You are on page 1of 25

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS ANAK DILUAR NIKAH


KURNIAWAN TRI WIBOWO, SH ADVOKAT

Perkawinan

merupakan

bagian

hidup

yang

sakral,

karena

harus

memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya. Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satusatunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu bervariasi bentuknya. Mulai dari perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat, yaitu kawin siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin bawah tangan, kawin siri atau nikah sirri, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi nonIslam). Istilah sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri, menurut arti katanya, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.[1] Kawin Siri tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. Kawin itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.[2] Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat

adalah, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan ataupun warisan dari ayahnya.[3] Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum Islam. Perkawinan siri tidak. dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali. Selain nikah siri adapula perkawinan secara biologis atau disebut zina. Zina juga mengakibatkan akibat hukum yaitu munculnya anak luar kawin. Nama penyanyi Machica Mochtar mungkin akan dikenang sebagai orang yang membawa perubahan pada UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Selama 38 tahun berlaku, diwarnai suara pro dan kontra, UUP nyaris tak tersentuh. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anakanak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status hukumnya sama dengan anak luar kawin hasil zina yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir dari kawin siri dan juga zina, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu

(menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi positif dan negatif. Positif ketika para pelaku nikah siri dan zina mendapatkan haknya untuk mewaris, sisi buruknya hal ini merusak tatanan hukum yang telah lama dilaksanakan. Untuk mengkaji hal tersebut lebih lanjut, maka selain digunakan sebagai tugas terstruktur, kajian ini juga ditujukan untuk menggambarkan dampak positif dan negatif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun

anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda. Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina. Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata). Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).

Kedudukan anak diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian. Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya.[4] Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan. Yang dimaksudkan dengan keturunan disini adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang pekawinan adalah anak-anak sah (wettige of echte kinderen).[5] Sedangkan anak-anak lainnya, yakni anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan, dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah juga sering disebut anak anak alami atau onwettige onechte of natuurlijke kinderen. Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.[6] Berdasarkan Pasal 272 K.U.H.Perdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas dan sempit. Anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang, anak luar kawin dalam arti sempit ini yang dapat diakui. Sedangkan dalam Islam anak luar kawin disebut sebagai anak zina. Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu hubungan kelamin antara lakilaki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yan sah meskipun ia lahir

dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki-laki yang melakukan zina atau lakilaki lain. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama dengan anak lian yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak lian lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh suaminya. Anak zina itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir.[7] Menurut Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 42 Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merupakan anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan). Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan. Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak tersebut. Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum. Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar

perkawinan tersebut, maka secara hukum anak tersebut berada dalam asuhan dan pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara dan mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak. Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal anak luar kawin terhadap ibunya, oleh karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya, asas mana didasarkan pada asas yang terdapat dalam hukum adat. Memang bagaimanapun juga lahirnya anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Tidak mungkin anak lahir tanpa ibu. Anak itu mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga dari ibunya itu, tetapi tidak ada hubungan perdata dengan laki-laki yang membenihkannya.[8] Kalau kita lihat di dalam lingkungan Hukum Adat, Hukum Islam, maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan yang terpenting dan yang utama. Dr. Wirjono dalam bukunya Hukum Waris di Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa oleh karena mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satu-satunyan golongan ahli waris, artinya sanak kelurga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.[9] Maka dari itu kedudukan seorang anak dalam masalah hubungan kewarisan sangat penting karena anak merupakan keturunan atau penerus dari orang tuanya, dimana orang tua juga mempunyai kewajiban untuk mengurus dan menafkahi anak mereka, sudah selayaknya jika seorang anak menjadi ahli waris pertama yang didahulukan untuk mendapat bagian warisan dari orang tuanya. Tetapi dengan adanya pembedaan status anak antara anak sah dengan anak luar kawin diakui maka tentu saja pembagian diantara keduanya juga berbada. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja karena itu anak luar kawin hanya akan memperoleh

warisan dari ibunya maupun keluarga ibunya saja. Tidak berhak atas warisan dari bapaknya karena tidak mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya. Pengaturan mengenai Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam karena adanya sifat pluralistik dengan berlakunya tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dikarenakan bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di dunia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, dari inilah keadaan warisan dari masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.[10] Mengenai masalah kewarisan di Indonesia belum ada Undang-Undang yang mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 yang mengatakan: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh setelah diatur dalam undang-undang ini, dinyatkan tidak berlaku. Dengan ketentuan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai Hukum Waris yang terdapat dalam K.U.H.Perdata hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada Kitab Undang-Undang hukum Perdata, khususnya bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa dan ketentuan dalam K.U.H.Perdata masih dapat diterapkan karena belum ada UndangUndang yang secara khusus mengaturnya.

Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Namun pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan Tionghoa yang diatur dalam K.U.H.Perdata. Dalam K.U.H.Perdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli Waris anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam K.U.H.Perdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya, timbul sesudah ada pengakuan dari ayah ibunya tersebut. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang mengakuinya saja (Pasal 872 K.U.H.Perdata).[11] Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (erkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris dari golongan pertama maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan tersebut sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewaris dengan anggotaanggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separoh dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan, harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak yang lahir di luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan lebih dahulu barulah sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa warisan itu utuh. Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2 golongan:[12]

1.

2.

Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu dari mereka atau keduaduanya berada di dalam perkawinan dengan orang lain. Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara mereka terdapat larangan kawin, karena masih sangat dekat hubungan kekeluargannya (Pasal 30). Anak-anak sebagaimana tersebut di atas memuat Pasal 283 K.U.H.Perdata tidak dapat diakui. Mengenai hak waris anak-anak ini Pasal 867 K.U.H.Perdata menentukan, bahwa mereka itu tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkannya. Mereka hanya dapat nafkah untuk hidup.[13] Pasal 868 K.U.H.Perdata menentukan bahwa nafkah ditentukan menurut kekayaan si ayah atau si ibu, serta jumlah dan keadaan para waris yang sah. Adapun status dari anak-anak tersebut bukanlah sebagai waris tapi sebagai seorang yang berpiutang. Pasal 873 K.U.H.Perdata ayat 2 mengatakan jika anak luar kawin meninggal dunia yang dapat mewaris adalah: Keturunannya dan isteri (suami)nya, kalau ini tidak ada; Bapak dan/atau ibu yang mengakuinya dengan saudara-saudara beserta keturunannya, kalau ini tidak ada; Keluarga yang terdekat dari ayah dan/atau ibu yang mengakuinya. Dan dalam Pasal 871 menjelaskan bahwa pasal ini mengatur barang-barang yang berasal dari warisan orang tuanya dahulu. Dimana jika anak luar kawin pernah mewaris barang-barang dari orang tuanya, dan barang-barang itu masih terdapat dalam wujudnya, maka jika ia meninggal dunia dan ia tidak meninggalkan keturunan atau isteri (suami), barang itu kembali kepada keturunan sah dari ayah atau ibu. Ketentuan ini juga berlaku bagi tuntutan untuk minta kembali sesuatu barang yang telah dijual tapi belum dibayar. Adapun barang-barang lainnya dapat diwaris oleh saudara-saudaranya atau keturunannya.

1. 2. 3.

Pengaturan mengenai kedudukan anak luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Putusan MK ini juga mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru yang meliputi 5 (lima) hal, salah satu diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum, berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) dalam negara hukum bermakna bahwa Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Dampak positif Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". Apabila dianalisis, maka logika hukumnya Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut. Dalam hal ini terbuka kesempatan bagi para anak diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. Dampak negatifnya putusan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan hukum islam. Hukum islam menyatakan bahwa, status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: (a). tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. (b). tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. (c). bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.[14]

Perbedaan perlindungan hukum antara anak dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina tidak memiliki hubungan keperdataan dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Nabi Muhammad Saw bersabda: "Anak adalah bagi yang empunya hamparan (suami), dan bagi pezina batu (tidak berhak mendapat anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah melainkan diserahkan kepada ibunya). (HR. BukhariMuslim, Malik dan Abu Daud). Dalam kasus li'aan dimana suami menuduh istri berzina, anak tidak ikut bapaknya dari segi nasab, tetapi ibunya. Sebagaimana hadits Abu Daud: "dan Rasul menetapkan agar anaknya tidak dinasabkan kepada seorang ayah pun." Dalam hadits Imam Ahmad, ditetapkan agar anak ikut si wanita atau ibunya. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini telah melampuai permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi tidak dicatatkan di KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. MUI menilai putusan MK ini sangat berlebihan, melampuai batas, dan bersifat "over dosis" serta bertentangan dengan ajaran islam dan pasal 29 UUD 45.[15] Menurut Makruf, putusan MK itu memiliki konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya karenahal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran islam. Akibat nyata putusan MK, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris. Dengan demikian, sudah jelask putusan MK ini telah menyebabkan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah. Hal ini sangat menurunkan

derajad kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan, bahkan pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak. Dampak negatif lainnya hadir dalam segi teknis dengan adanya putusan MK ini, maka keadaan itu semua berubah. Diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Hal ini berakibat pula adanya hubungan waris. Jadi, si anak berhak atas warisan ayahnya tersebut. Ini tentu saja merepotkan pembagian warisan yang dilakukan oleh notaris. Kondisi tersebut menimbulkan masalah apabila warisan sudah terlanjur dibagikan kepada anak yang sah dari perkawinan. Lalu tiba-tiba muncul anak luar kawin yang mengklaim dan membawa bukti bahwa dia juga anak biologis dari pewaris. Selain itu berdampak kepada jual beli harta warisan, misalnya berupa tanah. Kekhawatiran lain misalnya suatu waktu dalam pembuatan Akta Jual Beli, tetapi tiba-tiba datang anak luar kawin yang menuntut karena merasa mempunyai hak waris. Dampak positif Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 terbuka kesempatan bagi para anak diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. Dampak negatifnya putusan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan hukum islam. Hukum islam menyatakan bahwa, status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian. Dampak negatif lainnya hadir dalam segi teknis dengan adanya putusan MK ini, maka keadaan itu semua berubah dan merepotkan pembagian warisan yang dilakukan oleh notaris. Sebaiknya Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan permohonan pemberian status anak luar kawin dari pernikahan siri bukan anak dari hasil zina. Karena tentunya hal ini membawa dampak yang bukan hanya teknis tetapi ideologis dan akidah umat islam.

DAFTAR PUSTAKA Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Cet.IV. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Darmabrata, Wahono dan Surini Ahlan Sjarif. 2004. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. NN. Dampak Perkawinan Bawah Tangan terhadap Anak. http://www.lbh-apik.or.id. diakses pada tanggal 28 Maret 2012. NN. MUI : Putusan MK Sembrono. Over Dosis & Bertentangan dengan Ajaran Islam. http://www.satumedia.info/2012/03/mui-putusan-mk-sembrono-overdosis.html. diakses pada tanggal 28 Maret 2012. Oemarsalim. 2006. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Cet. IV. Sinar Grafika. Jakarta. Prodjohamijojo, Martiman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet.II. Indonesia Legal Center Publishing. Jakarta. Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. 2006. Hukum Kewarisan Perdata Barat. Cet. II. Kencana Media Group. Jakarta. Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga. Cet.II. Sinar Grafika. Jakarta. Syahar, Saidus. 1981. Undang-undang Perkawinan dan masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari segi Hukum Islam. Alumni. Bandung. Syarifudin, Amir. 2002. Meretas Kebekuan Ijtihad. Ciputat Press. Jakarta. ---------------------------. 2005. Hukum Kewarisan Islam. 2005. Cet. II. Prenada Media. Jakarta. Yunus, Mahmud. 1979. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Hidakarya agung. Jakarta.

[1]Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya agung, Jakarta, 1979, hal. 176. [2]Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981, hal. 22 [3]NN, Dampak Perkawinan Bawah Tangan terhadap Anak, http://www.lbhapik.or.id., diakses pada tanggal 28 Maret 2012. [4]Wahono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 131. [5]Martiman Prodjohamijojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.II, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2007, hal. 53. [6]Ibid., hal. 54. [7]Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. II, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 148. [8]Darmabrata dan Sjarif, op.cit., hal. 135. [9]Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 31. [10]Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. IV, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 5. [11]Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Cet. II, Kencana Media Group, Jakarta, 2006, hal. 87. [12] Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.IV, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 43 [13]Ibid., hal. 44. [14] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal. 195 [15] NN, MUI : Putusan MK Sembrono, Over Dosis & Bertentangan dengan Ajaran Islam,http://www.satumedia.info/2012/03/mui-putusan-mk-sembrono-overdosis.html, diakses pada tanggal 28 Maret 2012.

PENDAPAT PARA ULAMA DAN CENDEKIAWAN


MUI:Putusan MK Sembrono, Over Dosis & Bertentangan dengan Ajaran Islam JAKARTA (VoA-Islam) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut sangat berlebihan, melampaui batas, dan bersifat over dosis serta bertentangan dengan ajaran Islam dan pasal 29 UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut telah melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan, tapi tidak dicatatkan kepada KUA, menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. MUI memandang, putusan MK tersebut memiliki konsekwensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Dalam Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, menyatakan: Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Akibat putusan MK yang sembrono itu, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris. Jelaslah putusan MK ini telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan, apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini, kami nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan pada tingkat ekstrim, dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak, kata Ichwan Sam menambahkan. Selain itu, MUI menilai, putusan MK telah membuka kotak Pandora yang selama ini kita jaga, yakni terbukanya peluang besar bagi berkembangnya pemikiran dan perilaku sebagian orang untuk melakukan hubungan di luar perkawinan (perzinahan) tanpa perlu khawatir dengan masa depan anak (terutama kekhawatiran dari pihak perempuan pasangan zina). Karena walaupun tidak dalam ikatan perkawinan (zina), toh anak hasil hubungan zina tersebut tetap memiliki hak nafkah dan hak waris yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah.

Jelas, Putusan MK tersebut telah mengganggu, mengubah, bahkan merusak hukum waris Islam yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Terlebih Putusan MK itu menyatakan, anak yang lahir dari hasil hubungan zina akan mendapat waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Padahal hukum waris Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah secara tegas dan jelas menyebutkan kategori anak yang mendapat harta waris, dan anak yang lahir dari hasil hubungan zina jelas tidak memperoleh hak waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, kata KH. Maruf Amin. MUI menilai MK telah keliru, seolah olah anak hasil hubungan zina tidak mendapat perlindungan hukum. Yang benar, menurut MUI, adalah anak dari hasil hubungan zina tersebut memiliki perlindungan hukum, tetapi perlindungan hukum yang tidak sama dengan anak dalam ikatan perkawinan, dimana yang satu hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan yang satunya lagi dengan bapak dan ibunya.Dan itulah gunanya lembaga perkawinan. Melenyapkan perbedaan perlindungan hukum atas kedua kondisi itu akan menjadikan lembaga perkawinan menjadi sesuatu yang tidak relevan, hal ini tidak dapat diterima oleh agama Islam. Merujuk Hadits Perbedaan perlindungan hukum antara anak dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina tidak memiliki hubungan keperdataan dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Nabi Muhammad Saw bersabda: Anak adalah bagi yang empunya hamparan (suami), dan bagi pezina batu (tidak berhak mendapat anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah melainkan diserahkan kepada ibunya). (HR. Bukhari-Muslim, Malik dan Abu Daud). Dalam kasus liaan dimana suami menuduh istri berzina, anak tidak ikut bapaknya dari segi nasab, tetapi ibunya. Sebagaimana hadits Abu Daud: dan Rasul menetapkan agar anaknya tidak dinasabkan kepada seorang ayah pun. Dalam hadits Imam Ahmad, ditetapkan agar anak ikut si wanita atau ibunya. Desastian Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/03/14/18167/muiputusanmk-sembrono- over-dosis-bertentangan-dengan-ajaran-islam/

Catatan Penulis :

Dalam posting sebelumnya (http://kuagunungjati.blogspot.com/2012/02/ kontroversi-anak-diluar-nikah-dalam.html) penulis telah menyampaikan bagaimana alur persidangan dan kasimpulan akhir dari keputusan kontroversial MK tentang kasus anak diluar nikah yang bisa dinasabkan kepada ayah/Bapaknya. Akibat putusan ini MUI mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut dengan menyatakan bahwa Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Setuju apa yang disampaikan MUI bahwa putusan MK tersebut over dosis dan terlalu melebar dari perkara yang diajukan oleh pengusul yaitu Machicha Mochtar yang hanya ingin status anaknya hasil perkawinan sirinya dinasabkan juga kepada ayahnya. Sejatinya bunyi putusan MK hanya mengakui hubungan perdata dengan ayahnya atas anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak tercatat atau nikah siri, bukannya anak yang dilahirkan diluar pernikahan (baca: tanpa nikah=anak zina). Jika Pengertian anak diluar pernikahan yang dimaksud UU adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan resmi maka bunyi putusannya menjadi Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi ( lahir dalam pernikahan tidak tercatat) mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Dengan bunyi putusan seperti diatas kiranya relevan dengan apa yang diajukan pemohon dan tidak mencederai UU perkawinan, walaupun dalam sisi lain berdampak pada asumsi bahwa masyarakat yang melakukan nikah sirri pun anaknya bisa dinasabkan kepada ayahnya sehingga menimbulkan keengganan untuk mencatatkan pernikahannya, tetapi tidak meniadakan sama sekali lembaga perkawinan karena jika ingin diakui sebagai anak maka harus melalui lembaga perkawinan walaupun pernikahannya belum tercatat. Menurut hemat saya, selama ini perkara yang diajukan uji materilnya terkait dengan status anak dari perkawinan sirri dalam nikah poligami bisa diajukan pengesahannya melalui isbat nikah di Pengadilan Agama untuk mendapatkan keabsahan pernikahannya. Bisakah permohonan Ijin Poligami dan Penetapannya diajukan sekaligus, seperti dalam kasus permohonan perceraian bagi perempuan yang menikah sirri (tidak tercatat) dilakukan isbath terlebih dahulu kemudian baru proses perceraiannya. Hal tersebut juga semestinya bisa berlaku untuk pengajuan ijin poligami kemudian dilanjutkan dengan penetapan pernikahannya. Yang berhak memberikan jawaban tentunya para hakim di pengadilan Agama apakah diatur dalam prosedur beracara penulis kurang memahami akan hal tersebut

Terlanjur telah ditetapkan putusan MK yang bersifat final tentunya tidak bisa lagi dajukan upaya banding maupun kasasi dan Fatwa MUI No.11 Tahun 2012 juga telah dikeluarkan sebagai upaya jawaban atas keresahan umat atas putusan tersebut, maka posisi tersulit ada di jajaran Kementerian Agama. Sebagai pemerintah semestinya Kemenag patuh pada putusan MK, akan tetapi putusan fatwa MUI yang merupakan kumpulan para ulama dan cendekiawan tak bisa disepelekan karena menyangkut kepentingan sebagian besar umat muslim dinegeri ini, akan kemanakah kemenag berpijak..,. akankah kemudian kita kembali berpikir primordial dan sarat SARA. Bagi umat Muslim wajib patuhi fatwa MUI dan bagi Non Muslim selama tidak bertentangan dengan ajaran agamanya silahkan ikuti putusan MK, kita tunggu saja babak selanjutnya dari polemik ini.
PENDAPAT KETUA MUI:

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Maruf Amin, menyindir Mahkamah Konstitusi (MK) itu seperti Tuhan selain Allah. Sindiran itu disampaikan menyusul putusan MK pada Undang Undang Perkawinan. MK itu seperti Tuhan selain Allah saja. Bisa berbuat seenaknya dan memutuskan semaunya, kata Maruf dalam diskusi UU Perkawinan dan Implikasinya di kantor AJI Indonesia, Jakarta, Selasa (20/3) sebagimana dikutip republika online. Dalam diskusi tersebut, Maruf kembali menjelaskan bahwa keputusan MK mengubah nasab seorang anak terlahir di luar nikah kepada lelaki sangat melanggar hukum Islam. Maruf mengakui bahwa putusan MK itu sudah final. Namun, keluarnya putusan ini justru membuat masalah dalam hukum ketatanegaraan. Jadi, memang harus ada pengaturan ulang dan pembatasan terhadap posisi MK terutama kalau memutuskan hal-hal yang semacam ini, ujarnya.

Siapa Peduli Anak di Luar Nikah? Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/VIII/2010 pada tentang anak yang lahir di luar perkawinan, masih menyisakan polemik. Sikap MUI yang mengajak untuk menolak putusan tersebut, menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, juga Pengadilan Agama (PA) yang berwenang menyelesaikan urusan keperdataan umat muslim. Beberapa ormas Islam cukup ramai merespon soal ini. PP Muslimat NU misalnya, menggelar konferensi pers khusus yang mendorong agar segera dilakukan koordinasi

lembaga negara terkait untuk mencarikan jalan keluar penataan urusan anak di luar nikah agar sinergi antara hukum syariat dan hukum legal formal kenegaraan. Dalam praktiknya, putusan yang lahir dari pengujian UU No. 1/1974 Pasal 43 Ayat 1 tentang Perkawinan yang dimohonkan Machica Mochtar ini, ternyata menimbulkan tafsir beragam. Bagi MUI, implikasi putusan dalam jangka panjang dapat berdampak pada semakin meluasnya perzinaan. Akan terjadi kekacauan nasab bila putusan ini diimplementasikan. Anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. MK melalui pernyataan Mahfud MD mengonfrontir sikap tersebut sebagai kesalahan MUI memahami putusan. MUI dinilai salah memahami konsep hukum. Justru vonis tersebut dipandang langkah untuk menghalangi perzinaan. Melalui pernyataan Mahfud MD serta juru bicara MK Akil Mochtar, ditegaskan bahwa orang yang melakukan perzinaan justru harus bertanggung jawab karena telah diancam hukuman. Pemahaman berbeda inilah yang mengawali keresahan di atas. MUI menyamakan hubungan keperdataan dengan nasab. Sementara MK memandang keduanya berbeda dan tidak saling berhubungan dari aspek hukum. Jika melihat bunyi putusan, Pasal 43 Ayat 1 "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ayahnya. Ini berarti MK menegaskan ayah si anak di luar nikah harus tetap bertanggung jawab menafkahi si anak secara hukum perdata. Status Anak Persoalan tidak berhenti di situ. Salah paham (atau paham yang salah?) untuk sementara kita pahami dulu, meski masih saja menyisakan setuju-tidak setuju [bahkan hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang nonmuslim memberikan concurring opinion (pendapat berbeda) dalam putusan ini]. Persoalan lain terkait status anak yang tercantum di akta kelahiran, belum ada jalan keluar. Status anak Machica dalam akta kelahirannya yang menyatakan "anak di luar nikah", secara tak langsung tidak koheren dengan putusan MK. Meski MK tidak memutuskan status anak dalam akta kelahiran, persoalan akan beralih ke urusan administrasi kependudukan yang menjadi kewenangan Kemendagri. Pengosongan nama ayah biologis si anak di akta kelahiran, yang diganti dengan penyebutan "anak di luar nikah" adalah masalah tersendiri. Satu sisi, si anak akan merasa "cacat" seumur hidupnya dengan status itu. Sisi lain, menyebutkan nama ayah biologis juga akan mengacaukan administrasi kependudukan. Dilema ini menyeruak di beberapa daerah dan menjadi kontroversi di kantor-kantor catatan sipil.

Untuk mengatasinya, di Banten, Jabar, pernah ada usulan agar kolom nama "orang tua" dihapus sama sekali. Tujuannya mengakhiri kontroversi dan menghentikan polemik yang berkembang di sana, seiring besarnya jumlah anak yang lahir di luar perkawinan. Argumentasinya adalah setiap anak tetaplah anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar perkawinan. Anak tidak boleh memikul dosa orang tua, tidak terbebani status "anak haram" atau anak di luar nikah, yang dapat merugikan masa depan dan pergaulan dengan teman-temannya. Layanan dan tanggung jawab orang tua tetap tidak boleh dilepaskan. Bukannya teratasi, usulan ini justru akan membingungkan hak perwalian, hak waris, nafkah, dan hak anak lainnya atas orang tua. Jika dihilangkan, pemerintah justru kesulitan mengidentifikasi asal usul anak. Dalam Islam sendiri, landasan pikirnya adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah saw, "al waladu lil firaasyi walil 'aahiri hajrun", artinya "status (kewalian) anak adalah siapa yang meniduri (menaruh benih), bagi pelaku zina menanggung dosa. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan siapa saja yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan, maka menurut Abu Hanifah, anak tersebut menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. Kesamaan Spirit Saya melihat, yang harus diperkuat untuk mendalami persoalan ini adalah kesadaran bahwa MUI, MK, Kemendagri, Kementerian Agama, dan masyarakat luas memiliki spirit yang sama, yakni menghalangi bola salju perzinaan. Karena itu, lembagalembaga ini perlu segera duduk bersama, berdialog, dan menuntaskan masalahmasalah yang timbul akibat putusan MK tersebut. Terhadap perzinaan, kita semua perlu memikirkan sistem pencegahan yang prima. Selain berdosa, zina telah secara jelas mengakibatkan kesulitan bagi anak sebagai individu maupun anggota masyarakat. Jika sudah terlanjur, anak-anak itu tidak boleh dibiarkan. Kepentingan kemanusiaan dan administrasi negara tetap harus diperhitungkan, dengan tetap menjaga agar tidak terjadi benturan dengan hukum agama. MUI dan ormas-ormas Islam tidak perlu terlalu gusar dengan putusan MK, apalagi menolak mentah-mentah. Dalam konteks ini, MUI telah berperan sebagai penjaga moral masyarakat. Tapi harus diingat, hukum sudah ditegakkan. Putusan MK adalah putusan kemanusiaan. Jika ada anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, sedangkan bapak kandungnya tidak mengakuinya, maka anak tersebut bisa menuntut keperdataan kepada bapaknya. Dalam konteks keindonesiaan, anak di luar nikah bukan hanya urusan UU Perkawinan. UU 44/2008 tentang Pornografi juga amat berhubungan. UU 12/2006 tentang

kewarganegaraan yang menyangkut HAM, bahkan tegas menyatakan orang tua bertanggungjawab penuh memelihara dan mengawasi anak. Fenomena anak di luar nikah adalah fakta kehidupan yang hadir di tengah-tengah kita. Agar mereka tidak terjerembab pada lubang yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya, kepedulian kita sedang digugah. Nasib mereka adalah nasib kita juga sebagai anak bangsa. Abdullah Yazid Alumnus Ponpes Qomaruddin, Bungah, Gresik. Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Kantor ICIS, Jl Dempo 5A Matraman Dalam, Jakarta Pusat. Telepon-081 333 23 6545

Sudah Sesuai Syari'at Islam, MUI Tak Akan Cabut Fatwa Anak Hasil Zina JAKARTA (voa-islam.com) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar nikah tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. "Syariat Islam mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya," kata Ketua MUI Ma'ruf Amin, Selasa, 27 Maret 2012. Ma'ruf menjelaskan pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam. Walau demikian, ia ragu Mahkamah Konstitusi mampu memberikan bukti itu. "MUI sudah melakukan kajian sesuai syariat Islam dan itu lah hasilnya," ujarnya. Dari hasil kajian tersebut kemudian dikeluarkan fatwa MUI tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan perlakuan terhadapnya. Inti fatwa Nomor 11 yang ditetapkan 10 Maret 2012 itu, kata Ma'ruf, bahwa anak hasil zina tidak punya hubungan nasab dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Berbeda dengan fatwa itu, putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUUVII/2012 menyebutkan, anak lahir luar nikah memiliki hubungan perdata dengan lelaki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan sebagai ayah biologisnya. Maruf menilai putusan itu tidak sesuai syariat Islam

karena didasarkan pertimbangan mempertimbangkan hukum agama.

pemikiran

manusia

tanpa

Hal senada diucapkan Kepala Sekretaris MUI Muhammad Isa Anshary. Ia mengatakan pandangan MUI dalam fatwa tersebut tidak akan berubah. Sekalipun Kementerian Agama akan mempertemukan MUI dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyelaraskan pandangan kedua institusi berbeda tersebut. "MUI akan berpegang teguh dengan Al Quran dan Hadist," kata dia. Kemenag Mediasi Pertemua MUI-MK Sementara itu kementerian Agama (Kemenag) berencana memediasi pertemuan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membahas status keperdataan anak di luar pernikahan. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar mengatakan, Kemenag dihadapkan pada pilihan sulit ketika akan mengimplementasikan putusan MK tentang status keperdataan anak di luar perkawinan terlebih ketika putusan itu mendapat penolakan dari MUI. Karena itu, pihaknya berinisiatif mempertemukan kedua belah pihak guna mencari titik temu perbedaan pandangan yang ada. Kami akan memfasilitasi pertemuan antara MK dan MUI,ungkap Nasaruddin. Menurutnya, pertemuan antara MK dan MUI sangat penting untuk memecahkan permasalahan seputar status keperdataan anak di luar perkawinan. Selain memudahkan pihaknya dalam membuat aturan, pertemuan itu juga diharapkan dapat meredam keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat. Jika MK tetap bersikukuh dengan putusannya, putusan itu berpotensi tidak dipatuhi masyarakat. Kami coba untuk memediasi keduanya,bukan hanya orangnya yang ketemu, melainkan pandangannya,katanya. Namun saat dikonfirmasi mengenai pertemuan antara MUI, Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Agama, MUI menyatakan belum mendapatkan undangan pertemuan tersebut meski telah mendengar Kementerian Agama akan mengundang keduanya untuk berdialog. [Widad/Tmp, Snd]

You might also like