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Mendengarkan adalah seni, sama halnya dengan kepemimpinan. Dan seni tidaklah sepenuhnya bertalian dengan soal-soal kecerdasan intelektual. Kalau toh seni mendengarkan ingin dikaitkan dengan soal kecerdasan, maka mungkin ia merupakan bagian dari kecerdasan emosional (emotional intelligence) atau bahkan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Artinya, mendengarkan lebih berurusan dengan telinga hati ketimbang telinga fisik. Itu sebabnya mendengarkan harus dibedakan dengan sekadar mendengar. Jika orang memiliki masalah dengan pendengaran fisiknya, maka ia memerlukan hearing aid, alat bantu mendengar yang bisa dibeli di beberapa toko. Namun jika orang tidak mampu mendengarkan orang lain, ia tidak bisa membeli alat bantu apapun di toko manapun. Ia hanya perlu menata hati dan pikirannya agar tidak melanglang buana ketika orang lain sedang berbicara kepadanya. Dalam berbagai program pelatihan kepemimpinan, perihal mendengarkan ini juga sering dilatihkan. Sejumlah teknik diajarkan untuk dipraktekkan berulang-ulang. Namun saya kira mendengarkan sebagai seni tidaklah bisa dilatihkan. Sebab seni bukan cara, bukan teknik. Namun tidak berarti latihan mendengarkan tidak perlu. Latihan dan bahkan disiplin untuk mendengarkan tetaplah perlu, bahkan penting. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa mendengarkan hanya bisa dilakukan bila hal itu merupakan keputusan hati. Sebagai teknik, mendengarkan hanyalah soal menciptakan kesan. Dan mereka yang terlatih untuk bersikap dan berpenampilan seperti orang yang mendengarkan, memang dapat dilatih. Mata kita dapat dilatih untuk memandang lawan bicara kita. Tubuh kita dapat diatur posisinya agar terkesan sungguh-sungguh memperhatikan orang lain. Namun pikiran dan hati kita tidak

bisa dipaksa untuk mengikuti penampilan fisik kita, kecuali bila penampilan fisik itu benar-benar merupakan ekspresi yang jujur dan tulus dari hati kita. Sejumlah pakar ilmu komunikasi dan kepemimpinan sering membedakan soal kemampuan mendengarkan ini dalam berbagai tingkatan. Pertama, kita dapat mendengar (hearing), tetapi sama sekali tidak mendengarkan (listening). Ini hanya berarti bahwa secara fisik telinga kita normal (tidak tuli). Misalnya, saat ada demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, sejumlah orang memberikan semacam orasi dan yang lain mendengar tapi tidak sampai mendengarkan. Buktinya, banyak orang sibuk sendiri dengan obrolan dan kegiatan lainnya yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan orasi yang sedang disampaikan. Jadi, secara fisik mereka mendengar, tapi dalam hati mereka berkata emangnya gue pikirin. Juga bila orang sedang mengunjungi berbagai pameran, ikut sekatenan atau pasar malam, dan sejenisnya. Pada saat itu ada banyak suara disana sini, termasuk suara radio, televisi, atau peralatan multi media yang sedang didemonstrasikan penggunaannya. Namun, kebanyakan orang yang mendengar tidak pernah mendengarkan, tidak memberikan perhatian penuh. Apa yang mereka dengar tidak mempengaruhi pikiran dan perilaku mereka. Kedua, kita dapat mendengar tapi tidak sampai mendengarkan ketika kita memberikan kesan seolah-olah mendengarkan tetapi sesungguhnya tidak. Artinya, kita cuma pura-pura mendengarkan, cuma basa basi sosial untuk tidak membuat orang lain tersinggung. Pada tahap ini apa yang masuk dari telinga kanan, langsung keluar dari telinga kiri. Informasi, keluhan, nasihat, kritik, atau apapun yang disampaikan lawan bicara kita tidak sampai menetap di otak, apalagi sampai ke dalam hati. Jadi, pada tahap ini pun keterlibatan pikiran dan hati belum terjadi. Biasanya inilah yang terjadi saat seorang pegawai mendengarkan atasannya memberikan pengarahan yang membosankan. Para penatar P-4 di masa Orde Baru, mungkin banyak didengarkan dalam arti ini juga. Ketiga, kita dapat mendengarkan secara amat selektif. Kita mendengarkan juga, tetapi tidak sampai memahami secara utuh apa yang sebenarnya ingin disampaikan lawan bicara. Kita hanya sibuk mencari cara untuk memberikan tanggapan balik kepada lawan bicaranya, entah dengan maksud untuk menyenangkan ataupun dengan maksud untuk mencari kelemahan dari kata-kata yang disampaikan lawan bicara kita. Misalnya, dalam diskusi yang sarat dengan adu argumentasi. Pihak-pihak yang setuju dan pihak-pihak yang berpendapat sebaliknya hanya mendengarkan pihak lain dalam rangka mencari-cari alasan untuk memukul balik. Tidak ada kejujuran dan ketulusan untuk memahami secara sungguh-sungguh. Kita berusaha mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri. Keempat, kita dapat mendengarkan secara logika. Pada tahap ini kita sudah melangkah lebih jauh dari sekadar hearing. Kita mendengarkan dengan otak, mampu mengingat/menghafal apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita. Jika kita diminta mengulangi apa yang telah dikatakannya secara verbal, maka kita dengan mudah akan dapat melakukannya. Sebagian besar mahasiswa, saya kira, mendengarkan kuliah-kuliah dikampus dalam arti ini. Mereka ikut kuliah dan bisa menjawab soal ujian semester persis seperti yang dikuliahkan dosen sebelumnya. Masalahnya, apakah mereka sungguh-sungguh mengerti (understanding) atau baru sekadar tahu (knowing)?

Kelima, kita dapat mendengarkan sampai benar-benar memahami apa yang sesungguhnya ingin disampaikan lawan bicara kita. Pada tahap ini kita mendengarkan dengan tujuan untuk memahami sepenuhnya. Dan ini tidak saja menuntut keterlibatan pikiran, tetapi juga ketulusan hati. Sebagian orang menyebut tahap ini sebagai empathic listening. Jika Mary Kay Ash mengatakan bahwa mendengarkan adalah seni, saya kira ia bicara soal empathic listening di atas. Dan dalam pengertian ini mendengarkan tidak saja menyangkut soal apa yang didengar secara verbal (kata-kata) atau fisik (mimik muka yang bisa dibuat-buat), tetapi juga pesan yang disampaikan secara nonverbal, yakni lewat bahasa tubuh, intonasi, dan kecepatan suara. Lebih jauh, empathic listening dapat dikatakan upaya mendengarkan dari hati ke hati, bukan sekadar dari telinga ke telinga atau dari pikiran ke pikiran. Jadi ada keterlibatan diri secara total. Mendengarkan dengan melibatan diri secara total (telinga, pikiran, dan hati) mengandung sedikitnya dua konsekuensi. Pertama, kita harus bersedia membuat pikiran kita terbuka (open mind) untuk dipengaruhi. Kedua, karena kita bersedia dipengaruhi, maka kita dimungkinkan untuk mengubah persepsi awal kita yang mungkin keliru. Dengan kata lain, empathic listening membantu kita untuk memahami kerangka pikiran dan perasaan lawan bicara kita, dan dengan pemahaman itu kita diperhadapkan pada kemungkinan mengubah persepsi awal kita. Bila persepsi kita berubah, maka kemungkinan sikap dan perilaku kita pun akan berubah. Inilah, hemat saya, yang tidak disukai banyak orang. Kita, khususnya orang berusia dewasa, tidak suka berubah. Kita cenderung mempertahankan apa yang kita miliki, termasuk pandangan dan sikap dasar kita terhadap persoalan-persoalan hidup. Kita sudah merasa benar, merasa tahu, merasa mengerti persoalan, dan sikap dasar gede rasa ini menutup telinga pikiran dan hati kita. Saya kira, proses reformasi yang sedang kita jalani di negeri ini terhambat oleh ketidakmampuan banyak pihak, terutama para pemimpin formal (baca: pejabat) di lembaga tertinggi dan tinggi negara untuk mendengarkan aspirasi rakyat banyak secara empatik. Dari hari ke hari sangat sulit mencari tanda-tanda (sign) bahwa para pejabat itu benar-benar mendengarkan pandangan pihakpihak yang berbeda dengan dirinya. Demonstrasi buruh yang sering marak juga mengindikasikan bahwa eksekutif puncak perusahaan, baik milik negara maupun swasta murni, juga tidak mendengarkan aspirasi para buruh yang ketakutan karena merasa periuk nasi satu-satunya selalu terancam hilang dalam hitungan detik. Sangat sulit mengusahakan adanya kesepahaman, sekalipun ada begitu banyak forum dialog yang dibuat. Akar masalahnya adalah karena masing-masing atau salah satu pihak tidak pernah sungguh-sungguh mendengarkan secara empatik. Para pejabat dan eksekutif perusahaan cenderung merasa paling benar, sudah tahu, sudah mengerti dan tidak mau mendengarkan. Pada sisi lain, rakyat banyak dan kaum buruh merasa tetap tidak dimengerti, tidak dipahami, tidak didengarkan sungguh-sungguh. Akibatnya buntu, mandeg, not going anywhere. Kebuntuan ini memicu berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai cara menyatakan dan memaksakan kehendak. Mungkin baik jika setiap pemangku jabatan kepemimpinan di berbagai organisasi politik maupun ekonomi/bisnis, belajar kembali (re-learn) ilmu psikologi komunikasi. Kita perlu mengingatkan para pejabat itu bahwa perasaan didengarkan ibarat oksigen bagi jiwa. Pihakpihak yang merasa tidak didengarkan berada dalam posisi sesak nafas, kekurangan oksigen. Jiwanya meronta-ronta. Ekspresi dari jiwa yang dying (sekarat) ini bisa macam-macam. Mulai

dari diam, apatis, sampai demonstratif atau bahkan beringas tak karuan. Yang dibutuhkan mungkin bukan sekadar alternatif solusi yang rasional, tetapi perasaan didengarkan secara empatik, dimengerti, dipahami apa adanya. Apabila rakyat banyak atau kaum buruh merasa bahwa para pemimpin formal itu sungguh-sungguh mendengarkan jeritan hatinya, maka solusi alternatif yang rasional tentu banyak gunanya. Namun tidak sebaliknya. Banyaknya solusi yang rasional tidak dengan sendirinya membuat rakyat dan buruh pabrik merasa didengarkan. Jadi, dengarkanlah lebih dulu, berusahalah mengerti lebih dalam, bukalah pikiran, rendahkanlah hati untuk menerima kemungkinan bahwa anda keliru mempersepsi persoalan. Sejauh yang saya pahami, di dunia ini tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada pemimpin yang merasa dirinya paling benar, paling tahu/pintar, paling mengerti dan karenanya tidak bersedia berubah sama sekali. Sebab bila pemimpin merasa dirinya serba super, maka ia telah kehilangan kemanusiawiannya dan tak lagi mampu mendengarkan dengan pikiran hatinya (mindheart). Sekali lagi, mendengarkan sebagai salah satu atribut penting kepemimpinan, adalah seni dalam mengelola perubahan. Dan mengelola perubahan di tengah paradok globalisasi versus otonomi daerah, pertama-tama dan terutama memang merupakan tanggung jawab para pemimpin. Pemimpinlah yang harus mengambil inisiatif untuk lebih banyak mendengarkan, dalam arti membuka pikiran dan menyediakan hati untuk mengubah salah persepsi yang mungkin dimilikinya. Pemimpinlah yang pertama-tama harus mentransformasikan dirinya untuk menjadi lebih manusiawi. Dengan cara itu ia dapat benar-benar memimpin proses transformasi masyarakat dan organisasi dimana ia dipercaya untuk kurun waktu tertentu. Haruskah kita mengundang Mary Kay Ash untuk memberikan pelatihan kepemimpinan kepada para pemimpin kita? Mudah-mudahan tidak.[] Tags:

Pembelajar sebagai Pemimpin


March 9, 2009 by admin Filed under Leadership Leave a Comment

Pemimpin memprakarsai proses perubahan atau proses pembelajaran. Menjadi pemimpin sejati berarti menjadi pembelajar seumur hidup. Dalam buku bertajuk Menjadi Manusia Pembelajar (Penerbit Kompas, 2000), saya mengajukan hipotesis bahwa manusia dilahirkan sebagai pembelajar (learner) yang dimungkinkan menjadi

pemimpin (leader) bahkan tumbuh sampai ke tahap manusia guru (master). Dan belajar saya sinonimkan dengan berubah, sehingga proses pembelajaran saya beri makna yang sama dengan proses perubahan. Belajar berarti berubah, dan berubah berarti belajar. Bila seseorang, sebuah organisasi, dan sebuah negara bangsa (nation state) tidak belajar atau sangat kurang belajar, maka ia mandeg, status quo, tak berubah. Dan karena perubahan adalah sesuatu yang konstan, maka seseorang, sebuah organisasi, dan sebuah negara bangsa yang kurang sekali belajarterutama dari sejarahakan terancam gagal, bangkrut, punah, hancur, dan masuk museum bersama Dinosaurus. Hipotesis ini menjelaskan bahwa sekitar 60 persen organisasi bisnis yang hancur digilas krisis multidimensi di Indonesia pada tahun 1997-1998 adalah organisasi-organisasi yang tidak mampu memperkembangkan dirinya menjadi apa yang populer disebut learning organization. Organisasi-organisasi tersebut tidak mampu membangun dan memperkembangan budaya belajar di dalam dirinya, sehingga mereka amat sangat rentan terhadap perubahan, apalagi perubahan yang bersifat radikal seperti reformasi total. Ibarat wortel mentah yang cukup liat dan lentur, sistem politik-ekonomi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan-nasional (poleksosbudhankamnas) Orde Baru telah merebus wortel mentah itu (baca: konglomerasi yang terbentuk dari hasil berKKN-ria) hingga menjadi begitu keras dan karenanya mudah dipatahkan, bahkan oleh seorang anak batita (bawah tiga tahun). Jangankan bermimpi menjadi perusahaan yang inovatif, menjadi perusahaan yang adaptif pun mayoritas konglomerasi Orde Baru tak cukup mampu. Sistem pengajaran nasional yang serba seragam dan militeristik, telah memasung kreativitas sekian generasi setelah angkatan 1928, yang kemudian menduduki posisi-posisi penting di perusahaan (dan pemerintahan). Pada level personal, hancurnya karier para eksekutif muda yang menduduki jabatan-jabatan mentereng dalam waktu singkat (proses instant)baik di pemerintahan, tetapi juga di berbagai konglomerasi mengukuhkan hipotesis bahwa kita semua sangat kurang belajar. Sementara pada level nasional, sulitnya mereformasi lembaga tertinggi (MPR) dan lembaga-lembaga tinggi negara (Presiden, DPR, MA, DPA, dan BPK) menunjukkan bahwa sistem politik yang militeristik dan dikendalikan sepenuhnya oleh seorang Raja Mataram Baru disebut sebagai sistem Demokrasi Pancasilatelah sukses menciptakan pejabat-pejabat tinggi negara yang anti belajar dan anti sejarah (baca: penjaga dan pemuja status quo). Sungguh celaka sebuah organisasi, apa lagi sebuah negara bangsa yang tidak memiliki pemimpin yang mempersepsi dirinya pertama-tama dan terutama sebagai longlife learner, pembelajar seumur hidup. Sungguh tragis nasib sebuah masyarakat yang hanya memiliki manusia-manusia lupa diri yang ingin menjadi longlife leader, pemimpin seumur hidup, entah sebagai Pemimpin Besar Revolusi atau pun sebagai Bapak Pembangunan Nasional, tetapi sesungguhnya sudah berhenti belajar. Mungkin kepada mereka kaum New Agers lupa memberikan karya-karya terbaik J. Krishnamurti seperti Freedom From The Known (1969), The Urgency of Change (1970), atau The Impossible Question (1972), yang semuanya mendobrak kemapanan semu dan memicu proses refleksi kritis. Khusus dalam konteks bisnis, para eksekutif puncak perusahaan mungkin memang perlu didongengi cerita sepasang tikus dan sepasang kurcaci dari buklet Who Moved My Cheese? yang diberi hard cover agar bisa dijual mahal oleh penerbitnya di Indonesiasebab akal sehat

mereka tidak cukup mampu untuk menerima kenyataan bahwa perubahan adalah proses alamiah yang sangat disadari oleh longlife learner. Sementara khusus untuk aparat birokrasi mungkin perlu dikarang juga dongeng serupa dengan judul tentatif Who Moved My Chair? Kalau yang terakhir ini ditulis oleh Gus Dur atau Akbar Tandjung, mungkin akan masuk daftar best-seller juga. Sekali lagi, hipotesis saya adalah untuk menjadi pemimpin sejati atau untuk tidak kehilangan kesejatian sebagai pemimpin, mereka yang menduduki posisi-posisi kepemimpinan dalam organisasi perlu melihat dirinya sebagai longlife learner dan bukannya berambisi menjadi longlife leader tanpa proses pembelajaran yang tak berkesudahan, membebaskan diri dari apa yang telah diketahuinya (masa lalu dan masa kini) menuju kepada yang belum diketahuinya (masa depan). Pemimpin sejati (true leader) tidak begitu bodoh untuk mempersamakan begitu saja makna belajar dengan sekolah, sehingga kalau sudah lulus sekolah tak lagi belajar. Belajar bagi pemimpin sejati dipahami sebagai proses yang berlangsung seumur hidup, bukan hanya di gedung sekolahan/universitas, bukan cuma dalam kelas dan ruang-ruang kuliah atau laboratorium yang steril dari persoalan-persoalan hidup yang nyata. Belajar bagi pemimpin sejati adalah di semua tempat, kepada semua orang, dan dalam segala situasi dan kondisi, baik yang menyenangkan, maupun yang tidak menyenangkan, baik saat dinilai sukses maupun gagal. Pemimpin yang suka berubah, suka belajar. Pemimpin yang suka belajar, tidak anti perubahan, tetapi justru memprakarsai perubahan. Ia menggagas visi, membuahi realitas masa kini agar melahirkan realitas baru di masa depan, yang secara mendasar lebih baik. Ia membaca, mendengarkan (listening), berpikir, ber-refleksi, bereksperimentasi, bertindak. Ia membangun kultur yang lebih manusiawi, otentik, berperadaban. Ia mengatur strategi, memompakan motivasi juang, melayani konstituen yang menyepakati dan menghormati konstitusi yang disepakati bersama. Pembelajar sebagai pemimpin (learner as a leader) pada hakikatnya adalah pembelajar yang sudah terbebaskan dari pengajarnya. Ia belajar tanpa menunggu, tanpa disuruh, tanpa didikte, tanpa dipaksa oleh kaum pengajar (teacher) atau pun pelatih (trainer). Ia belajar karena baginya hidup itu belajar, bukan sekadar belajar untuk hidup, apalagi belajar untuk dapat hadiah berupa gelar, jabatan/ kekuasaan, dan harta kekayaan. Ia belajar karena ia pembelajar. Ia tak bisa dan memang tidak berkeinginan untuk menolak perubahan, tetapi justru ingin menciptakan gelombang-gelombang perubahan. Ia belajar dan dengan cara itu ia makin membuat dirinya berproses menjadi manusiawi (humanize him/her-self). Pembelajar sebagai pemimpin menolak menjadi atau dijadikan longlife leader, sebuah pertanda bahwa ia menolak dikultuskan. Ia justru mempersiapkan sejumlah pengganti potensial, dan sangat sadar bahwa hanya dengan meninggalkan jenjang kepemimpinan, maka ia akan memasuki tahap tertinggi untuk menjadi manusia guru (becoming a master). Ia sadar bahwa jubah kepemimpinan yang membedakan antara organisasinya dan organisasi lain, kepentingan kelompoknya dengan kepentingan kelompok oposisi, harus dicopot jika ia ingin menjadi guru bangsa dan bahkan guru umat manusia. Pembelajaran seorang pemimpin akan mendorong pertumbuhannya untuk mengubah paradigma organisasi (termasuk paradigma partai politik) ke tingkat paradigma kebangsaan bahkan paradigma kemanusiaan. Jika pada

tahap pembelajar ia menguatkan individualitas (harap tidak dikacaukan dengan individualisme) dan identitas kelompoknya, sehingga menjadi aku dan kami (tahap pemimpin), maka pada tahap guru ia justru melepaskan keakuannya dan kekamian-nya untuk menjadi bagian dari kita. Pembelajar sebagai pemimpin adalah mereka yang selalu mengejar pengetahuan diri (self knowledge), dan pengetahuan tentang sesama manusia (the other, termasuk rakyat dan konstituen). Pembelajar sebagai pemimpin tak hanya mempelajari teks, tetapi juga menafsirkan konteks ajaran-ajaran mulia di dunia (baik dalam arti Agama yang universal, maupun agama-agama yang partikular). Pembelajar sebagai pemimpin selalu berupaya menyelaraskan sikap-sikap dan pandangan hidupnya agar lebih berkesesuaian dengan nilai-nilai luhur dan mulia yang diyakininya. Pembelajar sebagai pemimpin menyediakan waktu untuk meningkatkan kompetensi teknis dan manajerialnya. Pembelajar sebagai pemimpin selalu mencari kesempatan untuk merenung, melakukan refleksi, retreat, tahajud, meditasi, dan berbagai kegiatan mengasah kearifan spiritual-nya (spiritual wisdom, tak berhenti pada spiritual intelligence). Pembelajar sebagai pemimpin mengembangkan kesadaran (awareness) dalam dirinya bahwa tugas pokoknya adalah menciptakan realitas masa depan yang lebih baik dengan cara mengintervensi realitas masa kini sesuai kapasitas dirinya sebagai manusia otentik, unik tak terbandingkan dengan apapun dan siapapun yang bukan dirinya. Saya kira, negeri yang masih amburadul tak karuan ini memerlukan sosok-sosok pembelajar sebagai pemimpin. Pertama-tama di lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara. Lalu di berbagai organisasi prolaba (dari UKM sampai konglomerasi) maupun nirlaba, organisasi politik dan organisasi nonpolitik. Namun juga di lembaga-lembaga pengajaran atau persekolahan dan lembaga pelatihan, dimana kaum muda di-ajar (agar melek budi) dan dilatih (agar memiliki life skills), serta dirumah-rumah, dimana kaum muda itu seharusnya mengalami proses pendidikan pertama dan utama. Benarkah? Tags:

You might also like