You are on page 1of 13

PEMIKIRAN ISLAM HARUN NASUTION

A. Pendahuluan Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam (12501800 M). Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Quran dan hadits. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik. Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut.1 Sejak abad kesembilan belas ini kembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur'an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini. Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur'an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath'iy al-wurud dan qath'iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur'an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.2 Beranjak dari permasalahan di atas penulis ingin mengkaji tentang seluk beluk pemikiran Harun Nasution khususnya tentang akal, wahyu, pentingnya akal dan asal usul tasauf, yang mungkin masih searah dengan pemikiran-pemikiran ulama klasik ataupun tidak. Untuk lebih jelasnya akan penulis telusuri dalam pembahasan.

Syaiful Muzani, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 7. 2 Ibid. hlm. 9.

B. Riwayat Hidup Harun Nasution Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka rnembaca kitab kuning berbahasa Melayu. sedangkan, ibunya seorang born Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bernukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan. Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.3 Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alarn dan sejarah.4 Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo. Pada usia 24 tahun ia rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (sarjana muda).5

Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Ciputat. Jakarta. 2001). hlm. 3. 4 Ensiklopedi Islam, (PT. lchtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). hlm. 19. 5 Abdul Halim, Teologi Islam, hlm. 4.

C. Gagasan Pemikiran Harun Nasution Gagasan pemikiran Harun Nasution dalam bidang pendidikan Islam pada khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umunya adalah sebagai berikut: Pertarna, bahwa sejak di Sekolah Dasar, tepatnya di Hollandsch Inlandshe Shoot (HIS), sekolah dasar 'modern' yang didirikan oleh pemerintah Belanda, Harun Nasution sangat tertarik dengan ilmu alam dan sejarah. Ia bercita-cita menjadi guru bila besar nanti. Cita-citanya ini baru tercapai pada saat Harun Nasution kembali ke tanah air setelah selesai menempuh studinya pada Program Strata 3 (S-3/DR) dari McGill University, Montreal Canada. Di tanah air, Harun Nasution bertugas sebagai dosen hingga menjadi rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sejak Mei 2002 berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua, selama masa tugasnya sebagai dosen dan rektor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat diduga Harun memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan agama Islam. Dugaan ini dapat dilihat indikasinya pada adanya perubahan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke arah yang lebih maju dari keadaan sebelumnya. Dugaan ini perlu dibuktikan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti yang objektif dan meyakinkan. Ketiga, setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973-1982) selama kurang lebih Sembilan tahun, Harun Nasution menghabiskan masa tuanya hingga wafat sebagai guru besar dan sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui upayanya yang penuh ketekunan, perhatian dan keikhlasan dalam membina dan mengelola Pascasarjana, Harun Nasution berhasil melahirkan ratusan doctor dalam berbagai bidang ilmu agama yang saat ini memimpin IAIN/STAIN yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Keberhasilannya ini tentu didasarkan pada konsep, strategi dan upaya-upayanya dalam mendidik dan mengajar para mahasiswanya. Keempat, dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution dapat dikatakan sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Kalam (Teologi) dan Falsafah yang handal dan kapabel. Namun, keahliaanya dalam bidang ilmu ini bukanlah tujuan, melainkan sebagai alas. Dengan kedua ilmu tersebut Harun Nasution ingin mendidik dan mengubah mental masyarakat Islam yang terbelakang, jumud dan tradisional menjadi mental masyarakat yang maju, dinamis dan rasional. Harun Nasution begitu yakin, bahwa untuk membawa kemajuan bangsa dan Negara, terlebih dahulu harus dilakukan dengan mengubah sikap mentalnya.

Kelima, dilihat dari segi pribadinya, Harun Nasution adalah seorang yang taat menjalankan ibadah, berpola hidup sederhana, jujur, amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pendidik. D. Modernisme dalam Islam dan Pembaruan Kurikulm (1973) Harun Nasution termasuk yang sedikit dari intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai kesempatan mendapat pendidikan dalam dua tradisi besar pendidikan, yaitu pendidikan keislaman di Timur Tengah dimana dia mendapatkan pendidikan setingkat S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir dan tradisi pendidikan di Barat dimana dia mendapat gelar MA dengan tesis The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of Masjumi (1965) dan S3 dengan disertasinya The Place of Reason in Abduh's Theology, Its Impact on His Theological System dan Views yang diraihnya tahun 1968 di Universitas yang sama yaitu Universitas McGill, Montreal, Kanada. Hidup di lingkungan keluarga Islami yang berpaham tradisional dan terdidik dengan pendidikan modern dan tradisional, namun Nasution lebili tertarik dan memilih pandangan keislaman yang rasional dan pluralistik. Kontribusinya selania ini di Indonesia, dapat disederhanakan pada dua hal besar: pertama, dalam pembaruan pemikiran dalam Islam dan kedua, pembaruan Kurikulum IAIN pada tahun 1973. E. Pembaruan Pemikiran dalam Islam di Indonesia Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang. Banyak buku terutama buku ajar yang telah ditulisnya, salah satu yang sangat berpengaruh dan dijadikan buku pegangan dalam berbagai mata kuliah keislaman adalah Islam ditinjau dari Berbagai Aspek. Buku ini mengilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam. Dalarn pandangan Nasution, keragaman Islam tersebut didasarkan pada sumber yang sama yaitu teks-teks suci. Nasution melihat bahwa realitas plural dalam pemahaman keagamaan adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, sikap kita terhadapnya haruslah apreasiatif, umat Islam Indonesia diharapkan mampu menghargai perbeadaan, baik perbedaan yang terjadi antar umat Islam maupun dengan non Muslim. Masalah yang dihadapi umat Islam Indonesia sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan pluralistik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat. Pada zamannya, pengajaran keagamaan sangat

normatif dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fikh orinented. Metode pendidikan yang seperti dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit, dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat. Pada gilirannya, sikap ini menghasilkan pandangan homogen yang menolak perbedaan dalam melihat persoalanpersoalan melalui perspektif agama. Implikasi jauh dari sikap tersebut dapat menjauhkan umat dari partisipasinya dalam pembangunan bangsa. Padahal Nasution sangat berkeinginan agar umat Islam dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Salah satu jalan kuncinya adalah umat Islam Indonesia harus berpikiran rasional, terbuka, dan toleran. Nasution mengingatkan bahwa umat Islam adalah bagian terbesar bangsa Indonesia. Karenanya, umat Islam harus bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembangunan bangsa Indonesia. Bagi Nasution, ketika Orde Baru mengambil sikap untuk mengadopsi pembangunan modern, umat Islam harus ikut serta dan menjadi bagian penting dalam proses tersebut, Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu'tazilah dan mengenalkannya kepeada masyarakat Indonesia lewat buku dan pengajarannya di MIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. Selama menjadi Rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pascasarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasana keislaman yang baru. 1. Akal Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al'aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahyu, tidak terdapat dalam Al-Qur'an. AlQur'an hanya membawa bentuk kata kerjanya 'aqluh dalam 1 ayat, Ta'qilun 24 ayat, Na'qil 1 ayat, ya'qiluha 1 ayat dan yaqilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam

arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut: "Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka niengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? " (Q.S.Al-Baqarah; 75). "Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang

dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang bulta, ialah hati yang di dalam dada. " (Q.S. Al-Hajj; 46)6 "Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang nienyala-nyala ". (Q.S. Al-Mulk; 10). Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata 'aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Bagaimanapun 'aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam AlQur'an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian: "Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayatayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya uniuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. " (Q. S. Al-A'raaf; 179).7 Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafsu) atau (al-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafsu dan al-ruh berasal dari Al-Qur'an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.8 2. Wahyu Wahyu bersal dari kata al-wahyu, dan al-wahyu adalah kata asli Arab dan bukan kata
6 7

Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986). h1rn. 5. Ibid, hlm. 6-7. 8 Ibid, hlm. 8.

pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahyu selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti "apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi". Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur'an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Asy-Syura menjelaskan: "Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. " (Q.S. Asy-Syuura 51).9 Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru'yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.10 Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam surah Al-Syu'ara dijelaskan: "Dan.Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semester alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. " (Q.S. Asy-syuara; 192-195)".11 Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selanjutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi. Menurut ajaran tasauf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan

Ibid, hlm. 15-16. Syaiful Muzani, Islam Rasional, hlm. 17. 11 Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan, hlm. 15-16.
10

perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.12 Al-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenal dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir. Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagainiana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan.13 Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Tor Andrae membawa ayat Al-Qur'an untuk memperkuat uraian di atas. "Janganlah kamu gerakkan lidahinu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. "(Q.S. Al-Qiyaamah; 16-19).14 3. Pentingnya Akal Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa. Umat manusia diketika Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur'an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Akal, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepadanya.
12 13

Ibid,hlm. 18. Ibid,hlm. 20. 14 Ibid,hlm. 22.

Oleh karena itu, dalarn Islamlah "agama dan akal buat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan." Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan. Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran Al-Qur'an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.15 4. Asal-Usul Tasawuf Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam ilstilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad bersatu dengan Tuhan. Tasawuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.16

G. Karya-Karya Harun Nasution Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut: 1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari
15

Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mutazilah. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1987). hlm. 44-46. Prof. Dr. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973), hlm. 56.

16

itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga dan politik. 2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji'ah, Qadariah dan Jabariah, Mu'tazilah, dan Ahli sunnah wal jama'ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing- masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI Press. 3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang. 4. Falsafaf clan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Rani, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tantawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan

Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India. 6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu. 7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul "The Place of Reason in Abduh's Theology, Its Impact on his Theological System and Views", diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sitat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu'tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu'tazilah. 8. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu'tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu'tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.17. H. Kesimpulan Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru'yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.

17

Abdul Halim, Teologi Islam , hlm. 18-22.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran Al-Qur'an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. Menurut ajaran tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, Sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).

Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986). Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).

Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu'tazilah. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1987).

You might also like