You are on page 1of 14

METODOLOGI PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA


DOSEN PENGAMPU Prof. Dr. Sakura Ridwan, M.Pd Dr. Asti Purbarini, M.Pd

Disusun Oleh Anna Fauziah Ivanne Hilda Sionita S

PENDIDIKAN BAHASA PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2012

PENDAHULUAN

Di dalam kehidupan sehari hari, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi itu terus berkembang sejalan dengan semakin bertambahnya usia, pengetahuan dan lingkungan seseorang. Ketika seseorang berada dalam lingkungan yang mengharuskannya untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang bukan merupakan bahasa kesehariannya (bahasa ibu), maka seseorang tersebut dituntut untuk mempelajari bahasa kedua (bahasa target) agar komunikasi dapat berjalan dengan baik. Pengertian pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa adalah berbeda. Pemerolehan mengacu pada kemampuan linguistik yang telah diinternalisasikan secara alami, yaitu tanpa disadari dan memusatkan pada bentuk-bentuk linguistik. Pembelajaran, sebaliknya, dilakukan dengan sadar atau sengaja dilakukan dan merupakan hasil situasi belajar formal. Konteks pemerolehan bersifat alami, sedangkan pembelajaran mengacu pada kondisi formal dan konteks terprogram. Seseorang belajar bahasa karena motivasi prestasi tetapi memperoleh bahasa karena motivasi komunikasi. Belajar bahasa dapat diukur, pemerolehan sebaliknya. Kondisi pembelajaran tetap sebagai penutur tidak asli, dan pemerolehan dapat menyerupai penutur asli. Belajar bahasa ditekankan untuk menguasai kaidah dan pemerolehan untuk menguasai keterampilan berkomunikasi (lisan dan tertulis). Bahasa kedua diperoleh bukan dengan serta merta secara alamiah, melainkan melalui proses pembelajaran. Foss dan Hakes dalam Tadjudin dan Djajasudarma menganggap bahwa lingkungan amat berperan dalam pemerolehan bahasa.1 Dalam pemerolehan bahasa, Hurlock dalam Tadjudin mengemukakan unsur yang berperan dalam teknik pemerolehan tersebut, yaitu (1) reinforcement tekanan, (2) imitation peniruan (3) expantion pengembangan.2 Dalam pembelajaran bahasa kedua ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: lingisutik, sosial dan psikolinguistik.

Moh. Tadjudin, T. Fatimah Djajasudarma , dan Wahya, Pemerolehan Bahasa Asing: Anak Bilingual Sunda Indonesia di Kotamadya Bandung (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999), hal. 2. 2 Ibid., hal. 3.

PEMBAHASAN

1. HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Bahasa kedua dapat didefinisikan berdasarkan urutan, yakni bahasa yang diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu. 3 Senada dengan hal di atas, Ghazali menyatakan istilah bahasa sasaran (target language) mengacu kepada bahasa yang sedang dipelajari seseorang. Jika seorang anak yang memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa pertamanya, kemudian ia belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, maka bahasa Indonesia tersebut adalah sebagai bahasa sasaran.4 Jadi dapat dikatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipakai oleh seseorang bersama bahasa ibu pada masa awal hidupnya ataupun pada saat dewasa dan secara sosiokultural dianggap sebagai bahasa sendiri. Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar, sedangkan pemerolehan bahasa kedua (Second Language Learning) dilaksanakan dengan sadar. Pemerolehan bahasa kedua bagaimanapun tidak sama dengan pemerolehan bahasa pertama. Pemerolehan bahasa kedua tersebut merupakan bagian dari pembelajaran umum manusia, yang melibatkan variasi-variasi kognitif, yang berkaitan dengan kepribadian seseorang, berjalin erat dengan pembelajaran budaya kedua, yang melibatkan pembelajaran tentang sisi ilmiah dan fungsi-fungsi komunikatif sebuah bahasa, dan sering ditandai dengan tahap-tahap pembelajaran dan proses-proses pengembangan yang bersifat trial and error. Pentingnya pembelajaran bahasa kedua yang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek, membuat seseorang mempelajari bahasa kedua. Menurut Krashen ada dua proses berbeda dalam pengembangan bahasa kedua, yaitu:
(1) Pemerolehan (acquisition), merupakan proses subconcious bawah sadar yang mengarah

pada pengembangan kompetensi dan tidak bergantung pada kaidah gramatika.


(2) Pembelajaran (learning) mengacu pada consious kesadaran belajar dan pengetahuan

kaidah gramatika.5

3 4

Rod Ellis, Second Language Acquistion (New York: Oxford University Press, 2003), hal. 8. H. A. Syukur Ghazali, Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua (Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 11 5 Tadjudin, op.cit., hal. 17.

2. TEORI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA Selama 19 abad pengajaran bahasa asing yang terjadi di dunia barat menggunakan Metode Klasik (Classical Method) atau dikenal pula dengan Grammar Translation Method yang berfokus pada kaidah-kaidah gramatikal, hafalan kosakata serta berbagai deklinasi dan konjugasi, penerjemahan teks, pengerjaan latihan-latihan tertulis. Pada masa itu pengajaran bahasa lisan tidak menjadi fokus utama, sehingga siswa tidak mengalami kemampuan peningkatan dalam berkomunikasi. Kecakapan membaca merupakan tujuan dari pengajaran metode ini. Karena hanya sedikit penelitian teoritis tentang pemerolehan bahasa kedua, atau tentang pemerolehan membaca, bahasa-bahasa asing diajarkan tidak beda dengan keterampilan lain diajarkan. Kemudian pada abad kedua puluh perubahahan paradigma dan pemikiran menghasilkan berbagai macam metode dalam pengajaran bahasa, dimulai dari Metode Audiolingual atau ALM(Audio Lingual Method) pada akhir tahun 1940-an dan 1950-an. psikologi kognitif, ALM mengalami kemunduran. Pada awal 1970-an sejalan dengan berkembangnya psikologi konstruktivisme, pengajaran bahasa juga mengalami perubahan. Konstruktivisme menggunakan berbagai pendekatan dan teknik yang menekankan pada pentingnya harga diri, motivasi instrinstik, pembelajaran secara kooperatif, pengembangan strategi perorangan untuk mengkonstruksi makna, dan fokus pada komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Metode yang mencakup pengajaran ini dikenal dengan Pengajaran Bahasa Komunikatif atau CLT (Communicative Language Teaching). Adapun beberapa teori pemerolehan bahasa kedua adalah sebagai berikut:6 Metode ini, menekankan pada latihan lisan dan. Namun demikian pada akhirnya seiring meningkatnya

a. Teori Monitor oleh Stephen D. Krashen Salah satu teori pemerolehan bahasa yang amat populer dan besar pengaruhnya di tahun 1970-an sampai awal 1980 adalah teori monitor yang dicetuskan Krashen. Teori ini berakar kuat pada teori linguistik Chomsky (teori nativisme) yang berpendapat bahwa
6

H.A Syukur Ghazali, op.cit., hal.65-93

ada dua sistem pengetahuan yang mendasari perfomansi kemampuan bahasa kedua. Yang pertama dan yang paling penting adalah sistem yang diperoleh pebelajar ketika yang bersangkutan memperoleh bahasa pertamanya. Kedua, sistem pengetahuan grammar yang didapat pebelajar ketika dia menerima pelajaran tata bahasa itu secara formal. Untuk memperjelas teorinya, Krashen membuat lima hipotesis yang dikenal dengan Extended Standard Monitor Theory. Kelima hipotesis itu antara lain; (1) Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran Hipotesis ini menyatakan bahwa ada dua cara belajar bahasa kedua yaitu pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan mengacu ke proses bawah sadar sedangkan pembelajaran berhubungan dengan proses sadar seseorang. (2) Hipotesis Urutan Alamiah Hipotesis urutan alamiah menyatakan bahwa struktur bahasa diperoleh dengan urutan alamiah yang dapat diperkirakan. Struktur tertentu cenderung muncul lebih awal dari pada daripada struktur lainnya dalam pemerolehan bahasa itu. Sebagai contoh dalam struktur fonologi, anak akan lebih dahulu memperoleh vokal-vokal [a] sebelum [i] dan [u]. Konsonan depan lebih dahulu dikuasai oleh anak dari pada konsonan belakang. (3) Hipotesis Monitor Hipotesis monitor mencakup hubungan antara sistem yang didapat dari pemerolehan dan sistem yang didapat dari belajar secara formal dalam performansi bahasa kedua. Sistem yang diperoleh bertindak dalam pengambil inisiatif dan performansi sedangkan pengetahuan yang didapat dari belajar sebagai pengoreksi apabila ada kesalahan. (4) Hipotesis Input Pemerolehan bahasa akan terjadi apabila input yang diterima pebelajar dapat dipahami dan disetujui. Input yang dapat dipahami tersebut diperoleh pembelajar melalui tuturan dan bacaan yang dapat dipahami maknanya. Tuturan dan bacaan

yang tidak dipahami maknanya tidak membantu proses pemerolehan bahasa. Tututan ynag tidak dipahami digambarkan sebagai tuturan yang tingkat kesulitannya berada di luar batas kemampuan pebelajar. (5) Hipotesis Saringan Afektif Faktor afektif yang dikemukakan oleh Krashen yaitu motivasi, keyakinan diri, dan rasa ikut berperan di dalam pembelajaran bahasa kedua. Apabila pebelajar kurang motivasi belajar, merasa ketakutan, dan tidak percaya diri maka saringan afektifnya akan naik. Apabila ini terjadi, pemerolehan bahasa kedua akan terbendung dan menghambat pemerolehan bahasa tersebut. Saringan akan terbuka jika anak punya sikap yang benar dan guru berhasil menciptakan atmosfir kelas yang bebas dari perasaan cemas.
b. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua Aliran Environmentalist

Teori environmentalist mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman seseorang lebih penting bagi perkembangan belajar daripada sumbangan kemampuan yang dibawanya sejak lahir. Aliran environmentalist ini berorientasi pada teori behaviorisme (Stimulus-Respons). Apabila reaksi itu direstui (reinforced), maka besar kemungkinannya reaksi ini akan diulangi dan lambat laun akan menjadi kebiasaan (language habit). Jadi, dengan jalan semacam inilah si pembelajar mempelajari bahasa. Teori behaviorisme menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah hasil proses akulturasi, yang artinya bahwa seseorang memiliki kemampuan yang dibentuk oleh lingkungannya. Teori ini kemudian melahirkan teori belajar bahasa kedua dengan metode audiolingual. c. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua Aliran Interaksionis Aliran interaksionis mengemukakan bahwa baik faktor psikologis maupun faktor sosial, kedua-duanya ikut mengambil peran dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Teori pemerolehan mutakhir tentang pemerolehan bahasa kedua berpijak pada asumsi bahwa terjadinya penguasaan bahasa disebabkan oleh kebutuhan pebelajar untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sedang ditekuni. Jadi yang terpenting bagi pebelajar bukan sistem bahasa kedua, tetapi apa yang dapat digunakan dengan bahasa kedua ini untuk berinteraksi dengan orang lain.

Aliran interaksionisme memberi peran lebih banyak kepada latihan-latihan yang bersifat interaksi seperti bertanya dan menjawab, mengadakan negosiasi mengenai makna, dan yang sejenis dengan ini di mana pembelajar dipaksa berkomunikasi dengan bahasa sasaran. Jadi, karena seorang pebelajar bahasa kedua merasa perlu untuk berkomunikasi dalam bahasa yang sedang dipelajarinya, maka yang penting baginya ialah terus mengadakan interaksi dengan orang lain dengan cara mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis. Ellis dalam Ghazali menyatakan bahwa bukan input yang dapat dipahami yang perlu mendapat penekanan khusus yang perlu mendapatkan perhatian guru adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi di dalam kelas. Dengan berinteraksi, siswa memperoleh kesempatan untuk bernegosiasu makna dengan penutur yang pengalaman kebahasaannya lebih banyak dripada mereka sendiri.7

3. PROSES-PROSES PEMEROLEHAN BAHASA Dalam literatur tentang proses pemerolehan bahasa, terdapat tiga istilah lazim yaitu transfer, interferensi, dan generalisasi berlebihan. Transfer adalah istilah umum yang menjelaskan pengalihan performa atau pengetahuan sebelumnya ke dalam pembelajaran berikutnya. Transfer terbagi dua yaitu: transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi ketika pengetahuan terdahulu menunjang kegiatan pembelajaran-yaitu ketika item terdahulu diterapkan dengan tepat pada pembelajaran selanjutnya. Transfer negatif terjadi ketika performa sebelumnya mengganggu performa pembelajaran sesudahnya. Transfer negatif disebut juga dengan interferensi. Dalam pembelajaran bahasa kedua pasti terdapat interferensi. pembelajaran, didapatkan bahwa seseorang akan menggunakan Dari teori pengalaman

terdahulunya untuk memudahkan proses pembelajaran bahasa kedua. Terkadang bahasa asli ditransfer secara negatif. Namun tidak jarang pula bahwa bahasa asli pembelajar bahasa kedua sering ditransfer secara positif, yang bisa memudahkan .
7

H. A. Syukur Ghazali, op.cit., hal. 135

Sementara itu, generalisasi berlebihan (overgeneralization) merupakan subhimpunan khusus generalisasi. Menggenaralisasi berarti membuat atau menurunkan sebuah hukum, kaidah, atau kesimpulan, biasanya dari pengamatan terhadap kejadiankejadian tertentu. Prinsip generalisasi bisa dijelaskan dengan konsep Ausubel tentang pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna sesungguhnya adalah generalisasi. Pembelajaran konsep-konsep pada masa kanak-kanak adalah sebuah proses generalisasi. Sebagai contoh, anak yang diberi tahu konsep binatang. Tetapi pada tahap awal generalisasi, seorang anak mungkin terbiasa melihat anjing, dia akan melakukan generalisasi berlebihan terhadap konsep anjing pada saat pertama kali melihat kuda, dan menyebut kuda itu anjing. Begitu pula sejumlah binatang mungkin ditempatkan dalam kategorianjing sampai atribut umum sebuah kategori yang lebih besar, binatang, dia pelajari. Dalam pemerolehan bahasa kedua, adalah lazim untuk menganggap generalisasi berlebihan sebagai sebuah proses yang terjadi ketika pebelajar bahasa kedua bertindak dalam bahasa sasaran, menggeneralisasi sebuah kaidah atau item tertentu dalam bahasa kedua melebihi batas-batas yang diperbolehkan. Sebagai contoh anak menggeneralisasi berlebihan pada bentuk akhiran kata lampau teratur (walked, opened) sebagai sesuatu yang bisa diterapkan dengan bentuk yang sama pada (goed, flied) sampai mereka mengenal subhimpunan verba yang termasuk dalam kategori tak teratur. Setelah mengenal dan terbiasa kedua dengan bahasa kedua, para pebelajar pun akan menggeneralisasi berlebihan dalam bahasa sasaran. Interferensi dan generalisasi berlebihan adalah padanan negatif dari proses transfer dan generalisasi yang memudahkan. Keduanya merupakan aspek dari prosesproses yang bisa dikatakan berbeda, keduanya mewakili komponen-komponen fundamental dan saling terkait dalam semua pembelajaran manusia, dan ketika diterapkan dalam pemerolehan bahasa kedua, hanya merupakan perluasan dari prinsipprinsip psikologi umum. Interferensi bahasa pertama adalah suatu bentuk generalisasi yang mengutamakan pengalaman-pengalaman bahasa pertama dan menerapkan secara tidak tepat dalam bahasa kedua. Generalisasi berlebihan adalah penerapan tidak tepattransfer negatif-materi bahasa kedua yang sudah dipelajari sebelumnya untuk konteks

bahasa kedua saat ini. melibatkan generalisasi. 8


4. FAKTOR-FAKTOR

Semua generalisasi melibatkan transfer, dan semua transfer

YANG

MEMPENGARUHI

PEBELAJAR

DALAM

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA Hal-hal yang terkait dengan pebelajar dalam pemerolehan bahasa kedua adalah: 1. Usia Ada 3 periode yang dibagi oleh Yorio dalam Brown yaitu: Anak-anak (1-10 tahun) didalamnya mencakup faktor biologis, kognitif, dan sosial (pengaruh orang tua, sekolah, dan tekanan teman sebaya).

Remaja (11-15 tahun) secara biologis sudah masuk masa kritis , dan secara sosial terdapat pengaruh orang tua, sekolah dan tekanan dari teman sebaya.

Dewasa (16-dst) secara biologis sudah masuk masa kritis, secara sosial adanya tekanan dari teman sebaya, konteks belajar mengajar, dan bahasa kedua.9

2. Neurobiologis

Ada bukti dalam penelitian neurologis bahwa ketika otak manusia makin dewasa , maka fungsi-fungsi tersebut dilateralkan. Fungsi intektual, logika dan analitis adanya di otak kiri. Sedangkan belahan kanan mengontrol fungsi yang terkait dengan kebutuhan sosial dan emosional. Thomas Scovel menjelaskan hubungan antara lateralisasi dan pemerolehan bahasa kedua. Ia menunjukkan bahwa plastisitas otak sebelum akil balig memungkinkan anak menguasai tak hanya bahasa pertama tapi juga bahasa kedua, dan itu sulit didapatkan oleh orang dewasa. 3. Logat Bidang yang terkait dengan logat adalah fonologi (sistem ujar). Mulai dari bayi seseorang sudah terlatih untuk mengembangkan otot-otot wicaranya hingga terbentuk
8

H. Douglas Brown, op.cit., hal. 109-111 Ibid ., hal. 313

pengucapan seperti ucapan aslinya atau pelafalan otentik. Bagi seseorang yang baru mulai belajar bahasa kedua setelah masa akil balig, akan menemukan kesulitan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. 4. Kognitif Jean Piaget mengemukakan tahap perkembangan intelektual seseorang, tahapan-tahapan itu adalah tahap sensorimotoris (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional ( 7-16 tahun). Tahapan tahapan tersebut menentukan pemerolehan bahasa kedua. Ausubel menunjukkan bahwa orang-orang dewasa yang belajar bahasa kedua bisa mengambil manfaat dari penjelasan gramatikal dan pemikiran deduktif tertentu, yang jelas tak ada gunanya bagi seorang anak. Anak-anak yang belajar bahasa kedua, akan lebih cepat menyimpan pengalaman baru dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, pembelajaran pada anak-anak lebih condong ke pembelajaran hafalan dan pembelajaran bermakna seperti yang diungkapkan oleh Ausubel. Pembelajaran hafalan pada usia dewasa tidak akan bermakna karena orang dewasa menggunakan hafalan untuk memori jangka pendek. 5. Afektif Wilayah afektif yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua terdiri dari beberapa faktor, yaitu: empati, kepercayaan diri, ekstroversi, hambatan, peniruan, kecemasan, sikap, dan motivasi. 6. Linguistik Proses dan pencapaian pembelajaran bahasa kedua bergantung pada perbedaan bahasa kedua dengan bahasa pertama dan interferensi bahasa pertama terhadap bahasa kedua. Orang yang belajar bahasa kedua dengan cara belajar dua bahasa pertama dengan membedakan konteks masing-masing bahasa disebut dengan bilingual setara (coordinate bilingual) sedangkan bilingual kompleks (compound bilingual) adalah pembelajaran bahasa yang memiliki satu sistem makna untuk mengoperasikan bahasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses kognitif dan linguistik dalam pembelajaran bahasa kedua di kalangan belia berlangsung serupa dengan proses bahasa pertama. Pada orang

dewasa, proses linguistik bahasa kedua lebih rawan terhadap pengaruh bahasa pertama, terutama ketika jarak antara kedua pemerolehan bahasa itu cukup jauh. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa banyak orang dewasa yang mengalami interferensi terhadap pemerolehan bahasa kedua yang diakibatkan oleh bahasa pertama. Pada anak-anak yang belajar bahasa kedua, Heidy Dulay dan Marina Burt menyatakan bahwa mereka menggunakan proses konstruksi kreatif seperti yang mereka lakukan pada bahasa pertama mereka dengan urutan pemerolahan.
5. BEBERAPA METODE PENGAJARAN BAHASA TERKAIT PEMEROLEHAN

BAHASA KEDUA a. Respon Fisik Total Respon Fisik Total atau TPR ( Total Physically Respons), James Asher mencatat bahwa anak-anak saat belajar bahasa pertama lebih banyak mendengar sebelum berbicara, dan bahwa kegiatan mendengar itu disertai oleh respons-respons fisik (marah, meraba, bergerak, melihat dan sebagainya). Ia juga memberikan perhatian pada pembelajaran otak kanan. Kelas TPR yang dirancang olehnya adalah sebuah kelas yang aktivitasnya lebih banyak mendengar dan bertindak. Sang guru sangat mengarahkan, guru adalah instrukturnya dan murid adalah aktornya. Guru memberikan intruksi berupa kalimat perintah. Namun demikian, metode ini memliki kekurangan. Metode ini cocok untuk tingkat pemula /awal, namun saat beranjak kompetensi siswanya, metode ini sulit diterapkan.10

b. Pendekatan Alami

Krashen menyebutkan bahwa saat orang dewasa memperoleh bahasa kedua seharusnya sama seperti halnya yang dilakukan anak-anak, mereka harus diberi kesempatan untuk mendapatkan begitu saja sebuah bahasa dan tidak merasa terpaksa mempelajari tata bahasa. Krashen bersama temannnya Tracy Terrel kemudian mengembangkan metode Pendekatan Alami (Natural Approach), mereka berpendapat bahwa seharusnya suasana
10

H. Douglas Brown, Ibid.,84-85.

pembelajaran dikelas besifat santai, lebih banyak komunikasi dan pemerolehan bukan analisis. Pendekatan Alami memfokuskan pada keterampilan berkomunikasi antarpribadi, berupa bahasa keseharian (belanja, mendengarkan radio, percakapan). Tugas awal guru adalah menyediakan masukan yang bisa dipahami oleh siswa atau satu tingkat di atasnya. Siswa tidak perlu mengucapkan selama periode membisu. Siswa yang merasa belum siap tidak dipaksa untuk mengucapkan sampai mereka benar-benar siap. Tadjudin mengemukakan ada beberapa tahapan pemerolehan bahasa asing dan dapat dinyatakan sebagai berikut:11 1. Peniruan kosakata 2. Pengulangan 3. Peniruan gerak/aksi 4. Peniruan irama nyanyian 5. Peniruan kalimat.

KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran bahasa dapat mendorong terjadinya proses pemerolehan bahasa asalkan pengajaran tersebut dapat menyediakan input yang dpat dipahami maknanya oleh si pebelajar. Lebih penting lagi, pengajaran bahasa akan lebih membantu terciptanya proses pemerolehan bahasa apabila pembelajar banyak memberi kesempatan kepada pebelajar untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya tersebut dalam interaksi yang komunikatif. Dengan memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk berkomunikasi dalam sebuah interaksi, baik interaksi dengan teman-

11

Moh. Tadjudin, T. Fatimah Djajasudarma , dan Wahya, op.cit., hal. 37

temannya, guru, ataupun penutur asli bahasa yang mereka pelajari, akan membuat proses pemerolehan bahasa kedua tersebut menjadi lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Syukur H. A. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Departemen Pendidikan Nasional, 2000 H. Douglas Brown, H. Douglas. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima NewYork: Pearson Education Inc, 2007.

Moh. Tadjudin, Moh., et.al. Pemerolehan Bahasa Asing: Anak Bilingual Sunda Indonesia di Kotamadya Bandung . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. Rod Ellis, Rod. Second Language Acquistion. New York: Oxford University Press, 2003.

You might also like