You are on page 1of 10

ayat tentang tujuan hidup

Ayat-ayat Tentang Tujuan Hidup Manusia MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ayat-ayat Ekonomi Oleh: 1. A. Kholil Ashari Baihaqi Abdillah Dosen: Nur Lailatul Musyafaah, LC, M. Ag. FAKULTAS SYARIAH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2011 C04210129 C04210116

KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami kelompok I dapat menyelesaikan makalah Ayat-ayat Ekonomi ini dengan baik sebagai tugas untuk bahan diskusi dalam tatap muka perkuliahan. Makalah Ayat-ayat Ekonomi ini membahas tentang ayat-ayat tentang tujuan hidup dalam surat AlZariyat : 56 dan Al-Bayyinah : 5 yang pembahasan secara lengkap diuraikan dan di jelaskan dalam makalah ini. Kelompok I mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Nur Lailatul Musyafaah, LC, M. Ag selaku dosen Mata Kuliah Ayat-ayat Ekonomi. 2. Anggota kelompok I yang telah berusaha dan bersemangat dalam menyelesaikan tugas ini. Makalah Ayat-ayat Ekonomi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dalam pengerjaannya. Untuk itu dimohon saran dan kritik yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Surabaya, 28 September 2011 PENYUSUN DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI . ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .. 1 1.2 Rumusan Masalah 1 1.3 Tujuan 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Asbabun Nuzul Surat Adz-Dzariyat : 56 dan Al-Bayyinah : 5 2 2.2 Tafsir Surat Adz-Dzariyat ayat 56 .. 5 2.3 Tafsir Surat Al-Bayyinah ayat 5 .. 7 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan . 9 3.2 Saran .. 9

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan manusia hidup adalah untuk menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan wahyu dalam Al-Quran terutama di surat Adz-Dzariyaat ayat 56 atau Al-Bayyinah ayat 5, hal ini juga dibenarkan juga oleh akal dan hati manusia. Dengan menyembah dan beribadah kepada Allah, manusia mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Hari ini kita sangat kurang memahami ajaran Islam, oleh karena itu kita hidup dalam gelap gulita, dalam suasana yang tidak ada panduan. Dengan begitu bukan saja kita akan terjun ke neraka, tapi sejak di dunia lagi kita telah berada dalam neraka. Suatu hal yang menjadi asas dalam ajaran Islam, yaitu mengapa manusia hidup. Merupakan satu pertanyaan yang memerlukan satu jawaban yang tepat. Karena jika manusia yang hidup di muka bumi Tuhan ini tidak dapat memberi jawaban yang betul, manusia itu tak pandai hidup. Mereka sekedar pandai maju, pandai berkebudayaan tapi tak pandai hidup. Jika manusia gagal hidup di dunia, maka manusia akan gagal hidup di akhirat. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah. Sebagai berikut : 1. Bagaimana Asbabun Nuzul dari Surat Al-Zariyat ayat 56 dan Al-Bayyinah ayat 5? 2. Bagaimana penafsiran ayat-ayat di atas? 1.3 Tujuan 1. Untuk mempelajari tentang Asbabun Nuzul surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-Bayyinah ayat 5. 2. Untuk mempelajari tentang penafsiran kedua ayat tersebut.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Asbabun Nuzul surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-Bayyinah ayat 5 1. Adz-Dzariyat ayat 56 Kita membayangkan bahwa Allah SWT ketika menetapkan penciptaan Nabi Adam, Dia memberitahukan kepada malaikat-Nya dengan tujuan agar mereka bersujud kepadanya, bukan dengan tujuan mengambil pendapat mereka atau bermusyawarah dengan mereka. Maha Suci Allah SWT dari hal yang demikian itu. Allah SWT memberitahukan mereka bahwa Dia akan menjadikan seorang hamba di muka bumi, dan bahwa khalifah ini akan mempunyai keturunan dan cucu-cucu, di mana mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah di dalamnya. Lalu para malaikat yang suci mengalami kebingungan. Bukankah mereka selalu bertasbih kepada Allah dan mensucikan-Nya, namun mengapa khalifah yang terpilih itu bukan termasuk dari mereka? Apa rahasia hal tersebut, dan apa hikmah Allah dalam masalah ini? Kebingungan melaikat dan keinginan mereka untuk mendapatkan kemuliaan sebagai khalifah di muka bumi, dan keheranan mereka tentang penghormatan Adam dengannya, dan masih banyak segudang pertanyaan yang tersimpan dalam diri mereka. Namun Allah SWT segera menepis keraguan mereka dan kebingungan mereka, dan membawa mereka menjadi yakin dan berserah diri. FirmanNya: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui. (QS. al-Baqarah: 30) Ayat tersebut menunjukan keluasan ilmu Allah SWT dan keterbatasan ilmu para malaikat, yang karenanya mereka dapat berserah diri dan meyakini kebenaran kehendak Allah. Kita tidak membayangkan terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat sebagai bentuk pengultusan terhadap Allah dan penghormatan terhadap para malaikat-Nya. Dan kita meyakini bahwa dialog terjadi dalam diri malaikat sendiri berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengemban khilafah di muka bumi, kemudian Allah SWT memberitahu mereka bahwa tabiat mereka bukan disiapkan untuk hal tersebut. Sesungguhnya tasbih pada Allah SWT dan menyucikan-Nya adalah hal yang sangat mulia di alam wujud, namun khilafah di muka bumi bukan hanya dilakukan dengan hal itu. Ia membutuhkan karakter yang lain, suatu karakter yang haus akan pengetahuan dan lumrah baginya kesalahan. Kebingungan atau keheranan ini, dialog yang terjadi dalam jiwa para malaikat setelah diberitahu tentang penciptaan Nabi Adam, semua ini layak bagi para malaikat dan tidak mengurangi kedudukan mereka sedikit pun. Sebab, meskipun kedekatan mereka dengan Allah SWT dan penyembahan mereka terhadap-Nya serta penghormatan-Nya kepada mereka, semua itu tidak menghilangkan kedudukan mereka sebagai hamba Allah SWT di mana mereka tidak mengetahui ilmu Allah SWT dan hikmah-Nya yang tersembunyi, serta alam gaibnya yang samar. Mereka tidak mengetahui hikmah-Nya yang tinggi dan sebab-sebab perwujudannya pada sesuatu. Setelah beberapa saat para malaikat akan memahami bahwa Nabi Adam adalah ciptaan baru, di mana dia berbeda dengan mereka yang hanya bertasbih dan menyucikan Allah, dan dia pun berbeda dengan hewan-hewan bumi dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya yang hanya menumpahkan darah dan membuat kerusakkan. Sesungguhnya Nabi Adam akan menjadi ciptaan baru dan keberadaannya disertai dengan hikmah yang tinggi yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.

Allah SWT berfirman:[1] Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku. (QS. adzDzariyat: 56) Para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan perintah-Nya kepada mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan manusia dari tanah. Maka ketika Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya, para malaikat harus bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud tersebut adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.[2] 1. Al-Bayyinah ayat 5 !$tBur (#r D& w) (#r6u9 !$# t=C &s! te$!$# u!$xuZm (#qJ)ur no4qn=9$# (#q?sur no4qx.9$# 4 y79sur ` pyJhs)9$# Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs al-Bayyinah/98:5).[3] Karena adanya perpecahan di kalangan mereka maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang berupa ikhlas lahir dan batin dalam berbakti kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik serta mematuhi agama Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekafiran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadat kepada Allah SWT.[4] Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya bahwa mengapa mereka berpecah belah setelah Muhammad shallallhu alaihi wasallam datang kepada mereka? bukankah dia adalah Rasul yang mereka tunggu-tunggu? Padahal (sebenarnya) mereka tidak diperintahkan baik di dalam kitab-kitab mereka dan seruan para Rasul mereka, maupun di dalam al- Quran dan seruan Raslullh shallallhu alaihi wasallam, kecuali untuk beribadah kepada Allh Tala semata dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, dengan meninggalkan semua agama yang mereka ikuti dan memeluk agama Islam. Mereka juga diperintahkan untuk menunaikan shalat pada waktunya dengan memperhatikan tata cara, syarat dan rukunnya, serta diperintahkan pula mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka untuk para fakir dan miskin. Itulah agama yang lurus yang mengantarkan seorang hamba untuk mendapatkan ridha-Nya dan surga yang abadi dan selamat dari siksa dan amarah-Nya.[5] 2.2 Tafsir surat Adz-Dzariyat ayat 56

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56).[6] Ayat di atas menyatakan Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-Ku. Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandung tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki yang dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini karena penekanannya adalah beribadah kepadaNya semata-mata tanpa member kesan adanya keterlibatan Allah swt. Didahulukannya penyebutan kata ( )al-jinn/jin dari kata ( )al-ins/manusia karena memang jin lebih dahulu diciptakan Allah daripada manusia. Huruf ( )lam pada ( )liyabudun bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan yang mencapai puncaknya akibatnya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah murni adalah iabadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar segala aktivitas manusia dilakukannya karena Allah semata, yakni sesuai dan sejalan dengan tuntunan petunjuk-Nya.[7] Dengan demikian ibadah yang dimaksud di sini lebih luas jangkauan maknanya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekhalifahan termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakikat dari ibadah mencakup dua hal pokok, yaitu: 1. Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insane. Kemantapan perasaan bahwa ada hamba dan ada Tuhan, hamba yang patuh dan Tuhan yang disembah (dipatuhi), tidak selainnya. Tidak ada dalam wujud ini kecuali satu Tuhan dan selain-Nya adalah hamba-hamba-Nya. 2. b. Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup. Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus, melepaskan diri dari segala perasaaan yang lain dan dari segala makna penghambaan diri kepada Allah. Dengan demikian, terlaksana makna ibadah. Dan menjadilah setiap amal bagaikan ibadah ritual dan setiap ibadah ritual serupa dengan memakmurkan bumi, memakmurkan bumi serupa dengan jihad di jalan Allah dan jihad seperti kesabaran

menghadapi kesulitan dan ridha menerima ketetapan-Nya, semua itu adalah ibadah, semuanya adalah pelaksanaan tugas pertama dari penciptaan Allah terhadap jin dan manusia dan semua merupakan ketundukan ketetapan Ilahi yang berlaku umum yakni ketundukan segala sesuatu kepada Allah bukan kepada selain-Nya.[8] 2.3 Tafsir surat Al-Bayyinah ayat 5 !$tBur (#r D& w) (#r6u9 !$# t=C &s! te$!$# u!$xuZm (#qJ)ur no4qn=9$# (#q?sur no4qx.9$# 4 y79sur ` pyJhs)9$# Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan m[9]emurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs al-Bayyinah/98:5). Ayat ini menjelaskan tentang sikap Ahli Kitab dan kaum musyrikin itu adalah bahwa mereka enggan percaya serta berselisih satu sama lain padahal mereka tidak diperintahkan, yakni tidak dibebai tugas, baik yang terdapat dalam kitab-kitab yang lurus itu maupun melalui Rasul yang menyampaikannya, juga dalam kitab-kitab suci disampaikan oleh nabi-nabi yang mereka imani, kecuali supaya mereka menyembah, yakni beribadah kepada Allah yang Maha Esa dengan memurnikan secara bulat untuk-Nya semata-mata ketaatan sehingga tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan sedikit persekutuan pun dalam menjalankan agama lagi bersikap secara lurus secara mantap dengan selalu cenderung kepada kebajikan dan juga mereka diperintahkan supaya mereka melaksanakan shalat secara baik dan bersinambung dan menunaikan zakat secara sempurna sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, dan yang demikian itulah agama yang sangat lurus bukan seperti yang selama ini mereka lakukan. Kata ( )mukhlishin terambil dari kata ( )khalasha yang berarti murni setelah sebelumnya diliputi atau disentuh kekeruhan. Dari sini ikhlas adalah upaya memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelumnya keberhasilan usaha ini, hati masih diliputi atau dihinggapi oleh sesuatu selain Allah, misalnya pamrih atau semacamnya.[10] Kata khunafa adalah bentuk jamak dari kata khanif yang biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri dan yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus. Kelurusan itu menjadikan si pejalan kaki tidak moncong ke kiri, tidak pula ke arah kanan. Dari sini, seseorang yang berjalan lurus atau bersikap lurus tidak condong ke arah kanan atau kiri dinamai hanif. Ajaran islam adalah ajaran yang berada dalam posisi tengah, tidak cenderung kepada materialisme yang mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual tetapi tidak juga kepada spiritualisme murni yang mengabaikan hal-hal yang bersirafat material. Penyifatan agama dengan al-qayyinah di samping berarti agama yang sangat lurus tidak bengkok seperti makna yang penulis kemukakan pada ayat 3 di atas, dapat juga berarti sebagaimana

dikemukakan oleh al-Biqai sebagai agama orang-orang yang tampil menegaskan Allah dan melaksanakan ajaran Tauhid atau berarti agama yang diajarkan dalam al-Kutub al-Qayyimah.

BAB III PENUTUP 2.1 Kesimpulan Suatu hal yang menjadi asas dalam ajaran Islam, yaitu mengapa manusia hidup. Merupakan satu pertanyaan yang memerlukan satu jawaban yang tepan. Karena jika manusia yang hidup di muka bumi Tuhan ini tidak dapat memberi jawaban yang betul, manusia itu tak pandai hidup. Mereka sekedar pandai maju, pandai berkebudayaan tapi tak pandai hidup. Jika manusia gagal hidup di dunia, maka manusia akan gagal hidup di akhirat. Surat Adz dzariyat ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT. Jadi selain fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi (fungsi horizontal), manusia juga mempunya fungsi sebagai hamba yaitu menyembah penciptanya (fungsi vertikal), dalam hal ini adalah menyembah Allah karena sesungguhnya Allah lah yang menciptakan semua alam semesta ini. Sedangkan surat Al Bayyinah ayat 5 memiliki beberapa kandungan, antara lain: 1. 2. 3. 4. Manusia diperintahkan untuk menyembah hanya kepada Allah SWT. Memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran kemusyrikan. Manusia diperintahkan mendirikan shalat dan zakat. Menyembah hanya kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan adalah agama yang benar dan lurus.

2.2 Saran Dengan adanya penjelasan dari ayat-ayat di atas, semoga kita bisa memperbaiki pengertian dan pemahaman kita mengenai tujuan hidup sebenarnya manusia di muka bumi ini dan semoga mulai hari ini kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih baik dari hari sebelumnya dan mendapatkan ridha dari Allah swt. DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Al-Quran Dan Terjemahannya. CV. Pustaka Agung Surabaya : 2006.

Harapan.

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Volume 15. Penerbit Lentera Hati. Jakarta : 2009.

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Volume 13. Penerbit Lentera Hati. Jakarta : 2009. M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Mizan Media Utama. Bandung : 2001.

http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id= 241&Itemid=94 http://hbis.wordpress.com/2008/12/03/tuntunan-al-qur%E2%80%99an-tentang-keihklasan-dalamberibadah/ http://alhijroh.net/aqidah/allah-menciptakan-seluruh-mahluk-agar-mereka-mentauhidkan-nyasemata-dalam-seluruh-ibadah/ http://senyawa-kimia.blogspot.com/2010/02/kandungan-dan-penjelasan-qs-adz_20.html http://kawansejati.ee.itb.ac.id/kesadaran-islam/id-01-mengapa-manusia-hidup.html http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?SuratKe=51&start=41 http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?SuratKe=98 http://www.al-shia.org/html/id/books/anbia/01.htm http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Bayyinah

[1] Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya : Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 756. [2] http://www.al-shia.org/html/id/books/anbia/01.htm [3] Departemen Agama. Op. Cit, hlm. 907. [4] http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?SuratKe=98 [5] http://majalah-assunnah.com/index.php? option=com_content&view=article&id=241&Itemid=94 [6] http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2567-untuk-apa-kita-diciptakan-di-dunia-ini.html [7] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2009), hlm. 107. [8] Ibid. hal. 112

[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Bayyinah [10] M. Quraish Shihab. Op. Cit, hlm. 519.

You might also like