You are on page 1of 20

Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab.

Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta. Latar belakang Adapun orang orang yang mensyariatkan zakat profesi memiliki alasan sebagai berikut: Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan. Referensi dari Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al Baqarah ayat 267: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" Waktu Pengeluaran Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi: 1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat 2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat. 3. Pendapat ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. (haul:lama pengendapan harta) Nisab Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg

maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000. Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun. Kadar Zakat Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah: Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%) (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi). Perhitungan Zakat Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara: 1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor secara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun. 2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.0001.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.

Zakat Profesi Dasar Hukum Firman Allah SWT: dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian (QS. Adz Dzariyat:19) Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (QS Al Baqarah 267) Hadist Nabi SAW: Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu

(HR. AL Bazar dan Baehaqi) Hasil Profesi Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat. Contoh: Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab).

Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo.

Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan. Zakat Profesi Ditulis oleh Untung Kasirin Di dalam Islam, pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah di sana. Hak ini dikenal dengan istilah zakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60. Ya, zakat sejatinya bukan merupakan hak mustahik tetapi merupakan hak Allah sehingga menjadi kewajiban mutlak bagi manusia yang telah melampaui batas minimal kekayaan wajib zakat (*nisab*) untuk menunaikannya. Seseorang yang tidak menunaikan kewajiban zakat berarti tidak menunaikan hak Allah sehingga Allah SWT berhak memberi mereka balasan. Tidak pernah ada dalam sejarah Islam fakir miskin menyerang orang kaya demi memperoleh bagian dan zakat.

Di lihat dari dimensinya, ibadah zakat merupakan ibadah yang sangat unik. Selain berdimensi vertical, yakni bentuk pengabdian kepada Allah (*hablun minalLah*), zakat juga memiliki dimensi horizontal (*hablun minannas*) untuk meringankan beban kaum dhuafa. Pada masa keemasannya, zakat pernah mengangkat kemuliaan kaum muslimin dengan mengentaskan kemiskinan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz di mana tidak ditemukan seorang pun yang mau menerima zakat.

Wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa decade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument *zakat profesi* di samping *zakat fitrah* dan *zakat maal* (zakat harta). Sebagian kecil masyarakat masih mempertanyakan legalitas zakat profesi tersebut. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Bahkan, zakat profesi telah ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Keputusan Nomor 3 tahun 2003.

Setiap penghasilan, apapun jenis pekerjaan yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Pekerjaan apa saja? Bisa Dokter, Pegawai Negeri Sipil, Akuntan, konsultan, artis, entrepreneur dan sebagainya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah swt:"Hai orangorang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS Al Baqarah:267).

Selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat di dalam Al Qur'an dan hadits yang bisa dijadikan sebagai dalil yang memperkuat legalitas zakat profesi. Bahkan di dalam bukunya, *Fiqhu Zakah *(yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Fikih Zakat) Dr. Yusuf Qardawi mengemukakan bahwa

penerapan zakat profesi telah sejak lama berlangsung dalam pemerintahan Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Muawiyah, serta Umar bin Abdul Aziz yang memberlakukan pemotongan gaji para pegawai pemerintahan. Ditinjau dari sisi lain, zakat profesi sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Coba bayangkan, sungguh tidak adil bilamana seorang petani yang bekerja sangat keras untuk mewujudkan hasil pertaniannya, setiap panen tiba harus mengeluarkan zakat pertanian sebesar 5 hingga 10 % sementara kaum professional yang memiliki penghasilan lebih besar dari petani tersebut tidak dikenai zakat.

Dari aspek social, zakat profesi sejatinya sangat berperan bagi perwujudan keadilan sosial. Menurut Ahmad Gozali, Perencana Keuangan Safir Senduk dan Rekan, di dalam majalah Sharing zakat adalah investasi social. Selain pahalanya disebutkan secara tegas di dalam Al Qur'an bahwa setiap harta yang kita keluarkan akan mendapat balasan sebesar 700 kali lipat, entah dengan harta yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda yang tidak kita sadari, dengan berzakat kita telah berperan secara aktif dalam memerangi kemiskinan. Keuntungan lain bagi orang yang berzakat, sejalan dengan menurunnya tingkat kemiskinan tingkat kriminalitas juga semakin menurun sehingga lingkungan kerja dan usaha semakin kondusif.

Bagaimana ketentuan tentang zakat profesi? Baiklah penulis sampaikan secara ringkas. Di dalam zakat profesi ada sedikitnya dua permasalahan yang disikapi berbeda menurut pandangan beberapa ulama.

Pertama: penentuan nisab dan kadar zakat profesi. Mohammad Taufik Ridho di dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Zakat bekerja sama dengan BAMUIS BNI mengemukakan bahwa ada 4 pendapat dalam mengqiyaskan hukum untuk menentukan *nisab* dan tarif zakat profesi sebagaimana table berikut.

Kedua: cara menghitung zakat profesi apakah dari penghasilan netto atau bruto. Untuk cara yang pertama, untuk menentukan besarnya zakat profesi yang dikeluarkan pemilik harta terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut. Ada beberapa versi dalam menentukan standar hidup minimal. Sekedar contoh, menurut Bank Dunia standar hidup minimal adalah $2 per jiwa perhari. Jika menggunakancara yang kedua, begitu menerima penghasilan pemilik harta tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum.

Mengacu pada dua permasalahan di atas, jika seseorang professional muda (belum menikah) memiliki total penghasilan Rp. 10.000.000,- per bulan dengan metode penghitungan pertama yakni penghasilan netto dengan asumsi kebutuhan pokok minimum professional muda tersebut adalah Rp. 2.500.000 per bulan, maka zakat yang harus dikeluarkan ditunjukkan sebagaimana tabel berikut: 1.Penghasilan netto = (Rp. 10.000.000 Rp. 2.500.000) = Rp. 7.500.000,(wajib zakat karena telah melampaui nisab baik zakat pertanian maupun zakat emas (uang)

Zakat Profesi = Rp. 7.500.00 x 2,5 % = *Rp. 375.000,00* dengan cara yang sama, zakat profesi untuk kategori (B) = Rp. 187.500,00, (C) = Rp. 187.500,00 dan (D) = Rp. 187.500,00 Keberagaman pendapat dalam menentukan zakat profesi yang dikemukakan oleh kalangan ulama identik dengan selalu adanya pilihan alternative, keringanan dan kemudahan dalam membayar zakat. Di tambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pengelola Zakat baik BAZ maupun LAZ, membayar zakat menjadi mudah, praktis dan menyenangkan. Itulah kenapa BAZNAS-DD, pada Ramadhan tahun lalu pernah mengusung tema "Ternyata Zakat Ringan". Dua setengah persen terlalu kecil nilainya untuk adzab Allah yang sangat pedih sebagai ancaman bagi orang yang enggan menunaikan kewajiban zakat. Sementara dua setengah persen sangat besar manfaatnya untuk meringankan beban derita kaum dhuafa yang tak kunjung reda.

Bantahan kepada Orang yang Berpendapat Adanya Zakat Profesi Istilah Zakat Profesi Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syari) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.) Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun) dan tanpa nishab (jumlah minimum yang dikenakan zakat). Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengqiyaskan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan

zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya. Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini : Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan) Gaji sebulan = Rp 2.000.000 Gaji sebulan = Rp 2.000.000 Gaji setahun = Rp 24.000.000 Gaji setahun = Rp 24.000.000 Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000 1 gram emas = Rp 100.000 Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000 Nishab = Rp 85 gram Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 Harga nishab = Rp 8.500.000 Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,Nishab = Rp 85 gram Harga nishab = Rp 8.500.000 Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,Zakat Maal (Harta) yang Syari Sedangkan kaidah umum syari sejak dahulu menurut para ulama berdasarkan hadits Rasululloh sholallohu alaihi wassallam adalah wajibnya zakat uang dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji, atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria, yaitu : 1. batas minimal nishab dan 2. harus menjalani haul (putaran satu tahun). Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan dalil berikut : [a] Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. 12.000.000 = Rp 12.000.000 1 gram emas = Rp 100.000 Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Artinya : Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul [Shahih Hadits Riwayat Abu Dawud]. 20 dinar adalah 85 gram emas, karena satu dinar adalah 4 1/4 gram dan nishab uang dihitung dengan nilai nishab emas. [b] Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Artinya : Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami putaran haul [Shahih Riwayat Abu Daud] [c] Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam). Artinya : Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul [Shahih dengan syawahidnya, Riwayat Tirmidzi] Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab. Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat, juga bertentangan dengan nama zakat itu sendiri yang berarti berkembang. [Lihat Taudhihul Al Ahkam 3/33-36, Subulusssalam 2/256-259, Bulughul Maram Takhrij Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al-faryabi 1/276/279] Singkatnya simulasi cara perhitungan menurut kaidah yang syari adalah penghasilan kita digunakan untuk kebutuhan kita, kemudian sisa penghasilan itu kita simpan/miliki yang jumlahnya telah mencapai nishab emas yakni 85 gram emas dan telah berlalu selama satu tahun (haul), berarti harta tersebut terkena zakat dan wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari harta tersebut. Sedangkan jika penghasilan kita kadang tersisa atau kadang pula tidak, maka untuk membersihkan harta Anda adalah dengan berinfaq, yang mana infaq ini tidak mempunyai batasan atau ketentuannya. Contoh perhitungan yang benar : Gaji sebulan = Rp 2.000.000 Gaji setahun = Rp 24.000.000 Sisa pengeluaran setahun setelah dikurangi pengeluaran = Rp 5.000.000

Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000 Maka Anda tidak terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun belum mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Atau Gaji sebulan = Rp 5.000.000 Gaji setahun = Rp 60.000.000 Sisa pengeluaran setahun = Rp 10.000.000 Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000 Maka Anda terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun telah mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Kemudian tunggu harta kita yang tersisa sebesar Rp 10.000.000,- tersebut hingga berlalu 1 tahun. Kemudian baru dikeluarkan zakat tersebut sebesar 2.5 % x Rp 10.000.000,- = Rp 250.000,- pada tahun berikutnya. Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta) Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syari maka istilah zakat profesi bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh sholallohu alaihi wassallam, dimana antara lain adalah : 1. Penolakan Syaikh Yusuf Qardhawi akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki -pen) selama 1 tahun. Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang lemah (tidak kuat alasan pendhaifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa jalan dan syawahid. Oleh karena penolakan ini, maka menurut pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya. 2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah. Karena qiyas dilakukan karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat (dalil-dalil) yang menjelaskan mengenai haul.

Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian), maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah panen biji-bijian : a. Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan ! b. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % ! 3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya. Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. Karena dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih. Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya). Seperti berfikir dengan akal bahwa : Kenapa warisan untuk wanita lebih rendah? Mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi janabah? Mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah) harus dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?, Dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla. Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji = 1 Juta, maka 12 bulan gaji = 12 Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan. Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah. Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika petani membayar zakat, lantas pekerja profesi tidak bayar zakat ? Padahal mereka tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku. 4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.

Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai tersebut. Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : Bagaimana bisa mencapai batas nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang elektronik dan lain-lain? Hukum syari tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan zakatnya. sebagaimana hadis: Kamu tidak memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul (Shahih,HR. Abu Dawud) Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai nishab? Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah). Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan untuk keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban nishab. Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut. Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib, karena ini akan memberatkan kaum muslimin secara umum. Mungkin bagi kita tidak berat, tapi orang lain ?. Sungguh telah binasa umat terdahulu karena mereka melampaui batas dalam agama. Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah agar harta kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan mereka, dan tidak mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau beberapa orang. Ini akan akan berdampak jumlah uang beredar akan menjadi sedikit, kesenjangan semakin meningkat, dan lain-lain. Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh: 1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya, 2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah dll) 3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya 4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya

5 Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya) Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru dalam menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah dalam menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang dituntunkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh ataupun tuntunan dalam memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan semata. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, sedangkan tanaman yang wajib zakat adalah gandum, syair, kurma, dan zabib, dan tidak ada satupun Riwayat dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan adalah harta wajib zakat. Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah berapa penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran itulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan nishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat,jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah juga dapat membersihkan harta. Wallahu alam.

Fatwa Seputar Zakat Profesi Menanggapi masukan dari pembaca muslim.or.id di Jakarta, menyatakan perlunya menampilkan bahasan tentang zakat profesi mengingat begitu maraknya pembicaraan tentang zakat ini dengan tidak disertai pemahaman dan ilmu yang mendasarinya. Berikut ini kami nukilkan fatwa-fatwa ulama berkaitan dengan zakat profesi diambil dari Majalah As-Sunnah edisi 006 tahun VIII 1424 H dikarenakan mendesaknya pembahasan tentang hal tersebut. Zakat Gaji Soal: Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)? Jawab: Bukanlah hal yang meragukan, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan. Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebagai persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.

Berdasarkan itu maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul. Soal: Saya seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dalam negeri. Gaji saya setiap bulan sebesar empat ribu riyal saudi. Termasuk uang sewa rumah sebesar seribu riyal Saudi. Apakah saya wajb mengeluarkan zakat harta? Jika wajib, berapakah jumlahnya? Perlu diketahui, bahwa tidak ada pemasukan sampingan bagi saya, kecuali gaji tersebut. Jawab: Apabila anda telah memiliki kecukupan atau kelebihan dari gaji bulanan Anda tersebut, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab. Yaitu sekitar empat ratus riyal Saudi. Hal itu jika jumlah nishab tersebut telah berlalu satu haul (satu tahun). Apabila anda menyisihkan sejumlah uang dari gaji bulanan untuk ditabung, maka yang terbaik dan paling selamat adalah Anda mengeluarkan zakat dari uang yang Anda tabung itu pada bulan tertentu setiap tahunnya. Jumlahnya adalah dua setengah persen dari harta yang dimiliki. Semoga Allah memberi taufik kepada kita. (Fatwa Syaikh Bin Jibrin). Zakat dari Gaji yang Sering Terpakai Soal: Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadangmasih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya? Jawab: Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati. Tetapi, apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik Zakat Harta dari Sumber yang Berbeda-Beda Soal: Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada

saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul? Jawab: Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent). Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya. Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal di antara kaidah yang ada dalam Islam adalah: Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Qs. al Hajj: 78) Sebab, seseorang terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya: hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun. Demikian seterusnya, tentu hal itu akan sangat menyulitkan.

Soal: 1) Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya? 2) Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan di lemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan, akan tetapi dengan jumlah yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan di muka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?

Jawab: Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Daimah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia), memandang perlu memberikan jawaban secara menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata. Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat), kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang pertama, tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah (seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hi ah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya). Apabila ia ingin teliti menghitung haknya dan ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar perhitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul(satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya, ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masingmasing, pada setiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikian harta tersebut. Namun, apabila ia ingin enak dan menempuh cara longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir miskin serta seluruh golongan penerima zakat. Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab), uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul. Lajnah Daimah li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta Zakat dari Harta yang disiapkan untuk Pernikahan (Suatu Keperluan) Soal: Saya adalah seorang pegawai di salah satu kantor pemerintahan (pegawai negeri). Setiap bulan saya menerima gaji sebesar empat ribu riyal. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, saya telah mengumpulkan uang sebanyak tujuh belas ribu riyal. Saya simpan uang tersebut di sebuah bank syariat. Pada bulan Syawal, uang itu akan saya gunakan untuk biaya pernikahan- Insya Allah. Bahkan, saya terpaksa meminjam uang berkali-kali lebih banyak dari jumlah tabungan saya itu untuk keperluan acara pernikahan. Pertanyaan saya, apakah uang tabungan saya sebesar tujuh belas ribu riyal itu harus dibayarkan zakatnya? Sebagaimana dimaklumi, uang tersebut telah berlalu satu haul. Jika wajib dikeluarkan, berapakah jumlahnya?

Jawab: Anda wajib mengeluarkan zakat dari uang tabungan anda itu. Sebab telah berlalu satu haul atasnya. Sekalipun anda menyiapkan uang itu untuk biaya nikah, untuk membayar hutang ataupun untuk renovasi rumah dan keperluan lainnya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang berkenaan zakat emas dan perak serta yang sejenis dengan keduanya. Jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen. Yaitu dua puluh lima riyal untuk setiap seribu riyal. (Syaikh bin Baz) Soal: Apakah uang tabungan dari gaji bulanan wajib dikeluarkan zakatnya? Sementara sudah sempurna satu haul atasnya. Perlu juga diketahui, bahwa uang tersebut tidak dibungakan dan akan digunakan untuk nafkah keluarga. Apakah wajib dikeluarkan zakatnya? Jawab: Benar, wajib dikeluarkan zakatnya jika telah sempurna satu haul. Sebab setiap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan harus diniatkan untuk perniagaan. Oleh sebab itu pula, buah-buahan dan bijibijian wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun tidak dipersiapkan untuk diperdagangnkan. Hingga sekiranya seseorang memiliki beberapa pohon kurma di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri dan hasil buahnya telah mencapai nishab, tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula halnya, hasil pertanian dan lainnya yang wajib dibayarkan zakatnya. Begitu pula binatang ternak yang digembalakn di tempat-tempat penggembalaan, wajib dibayarkan zakatnya meskipun si pemilik tidak mempersiapkannya untuk diperjualbelikan. Hasil tabungan dari gaji bulanan yang dipersiapkan untuuk nafkah juga wajib dikeluarkan zakatnya, bila telah mencukupi satu haul dan mencapai nishab. Namun dalam hal ini, ada permasalahan rumit bagi kebanyakan orang. Uang yang mereka terima dari gaji bulanan atau dari penyewaan rumah atau toko yang harganya naik setiap bulan atau sejenisnya, disimpan dalam tabungan atau di bank. Kadang kala ia memasukkan uang dan kadangkala mengambilnya, sehingga sulit baginya menentukan manakah yang telah berlalu satu haul dari uang tabungannya itu. Dalam kondisi demikian menurut pendapat kami bila sepanjang satu tahun tersebut uang tabungannya tidak kurang dari jumlah nishab, maka yang terbaik baginya ialah menghitung haul mulai dari awal jumlah uang tabungannya mencapai nishab. Kemudian mengeluarkan zakatnya bila telah genap satu haul. Dengan demikian, ia telah mengeluarkan zakat uang tabungannya, baik yang sudah genap satu haul maupun yang belum. Dalam kondisi ini, uang tabungan yang belum genap satu haul, terhitung telah didahulukan zakatnya. Mendahulukan pembayaran zakat tentunya dibolehkan. Cara seperti ini tentu lebih mudah daripada setiap bulan menghitung haul uang tabungan. (Syaikh Ibn Utsaimin)

ZAKAT PROFESI Oleh:Al Lajnah Ad Daimah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta Maraknya pemikiran adanya zakat profesi yang kini berkembang, kiranya menjadi persoalan dan tanda tanya besar bagi kalangan sebagian para pekerja profesional. Di berbagai institusi, zakat profesi ini bahkan sudah diberlakukan. Bagaimanakah tinjauan atas pemberlakuan zakat profesi ini? Berikut kami hadirkan kepada sidang pembaca, beberapa fatwa tentang zakat dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta. Disusun oleh Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy, Penerbit Daar Al Ashimah, Riyadh KSA, Cetakan I, Tahun 1419 H/1998 M. XII/279-282. Disamping itu, untuk melengkapi sajian tentang fatwa ini, kami nukilkan juga pendapat Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam majalah Al Ashalah. Semoga bermanfaat. (Redaksi).

FATWA NO. 282 SOAL: 1. Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain diberikan lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?

2. Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan dilemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan (sering). Tetapi dengan jumlah uang yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul (satu tahun) dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus seperti ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan dimuka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun? JAWAB: Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Daimah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia) memandang perlu memberikan jawaban menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata. Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat). Kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang

pertama. Tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah. Seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hibah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya. Apabila ia ingin teliti menghitung haknya, ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar penghitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul (satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada tiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikan harta tersebut. (Tetapi ingat syarat nishab di atas, pen). Namun apabila ia ingin enak dan menempuh cara yang longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir-miskin serta seluruh golongan penerima zakat. Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab) uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul. FATWA NO. 1360 SOAL: Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)? JAWAB: Bukanlah hal yang meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan diantara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.

Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebab persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.

Berdasarkan itu, maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.

FATWA NO. 2192

SOAL: Apabila seorang Muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadang masih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya? JAWAB: Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri, ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.

Tetapi apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik saja Insya Allah. FATWA SYAIKH AL ALBANI SOAL 2: Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab, baik dari nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul? JAWAB: Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya. (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent.). Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya. Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal diantara kaidah yang ada dalam Islam ialah :

"Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". [Al Hajj:78].

Sebab, seseorang terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang- akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya; misalnya, hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun Demikianlah seterusnya. Tentu hal itu akan teramat sangat menyulitkan

You might also like