You are on page 1of 5

Konsep Dawah Fardhiyah

-Gading E. Aurizki | FKP 2010Assalamualaikum wr. wb. Permudahlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka kabur, saling menaati dan jangan saling berselisih Pesan Rasulullah saw. kepada Abu Musa alAsyari dan Muadz bin Jabal saat keduanya diutus ke Yaman*** Dawah fardhiyah ibarat air. Di tengah timbunan karang, batu besar, kerikil dan pasir ia tetap bisa menyusup masuk memenuhi rongga-rongga kosong yang terlupa. Ketika jamaah tidak dapat meluluhkan hati seorang objek dawah (madu), maka keluhuran hati seorang dai lah yang akan meluluhkannya. Pesona akhlak pribadi akan mendekatkan madu kepada para dai. Rasulullah saw. memiliki kebiasaan menyuapi seorang Yahudi buta di jalanan Kota Madinah semasa beliau masih hidup. Yahudi tersebut sebenarnya sangat membenci Rasulullah saw., oleh karenanya kepada setiap orang yang lewat didekatnya ia selalu menghujat nama Muhammad shalallahu alaihi wasallam- dan meminta orang-orang menjauhinya. Hal itu juga dilakukan kepada Rasulullah. Namun Rasulullah tetap diam, si Yahudi buta tidak tahu kalau yang menyuapinya adalah orang yang selama ini ia hujat. Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar ra. bertanya kepada Aisyah ra. tentang amalan yang dilakukan Rasulullah, namun belum pernah dilakukannya. Maka ditunjukkanlah kebiasaan Rasulullah menyuapi Yahudi buta yang biasa duduk di jalan. Namun ketika Abu Bakar hendak menyuapinya, si Yahudi menolak. Walaupun buta, si Yahudi merasa ada yang berbeda. Yang datang bukan orang yang biasanya. Kemudian Abu Bakar dengan linangan airmata mengungkapkan, bahwa orang yang selama ini menyuapi si Yahudi adalah Rasulullah Muhammad saw. Si Yahudi pun terhenyak. Kemudian ia menangis dan akhirnya masuk Islam. Kisah di atas adalah salah satu contoh dawah fardhiyah yang dilakukan oleh Rasulullah. Pada kisah itu juga ditunjukkan bahwa dawah fardhiyah efeknya jangka panjang. Yahudi buta dapat merasakan dampak dari dawah Rasulullah setelah Rasulullah wafat. Jadi dawah fardhiyah tidak

serta merta langsung dapat kita rasakan hasilnya, walaupun tidak sedikit juga yang bisa langsung memetik buahnya. Namun pada prinsipnya, dawah fardhiyah butuh proses dan kesabaran. Seperti dawah secara umum, dawah fardhiyah juga memiliki marhalah (tahapan). Menurut Syaikh Musthafa Mansyur tahapannya adalah sebagai berikut; Pertama : Membina Hubungan Ini adalah landasan dasar bagi seseorang yang akan melakukan dawah fardhiyah. Tidak mungkin seseorang yang kurang akrab dengan sesamanya, selalu dijauhi oleh teman-teman, terus-menerus menyendiri, dan menganggap dirinya eksklusif bisa melakukan model dawah yang satu ini. Karena kunci utama dari dawah fardhiyah adalah kedekatan dan keterbukaan. Seorang aktivis dawah tidak boleh menjauh dari hiruk-pikuk dinamika kampus. Biasanya kalau ada seorang aktivis dawah yang laku dimana-mana dapat amanah- maka dia akan cenderung jauh dari kawan-kawannya di fakultas/angkatan. Nah, seperti ini harus dihindari. Karena utamanya bagi kita sebelum menjalankan dawah fardhiyah, kita harus terlebih dahulu dekat dengan madu kita. Kalaupun sudah terlanjur banyak amanah, maka harus ada mekanisme penyeimbang baginya. Semisal di angkatan seorang aktivis dawah menjadi pengurus angkatan, di wajihah kampus mendapatkan amanah di lini yang memudahkannya untuk dekat dengan banyak orang, atau kalau untuk dosen kita senantiasa aktif saat berada di kelas. Asalkan dikenal terlebih dahulu, setelah itu insya Allah semuanya aman. Pada intinya, seorang aktivis dawah pada tahun pertamanya di fakultas/jurusan haruslah memiliki agenda besar untuk dikenal dan akrab dengan elemen-elemen yang ada di dalamnya. Kalau pondasi itu sudah diletakkan, maka akan muda menyusun batu bata yang masih tercecer berantakan. Dawah fardhiyah pun akan semakin mudah untuk dijalankan. Kedua : Membangkitkan Keimanan Setelah dikenal, yang harus dilakukan selanjutnya adalah memasukkan benih-benih kebaikan di setiap interaksi dengan madu kita. Kita tidak perlu memaksa untuk menanamkan nilai-nilai baru yang belum tentu diterima oleh mereka. Yang perlu dilakukan adalah memancing mereka

mengeluarkan kebaikan yang ada pada diri mereka sendiri. Karena setiap manusia memiliki fitrah, dan fitrah satu orang dengan orang lain adalah sama. Ary Ginanjar Agustian menyebutnya dengan anggukan universal. Yaitu nilai-nilai yang secara naluriah disepakati seluruh manusia baik untuk dilakukan. Contohnya adalah kejujuran, tanggung jawab, kesetiaan, optimisme, dll. Kita juga perlu mengingat, kalau tidak semua orang suka digurui. Jadi cara penyampaian kita harus jauh dari kesan itu. Bahkan lebih baik jika interaksi dawah kita dengan orang lain dilakukan selayaknya bergaul seperti biasa. Santai, luwes, namun tetap berbobot. Menurut penuturan orang terdekatnya, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang suka bergaul dengan orang lain. Ketika kawan-kawannya duduk di bawah, dia ikut duduk di bawah. Suka menolong ketika ada yang membutuhkan bantuan. Tidak ada kesan berbeda dalam diri Ali ra dengan sesamanya. Ia membaur. Dengan begitu dia bisa menyusupkan nilai-nilai rabbani dalam setiap interaksinya dengan kawan-kawannya. Inilah yang perlu kita contoh. Sambil menyelam minum air. Sambil bergaul juga berdawah. Ketiga : Membantu Memperbaiki Diri Setelah kita membina hubungan dengan madu kita, dilanjutkan membangkitkan keimanan mereka, maka saatnya kita membantu memperbaiki diri mereka. Membantu memperbaiki diri disini lebih ditekankan kepada memotivasi mereka untuk berbuat kebaikan, dan menghalangi mereka ketika akan berbuat keburukan. Biasanya madu yang baru dibangkitkan imannya, hanya akan fokus kepada menambah amal baik. Tetapi mereka belum bisa meninggalkan maksiat yang biasa dilakukan. Beramalnya mulai rajin, namun maksiatnya masih terus jalan. Seyogyanya kedua hal tersebut harus berjalan beriringan. Bukankah kita diperintahkan untuk amar maruf nahi munkar. Tidak hanya amar maruf saja, atau nahi munkar saja. Kita lah yang harus membantu untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka. Pada tahap ini ada baiknya kita banyak berdiskusi dengan madu. Berbagi pengalaman tentang perjalanan hidup kita, bagaimana kita bisa melewati ujian-ujian keimanan, dan lain sebagainya. Hal ini akan lebih meneguhkan hati mereka untuk berbenah diri.

Keempat : Membantu Memberi Pemahaman Bahwa Ibadah dalam Islam adalah Syamil (Mencakup Segala Sesuatu) Ketika disinggung soal ibadah, sebagian besar madu kita pasti masih berpikiran bahwa ibadah itu hanya seputar sholat, puasa, zakat, dan ibadah lain yang sifatnya ritual lainnya. Jika paradigma berpikir mereka masih sempit seperti itu, mereka pasti keberatan dengan dawah yang kita bawa. Kita harus meluruskan bahwa ibadah itu memiliki arti yang luas. Seperti kata Ibnu Taimiyyah, bahwa ibadah itu yang penting memenuhi dua syarat; ikhlas dan sesuai contoh atau perintah dari Rasulullah saw. Kita perlu mendorong mereka untuk menggiatkan sedekah, berbuat baik kepada sesama, menolong orang lain, membuang sampah di tempatnya, lalu melakukan amalan kecil namun berpahala besar seperti menyingkirkan duri dari jalan, dan masih banyak lagi ibadah yang bisa kita bagi kepada mereka. Dengan begitu diri mereka akan semakin akrab dengan ibadah-ibadah non-ritual yang pahalanya juga tidak kalah dengan ibadah ritual. Kelima : Memberi Pengertian Bahwa Islam Agama Kamil (Sempurna) dan Mutakamil (Menyempurnakan) Tidak berhenti pada ibadah saja, pola pandang para madu kita juga harus diluruskan. Sedikit demi sedikit kita harus membuka wawasan mereka tentang kesempurnaan Islam. Islam tidak hanya terbatas pada ibadah saja, namun Islam juga mengatur hal-hal seperti politik, militer, ekonomi, pendidikan, sosial, dll. Jika sudah sampai pada tahap ini, madu harus banyak kita beri wacana. Yang paling dekat misalnya tentang NII. Bagaimana sebenarnya Islam mengatur kenegaraan. Atau tentang PSSI. Bagaimana riyadhah dalam Islam itu seharusnya dibangun. Dan banyak lagi hal yang bisa dijadikan wacana untuk mengembangkan pola pikir seorang madu. Keenam : Menjelaskan Bahwa Kewajiban Tidak Bisa Dilaksanakan Kalau Sendirian Saja Setelah menjalani tahap demi tahap, inilah marhalah pamungkas pada dawah fardhiyah. Yaitu mengajak madu untuk berjamaah. Kita bisa sering mengajaknya ke acara-acara jamaah seperti walimahan, taklim, seminar, dan acara lain yang sejenis. Pada tahap ini kita juga harus memkondisikan agar madu kita tidak asing dengan jamaah ini. Karena biasanya orang-orang

yang baru pertama kali berjamaah akan merasa aneh dengan istilah ana, antum, afwan, syukran, dan beberapa istilah lainnya. Ketika kita berhasil mengajak seorang madu masuk ke dalam jamaah dawah yang indah ini, maka tugas kita adalah melakukan penjagaan (riayah). Jangan sampai usaha kita sia-sia setelah madu yang sebenarnya sudah bisa kita pegang, malah lepas karena kita lengah dalam menjaganya. Saya cukup salut kepada kader-kader Hizbut Tahrir yang sangat getol dalam melakukan dawah fardhiyah. Bagaimana mereka benar-benar bisa menjadi seorang pelayan bagi madu-nya. Ketika madu-nya butuh pakaian (biasanya jubah bagi akhwat ammah yang baru didekati), mereka menyediakan. Butuh jemputan, mereka datang dengan cekatan. Butuh curhat, mereka selalu siap. Dan mereka rela jauh-jauh, walaupun sebenarnya mereka tidak punya kepentingan apapun di sana, untuk sekedar menemui madu-nya tersebut. Beginilah riayah, kita harus banyak belajar dari saudara kita antar jamaah ini. *** Tahapan di atas bukanlah tahapan yang rigid, namun alangkah baiknya ketika kita benar-benar bisa menerapkan enam poin tersebut. Tak lupa kita juga perlu menakar diri, berapa kader yang siap untuk diberdayakan. Karena dawah fardhiyah adalah dawah yang sangat fundamental, maka orang-orang yang terjun juga harus profesional dan tahan banting. Pembagian target, pola penjagaan, pemahaman tentang perbedaan amanah dawah dan operasional dawah, semua itu harus dikelola secara baik. Kita patut bersyukur karena saat ini jamaah dawah kita tarbiyah- bisa mengelola dawah kampus di UNAIR. Namun jangan sampai karena kita terlalu sibuk mengelola wajihah, kita lupa terhadap kewajiban kita melakukan amanah dawah. Idealnya, operasional dawah berjalan, amanah dawah juga lancar. Keduanya tidak boleh saling menghalangi. Terakhir.. jazakumullah khairan katsiraa sudah mau membaca. Wa kafa billahi syahida.. Wassalamualaikum wr. wb.

You might also like