You are on page 1of 15

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMA/MA Ditulis oleh Aning Wulandari PENDAHULUAN Pengembangan kualitas sumber daya

manusia untuk menghadapi persaingan global ditandai oleh semakin pentingnya peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segenap aspek kehidupan manusia. Akibatnya, peningkatan kualitas bidang pendidikan, khususnya yang berorientasi pada penguasaan dan pemanfaatan IPTEK menjadi sangat penting. Akan tetapi, kualitas pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan (http://mii.fmipa.ugm.ac.id). Hal ini dibuktikan dengan data dari UNESCO (2000) tentang peringat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Lebih lanjut dikatakan bahwa, data Balitbang (2003) menunjukkan bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Programs (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Programs (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Rendahnya prestasi belajar matematika merupakan salah satu permasalahan dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan matematika dari tahun ke tahun sejak 1975 sampai sekarang terkesan tidak meningkat, apalagi kalau dibandingkan dengan perkembangan negara-negara lain (Marpaung, 2008). Dari beberapa kali Ujian Nasional, matematika disebut sebagai penyebab utama kegagalan siswa. Pembelajaran matematika pada umumnya masih didominasi oleh paradigma pembelajaran terpusat pada guru, yang sering disebut sebagai pembelajaran langsung (direct teaching). Guru aktif mentransfer pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa menerima pelajaran dengan pasif. Matematika diajarkan sebagai bentuk yang sudah jadi, bukan sebagai proses. Akibatnya, ide-ide kreatif siswa tidak dapat berkembang, kurang melatih daya nalar dan tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Siswa hanya mampu mengingat dan menghafal rumus atau konsep matematika tanpa memahami maknanya. Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang membosankan, menyeramkan bahkan menakutkan, sehingga motivasi belajar matematika siswa rendah dan banyak siswa berusaha menghindari pelajaran matematika. Banyak siswa merasa kesulitan dalam memahami matematika karena matematika bersifat abstrak, sementara alam pikiran kita terbiasa berpikir tentang obyek-obyek yang konkret. Guru tidak terbiasa menggunakan metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan membuat siswa dapat mengaitkan matematika dengan kehidupan nyata, metode pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, pendekatan konstruktivisme, pembelajaran berbasis masalah, dan sebagainya. Guru terbiasa menggunakan model pembelajaran mekanistik dan strukturalistik, yaitu guru Kamis, 18 Maret 2010 09:58

menerangkan, memberi rumus dan contoh, kemudian siswa diberi soal untuk dikerjakan. Akibatnya banyak siswa yang masih mengalami kesulitan belajar matematika. PENDEKATAN KONTEKSTUAL Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) disingkat menjadi CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka (Syaiful Sagala, 2008: 87). CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Wina Sanjaya, 2008: 255) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CTL adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan) kejadian pada dunia nyata kemudian diangkat ke dalam konsep matematika yang dibahas. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: (1) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, (8) menggunaan penilaian autentik (Johnson, E. B., 2009: 67). Menurut Nurhadi (2003) dalam Syaiful Sagala (2008: 88), Pendekatan Konstekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflecting), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Konstruktivisme merupakan landasan filosofis dari CTL, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui suatu proses. Dalam pandangan ini strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Menemukan adalah proses penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat dan muncul kepuasan tersendiri bagi siswa dibandingkan dengan melalui diwariskan. Dalam pengertian menemukan sebagai inquiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Dengan inquiri, siswa dalam kelas dapat belajar untuk berbicara dan bersikap secara matematika, sebagaimana yang ditulis Richard (1991) dalam Goos, Merrilyn (2004): by inquiry mathematics, student learn to speak and act mathematically by participating in mathematical discussion and solving new or unfamiliar problem.

Bertanya merupakan jiwa dalam pembelajaran. Bertanya adalah cerminan dalam kondisi berpikir. Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya.kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Dengan bertanya, siswa membuat keterkaitan antara materi yang dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Seperti yang ditulis Pape, J. Stephen (2004), the more successful students provided evidence that they translate and organized the given information by rewriting it on paper and they used the context to support their solutions. Konsep masyarakat belajar (learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa. Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya. Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasilitasi suatu model tentang bagaimana cara belajar baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri. Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Penilaian sebenarnya memandang bahwa kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Memang, selama ini format tes matematika cenderung menekankan pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Pembelajaran dengan sistem CTL akan membuat siswa : (1) menjadi siswa yang dapat mengatur diri sendiri dan aktif, (2) membangun keterkaitan antara sekolah dengan konteks kehidupan nyata, (3) melakukan pekerjaan yang berarti, (4) menggunakan pemikiran tingkat tinggi yang kreatif dan kritis, (5) bekerja sama, (6) mengembangkan sikap individu, (7) mengenali dan mencapai standar tinggi. Pengertian belajar dalam konteks CTL meliputi beberapa hal (Wina Sanjaya, 2008 : 260): a) Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. b) Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki, akan berpengaruh terhadap pola perilaku manusia. c) Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan

berkembang secara utuh, baik intelektual, mental maupun emosi. d) Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju ke kompleks. e) Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (real world learning). PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering berhadapan dengan masalah, maka memecahkan masalah merupakan aktivitas sehari-hari bagi manusia. Oleh karenanya, salah satu indikator tercapainya tujuan pembelajaran di sekolah adalah jika siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pemecahan masalah merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, siswa harus dilatih menyelesaikan masalah. Dalam menyelesaikan masalah, siswa perlu memahami proses penyelesaian masalah dan trampil dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan ketrampilan yang telah dimiliki sebelumnya (Herman Hudoyo, 1988: 113). Conney (1975) dalam Herman Hudoyo (1988: 113) menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah kepada peserta didik memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitik di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Untuk menyelesaikan masalah, seseorang harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakannya dalam situasi baru. Kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari diperoleh melalui kemampuan menyelesaikan soal cerita. Penyelesaian soal cerita dimaksudkan agar siswa tidak hanya mampu mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga sebagai sarana untuk mendorong munculnya sikap positif siswa akan kebermaknaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika diawali dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika SMA/MA dapat diterapkan pada materi Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat (SPLK). Materi SPLK ini diberikan pada siswa kelas X (sepuluh) SMA/MA. Dalam pembelajaran SPLK, guru dapat menerapkan pendekatan kontekstual dengan cara mengawali pembelajaran dengan memberikan soal cerita yang berkaitan dengan SPLK. Dengan membuat keterkaitan antara materi SPLK dengan masalah kehidupan sehari-hari, maka siswa akan merasakan kebermanfaatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dapat membantu siswa membangun sendiri pemahamannya, sehingga materi yang dipelajari tidak mudah hilang (tidak cepat lupa). Berikut ini adalah contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika SMA/MA:

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Mata Pelajaran : MATEMATIKA X/1 1 2 x 45 Menit : Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan pertidaksamaan satu variabel : 3.1 Menyelesaikan sistem persamaan linear dan sistem persamaan campuran linear dan kuadrat dalam dua variabel :

Kelas / Semester : Pertemuan Ke Alokasi Waktu : :

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Indikator

Menentukan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel dengan : 1. Metode grafik 2. Metode substitusi 3. Metode eleminasi 4. Metode gabungan substitusi dan eleminasi.

I.

Tujuan Pembelajaran Siswa dapat menentukan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel dengan :

1. Metode grafik 2. Metode substitusi 3. Metode eleminasi 4. Metode gabungan substitusi dan eleminasi II. Bahan / Materi Ajar Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

III. Metode Pembelajaran Ceramah dengan pendekatan kontekstual

IV. Langkah-langkah Pembelajaran :

a. Kegiatan awal : 1. Apersepsi : Guru mengingatkan kembali tentang materi persamaan linear dua variabel, persamaan kuadrat, dan persamaan garis lurus. Motivasi : Guru menjelaskan arti penting SPLDV dalam penyelesaian permasalahan kehidupan sehari-hari, misalnya dalam menentukan harga barang, menentukan ukuran panjang atau lebar suatu bidang berbentuk persegi atau persegi panjang. Menjelaskan tujuan pembelajaran yaitu menentukan penyelesaian soal-soal cerita yang berkaitan dengan SPLDV.

2.

3.

b. Kegiatan Inti : 4. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok (tiap kelompok terdiri dari 5-6 anak) 5. Guru memberikan sebuah permasalahan matematika: Diketahui harga 2 buku tulis dan 3 bolpoin adalah Rp 5.200,00, sedangkan harga 4 buku tulis dan dua bolpoin adalah Rp 6.800,00. Tentukan harga sebuah buku tulis dan harga sebuah bolpoin! 6. Guru membimbing siswa membuat kalimat matematika dari soal cerita tersebut, yaitu: Misal : buku tulis = x dan bolpoin = y, maka diperoleh dua persamaan sebagai berikut:

2x+3y=5.2004x+2y=6.800
Kedua persamaan tersebut disebut sistem persamaan linear dengan dua variable (SPLDV) 7. Guru menjelaskan kepada siswa bahwa untuk menyelesaikan SPLDV tersebut di atas dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: dengan metode substitusi, eleminasi dan gabungan substitusi eleminasi. Selanjutnya guru menerangkan cara penggunaan masing-masing metode. 8. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya. 9. Guru memberikan permasalahan yang kedua: Sepuluh tahun yang lalu, umur soerang ayah sama dengan 4 kali umur anaknya. Jika jumlah 2 kali umur ayah dan 3 kali umur anaknya sekarang 160 tahun, tentukan umur ayah dan umur anaknya sekarang! 10. Siswa menyelesaikan permasalahan tersebut secara berdiskusi dengan kelompoknya. Guru membimbing kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan. Guru membiarkan siswa membangun (mengkonstruksi) pengetahuannya sendiri berdasarkan konsep materi yang

telah diterimanya. 11. Setelah selesai berdiskusi, guru memberi kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. c. Kegiatan akhir 12. Membuat kesimpulan dan memberi pekerjaan rumah (PR) secara individu (soal PR terlampir) V. Alat / Bahan / Sumber belajar : Alat Bahan Sumber Belajar VI. Penilaian : Penilaian afektif pada saat diskusi kerja kelompok maupun presentasi. .................................................... Mengetahui, Kepala ................................ Guru Mata Pelajaran : : : Buku Paket dan LKS yang dipakai siswa di sekolah

_____________________ Lampiran :

__________________

1. Diketahui keliling suatu persegi panjang adalah 50 cm. Jika 5 kali panjangnya dikurangi 3 kali lebarnya sama dengan 45 cm, tentukan panjang dan lebarnya! 2. Suatu hari, Dani dan Budi membeli buku tulis dan pensil bersama-sama. Dani membeli 15 buku tulis dan 3 pensil, sedangkan Budi membeli 10 buku tulis dan 1 pensil. Jika dani dan Budi masing-masing harus membayar Rp 31.500,00 dan Rp 20.500,00, tentukan harga satu buku tulis dan satu pensil! 3. Lima tahun yang lalu umur seorang ayah sama dengan 4 kali umur anaknya. Jika selisih umur ayah dan anaknya sekarang sama dengan 45 tahun, tentukan umur ayah dan umur anaknya sekarang!

PENUTUP Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak dan penalarannya deduktif. Kemampuan mengabstraksi dan mendeduksi hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah dalam tahap operasional formal. Oleh karena itu, dalam mengajarkan matematika diperlukan kreatifitas

guru. Kreatifitas peserta didik akan terbentuk bila cara penyampaian topik kepada peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kesiapan intelektual peserta didik. Ada banyak strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Strategi pemecahan masalah dipergunakan dalam proses pembelajaran untuk melatih peserta didik menghadapi permasalahan yang menuntut kreatifitas. Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran matematika di SMA/MA dengan pendekatan kontekstual dapat diterapkan pada materi Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat. Dengan pendekatan kontekstual, pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna, sehingga materi dapat diserap siswa dan siswa tidak mudah lupa.

TUGAS ARTIKEL
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA EVI NURAFIYAH JAMIL SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) SUBANG Jl. Marsinu No 05 Subang NPM : 0851210057 ABSTRAK Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika Pendekatan kontelstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Program pembelajaran kontekstual lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap-demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Perumusan tujuan yang berkecil-kecil, bukan menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembelajran berbasis CTL, mengingat yang akan dicapai bukan "hasil", tetapi lebih dari pada "strategi belajar". Yang diinginkankan bukan "banyak , tetapi dangkal", melainkan "sedikit, tetapi mendalam".

Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life). Selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam konsep matematika, dengan melalui tanya-jawab, diskusi, inkuiri, sehingga siswa dapat mengkontruksi konsep tersebut dalam pikirannya. Dengan demikian siswa belajar melalui Penerapan pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh-kembangnya matematika itu sendiri dan ilmu pengetahuan secara umum. Matematika tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui inkuiri, kontruksivisme, tanyajawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata.

Kata Kunci : pendekatan kontekstual, konsep belajar matematika, pembelajaran matematika

A. Latar Belakang Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkm persoalan dalam kehidupm.jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses penibelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam buku ringkas ini dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya. B. Kajian Pustaka

Pendekatan kontekstual dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada siklus pertama, yaitu langkah mengajar guru lebih sistematik sesuai dengan rencana pembelajaran yang disusun, guru tidak lagi berorientasi pada hasil tetapi lebih pada proses anak belajar untuk menguasai kemampuan, kegiatan pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, dan peran siswa mulai diaktifkan. Pada siklus kedua dapat diambil kesimpulan, yaitu langkah pembelajaran semakin sistematik, siswa dapat dipilih sebagai model bagi siswa lain. Pada siklus ketiga dapat diambil kesimpulan, yaitu hasil tulisan siswa terlihat lebih rapi dan dapat dibaca orang lain dan penerapan pendekatan kontekstual memberikan dampak positif terhadap kinerja dan prestasi siswa. Langkah Penerapan Pendekatan Kontekstual Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan 'model' sebagai contoh pembelajaran. Lakukan refleksi di akhir pertemuan. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut : 1. Proses Belajar Belajar tidak hanya sekedar menghafal. siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. Pra ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter). Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Siswa perlu dibiasakan memmecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajangkan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku. 2. Transfer Belajar Sisawa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit. Penting bagi siswa tahu "untuk apa" ia belajar, dan "bagaimana" ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. 3. Siswa Sebagai Pembelajar Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak menpunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi,

untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. Peran orang dewasa (guru) mebantu menghubungkan antara "yang baru" dan yang sudah diketahui. Tugas guru "memfasilitasi" agar informasi baru bermakna memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 4. Pentingnya Lingkungan Belajar Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton" ke "siswa bekerja dan berkarya, guru mengarahkan". Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibanding hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. C. Metodologi Metode yang digunakan untuk pendekatan kontekstual yaitu sebagai berikut : 1. Konstruktivisme (Construktivism) Konstruktivisme (constructivisvism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Dimana siswa tersebut mengetahui sesuatu atas dasar pengembangan dirinya sendiri. Tugas guru adalah memfasilitasi agar siswa belajar lebih nyaman dan bisa mengembangkan hasi pemikirannya sendiri, yaitu dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Misalnya : Guru menanyakan alat yang biasanya ditulis oleh kapur, kemudian siswa menjawab, papan tulis. Guru menjelaskannya kembali, bahwa papan tulis ini berbentuk persegi panjang. Persegi panjang itu memiliki panjang dan lebar. Jika kita akan menhitung keliling persegi panjang, maka setiap sisi papan tulis yang persegi panjang harus ditambahkan. Sedangakan untuk menghitung luas persegi panjang adalah panjang papan tulis tersebut dikali lebar papan tulis. 2. Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus Inquiry: Observasi Bertanya Mengajukan dugaan (hipotesis) Mengumpulkan data Menyimpulkan Langkah-langkah kegiatan inquiry: 1. Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun) Bagaimanakah silsilah raja-raja Majapahit (dalam mata pelajaran sejarah) Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari (bahasa Indonesia)?

Ada berapa jenis tumbuham menurut bentuk bijinya (biologi) Kota mana saja yang termasuk kota besar di Indonesia? (geografi) 2. Mengamati atau observasi Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung. Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati. 3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, table dan karya lainnya ; Siswa membuat peta kota-kota besar sendiri. Siswa membuat paragraf deskripsi sendiri. Siswa membuat bagan silsilah raja-raja majapahit sendiri. Siswa membuat penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri Siswa membuat essai atau usulan kepada Pemerintah tentang berbagai masalah di daerahnya sendiri, dst. 4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain Karya siswa disampaikan teman sekelas, guru, atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan Bertanya jawab dengan teman, Memunculkan ide-ide baru Melakukan refleksi Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di majalah dinding, majalah sekolah, dsb. 3. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari "bertanya". Questioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Misalnya : Guru menjelaskan bahwa persegi mempunyai sisi yang sama panjangnya dengan masing-masing sisi mempunyai panjang 5 cm. maka luas persegi adalah 25 cm, kemudian siswa bertanaya 25 cm itu dari mana pak? guru menjawab 25 cm adalah dari sisi dikali sisi. Karena untuk mencari luas persegi yaitu dengan cara panjang sisi persegi kali panajng sisi persegi. Berhubung panjang sisi tersebut adalah 5 cm, maka luas persegi tersebut adalah 5 x 5 = 25 cm. 4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan antarmereka yang tahu ke mereka yang sebelum tahu. Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam kegiatan masyarakat memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bicaranya. Misalnya : Dalam suatu kelas terdiri dari satu pengajar dan 30 pembelajar (siswa). Ketika guru mengjarkan siswa harus memperhatikan guru tersebut, tidak ada yang mengerjakan seuatu kecuali memperhatikan guru tersebut. Apabila ada salah satu siswa yang tidak memperhatikan guru yang menerangkan didepan, maka siswa tersebut tidak terlibat dalam kelompok masyarakat belajar, karena siswa tersebut keluar dari pembahasan yang diterangkan oleh guru. 5. Pemodelan (Modelling) Komponen CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru.

Misalnya : Dalam pembelajaran matematika biasanya indentik dengan pemodelan, guru mengajarkan tentang lingkaran, persegi, kubus, limas dan lain sebagainya itu membutuhkan pemodelan, baik secara abstrak, ril, dan sebagainya. Tujuannya agar siswa mengerti bentukbentuk apa saja yang ada pada pembelajaran matematika itu. 6. Refleksi (Reflection) Refleksi juga bagian penting dalam pembelejaran dengan pendekatan CTL. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Misalnya : Setelah belajar hendaknya guru melakukan pengulangan kembali, agar guru dapat mengetahui mana siswa yang sudah paham dan mana yang belum paham dan siswa juga dapat mengingat kembali tentang apa yang telah dipelajarinya. 7. Penilaian Yang Sebenarnya (Authentic Assessment) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Misalnya : Melaksanakan tes untuk menilai tingkat peguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan. Apabila terdapat hasil siswa yang kurang baik, tugas guru bukan mematikan semangat siswa tersebut dengan kata-kata yang kurang baik, tetapi guru tersebut sebaiknya memberi arahan yang bisa memotivasikan siswa agar siswa dapat belajar degan lebih baik. E. Hasil dan Diskusi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematka adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dialami oleh siswa, agar siswa lebih mudah memeahami maksud dari konsep tersebut, dan agar siswa dapat menghubungkan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Prinsip Pendekatan Kontekstual a) Konstruktifisme adalah landasan berfikir yang dibangun sedikit demi sedikit oleh siswa. b) Menemukan (inquiry) adalah Pengetahuan yang dimiliki siswa dari hasil menemukan sendiri. c) Bertanya (question) Pengetahun yang siswa dapatan dari hasil bertanya. d) Masyarakat Belajar adalah Siswa belajar secara bersama-sama di dalam suatu ruangan yang di bimbing oleh seorang guru (pengajar). e) Pemodelan adalah Pembelajaran yang dilakukan guru atau siswa, yang bisa dibentuk modelmodel pembelajarannya. Baik secara abstrak ataupun ril. f) Refleksi adalah Pengulangan pelajaran yang telah lalu yang dilakukan oleh siswa dan di bimbing oleh guru. g) Penilaian yang Sebenarnya adalah Proses pengmpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran perkembangan belajar siswa. Karakteristik Pendekatan Kontekstual a) Adanya kerjasama b) Siswa aktif dan kritis c) Pembelajaran terintegrasi d) Dinding kelas penuh dengan hasil karya siswa e) Lapiran kepada orang tua bukan sekedar rapot, melainkan hasil karya siswa. Langkah Penerapan Pendekatan Kontekstual a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,

menemukan sendiri. b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. d) Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok). e) Hadirkan 'model' sebagai contoh pembelajaran. f) Lakukan refleksi di akhir pertemuan. g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

1.1. Bagaimana Pendekatan Kontekstual diterapakan Pada Siswa ? Penerapan pendekatan kontekstual dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada siklus pertama dapat diambil kesimpulan, yaitu langkah mengajar guru lebih sistematik sesuai dengan rencana pembelajaran yang disusun, guru tidak lagi berorientasi pada hasil tetapi lebih pada proses anak belajar untuk menguasai kemampuan, kegiatan pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, dan peran siswa mulai diaktifkan. Pada siklus kedua dapat diambil kesimpulan, yaitu langkah pembelajaran semakin sistematik, siswa dapat dipilih sebagai model bagi siswa lain. Pada siklus ketiga dapat diambil kesimpulan, yaitu hasil tulisan siswa terlihat lebih rapi dan dapat dibaca orang lain dan penerapan pendekatan kontekstual memberikan dampak positif terhadap kinerja dan prestasi siswa. Dalam pembelajaran Kontekstual, program lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yang berisi sekenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Pendekatan kontekstual ini sangat signifikan baik terhadap kemampuan analisis, sintesis maupun keterampilan berkomunikasi. Karena pendekatan ini sangat cocok sekali digunakan dalam pembelajaran matemaika. Oleh karena itu pendekatan ini banyak diterapkan pada pelaksanaan pengajaran. Di samping itu pendekatan ini juga bisa membantu siswa untuk mengembangkan pengetehuan yang didapatkannya, sehingga siswa lebih mudah memahaminya. 1.2. Apa Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Kontekstual ? a) Kelebihan dari pendekatan kontekstual dapat dilihat dari tujuh komponen utama dari pendekatan kontekstual, yang tidak dimiliki oleh pendekatan konvensional. Disamping itu pendekatan kontekstual juga suatu pendekatan dapat membantu guru dalam mengajar untuk membawa siswa ke dunia nyata, sesuai dengan konteks dan lingkungan kehidupan siswa seharihari. Dengan demikian, pendekatan kontekstual tentunya sangat membantu siswa untuk memahami materi yang dipelajarinya. b) Kelemahan dari pendekatan kontekstual yang sangat menonjol adalah dari segi waktu. Untuk menerapkan pendekatan kontekstual pada suatu pembelajaran, waktu yang dibutuhkan sangat banyak. Sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya alokasi waktu yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Disamping itu, kelemahan yang dimiliki oleh pendekatan kontekstual tidak dapat diterapkan untuk semua materi matematika. H. Materi Volum Tabung dan Kerucut a. E. Kesimpulan Pendekatan Kontekstual ini sangat baik diterapkan untuk metode pembelajaran SD, SMP, SMA, sederajat bahkan perguruan tinggi sekalipun. Karena banyak guru yang berhasil menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran yang dilakukannya. Oleh karena itu banyak siswa yang mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri untuk mengetahui sesuatu yang belum

dipahaminya. Pendekatan kontekstual ini sangat signifikan baik terhadap kemampuan analisis, sintesis maupun keterampilan berkomunikasi. Sehingga menjadikan siswa aktif, kreatif, berani dan mampu mengerjakan suatu masalah untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut. F. Daftar Pustaka http://rbaryans.wordpress.com/2007/07/31/ http://karso.mulyo.blog.plasa.com/2009/02/01/kajian-kesetarapan-antara-pendekatankontekstual-dengan-realistic-mathematic-education http://p4tkmatematika.org/fasilitasi/11-Pembelajaran-matematika kontekstual.pdf. http://educare.e-fkipunla.net http://lowongan.promosale.net/search/Pendekatan+Kontekstual+dalam+Pembelajaran+Matemati ka Erman Suherman Generated: 3 June, 2010, 04:58Page 2 http://educare.e-fkipunla.net Pembelajaran dan Pengejaran Kontekstual. Jakarta : Depdiknas. Kasihani, K., dkk. (2002) Author: makalah | Posted at: 00:25 | Filed Under: Pendidikan

You might also like