You are on page 1of 20

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR ( I.

Menghitung Curah Hujan )

Oleh :

Kelompok Hari,Tgl Praktikum Nama dan NPM

: 6 (Shift B2) : Kamis, 08 Maret 2012 : 1. Farid Baraba 2. Rita Lala Marina 3. Evie Yulia Rachman 4. Rocky Napitupulu 5. M. Yafie Z.A 6. Dirta Gemasih (240110097004) (240110097009) (240110097010) (240110090111) (240110090131) (240110090133)

Asisten

: Gandheswari Pujarani

LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam siklus hidrologi dikenal berbagai istilah mengenai pergerakan siklus air, salah satunya adalah presipitasi. Presipitasi bisa berbentuk air, salju, atau es tergantuk dari iklim wilayah tersebut. Wilayah indonesia sendiri yang beriklim tropis presipitasinya berupa air atau yang biasa disebut hujan. Hujan merupakan suatu kejadian alam yang sering terjadi di daerah yang mempunyai iklim tropis seperti Indonesia. Hujan meempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia dapat bermanfaat dan dapat juga merugikan. Hujan dapat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dan makhluk hidup lainya dan dapat dijadikan pengisi air tanah. Sedangkan hujan dapat juga merugikan karena dapat menyebebkan erosi pada tanah Jumlah air hujan yang turun pada setiap tempat berbeda-beda, jumlah air hujan yang turun pada kurun waktu tertentu disebut curah hujan. Perhitungan curah hujan sangat dibutuhkan untuk perencanaan kebutuhan air tanaman, pembanguanan jembatan, irigasi dan drainase. Oleh karena perbedaan jumlah air hujan yang turun pada tiap tempat berbeda maka pengukuran curah hujan perlu dilakukan ditiap wilayah. Karena sangat pentingnya melakukan perhitungan curah hujan, oleh karena itu praktikan perlu melakukan praktikum mengenai perhitungan curah hujan dengan menggunakan alat pengukur curah hujan manual dan otomatis agar dapat membandingkan antara kedua alat tersebut.

1.2 Tujuan Percobaan 1. Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran curah hujan dengan menggunakan alat pengukur curah hujan manual (rain gage manual). 2. Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran jumlah hujan, intensitas hujan, serta intensitas hujan 30 menit menggunakan data curah hujan yang terjadi selama satu periode. 3. Mahasiswa dapat memahami hubungan curah hujan dengan erosi (energi kinetik) dalam kaitannya dengan bidang pengawetan tanah.

1.3 Metodologi Pengamatan dan Pengukuran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah selama periode tertentu diukur dalam satuan tinggi di atas permukaan horizontal apabila tidak terjadi penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan. Di atas permukaan tanah yang benar-benar datar, air yang jatuh dari satu peristiwa dianggap sama tinggi. Volume air hujan pada luas permukaan tertentu dengan mudah dapat dihitung bila tingginya dapat diketahui. Dengan demikian, maka langkah terpenting dalam pengukuran curah hujan ditujukan kearah pegukuran tinggi yang representatif dari air hujan yang jatuh selama jangka waktu tertentu. Tujuan dari pengukuran curah hujan adalah untuk mendapatkan informasi jatuhnya curah hujan diseluruh daerah yang diukur secara sampling.

2.2 Mekanisme Hujan Proses terjadinya hujan (presipitasi) diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ketempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ketempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ketempat yang lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan. Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa cara, antara lain oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu yang berbeda atau oleh sentuhan antara massa udara dengan obyek atau benda dingin. Secara ringkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor

utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian sebagai berikut : 1. Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadinya kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer. 3. Pertikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi.

2.3 Parameter-Parameter Curah Hujan Dalam pengukuran curah hujan, komponen-komponen curah hujan yang di ukur adalah jumlah hujan, intensitas hujan, durasi/lamanya kejadian hujan, dan distribusi hujan. Nurpilihan (2000) juga berpendapat bahwa parameter-parameter hujan dapat dibagi menjadi: (i) jumlah hujan; (ii) intensitas hujan; (iii) durasi/lamanya kejadian hujan); dan (iv) distribusi hujan. 1. Jumlah Hujan Jumlah hujan merupakan penjumlahan sejumlah presipitasi cairan dan cairan yang ekuivalen dengan presipitasi padat atau banyaknya hujan yang jatuh ke permukaan tanah atau tertampung pada tanaman terutama daun dengan satuan mm/cm per hari (24 jam). Jumlah curah hujan tersebut

menunjukan banyaknya air hujan selama terjadi hujan, selama saru hari, satu minggu, satu bulan atau satu tahun. Data jumlah hujan ini dapat diperoleh dari stasiun cuaca yang menggunakan alat penakar hujan manual atau alat penakar hujan otomatis (automatic rain gauge). Data jumlah hujan ini diukur setiap hari bila ada kejadian hujan, baik menggunakan penakar hujan manual maupun dengan penakar hujan otomasi. Bila kita ingin memperoleh data jumlah hujan selama satu minggu, satu bulan , satu musim tanam atau satu tahun kalender maka cukup menjumlahkan secara kumulatif jumlah curah hujan harian. 2. Intensitas Hujan Intensitas curah hujan menunjukan banyaknya curah hujan persatuan waktu (mm/jam atau cm/jam). Sedangkan menurut Joesron Loebis (1992),

intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan

dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Besarnya intensitas curah hujan sangat diperlukan dalam perhitungan debit banjir rencana berdasar metode Rasional. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas (Sudjarwadi 1987). Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit. Intensitas hujan dapat diklasifikasikan sesuai dengan tabel di bawah ini, berdasarkan Kohnke dan Bertrand : Intensitas Hujan (mm/jam) Kurang dari 6,25 6,25 -12.50 12,50 50,00 Lebih dari 50,00 Rendah (gerimis) Sedang Lebat Sangat lebat Klasifikasi

Klasifikasi intensitas hujan juga dapat di klasifikasikan dengan cara sebagai berikut :

Intensitas Hujan (mm/jam) 05 5 10 11 25 26 50 51 75 Lebih dari 75

Klasifikasi

Sangat rendah Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat tinggi

3.

Durasi/Lamanya Hujan Durasi hujan atau lamanya hujan adalah lamanya hujan yang terjadi pada satu hari (24 jam) atau satu minggu, satu musim tanaman ataupun satu tahun kalender. Durasi hujan ini dihitung secara kumulatif; misalnya untuk menghitung lamanya hujan satu hari satu malam kita harus menjumlahkan lamanya waktu hujan pada hari yang akan dihitung. Sebagai contoh hujan yang jatuh tanggal 11 Februari 2011 adalah 2 jam 31 menit; atau kejadian hujan selama satu minggu dari tanggal 1 sampai tanggal 7 Februari 2011 hanya 2 hari hujan dan seterusnya; atau kita ingin mengetahui durasi hujan selama satu tahun kalender maka cukup menjumlahkan hari-hari kejadian hujan selama satu tahun, misalnya pada tahun 201 hari hujan di Jawa Barat hanya 201 hari. Khusus untuk lamanya hujan per hari tidak dapat dihitung dengan menggunakan alat penakar hujan secara manual, haruslah

menggunakan alat penakar hujan secara otomatis. 4. Distribusi Hujan Distribusi hujan dapat diartikan sebagai penyebaran hujan atau menunjukan penyebab penyebaran air hujan pada saat terjadinya hujan, biasanya penyebaran hujan ini sering tidak merata. Sebagai contoh adalah di suatu areal pertanian terjadi hujan, namun pada areal pertanian yang bersebelahan pada waktu yang bersamaan tidak terjadi hujan. Keadaan ini menunjukkan bahwa distribusi hujan tidak merata di daerah tersebut, distribusi hujan sangat nyata terlihat misalnya antara wilayah daerah Timur Indonesia dengan wilayah Barat Indonesia.

2.4 Faktor Pengaruh Curah Hujan Faktor yang mempengaruhi curah hujan, yaitu : 1. Bentuk medan/topografi 2. Arah lereng medan 3. Angin yang sejajar dengan garis pantai 4. Jarak perjalanan angin di atas medan datar

2.5 Jenis Jenis Alat Pengukur Hujan Alat pengukur curah hujan secara umum dinamakan penakar hujan. Berdasarkan mekanismenya penakar hujan dapat dibagi menjadi dua jenis/tipe, yaitu : 1. Penakar hujan tipe kolektor (rain gage manual) Penakar tipe ini hanya dapat menunjukkan tingi curah hujan yang terkumpul selama satu periode tanpa diketahui perkembangan yang terjadi selama peristiwa hujan. Cara kerja rain gage manual adalah dengan meletakkan rain gage tersebut pada tempat yang ingin diketahui curah hujannya. Tetapi penempatan alat ini sebaiknya pada daerah dengan vegetasi yang tidak tinggi atau pada daerah lapang. Dengan menempatkan rain gage pada daerah lapang, diharapkan air hujan yang masuk kedalam rain gage benar-benar sesuai dengan intensitas hujan yang sebenarnya. Di khawatirkan bila rain gage diletakkan pada daerah pepohanan atau padat vegetasi, air hujan yang masuk atau tertampung pada rain gage bukan lagi intensitas sebenarnya tetapi telah berasal dari kanopi pepohonan yang berada di sekitar rain gage tersebut. Setelah kita mendapatkan tempat paling strategis untuk meletakkan rain gage manual tersebut, kita tinggal menunggu hujan datang. Setelah hujan datang dan telah selesai menumpahkan seluruh airnya, selanjutnya yang kita lakukan adalah mengukur volume air yang tertampung dalam rain gage manual tersebut (ml). Setelah itu kita tinggal mengkonversi satuannya menjadi dalam cm3. Dengan terlebih dahulu mengetahui diameter bibir rain gage untuk menampung hujan tersebut, kita dapat mengetahui berapa luas daerah penampungan pada rain gage tersebut. Luasan ini selanjutnya digunakan untuk menghitung tinggi muka air hujan tersebut dengan membagi volume air tersebut terhadap luas penampangnya. Untuk lebih jelasnya prinsip kerja rain gage manual (obrometer) adalah : 1. Menggunakan prinsip pembagian antara volume air hujan yang ditampung dibagi luas penampang/mulut penakar. 2. Meletakkan ombrometer di ketinggian 120 -150 cm. 3. Menghitung luas mulut penakar. 4. Menghitung volume air hujan yang tertampung.

5. Akhirnya didapatkan CH =

Gambar 1. Alat pengukur hujan manual (rain gage manual)

2. Penakar hujan berperekam data otomatis (recording rain gage) Penakar jenis ini dapat mengetahui jumlah curah hujan maupun perkembangan yang terjadi selama periode hujan dari grafik atau angka catatannya. Alat pengukur hujan jenis ini salah satunya adalah tipping bucket rain gage. Sesuai dengan fungsinya diatas, alat ini dikategorikan menjadi penampung bagian atar terdiri dari tabung dan corong. Penampung bagian bawah dilengkapi dengan penampung bergerak (tipping bucket), bentuknya simetris, dapat bergerak pada sumbu simetrisnya, dapat bergerak pada sumbu horizon. Apabila sebelah pihak terisi penuh, maka titik berat berubah, bucket bergerak, air tumpah membawa pihak yang satunya kepada posisi dibawah corong, dan seterusnya. Prinsip kerja : Wadah yang terbuat dari tembaga ringan atau ember terbagi dalam dua bagian yang berupa corong besar dan corong kecil yang diseimbangkan dalam keadaan tidak stabil secara horizontal. Ketika hujan turun dalam jumlah cukup banyak (lebih dari 200 mm) menyebabkan penopang tidak stabil karena bertambah berat sehingga air akan tumpah kedalam. Pada waktu ember terguling penahan ember ikut bergerak naik turun. Penahan ember mempunyai dua buah tangkai yang berhubungan dengan roda bergigi. Gerakan naik turun penahan ember menyebabkan kedua

tangkainya bergerak pula dan dengan bentuknya yang khusus dapat memutar roda bergigi berlawanan dengan arah perputaran jarum jam. Perputaran roda gigi diteruskan keroda berbentuk jantung. Roda yang berbentuk jantung mempunyai sebuah per yang menghubungkan kedua pengatur kedudukan pena yang letak ujungnya selalu bersinggungan dengan tepi roda. Perputaran roda berbentuk jantung akan menyebabkan kedudukan pena bergerak sepanjang tepi roda. Perubahan kedudukan ini diteruskan kepena yang bergerak pada pias, sehingga dapat menghasilkan

pencatatan. Dengan demikian, jumlah curah hujan yang jatuh dapat dinyatakan dengan jumlah gulingan ember atau jumlah yang tercatat pada pias.

Gambar 2. Penakar hujan otomatis (Tipping bucket rain gage)

2.6 Klasifikasi Hujan Berdasarkan ukuran butiran 1. Hujan gerimis/drizzle, diameter butirannya kurang dari 0.5 mm. 2. Hujan salju/snow, terdiri dari kristal-kristal es yang temperatur udaranya berada di bawah titik beku. 3. Hujan batu es, Merupakan curahan batu es yang turun di dalam cuaca panas dari awan yang temperaturnya di bawah titik beku. 4. Hujan deras, yaitu curahan air yang turun awan yang temperaturnya di atas titik beku. Diameter butirannya kurang lebih 7 m.

Berdasarkan proses terjadinya 1. Hujan konvektif (convectional storms), tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara di atas permukaan tanah tersebut. Tipe hujan konvektif ini biasanya dicirikan dengan intensitas yang tinggi, berlangsung relatif cepat dan mencakup wilayah yang tidak terlalu luas. Tipe hujan inilah yang sering kali digunakan untuk membedakan dari tipe huyjan yang sering dijumpai di daerah beriklim sedang (tipe hujan frontal) dengan intensitas hujan lebih rendah. 2. Hujan frontal (frontal/cyclonic storms), tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Tripe hujan yang dihasilkan adalah hujan yang tidak terlalu lebat dan berlangsung dalam waktu lebih lama (hujan dengan intensitas rendah). Hujan badai dan hujan monsun (monsoon) adalah tipe hujan frontal yang lazim dijumpai. 3. Hujan orografik (orographic storms), jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan, yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Besarnya intensitas hujan orografik cenderung menjadi lebih besar dengan meningkatnya ketebalan lapisan udara lembab di atmosfer yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi. Tipe hujan ini dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai karena berlangsung di daerah hulu DAS.

2.7 Erosivitas Hujan (Energi Kinetik hujan) Erosivitas Hujan adalah besarnya tenaga kinetik hujan yang menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ketempat yang lebih redah. Erosivitas hujan sebagian besar terjadi karena pengaruh jatuhan butir-butir hujan langsung diatas tanah dan sebagian lagi karena aliran air diatas permukaan tanah. Faktor erosivitas hujan merupakan hasil perkalian antara energi kinetik (E) dari suatu kejadian hujan maksimum 30 menit (I30). Nilai intensitas hujan 30

diperlukan untuk menjelasakan tingkat erosivitas hujan tersebut, dimana apabila nilai I30 tinggi, maka kemungkinan terjadinya erosi akan lebih tinggi, demikian juga sebaliknya apabila nilai I30 nya rendah maka kemungkinan terjadinya erosi akan lebih kecil. Energi kinetik curah hujan itu sendiri mempengaruhi erosi walaupun demikian, korelasi yang lebih erat dengan erosi didapat dengan menggunakan term interaksi term interaksi energi-intensitas hujan (Wischmeier dan smith,

1958). Energi kinetik hujan didapatkan dari persamaan (Wischmeier dan smith, 1958 dan 1978) : e = 210 + 89 log i

yang bermakna E adalah energi kinetik dalam metrik ton meter per hektar per sentimeter hujan dan i adalah intensitas hujan dalam sentimeter per jam. Term interaksi energi dengan intensitas maksimum 30 menit di dapat dari hubungan :

EI30 =

BAB III HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Percobaan A. Menghitung Kedalaman Curah Hujan (Rain Gage Manual) Diketahui : Diameter corong dari rain gage manual = 11.3 cm

Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Kedalaman Curah Hujan


Parameter Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3 Volume (mm3) 360 x 103 355 x 103 350 x 10
3

Kedalaman Curah Hujan (mm) 35.896 35.397 34.899

Cara perhitungannya :

B. Menghitung EI 30 dari Tabel Curah Hujan (Recording Rain Gage) Tabel 2. Data Hasil Perhitungan EI 30
Jumlah Jumlah curah hujan (cm) Kejadian hujan kejadian hujan setiap kejadian (cm) A-B B-C C-E 0.56 E-F F-G G-H H-I 0.04 0.08 0.20 0.12 0.04 0.04 0.04 230 12 50 15 7 42 18 0.01 0.40 0.24 0.48 0.34 0.06 0.13 0.4 32 174.58 154.84 181.63 168.30 101.25 131.14 1.28 13.96 30.97 21.79 6.73 4.05 5.24 84.02 0.336 Lama kejadian (menit) E (tonm/ha/cm) Ext (tonm/ha) E total Tonm/ha

I (cm/jam)

I 30 (cm/jam)

EI 30

Contoh Perhitungan Pada kejadian hujan A-B Intensitas curah hujan (I) I = (jumlah hujan/lama kejadian ) x 60 = (0.04 cm/230 menit) x 60 = 0.01 cm/jam

Energi kinetik hujan E = 210 + 89 log I = 210 + 89 log (0.01) = 32 ton-m/ha/cm E x t = 32 (ton-m/ha/cm) x 0.04 cm = 1.28 ton-m/ha E Total = E Total = 1.28 + 13.96 + 30.97 + 21.79 + 6.73 + 4.05 + 5.24 E Total = 84.02 ton-m/ha

3.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini kami melakukan pengukuran curah hujan dengan dua metode yang berbeda, yaitu metode manual dan metode otomatis. Pada metode manual kami melakukan pengukuran dengan menggunakan alat rain gage manual. Dimana alat tersebut berfungsi untuk mengumpulkan hujan yang terjadi di suatu daerah. Alat tersebut memiliki penampang pengumpul curah hujan berbentuk corong, dengan maksud hujan yang jatuh atau terkumpul tidak terpecah dan mudah terkumpul. Air hujan yang telah terkumpul tersebut kemudian diukur volumenya dengan menggunakan gelas ukur. Dari tiga kali pengukuran kami mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Hasil yang berbeda-beda tersebut disebabkan karena intensitas hujan tiap waktu tidak selalu sama. Setelah mendapatkan volume, kemudian kita dapat menghitung besarnya kedalaman curah hujan. Besarnya kedalaman curah hujan (d) yang didapat selama tiga kali pengukuran memberikan hasil yang berbeda pula, besarnya kedalaman curah hujan akan semakin besar dengan meningkatnya volume, begitu juga sebaliknya (dapat dilihat pada tabel 1). Dalam hal ini besarnya kedalaman curah hujan berbanding lurus dengan besarnya volume. Metode kedua yaitu dengan metode otomatis dengan menggunakan alat yang disebut recording rain gage, dimana kita mendapatkan data dari grafik atau tabel curah hujan yang sudah disediakan, dari grafik tersebut kami dapat menentukan jumlah curah hujan setiap kejadian hujan dan lamanya kejadian hujan. Setelah kami mendapatkan data jumlah curah hujan dan lamanya hujan kemudian kami dapat menghitung intensitas hujan (I) dengan cara jumlah curah hujan dibagi lamanya hujan. Berdasarkan hasil perhitungan intensitas hujan menggunakan grafik atau tabel curah hujan didapat besarnya intensitas hujan (I) antara 0.01 0.48 cm/jam atau 0.1 4.8 mm/jam. Berdasarkan Kohnke dan

Bertrand, intensitas hujan ini termasuk intensitas hujan sangat rendah karena berada pada rentang 0 5 mm/jam. Untuk menghitung intensitas (I) pada menit ke 30, dilakukan dengan cara mengamati grafik yang menunjukan jumlah hujan terbanyak lalu tentukan jumlah hujan pada menit ke 30. Setelah intensitas hujan diketahui maka kita menghitung besarnya energi kinetik hujan (E) dengan menggunakan rumus E = 210 + 89 log I. Untuk nilai energi kinetik yang dihasilkan dari mengolah data pada recording rain gage, kami tidak tahu persis apakah nilai energi kinetik hasil perhitungan tersebut merupakan nilai kinetik saat air hujan membentur recording rain gage atau nilai tersebut merupakan nilai energi kinetik saat air hujan menghantam permukaan tanah. Kalaupun ternyata nilai yang didapat dari perhitungan tersebut adalah nilai energi kinetik saat air hujan membentur recording rain gage, kami yakin bahwa harga energi kinetik tersebut tidak akan jauh berbeda dibandingkan energi kinetik pada saat air membentur permukaan tanah. Ini berarti data energi kinetik tersebut dapat juga digunakan untuk menentukan berapa banyak tanah yang tererosi akibat percikan air hujan tersebut yang sering disebut dengan erosi percik. Dari sini juga kita dapat menyimpulkan bahwa semakin besar intensitas atau curah hujan maka semakin besar pula energi kinetik dari hujan tersebut, sehingga kemungkinan atau banyaknya tanah yang tererosi juga akan semakin banyak, apalagi bila tidak ada vegetasi yang menutupi tanah tersebut. Untuk menghitung jumlah/tingginya curah hujan kita hanya menjumlahkan seluruh kejadian hujan setiap kejadian dan pada praktikum kali ini didapat tinggi curah hujan sebesar 0.56 cm. Dari kedua cara pengukuran diatas, kita tidak mendapatkan parameter yang sama. Bila pada rain gage manual, kita mendapatkan parameter tinggi air hujan dan volumenya tanpa mengetahui parameter waktu dari hujan tersebut. Sedangkan pada recording rain gage, kita memperoleh data yang lebih banyak, karena pada recording rain gage data curah hujan yang dihasilkan memiliki satuan waktu sehingga kita dapat menentukan curah hujan maksimum pada suatu waktu tertentu. Sebenarnya kedua metode tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Pada rain gage manual, kita tidak memerlukan peralatan atau komponen yang canggih, ini karena sistem pengukuran pada rain gage manual

yang sederhana. Sedangkan pada recorder rain gage kita memerlukan peralatan yang lebih komplek tatapi dengan keuntungan dimana data output dari alat tersebut jadi lebih lengkap. Jadi untuk menghitung besarnya curah hujan, kita tinggal menentukan metode mana yang paling cocok dan mungkin untuk dilakukan, selain tentunya tujuan dari penghitungan curah hujan itu sendiri yang juga mempengaruhi metode yang akan kita gunakan.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mengenai Menghitung Curah Hujan ini adalah sebagai berikut : Besarnya kedalaman curah hujan akan semakin besar dengan meningkatnya volume, begitu juga sebaliknya. Bentuk penampang penangkap/corong akan mempengaruhi volume hujan yang tertampung. Intensitas hujan berdasarkan hasil praktikum termaksuk klasifikasi intensitas hujan sangat rendah karena berada pada rentang 0-5 mm/jam. Semakin besar intensitas atau curah hujan maka semakin besar pula energi kinetik (E) dari hujan tersebut, sehingga kemungkinan atau banyaknya tanah yang tererosi juga akan semakin banyak. Nilai intensitas hujan 30 diperlukan untuk menjelasakan tingkat erosivitas hujan tersebut, dimana apabila nilai I-30 tinggi maka kemungkinan terjadinya erosi akan lebih tinggi, demikian juga sebaliknya. Keuntungan dari rain gage manual yaitu kita tidak memerlukan peralatan atau komponen yang canggih, ini karena sistem pengukuran pada rain gage manual yang sederhana, sedangkan pada recorder rain gage kita memperoleh data yang lebih banyak/lengkap.

4.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut : Praktikan harus cermat dalam menjalankan prosedur praktikum yang ada, teliti dalam pencatatan data, dan lebih memahami mengenai teori tentang pengukuran dan perhitungan curah hujan. Sebaiknya peralatan praktikum (rain gage manual) ditambah agar waktu dan pelaksanaan praktikum bisa lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

Handout Perkuliahan Hidrologi 2003. Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian, UNPAD, Bandung.

Anonim. 2009. Alat Ukur Curah Hujan. http://cocio.co.cc/?p=157. (diakses pada tanggal 11 Maret 2012 pukul 15.00 WIB).

http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high &fname=/jiunkpe/s1/elkt/2006/jiunkpe-ns-s1-2006-23402076-3796curah_hujan-chapter1.pdf (diakses pada tanggal 11 Maret pukul 15.00 WIB).

http://www.wordpres.com/doc/25485637/erosivitas-hujan/ (diakses pada tanggal 11 Maret pukul 15.00 WIB).

Veetha

Adirani.

2009.

Klasifikasi

dan

Jenis-Jenis

Curah

Hujan.

http://veethaadirani.blogspot.com/2009/01/klasifikasi-dan-jenis-jenis-curahhujan.html. (diakses pada tanggal 11 Maret 2012 pukul 15.00 WIB).

LAMPIRAN

Gambar 3. Pengukuran curah hujan dengan rain gage manual

Gambar 4. Grafik pengukuran curah hujan secara otomatis (recording rain gage)

You might also like