You are on page 1of 13

A.

PENGERTIAN SHALAT JAMAAH Shalat berjamaah adalah shalat yang dikerjakan oleh dua atau lebih orang secara bersama-sama dengan satu orang di depan sebagai imam dan yang lainnya di belakang sebagai makmum. Shalat berjamaah minimal atau paling sedikit dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut solat berjama'ah tersebut jadi jauh lebih baik. Shalat berjama'ah memiliki nilai 27 derajat lebih baik daripada shalat sendiri. Oleh sebab itu, kita diharapkan lebih mengutamakan shalat berjamaah daripada shalat sendirian. B. DALIL DISYARIATKANNYA SHALAT JAMAAH Dalil yang menunjukkan bahwa sholat berjemaah itu disyariatkan terdapat dalam Al-Quran dan Hadits ialah sebagai berikut: a. Al-Quran Surat An-Nisa :102


Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu"

b. Hadits Pada ayat diatas yaitu firman-Nya hendaknya berdiri. Allah memerintahkan berjamaah (padahal ayat tersebut menyangkut perintah shalat pada waktu berperang). Maka apalagi dalam keadaan damai, perintah jamaah itu lebih utama.

C. HUKUM SHALAT BERJAMAAH Hukum Shatat berjamaah adalah fardhu ain dalam shalat jumat. Adapun selain shalat jumat maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut Imam Romli, yang shahih sholat jamaah itu hukumnya ialah sunnah. Sedangkan menurut pendapat yang lain adalah fardhu kifayah, dan pendapat ini dishahihkan oleh Imam Nawawi. Selanjutnya ada yang menyatakan fardhu ain, dan pendapat ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Mundzir dan Ibnu Khuzaimah Adapun hujjah orang yang mengatakan sunnah ialah sabda Nabi SAW:

Shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih dua puluh derajat. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari riwayat Ibnu Umar. Dan Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Said:


dengan selisih dua puluh lima derajat

Adapun hujjah orang yang mengatakan bahwa shalat jamaah itu fardhu kifayah ialah:

Tiada tiga orang desa ataupun pedusunan yang tiada dikerjakan disitu shalat (jamaaah) melainkan setan akan menguasai mereka. Maka hendaknya kamu sekalian menetapi berjemaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya makan kambing yang menyendiri

Adapun hujjah orang yang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu fardhu ain ialah:


Sesungguhnya aku memerintahkan sholat, kemudian shalat itu dikerjakan, kemudian aku perintahkan seseorang shalat bersama para manusia, lalu aku berangkat bersama orang-orang dengan sebangkok kayu yang ada pada mereka menuju kaum yang tidak menghadiri shalat, maka kubakar rumahrumah mereka dengan api Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Untuk hadits yang akhir ini, para ulama menjawab (memberi alasan) bahwa sesungguhnya Nabi SAW, tidak sampai membakar, dan pernyataan beliau tertuju kepada orang-orang munafik.1

D. UKURAN JAMAAH
1

MINIMAL

TERWUJUDNYA

DAN

MENDAPATKAN

Kifayatul Akhyar I, Imam Taqiyyudin Abu Bakar, Hal 313-316, Bina Ilmu.

1. Ukuran Minimal Terwujudnya Jamaah. Selain dalam shalat jumat, jamaah sudah terwujud dengan adanya seorang imam dan mamum, meskipun mamum tersebut seorang wanita, budak, atau anak kecil yang mumayyiz, baik di masjid atau tempat lain, baik dalam salat fardlu maupun shalat sunnah.2

2. Ukuran Minimal Mendapatkan Jamaah. Keutamaan jamaah didapat seseorang jika ia masih mendapati bagian jamaah bersama imam sebelum salam. Sehingga barang siapa yang mendapatkan shalat sebelum imam salam, meskipun hanya sekejap, maka ia telah mendapatkan keutamaan salat berjamaah dalam tiap shalat, sebagaimana hadits Nabi Muhmmad SAW :

.
jika iqamah salat telah dikumandangkan, maka janganlah kamu bergegas mendatanginya dengan berlari-lari kecil, datangilah dengan tetap berjalan. Tetap jagalah ketenangan. Apapun yang kalian temukan dari jamaah, maka salatlah, dan sempurnakan apa yang terlewat darimu. Hal ini dilihat dari sisi keutamaan. Adapun mendapatkan jamaah dari segi hukum adalah dengan mendapatkan minimal satu rakaat dari shalat jamaah. Jadi barang siapa yang mendapatkan ruku bersama dengan imam, maka ia mendapatkan rakaat shalat dan ini berlaku di semua shalat. Lain halnya dengan mendapatkan jamaah dalam shalat jumat (bagi orang yang ketinggalan). Jika seseorang hanya mendapatkan satu rakaat shalat jumat, maka ia harus menambah satu rakaat lagi, sedangkan orang yang tidak mendapatkan ruku terahir, maka ia harus shalat empat rakaat.3
2

Fiqh Ibadah, Prof. Dr. Addul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Hal 242, Sinar Grafika Offset 3 Ibid, Hal 242-243

E. SYARAT-SYARAT BERJAMAAH Syarat-syarat berjamaah dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu syarat yang berhubungan dengan imam dan syarat yang berhubungan dengan mamum. 1. Seorang imam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Islam, karena itu adalah syarat yang paling utama dalam pendekatan diri seorang hamba kepada Allah SWT b) Akil
c) Baligh, merujuk hadits narasi Ali, bawasanya Nabi Muhammad SAW

telah bersabda Diangkatlah pena dari tiga orang (perbuatan mereka tidak dicatat sebagai kebaikan maupun keburukan): dari orang gila yang kehilangan kontrol atas akalnya sampai ia sadar, dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia baligh. d) Laki-laki, imam seorang jamaah harus seorang laki-laki e) Imam haruslah orang yang mampu membaca al-quran dengan baik. Dengan bahasa lain, orang yang tidak ahli membaca al-quran tidak boleh menjadi imam orang yang ahli membaca al-quran, karena salat meniscayakan bacaan al-quran.
2. Seorang mamum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Tidak boleh mendahului imam, merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW :

.
"sesunggnuhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Sebab orang yang mengikuti tidak boleh mendahului orang yang diikuti. Jika ia sampai mendahului imam, maka shalatnya batal. Ini adalah mayoritas pendapat Ahli Fiqih, berbeda dengan kalangan ulama madzab Maliki yang menyatakan keabsahan sholat seseorang

yang mendahului imam, akan tetapi tindakanya dihukumi makruh. Kecuali dalam keadaan darurat. Ini tidak bertentangan dengan pengamalan hadits meskipun posisinya mendahului imam, salatnya tetap sah asalkan ia dapat mendengar suara imam. Hal itu semakin jelas dalam paparan Al-Allamah Ar Rahuni dalam Hasyisyah-nya atas syarah abd al-baqi ar-zarqani : Imam Malik berpendapat, tidak apa-apa solat di ruangan yang tertutup dari imam kecuali dalam solat jumat. Jika mereka melihat tindakan imam, atau mendengaar takbirnya, dan orang-orang yang ruku dengan rukunya imam dan bersujud dengan sujudnya imam, maka hal seperti itu boleh. Istri-istri Nabi Muhammad biasa shalat di kamar mereka mengikuti shalat imam. Malik beragumen jika posisi ruangan yang dibuat shalat mamum berada di depan imam, maka hal itu dimakruhkan dan jika mereka shalat, maka shalat mereka tetap sempurna. Kami dapat informasi (hadits) bahwa ruangan Umar bin Khattab berada di depan kiblat dan orang-orang biasa shalat di sana mengikuti shalat imam. Aku tidak menyukainya(memakruhkanya), namun jika dilakukan maka salatnya tetap sah. b) Mengetahui gerakan perpindahan imam, dengan melihat, mendengar atau mengikuti dari jamaah lain. Jika demikian, maka salat jamaahnya sah, meskipun jaraknya jauh.

c) Mengikuti imam, dalam artian bahwa gerakan mamum harus setelah

gerakan imam. Karena berdasarkan hadits Nabi SAW : sesungguhnya imam di tunjuk untuk diikuti, maka janganlah kamu berbeda dengannya. Jika ia bertakbir maka takbirlah kalian dan jangan bertakbir dulu sebelum ia bertakbir. Jika ia ruku, maka rukulah kalian dan jangan ruku sebelum ia ruku. Jika ia berkata:samiallahuliman hamidah, maka ucapkan rabbana laka al-hamd. Jika ia sujud, maka sujudlah dan jangan sujud sebelum ia sujud.

Hadits di atas harus diikuti, dan orang yang mengikuti tidak boleh mendahului, dan tidak boleh membarengi dalam gerakanya tetapi memperhatikan dan mengawasinya, mengikuti segala gerakanya dan tidak berbeda apalagi sampai mendahuluinya. Tindakan mengikuti dapat dibagi menjadi dua: 1) Mengikuti perkara yang berhubungan erat dengan statusnya sebagai mamum, yaitu pada takbiratul ihram dan salam. Keduanya ini harus diikuti dan tidak boleh didahului. Jika mamum mendahului atau menyamai takbiratul ihram dan salam, maka shalatnya batal. 2) Mengikuti semua gerakan imam. Jika tidak sesuai dengan gerakan imam, maka hal itu tidak membuatya tidak sah dalam salat, melainkan mendapat dosa.

d) Mamum mengetahui status dan keadaan imam, apakah imam termasuk

orang yang muqim(penduduk setempat) atau orang yang musafir.jika mamum tidak mengetahui status dan keadaan imam, maka tidak boleh mengikutinya. Tetapi jika keadaanya diketahui karena adat bahwa ia muqim dan musafir. Bagi orang yang muqim,harus menyempurnakan salatnya, dan bagi yang musafir harus mengkhasar salatnya.orang yang muqim sah-sah saja mamum pada orang yang musafir,akan tetapi setelah salam,orang yang muqim harus menyempurnakan shalatya.4

F. BEBERAPA PERMASALAHAN TERKAIT IMAM DAN MAMUM Berikut ini adalah penjelasan terkait dengan permasalahan-permasalahan imam dan mamum : 1. Mamumnya Orang yang Mengerjakan Shalat Fardlu dengan Orang yang Mengerjakan Shalat Sunnah
4

Ibid, Hal 245-248

Pendapat yang rajih, dalam hal ini adalah bahwa orang yang mengerjakan shalat fardlu (al-muftaridh) boleh mamum kepada orang yang sedang menjalankan shalat sunnah (al-mutanaffil), berdasarkan hadis narasi Jabir bin Abdullah bahwasanya ia pernah mamum shalat isya dengan Rasulullah SAW, kemudian kaumnya dating, lalu beliau menjadi imam mereka dalam shalat tersebut. 5 (Jadi, ternyata yang diikutinya tadi adalah shalat isya). Dalam kondisi ini, shalat fardhu yang ditunaikannya dengan mamum pada orang yang shalat sunnah tetap dianggap sah. Ini adalah perdapat yang dikemukakan oleh kalangan ulama madzhab SyafiI, Al-AuzaI, Atha, Ibnu Al-Mundzir, dan Ahmad dalam salah satu versi riwayat. Berbeda halnya dengan kalangan ulama madzhab Maliki yang menyatakan batalnya shalat fardhu yang dikerjakan dengan mamum pada orang yang shalat sunnah. Alasannya, keduanya berbeda, sementara hadis menyatakan : Sesungguhnya imam ditunjuk untuk dimamumi (diikuti), maka janganlah kamu berbeda dengannya. Mungkin pernyataan mereka dan orang yang sependapat dengan mereka bias dijawab, bahwa makna jangan melakukan hal yang berbeda adalah perbedaan dalam masalah perbuatan, bukan dalam hal perbedaan shalat, sebagaimana yang diterangkan dalam baris selanjutnya : Jika ia bertakbir maka takbirlah kalian dan jangan bertakbir dahulu sebelum ia bertakbir, Jika ia ruku maka rukulah kalian dan jangan ruku dahulu sebelum ia ruku. Sah juga jika orang yang shalat sunnah mamum kepada orang yang shalat fardhu. Pendapat ini dikatakan oleh kalangan ulama madzhab Hanafi, AsySyafiI, dan Hambali. Mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan Abu Said Al-Khudri, bahwasanya Nabi SAW melihat seorang laki-laki shalat sendirian, maka beliau pun berseru, Maukah salah seorang laki-laki bersedekah pada orang (yang shalat sendirian) ini, dengan cara shalat bersamanya? Maka salah seorang laki-laki yang bersama beliau pun sukarela shalat bersamanya.6

HR. Ahmad, Abu Awanah dalam Shahihnya, dan Muslim dengan sanad masingmasing shahih. 6 HR. Abu Dawud, Ahmad, Ad-darimi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dengan komentar bahwa hadis ini shahih.

2. Mamumnya Orang yang Shalat Sambil Duduk Kepada Mushalli Yang Berdiri dan Sebaliknya Mamumnya orang yang shalat sambil duduk kepada mushalli yang berdiri ini diperbolehkan, merujuk pada hadis Anas: Nabi SAW shalat dibelakang Abu Bakar dengan duduk pada saat beliau sakit. Akan tetapi, mamumnya orang yang shalat sambil berdiri kepada orang yang shalat sambil duduk, diperselisihkan atas dua pendapat : 1) Tidak sah. Mamum harus ikut duduk sebagaimana hadis Anas, bahwa imam ditunjuk untuk diikuti dan jika ia shalat sambil duduk maka mamum harus shalat dengan duduk pula. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Ahmad, Ishaq, didukung Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Huzaimah (dari kalangan ulama madzhad Syafii), Ibnu Abdul Barr (dari kalangan madzhad Maliki). 2) Sah. Orang yang shalat berdiri boleh bermamum kepada orang yang shalat dengan duduk jika memang ada udzur, berdasarkan hadis Aisyah, bahwa saat Rasulullah SAW sakit keras menjelang ajal, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat jamaah, dan ketika ia sudah masuk masjid hendak shalat, Rasulullah SAW tiba-tiba merasakan tubuhnya enteng (lebih baik), lalu beliau pun berdiri dengan dipapah dua orang. Dengan jalan terseok-seok, beliau datang ke masjid dan duduk disamping Abu Bakar. Rasulullah SAW akhirnya mengimami shalat sambil duduk, sementara Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Nabi SAW, dan orang-orang mengikuti Abu Bakar. Ini adalah pendapat Asy-Syafii, Abu Hanifah dan para sahabatnya.7

3. Mamumnya Orang yang Berwudhu Kepada Orang yang Bertayammum


7

Inilah pendapat yang unggul (rajih) menurut penulis buku Fiqh Ibadah, yaitu : Prof. Dr. abdul aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. abdul Wahhab Sayyed Hawwas.

Orang yang shalat dengan berwudhu diperbolehkan mamum kepada mushalli yang bertayammum, dan shalatnya sah. Hal ini merujuk pada cerita Amru bin Al-Ash ketika ia diutus Rasulullah SAW dalam perang Dzat As-Salasil, ia bercerita : Aku mengalami mimpi basah di malam yang sangat dingin, sehingga aku khawatir mati jika harus mandi, maka aku pun bertayammum, kemudian shalat subuh bersama teman-temanku. Ketika kami kembali ke Madinah dan menghadap Rasulullah SAW, teman-teman melaporkan hal tersebut pada beliau. Beliau pun bersabda : Hai Amru, kau shalat bersama teman-temanmu dalam keadaan junub? aku jawab, (Waktu itu) saya teringat firman Allah SWT : Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu (QS. An-Nisa : 29), maka saya pun bertayammum, kemudian shalat. Setelah itu Nabi SAW hanya tertawa dan tidak berkomentar apa-apa. Rasulullah SAW disini mengakui tindakan Amru bin Al-Ash. Beliau tidak menginkarinya dan tidak menyuruh mushalli dibelakangnya untuk mengulang shalat mereka.

4. Mamumnya Orang yang Melekukan Shalat Fardhu Pada Orang yang Melakukan Shalat Fardhu Lain Diperbolehkan bagi orang yang melakukan shalat fardhu untuk mamum pada orang yang melakukan shalat fardhu lain. Ini adalah pendapat resmi dikalangan ulama madzhab SyafiI, Zhahiri, dan salah satu versi pendapat imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al Mughni, Jika seseorang shalat dhuhur dibelakang orang yang shalat ashar, maka disini ada dua pendapat : Ismail bin Said memperbolehkannya, sedangkan dari yang lainnya mengatakan tidak boleh.8 G. KEUTAMAAN SALAT JAMAAH Adapun keutamaan salat berjama'ah dapat diuraikan sebagai berikut:

Fiqh Ibadah, Prof. Dr. Addul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Hal 249-252, Sinar Grafika Offset

1. Berjama'ah lebih utama dari pada shalat sendirian. Seperti yang telah

disebutkan dalam hadits yang muttafaq alaih dari Nabi SAW9 :

:
Shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat. Dan dalam riwayat lain, Dengan dua puluh lima.
2. Dari setiap langkahnya diangkat kedudukannya satu derajat dan dihapuskan

baginya satu dosa serta senantiasa dido'akan oleh para malaikat. Rasulullah SAW bersabda: "Shalat seseorang dengan berjama'ah itu melebihi salatnya di rumah atau di pasar sebanyak dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila seseorang berwudhu' dan menyempurnakan wudhu'nya kemudian pergi ke masjid dengan tujuan semata-mata untuk salat, maka setiap kali ia melangkahkan kaki diangkatlah kedudukannya satu derajat dan dihapuslah satu dosa. Dan apabila dia mengerjakan salat, maka para Malaikat selalu memohonkan untuknya rahmat selama ia masih berada ditempat salat selagi belum berhadats, mereka memohon: "Ya Allah limpahkanlah keselamatan atasnya, ya Allah limpahkanlah rahmat untuknya. Dan dia telah dianggap sedang mengerjakan salat semenjak menantikan tiba waktu salat." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Huraira RA, dari terjemahan lafadz Bukhari). 3. Terbebas dari pengaruh/penguasaan setan. Rasulullah SAW bersabda: "Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa atau lembah yang tidak diadakan di sana salat berjama'ah, melainkan nyatalah bahwa mereka telah dipengaruhi oleh setan. Karena itu hendaklah kamu sekalian membiasakan salat berjama'ah sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang terpencil dari kawanannya." (HR. Abu Daud dengan isnad hasan dari Abu Darda' RA).
4. Memancarkan cahaya yang sempurna di hari kiamat. Rasulullah SAW

bersabda: "Berikanlah khabar gembira orang-orang yang rajin berjalan ke

Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Aalu Fauzan, Hal 258-259, Daar Al-ashimah

masjid dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat." (HR. Abu Daud, Turmudzi dan Hakim).10 5. Mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang salat Isya dengan berjama'ah maka seakan-akan ia mengerjakan salat setengah malam, dan barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh berjama'ah maka seolah-olah ia mengerjakan salat semalam penuh. (HR. Muslim dan Turmudzi dari Utsman RA).
6. Sarana penyatuan hati dan fisik, saling mengenal dan saling mendukung

satu sama lain. Rasulullah SAW terbiasa menghadap ke ma'mum begitu selesai shalat dan menanyakan mereka-mereka yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, para sahabat juga terbiasa untuk sekedar berbicara setelah selesai salat sebelum pulang kerumah. Dari Jabir bin Sumrah RA berkata: "Rasulullah SAW baru berdiri meninggalkan tempat shalatnya diwaktu shubuh ketika matahari telah terbit. Apabila matahari sudah terbit, barulah beliau berdiri untuk pulang. Sementara itu di dalam masjid orangorang membincangkan peristiwa-peristiwa yang mereka kerjakan di masa jahiliyah. Kadang-kadang mereka tertawa bersama dan Nabi SAW pun ikut tersenyum." (HR. Muslim). 7. Membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin. Pembiasaan ini dilatih dengan mematuhi tata tertib hubungan antara imam dan ma'mum. Rasulullah SAW bersabda: "Imam itu diadakan agar diikuti, maka jangan sekali-kali kamu menyalahinya! Jika ia takbir maka takbirlah kalian, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian, jika ia mengucapkan 'sami'Allahu liman hamidah katakanlah Allahumma rabbana lakal Hamdu, Jika ia sujud maka sujud pulalah kalian. Bahkan apabila ia salat sambil duduk, shalatlah kalian sambil duduk pula!" (HR. Bukhori dan Muslim, shahih). 8. Merupakan pantulan kebaikan dan ketaqwaan. Allah SWT berfiman:


10

Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatihi Juz 2, Dr. Wahbah al-Zuhaili Hal 1166, Darul Fikr.


"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan salat." (QS. At-Taubah : 18).

You might also like