You are on page 1of 19

MASYARAKAT KAMPUNG NAGA: ANTARA TRADISI DAN PERUBAHAN

Oleh: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. budimansyah@upi.edu


Guru Besar Pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pengantar

Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya berada pada kilometer 27 dari kota Tasikmalaya dan pada kilometer 30,5 dari kota Garut. Masyarakat Kampung Naga masih dapat dikelompokan kedalam masyarakat tradisional, yakni suatu kelompok masyarakat yang masih mempertahankan tradisi leluhurnya sebagai suatu cara hidup sehari-hari. Tradisi mereka yang hingga kini tetap dipertahankan adalah bangunan rumah tradisional berupa rumah panggung dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu (dalam bahasa Sunda dinamakan bilik) dan atap dari ijuk yakni bagian tertentu yang diambil dari pohon enau, sejenis pohon yang banyak tumbuh di wilayah Jawa Barat. Disamping itu terdapat sejumlah aturan adat yang disebut tabu (dalam bahasa Sunda disebut pamali), yakni aturan yang melarang anggota masyarakat Kampung Naga untuk memiliki atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menggunakan penerangan listrik, dilarang memiliki televise, dilarang menanam padi hibrida, dan sebagainya (Budimansyah, 1991). Para agen pembaruan yang berupaya memperkenalkan

unsur-unsur inovasi pada masyarakat Kampung Naga, dihadapkan pula kepada beberapa kendala yang bersumber dari sifat anggota masyarakat yang

sangat konformis terhadap nilai-nilai tabu. Kepada masyarakat Kampung Naga, seperti halnya kepada masyarakat lainnya, telah diperkenalkan unsur-unsur inovasi teknologi baik secara langsung dilakukan para agen pembaruan maupun melalui kontak secara alamiah dengan masyarakat lain. Akan tetapi hingga saat ini mereka pada umumnya masih menolak bibit padi yang usianya relatif pendek (hibrida), sama sekali menolak penerangan listrik, dan dalam bidang perumahan masih mempertahankan pola lama baik dalam bentuk, bahan maupun posisi. Demikian pula halnya beberapa jenis sarana komunikasi atau hiburan seperti radio dan televisi belum di terima secaraluas dalam masyarakat. Pada hakekatnya mereka bukan tidak mengakui kelebihan sistem baru tersebut jika dibandingkan dengan sistem tradisional, penolakan mereka tidak terletak pada baik buruknya sistem secara rasional. Setiap respons mereka selalu mengacu kepada kerangka referensi yang telah dimilikinya secara turun temurun, yaitu seperangkat nilai kehidupan tradisional yang berupa tabu. Bagaimana mereka harus berpikir, merasakan dan bereaksi terhadap rangsangan dari luar individu dan kelompoknya, selalu didasarkan dan berorientasi pada nilai-nilai adat leluhurnya yang mereka anggap sebagai papagon hirup (pegangan hidup) yang bersifat proteksionistik. Inilah kesenjangan yang terjadi dalam proses pembaruan masyarakat tradisional, khususnya pada masyarakat Kampung Naga. Di satu pihak program pembaruan masyarakat melalui kegiatan pembangunan harus terus dilaksanakan di seluruh pelosok tanah air dan harus menyentuh segenap lapisan masyarakat; di pihak lain nilai-nilai tabu mengikat anggota masyarakat tradisional untuk mempertahankan. status guo-nya. Posisi mereka lebih

mengarah pada usaha mewujudkan kenyataan apa adanya menjadi cita-cita atau harapan (sein-sollen) dengan setumpuk pembenaran diri, daripada mewujudkan cita-cita dalam kenyataan (sollen-sein}. Yang menjadi persoalan adalah apakah kesenjangan tersebut akan tetap dibiarkan ? Jika demikian apakah tidak bertentangan dengan hakekat pembangunan nasional, yakni penbangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia ? Jika tidak akan dibiarkan, apa upaya selanjutnya yang dapat dilakukan ? Sampai saat ini para agen pembaruan belum dapat berbuat banyak dalam menghadapi masyarakat tradisional Kampung Naga. Mereka hanya sampai pada keputusan, bahwa semua pihak harus dapat memaklumi nilai-nilai tradisional masyarakat tersebut. Hal ini mengandung arti ketiadaan mlternatif usaha dari para petugas, yang sekurang-kurangya harus

mengusahakan untuk melonggarkan keterikatan mereka dari nilai tabu yang diyakininya itu. Adanya kesenjangan tersebut, menggugah motivasi penulis untuk mengungkapkan sejauh mana nilai-nilai tabu dijadikan dasar argumentasi oleh anggota masyarakat dan migran asal Kampung Naga (yakni anggota masyarakat Kampung Naga yang sudah bermukim di luar kawasan kampung) untuk menolak beberapa unsur lovasi teknologi.

Toleransi dari luar sebagai faktor penghambat perubahan Orang luar amat memberikan toleransi terhadap kehidupan masyarakat Kampung Naga atas kondisinya yang tetap mempertahankan kesahajaan dan menolak terhadap berbagai inovasi. Oleh karenanya tidaklah heran jika sampai

saat ini mereka masih belum menerima berbagai skema program pemerintah untuk memperbaiki tarap hidup, utamanya daalam bidang inovasi teknologi. Adanya toleransi yang tinggi dari masyarakat lain terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Naga tidak melahirkan suatu bentuk proses sosial yang dapat mempengaruhi nilai-nilai tradisional, misalnya (1) konflik, (2) imitasi, dan (3) social pressure. Tanpa adanya proses-proses semacam ini, maka nilai-nilai tradisional akan lebih terintegrasi dengan masyarakatnya, dan resistensinya akan lebih kuat lagi. Memang diakui bahwa faktor-faktor lingkungan luar bagi suatu kelompok masyarakat dapat membuat pergeseran-pergeseran nilai secara cepat, dan dapat pula sebaliknya, memperlambat perubahan nilai pada pihak lain. Hal ini pun dikatakan oleh Pitirim A. Sorokin dalam Soemardjan dan Soemardi (1964: 535) sebagai berikut. The enviromental forces are not negligible, but their role consist essentialy in retardation or acceleration; facilitation or hindrance; reinforcement or weakening, of the realization of the immanent potentialities of the system. Sometimes they can crush the system and put an end to its existence; or stop the process of unfolding the immanent potentialities at one of the early phases. Bila dilihat dari segi nilai-nilai tradisional Masyarakat Kampung Naga, toleransi yang demikian besar dari pihak luar itu sangat

menguntungkan; akan tetapi bila dilihat dari proses pembaruan masyarakat tersebut yang harus berlangsung, maka bentuk toleransi demikian sangat tidak menguntungkan. Perwujudan toleransi pihak luar kepada nilai-nilai tradisional Masyarakat Kampung Naga hampir meliputi segala spek kehidupan,

termasuk pada segala macam tabu. Sebagai ontoh, masyarakat yang tinggal di sekitar Kampung Naga yang bukan keturunan masyarakat Kampung Naga (Seuweu-siwi Naga) hampir semuanya mengikuti aturan perhitungan waktu sesuai dengan perhitungan pada Masyarakat Kampung Naga. Mana waktu yang baik untuk melakukan sesuatu pekerjaan, mana waktu yang jelek, dan sebagainya. Jika berdasarkan perhitungan adat Masyarakat Kampung Naga hari tertentu itu tidak baik untuk melakukan sesuatu pekerjaan, seorang pun diantara mereka tidak akan ada yang mau melanggarnya. Bentuk toleransi yang paling tinggi adalah ditetapannya Kampung Naga sebagai daerah wisata budaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Peristiwa ini walaupun dari aspek pariwisata sangat menguntungkan, akan tetapi pengaruh bagi masyarakat Kampung Naga ibarat mendapat angin untuk tetap mempertahankan status quo-nya itu. Oleh karena itu keadaan mereka akan sulit berubah sekalipun tingkat kosmopolit mengalami peningkatan. Celakanya, para wisatawan itu, terutama wisatawan asing berkunjung ke Kampung Naga umumnya hanya tertarik oleh keadaan fisik kampung, terutama bangunan-bangunan rumah dengan arsitektur

tradisionalnya. Sedikit sekali yang tertarik pada aspek-aspek lain yang bersifat nonfisik. Padahal dalam rangka pariwisata tersebut masyarakat Kampung Naga telah membayar mahal dengan tetap mempertahankan kesahajaan hidupnya bahkan kesahajaan dalam pola berpikir yang sebe-narnya tidak perlu terjadi.

Aspirasi dari dalam sebagai faktor pendorong perubahan

Walaupun demikian, ada secercah harapan untuk perbaikan pada masa yang akan datang, yakni dengan adanya faktor pendorong bagi adopsi inovasi teknologi. Faktor yang dimaksud adalah aspirasi. Aspirasi sendiri merupakan salah satu faktor perubahan sosial yang bersumber dari dalam. Sebagaimana dimaklumi bahwa sumber perubahan suatu kelompok masyarakat berasal dari dua faktor, yaitu (1) faktor internal, yaitu kekuatan-kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri; (2) faktor eksternal, yaitu

kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar. Kekuatan faktor internal dalam banyak hal tergantung pada adanya potensi dinamis yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya adanya individu yang memiliki pribadi uggul yang selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, adanya kesediaan mental untuk menerima perubahan, adanya kesamaan prinsip antara beberapa nilai tradisional dengan usur-unsur inovasi, adanya

kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masyarakat bersangkutan. Persoalannya Masyarakat sekarang adalah, bagaimanakah adakah halnya dengan yang

Kampung Naga, Seperti

faktor-faktor seperti

disebutkan tadi?

telah disinggung dalam deskripsi mengenai

aspirasi, peneliti berkesimpulan bahwa faktor-faktor tersebut sebagian telah ada. Meningkatnya aspirasi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, taraf hidup, dan status sosial menunjukkan telah adanya potensi untuk maju dengan cara mengubah kondisi yang ada menjadi lebih baik. Disamping itu kalangan generasi muda yang umumnya lebih tinggi aspirasinya cepat atau lambat akan menjadi faktor kekuatan "immanent" yang memba-va masyarakatnya pada proses pembaruan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Masalahnya sekarang adalah, bagaimanakah mengupayakan bentuk pendekatan agar potensi generasi muda itu dapat dikembangkan tanpa mengalami banyak konflik dengan para orang tua mereka. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan penelitian, generasi muda Kampung Naga seolah-olah sedang mengalami suatu proses sosial yang disebut social pressure, yakni suatu bentuk tekanan sosial yang diciptakan oleh tokoh atau kelompok tertentu dalam masyarakat, dengan tujuan memantapkan proses sosialisasi terhadadap segala bentuk "talari karuhun" (tradisi leluhur) yang terjadi secara ilami terhadap kalangan muda masyarakat Kampung Naga. Generasi muda masyarakat Kampung Naga pada khususnya dan umumnya orang-orang yang tingkat aspirasinya tinggi, pada saat ini sedang mengalami dilema. Mereka tengah berada diantara dua pilihan yang sulit, apakah mereka lari dari belenggu tradisi, sedangkan keterikatan pada keluarga amat kuat karena sifatnya yang paternalistic. Untuk menanggulangi masalah ini ternyata para tokoh pengaruh (significan others) pada masyarakat Kampung Naga menerapkan manajemen konflik yang sangat baik yakni menciptakan katup pengaman (safety valve institution) berupa tidak dilarangnya bagi anggota masyarakat Kampung Naga bergaul dengan siapa saja dan di mana saja. Mereka bebas berkomunikasi dengan kelompok masyarakat mana pun, dan bebas bepergian ke mana pun, asal identitas adat Sa Naga" (identitas kelompok) harus tetap dipertahankan, yakni kesederhanaan, kepatuhan pada adat leluhur, dan rasa keterikatan pada kerabat yang berasal dari cikal bakal atau leluhur yang sama. Hal ini pun mempertegas jawaban mengapa tingkat kosmopolit tidak berpengaruh signifikan baik terhadap usaha melonggarkan ikatan pada nilai-nilai tabu maupun terhadap adopsi inovasi

teknologi. Mereka tetap menampilk:an sosok utuh sebagai Seuweu-siwi Putu Naga (Keluarga Besar Kampung Naga) yang senantiasa selaras dengan "talari karuhun" (adat istiadat). Karuhun masyarakat adat "Sa Naga", sejak awal kehidupan, telah menggariskan pola hidup sederhana, sebagaimana tertuang dalam ungkapan: "teu saba-teu boga, teu banda-teu raksa, teu weduk-teu bedas, teu gagah-teu pinter". Rangkaian ungkapan tersebut jika diartikan secara garis besar bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan apa-apa. Kesederhanaan dalam hidup bagi masyarakat Kampung Naga apabila ditelusuri ke masa lampau merupakan bentuk peruwujudan dari

pendekatan keamanan (security approach) yang mereka terapkan sejak leluhur mereka raendiami Kampung Naga. Sembah Dalen Singaparana, leluhur masyarakat adat "Sa Naga", untuk melaksanakan amanat ayahandanya menyelamatkan Pusaka Kerajaan, menerapkan pendekatan keamanan dengan jalan "nyumput buni dinu caang" (bersembunyi di tempat yang terang). Bentuk perwujudan pendekatan tersebut adalah kesahajaan hidup dan pengabdian yang penuh kepada penguasa, seperti tersirat dalam ungkapan: "Nyalindung na sihung Maung, diteker nya mementeng ulah aya guan, sok nun eling noal luput salamet". Artinya, diam di ujung taring Harimau, diusik dan dicela jangan melawan, jika hal ini diperhatikan pasti akan tetap selamat. Makna ungkapan ini ibarat ungkapan dalam bahasa Inggris "silent is gold" (diam berarti emas). Ungkapan yang menunjukkan bentuk pengabdian kepada penguasa adalah: "panyaur gancang temonan, parentah gancang lakonan, pamenta gancang caosan". Makna ungkapan ini adalah patuh dan taat kepada penguasa. Jika diundang untuk menghadap cepat datang, jika diperintahkan untuk melakukan

sesuatu cepat kerjakan, jika diminta sesuatu cepat berikan. Dengan jalan demikian mereka akan merasa aman dan tenteram, dan memang itulah maksud leluhur mereka untuk bersembunyi di tempat terang (bahasa Sunda: nyumput buni dinu caang) itu. Dalam banyak hal, terutama jang berhubungan dengan kewajiban masyarakat kepada negara, misalnya membayar pajak, bergotong royong untuk kepentingan umum, partisipasi dalam Program Keluarga Berencana, masyarakat adat "Sa Naga" menunjukkan kelebihan jika tibandingkan dengan masyarakat lain. Walaupun demikian pola kesahajaan hidup yang diterapkan masyarakat Kampung Naga dalam banyak hal kurang menguntungkan. Sebab dalam posisinya yang ekstrim sifat ini

mengarah pada sifat yang fatalistik. Di samping itu pola kesahajaan hidup yang demikian itu memberikan kontribusi :erhadap rendahnya motivasi untuk mengumpulkan kekayaan. mereka tidak memerlukan rumah yang bagus, perabot rumah tangga yang memadai, tidak memerlukan

kendaraan, dan sebagainya. Dilihat dari pendapatan rata-rata tiap bulan dan tingkat pendidikan yang dicapai anak-anak mereka yang rendah, membuktikan bahwa mereka itu sangat bersahaja. rata-rata pendapatan anggota masyarakat Kampung Naga tiap bulan kurang dari Rp 100.000,00 (Budimansyah, 1994). Tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai anak pada masyarakat Kampung Naga sebagian besar (78%) SD, bahkan sekitar 16% tidak tamat SD. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab kurang responsifnya mereka terhadap inovasi teknologi. Mereka tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk hidup kaya, karena "kesahajaanlah" yang menjadi tipe ideal mereka. Bukti yang mendukung rendahnya motivasi tersebut, diperlihatkan pula oleh

sikapnya dalam bertani. Anggota masyarakat Kampung Naga dalam berusaha tani lebih memilih pendekatan memaksimumkan kepuasan ("utility ("profit

maximization")

daripada

memaksimumkan

keuntungan

maximization"). Hal ini didasarkan kepada anggapan bahwa menanam "pare gede" (varietas padi yang berusia relatif panjang 5-6 bulan) hasilnya lebih memuaskan. Disamping nasinya lebih enak (harum dan "pulen"), mereka pun beranggapan bahwa hasil panen "pare gede" lebih awet dibandingkan dengan hasil panenan "segon" (padi varietas baru). Padi "segon" cenurut anggapan mereka relatif lebih cepat habis, karena mudah dijual. Kata "segon" sendiri oleh masyarakat setempat dianggap sebagai kata kirata (diperkirakan agar nyata), yakni "sagala seg. lila-lila ngalegon" (segala boleh, maksudnya dijual untuk memenuhi segala kebutuhan, maka lama-lama tinggal sedikit (ngalegon) lalu habis. Adapun "pare gede", yang pada saat dipanen t.idak dirontokkan melainkan diikat dalam bentuk "eundanan" dan "geugeusan" (Sunda), oleh masyarakat setempat tidak pernah dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri (subsisten). Oleh karena itu relatif awet, tidak cepat habis. Konsep mereka dalam menambah keuntungan dilakukan dengan cara menekan harga ("cost minimization") daripada menempuh cara neaperbesar total peneriaaan ("profit maximization"). Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa jika men an am padi varietas unggul yang usianya relatif pendek, yang berarti dapat menanam tiga kali dalam setahun, walaupun hasilnya akan lebih banyak (tiga kali panenan), tetapi biaya yang harus dikeluarkannya pun akan lebih banyak pula (tiga kali penggarapan). Oleh karena itu menurut logika penalaran mereka mengapa harus memilih menanam padi tiga kali setahun jika risikonya juga bertambah, sedangkan menanam pare gede walaupun

10

hanya dua kali dalam setahun, masih lebih menguntungkan dilihat dari aspek waktu maupun risiko kegagalan panen. Cara berpikir yang digunakan masyarakat Kampung Naga

sebagaimana dijelaskan tadi memperlihatkan adanya logika penalaran yang memperhitungkan untung-rugi (Cost-Benefit Analysis') berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dan berapa besar keuntungan yang akan diraih. Menanam padi yang berusia relatif pendek tiga kali dalam satu tahun menurut perhitungan mereka akan menelan ongkos tanam lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Keuntungan dari hasil panen tiga kali dalam satu tahun tidak lebih besar dari risiko yang harus mereka tanggung, baik risiko yang bersifat material, yakni biaya penggarapan; maupun risiko yang bersifat spiritual, yakni perasaan bersalah karena melanggar ketentuan adat. Sedangkan jika menanam "pare gede" yang berarti hanya lercocok tanam dua kali dalam satu tahun, menurut perhitungan mereka akan lebih menguntungkan, terutama dari segi kepuasan batin karena tidak melanggar ketentuan adat.

Adopsi inovasi rendah Dari uraian di atas, nampak bahwa rendahnya tingkat adopsi disebabkan oleh hal-hal berikut: (1) orientasi motivasional anggota

masyarakat sasaran masih didominasi oleh usaha memperbesar kepuasan; (2) standard normatif masih tetap dominan mengendalikan perilaku anggota masya-ikat sasaran (Parsons, dalam Johnson, 1986: 114); (3) keperluan nyata terhadap inovasi tidak tampak sebagai akiibat pola hidup yang bersahaja; (4) ciri-ciri inovasi alam pengamatan penerima tidak menampakan keuntungan

11

relatif, sehingga kurang menarik anggota masyarakat sasaran (Rogers & Shoemaker, 1987: 40); dan (5) peranan reference group sebagai penarik minat dan pemberi keyakinan, maupun sebagai sumber sikap bagi khalayak sasaran kurang menonjol (Rogers, 1958; Soewardi, 1972). Pentingnya peranan reference group dalam proses adopsi inovasi teknologi pernah ditemukan Herman Soewardi 1972) dan Frank Cancian (1984). Herman Soewardi dari hasil studinya di Jawa Barat, menemukan bahwa proses adopsi inovasi teknologi panca usaha berlangsung dari orang-orang yang memiliki karakteristik lapisan atas, yaitu mereka yang memiliki daya tepa selira, memiliki mot ivasi keberhasilan, dan memiliki motivasi untuk menguasai masa depan; akan tetapi secara visual menyerupai

orang-orang lapisan bawah yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah, dan bergaul akrab dengan mereka (tipe Adeng). Sebaliknya ada anggota masyarakat dari lapisan atas sebagai inovator yang cekatan terhadap

kesempatan-kesempatan yang ada, tekun bereksperimen dan memiliki berbagai jenis tanaman (tipe "Wapi"). "Wapi" dengan pertanamannya itu merupakan sumber "sikap" yang menunjang terhadap teknologi baru bagi orang-orang desa. Peranannya saling melengkapi dengan "Adeng" sebagai
penarik "minat" dan pemberi "keyakinan". Sejalan dengan Herman Soewardi, Frank Cancian (1984)

berdasarkan hasil studinya menjelaskan bahwa dalam proses pengambilan keputusan adopsi para petani menunjukan kecenderungan berikut. When an innovation is introduced to a community of farmers from outside, some farmers adopt it immediately, and some adopt it in later years. Later adopters usually use the experience of early adopters to inform their decision. Thus, uncertainty is greater for the earlier

12

adopters than it is for the later adopters. Risk remains fairly constant. This gives us a critical test in the form of two predictions. First, if uncertainty is meaningfully distinguished from risk, poor farmers should adopt more, relative to rich farmers, in the early stages of the spread of an innovation. Second, in later stages, the rich should be relatively faster adopters (dalam Barlet, 1984: 167-168). J ik a suatu inovasi diluncurkan dari luar kepada para petani, sebagian petani akan cepat mengadopsi (early tcopter}, sedangkan yang lainnya akan mengadopsi kemudian setelah mengetahui pengalaman yang dialami early

adopter. Pada fase pertama inovasi diluncurkan tatkala ketidakpastian relatif tinggi, para petani dengan tingkat social ekonomi rendah lebih berani

menanggung risiko untuk mengadopsi inovasi tersebut sebagai early adopter dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial ekonominya lebih tinggi. Akan tetapi dalam fase kedua tatkala ketidakpastian semakin menipis karena pengamalaman keberhasilan para early adopter, para petani dengan tingkat

sosial ekonomi lebih tinggi akan mengadopsi lebih cepat jika dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial ekonominya lebih rendah.

Pada masyarakat Kampung Naga, ketiga tipe "reference group" tersebut, baik tipe "Adeng", "Wapi", maupun "Cancian" tidak muncul. Hal ini bukan karena tidak ada figur yang menyerupai ketiga tipe tersebut. Tidak munculnya tipe-tipe "reference group" tersebut, berdasarkan pengamatan penulis disebabkan oleh dua hal: (1) keputusan adopsi selalu diambil secara kolektif tidak individual, (2) keputusan kolektif tersebut selalu mengacu dan didominasi oleh pemegang otoritas lingkungan pengaruh adat. Adanya kenyataan demikian maka jika keputusan adat nenolak kehadiran suatu inovasi, kecil kemungkinan di intara anggota masyarakat melakukan keputusan adopsi. Keputusan adopsi baru terjadi jika adat menerima

13

kehadiran inovasi tersebut. Contoh inovasi yang diterima melalui prosedur ini adalah televisi, kursi tamu, dan kaca/nako. Walaupun demikian, terdapat pola lain yang menyimpang dari prosedur tadi, misalnya diadopsinya

"petromak untuk menggantikan lampu temple. Inovasi ini secara diam-diam diadopsi oleh anggota masyarakat pengrajin anyaman yang biasa bekerja pada malam hari. Sekalipun tidak melalui keputusan kolektif, petromak yang secara riil memang mereka perlukan sangat cepat diadopsi. Para pemegang otoritas lingkungan pengaruh adat pun tidak dapat berbuat banyak, sehingga dengan sendirinya petromak terhapus dari katalog adat sebagai benda yang ditabukan. Jika menyimak proses adopsi yang terjadi pada nisyarakat

Kampung Naga sebagaimana diuraikan tadi, dapat dibedakan ke dalam pola adopsi dari atas (pola adat) dan pola adopsi dari bawah (pola umat). Jika menelusuri proses adopsi yang terjadi pada masa sebelumnya, kedua pola tersebut dapat dipandang sebagai pola umum. Melalui kedua pola inilah beberapa unsur inovasi teknologi masuk ke lingkungan masyarakat Kampung Naga. Dewasa ini masyarakat Kampung Naga sedang mengalami perubahan sebagai akibat dari diadopsinya beberapa unsur inovasi teknologi yang sebelumnya termasuk dalam katalog adat sebagai sesuatu yang ditabukan. Pada hakekatnya diadopsinya beberapa unsur inovasi teknologi

dimungkinkan oleh meningkatnya aspirasi dan melonggarnya konformitas pada nilai-nilai tabu. Temuan ini mempekuat proposisi teori Barikade yang dipergunakan sebagai "teoretical background" dalam tulisan ini yaitu adopsi inovasi akan terjadi ketika barikade itu menua dan melemah, dan akhirnya

14

mulai sedikit-demi sedikit tumbang atau barikade itu kehilangan semangat dan pegangan dan kemudian menyerah (Davis, 1987: 232; Suwarsono & So, 1991: 73-74). Di samping itu, senada juga dengan pemikiran bahwa kepribadian manusia adalah sebuah sistem yang terbuka ("open system"), sehingga tidak sepenuhnya dapat dikendalikan dari dalam ataupun dari luar. Betapa pun konsevatifnya lingkungan sosial bagi seseorang, namun ia sendiri tetap akan "menyimpang" dari imperatif-imperatif kultural yang telah disosialisasikan terhadapnya, karena ia pun hidup di dalam masyarakat yang juga merupakan sistem yang terbuka (Nimpoeno, 1992: 43). Walaupun demikian, segala bentuk perubahan yang terjadi selalu dikendalikan melalui mekanisrae kontrol sibernetika (Parsons dalam Johnson, 1986: 133). Subsistem budaya yang berupa seperangkat nilai kehidupan tradisional, termasuk segala bentuk tabu, dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Struktur kepribadian yang telah terinternalisasi dalam segala bentuk nilai tradisional tersebut rengontrol peran-peran individu dalam berperilaku sehari-hari. Pada akhirnya perilaku individu pun akan selalu diarahkan untuk mempertahankan pola-pola yang sudah baku dalam subsistem budaya. Inilah mekanisme kontrol sibernetika yang diterapkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem kehidupan pada masyarakat Kampung Naga dalam baying-bayang pengaruh nilai-nilai kontemporer. Proses yang sedang berlangsung pada masyarakat Kampung Naga pun mengikuti pola pemikiran tersebut di atas. Mereka pada saat ini tengah berada pada dua sisi pilihan yang satu sama lain harus dilewaati, yakni sisi tradisi dan perubahan. Di satu sisi mereka harus tetap mempertahankan

15

tradisi, di sisi yang lain tuntutan kehidupan menghendaki perubahan. Strategi untuk memadukan dua kepentingan tersebut dilakukan dengan mengubah beberapa bentuk nilai instrumental yang disesuaikan dengan tuntutan keh.idupan, dengan tetap mempertahankan nilai fundamentalnya. Upaya tersebut dimaksudkan agar dapat mencegah arus migrasi ke luar, terutama kalangan generasi muda, dan meredam konflik, baik konflik antar pribadi dan yang terpenting adalah konflik dalam batin masing-masing pribadi anggota masyarakat. Beberapa bentuk perubahan nilai tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kursi tamu dahulu termasuk dalam katalog adat sebagai benda yang ditabukan karena dipandang sebagai simbol kemewahan. Pada saat ini benda tersebut sudah dianggap "profan" yang dapat dimiliki oleh siapa saja asal mampu. Mengapa hal ini terjadi, tampaknya pada masyarakat Kampung Naga telah terjadi perubahan standard hidup, khususnya bagi ukuran kemewahan. Kursi tamu dewasa ini bukan lagi merupakan barang mewah, oleh karena itu tidak lagi tercantum dalam katalog adat sebagai benda yang ditabukan. 2) Bibit padi unggul yang usianya relatif pendek ("pare hawara") pun menurut pandangan anggota masyarakat Kampung Naga, dewasa ini boleh ditanam jika masyarakat menghendakinya, asal "pare gede" pun sebagai bibit padi warisan "karuhun" juga ditanam secara berdampingan. Praktek ini umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki lahan agak luas pada lokasi yang berbeda, pada sawah yang satu misalnya ditanam "pare gede" dan pada sawah yang lainnya ditanam "pare hawara". Peristiwa ini sebenarnya cukup logis, sebab dengan meningkatnya aspirasi, kebutuhan
16

mereka pun bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan sejumlah uang. Dengan menanam "pare hawara" bagi mereka ada peluang untuk mendapatkan sejumlah uang itu dengan jalan menjual hasil panen ke bandar. Adapun "pare gede" umumnya tidak diperjual-belikan, mereka mengkonsumsinya sendiri. Sayangnya, pandangan tersebut baru

diaktualisasikan oleh sebagian kecil saja dari mereka. 3) Demikian pula halnya televisi dan pesawat radio transistor dewasa ini sudah menjadi barang yang profan yang dapat dimiliki oleh siapa saja asal mampu untuk membelinya. Perubahan ini merupakan salah satu starategi yang dilakukan kalangan "sesepuh adat" untuk menghindari arus migrasi ke luar yang meningkat terus, terutama generasi muda. Sebagaimana dimaklumi bahwa adat mereka memberi peluang seluas-luasnya bagi yang ingin menikmati kehidupan yang lebih baik asal di luar lingkungan Kampung Naga. Peluang adat ini memang dimanfaatkan terutama oleh pasangan muda yang melakukan migrasi ke luar. Akan tetapi akhirnya timbul masalah karena dengan adanya migrasi ke luar yang demikian banyak dari tahun ke tahun penduduk Kampung Naga terus berkurang. Untuk menanggulangi hal itu, demikian juga untuk menghindari terjadinya konflik batin pada golongan masyarakat yang telah meningkat aspirasinya, ditempuhlah kebijakan untuk mengadopsi televisi dan radio sebagai salah satu sarana hiburan yang diharapkan dapat mengerem arus migrasi ke luar.
Demikianlah gambaran masyarakat Kampung Naga, dan umumnya seluruh "Seuweu-siwi Naga" yang tengah menjalani proses perubahan. Sekalipun disadari bahwa dengan diadopsinya inovasi teknologi akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana bagi khidupan masyarakat

17

Kampung Naga, termasuk kemungkinan menimbulkan dampak negatif, akan tetapi teknologi walau bagaimana pun sangat penting kehadirannya sebagai pendorong perubahan. Lauer (1989: 220) menjelaskan bahwa mengapa teknologi dipandang sebagai mekanisme perubahan sosial, terutama bagaimana cara teknologi mendorong perubahan. Pertama. teknologi meningkatkan alternative kita. Teknologi baru membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai kedalam alam kemungkinan. Teknologi dapat nengubah kesukaran relatif dan memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Jadi dengan inovasi teknologi berarti masyarakat berhadapan dengan sejumlah besar alternatif dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai perubahan besar di berbagai bidang. Kedua. teknologi mengubah pola-pola interaksi. Segera setelah teknologi diterima, mungkin akan terjadi pergeseran penting tertentu dalam pola interaksii, pergeseran yang dituntut oleh teknologi itu sendiri. Ketiga. mengapa teknologi mempengaruhi perubahan, terletak dalam kecenderungan perkembangan teknologi menimbulkan nasalah sosial baru. Adanya masalah ini menimbulkan semacam tanggapan yang dapat mengakibatkan berbagai perubahan untuk menyelesaikannya.

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. memperoleh gelar S1 (Drs) pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia 1987; jenjang S2 (M.Si) diraihnya pada 1994 di Universitas Padjadjaran dalam Kajian Utama Sosiologi dan Antropologi; gelar doctor (Dr) diraihnya pada 2001 pada universiytas yang sama dalam bidang ilmu socsal. Sejak 2007 sampai sekarang menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung Indonesia. Untuk keperluan akademik dapat dihubngi pada budimansyah@upi.edu.

18

Daftar Rujukan Budimansyah, D. (1994) Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi, Suatu Kajian Tentang Tradisi dan Perubahan Pada Masyarakat dan Migran Asal kampong Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tesis yang tidak diterbitkan, Bandung: Universitas Padjajaran.

19

You might also like