You are on page 1of 9

LAPORAN KULIAH LAPANGAN KE KAMPUNG NAGA

Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata Kuliah: Dinamika Sosial Budaya
Dosen: Drs. Prijana, Msi
Dra. Siti Maryam Msi.

“BUMI AGEUNG SEBAGAI SIMBOL KESUCIAN KAMPUNG NAGA”

Disusun Oleh:
MIA DWIANNA W. (17022008-0005)
TITA FEBRIANI (17022008-0011)
ELIZABETH S.A. HAURISSA (17022008-0017)

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008
BUMI AGEUNG SEBAGAI SIMBOL KESUCIAN KAMPUNG NAGA

Kampung Naga yang terletak di wilayah Jawa Barat ini merupakan satu dari

sejumlah kampung adat yang ada di Indonesia. Keteguhan dalam memegang adat istiadat

peninggalan leluhurnya, membuat kampung menjadi daerah tujuan wisata para

wisatawan atau penelitian sejumlah peneliti. Kehidupan modern memang tidak bisa lepas

dari masyarakat kampung adat, namun mereka tetap hidup pada suatu tatanan dalam

suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.

Kondisi Geografis Kampung Naga

Kampung naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok

masyarakat yang sangat kuat memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Secara

administratif, kampung naga berada di wilayah Desa neglasari, Kecamatan Salawu,

Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari

jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung Naga

berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah:

- Di sebelah Barat adalah hutan keramat (yang di dalamnya terdapat makam leluhur

masyarakat Kampung Naga).

- Di sebelah Selatan sawah-sawah penduduk

- Di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya

berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.

Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga + 30 KM, sedangkan dari

Kota Garut jaraknya + 26 KM. Untuk mencapai perkampungan ini tidaklah terlalu sulit,

2
karena dijangkau oleh kendaraan umum bus. Anda yang berangkat dari Bandung tinggal

datang ke terminal Cicaheum dan memilih bus jurusan Tasikmalaya via Garut. Dan

menjelang perbatasan, anda turun dan tiba di bagian luar dari Kampung Naga.

Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus

menuruni tangga yang sudah ditembok sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan

kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter (ada lebih dari 310

tangga). Kemudian penduduk atau pengunjung harus melalui jalan setapak yang

menyusuri sungai Ciwulah untuk sampai ke dalam kampung Naga.

Kondisi dan Potensi Penduduk

Di dalam Kampung Naga yang luasnya sekitar 1,5 Hektar ini, terdapat 112

bangunan (awalnya 111 kemudian ditambah 1 bangunan lagi karena ada warga yang

tadinya tinggal di luar, kembali lagi dan menetap di kampung ini), dengan rincian 3

bangunan khusus dan 109 bangunan pemukiman

Bangunan khusus terdiri dari:

1. Bale Kampung (Pusat Pertemuan)

2. Masjid (sarana ibadah)

3. Lumbung padi umum (Leuit)

Menurut Ketua RT Kampung Naga, Mang Risman, penduduk yang menghuni kampung

ini sekarang berjumlah 314 orang yang terbagi dalam 109 Kepala Keluarga (KK).

Pekerjaan pokok masyarakat Kampung Naga adalah sebagai petani, baik sebagai

petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Masyarakat Kampung Naga ini

mempunyai mata pencaharian sampingan, yakni membuat kerajinan tangan atau barang

3
anyaman dari bambu. Dengan semakin seringnya wisatawan berkunjung ke kampung ini,

penduduk juga mulai berjualan makanan ringan dan minuman di depan rumah mereka.

Latar belakang pendidikan warga kampung naga adalah Sekolah Dasar. Menurut

Mang Risman, sangat jarang warga yang melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih

tinggi karena keterbatasan biaya. Sedangkan agama yang mereka anut adalah agama

Islam, dengan tetap memegang teguh adat tradisi leluhur.

Sistem Kepemimpinan

Kampung Naga sebagai salah satu Kampung Adat yang ada di Jawa Barat

memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan

kepemimpinan nonformal. Kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang dipilih atas

dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari pemerintah. Kepemimpinan formal

di Kampung Naga dipegang oleh Ketua RW bernama Bapak Okim dan ketua RT, Mang

Risman ditambah dengan seorang Kepala Dusun (Kadus). Kepemimpinan formal ini

yang langsung berhubungan dengan sistem pemerintahan, termasuk administasi

kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berkaitan

dengan maraknya Pemilu di Indonesia, penduduk Kampung Naga juga mengikuti pemilu

di bawah koordinasi kepemimpinan formal.

Sedangkan kepemimpinan nonformal adalah kepemimpinan yang ditentukan

menurut ketentuan adat. Kepemimpinan non formal terdiri dari seorang kuncen yang

merupakan pemimpin adat. Kuncen adalah kepala ada yang dipilih menurut adat dan

berlaku secara turun temurun, dan hanya boleh dijabat oleh seorang laki-laki. Saat ini

yang menjabat sebagai kuncen ialah Ade Suherlin. Tugas seorang kuncen antara lain

4
sebagai pemangku adat dan pemimpin dalam upacara-upacara adat yang diselenggarakan

oleh masyarakat Kampung Naga. Sebagai seoarang yang dituakan, perkataan kuncen

sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung Adat. Kuncen memiliki hak

khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan

adat istiadat Kampung Naga. Kuncen

Dalam melaksanakan tugasnya, kuncen dibantu oleh seorang punduh (yang saat

ini dipegang oleh Bapak Maun) atau tua kampung yang mempunyai tugas sebagai

penghubung antara kuncen dan masyarakat. Tugas seorang punduh juga mengayomi

warga terutama dalam pekerjaan-pekerjaan umum atau membuat jalan, dsb. Jadi jika

dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut ada penyimpangan punduh yang akan menasehati.

Selain kuncen dan punduh, dalam sistem kepemimpinan non formal terdapat seorang

lebe, yang tugasnya membantu kuncen dalam bidang keagamaan, dan kematian.

Bangunan Suci Bumi Ageung

Penduduk Kampung Naga masih sangat taat memegang adat istiadat dan

kepercayaan nenek moyangnya. Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa dengan

menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau

karuhun. Salah satunya adalah percaya terhadap tempat-tempat suci seperti Bumi

Ageung.

Bumi Ageung merupakan satu dari 112 bangunan yang menjadi perhatian

masyarakat Kampung Naga dan wisatawan. Bumi Ageung ini berupa sebuah bangunan

yang terletak di atas bukit, di tingkat paling tinggi dalam pola permukiman penduduk.

Warga Kampung Naga memang menganut pola permukiman berkelompok. Rumah-

5
rumah mereka terletak di lereng tanah yang tidak sama ketinggiannya. Lereng bukit yang

menjadi letak rumah-rumah terdiri dari empat tingkatan. Pada setiap tingkatan areal tanah

yang diratakan luasnya berbeda. Semakin tua usia warga, maka akan semakin tinggi

tempat tinggal yang mereka huni.

Bangunan Bumi Ageung terletak di tingkat paling atas dalam pola permukiman

ini, diapit oleh dua buah rumah dan dengan batas sebelah barat sebuah bukit, serta

dilindungi oleh pagar jaga. Letak Bumi Ageung sejajar dengan masjid yang berada di

sebelah barat. Bumi Ageung adalah sebuah bangunan rumah di Kampung Naga yang

oleh masyarakat Kampung Naga dianggap suci. Bentuk dan bahan bangunan Bumi

Ageung hampir sama dengan rumah-rumah yang dihuni penduduk. Bedanya, Bumi

Ageung tidak berjendela dan diberi pagar bambu setinggi 2 meter yang berasal dari

bambu utuh, dengan ukuran pagar 17 x 24 m. Walaupun tidak berjendela, Bumi Ageung

tetap memiliki pintu yang letaknya di sebelah selatan. Lahan yang digunakan untuk Bumi

Ageung cukup lulas, karena terdapat halaman di bagian depan, samping kiri dan kanan,

dan juga bagian belakang Bumi Ageung. Tinggi bangunan kira-kira mencapai 7-8 meter

dengan lebar kira-kira 5 – 6 meter.

Bentuk Bumi Ageung tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah masyarakat di

Kampung Naga, yaitu jenis rumah panggung, dengan ketinggian kolong kira-kiran 50 –

60 meter. Tiang-tiang bangunan tersebut di bagian bawahnya diberi alas batu yang

disebut tatapakan. Lantainya menggunakan papan atau palupuh, sedangkan lantai rumah

terbuat dari papan atau bambu. Atapnya menggunakan gaya suhunan julang ngapak, yaitu

bentuk atap panjang yang kedua sisinya diperpanjang atau ditambah, sehingga

menyurupai rentangan sayap burung. Bidang atap tambahan yang melandai ini disebut

6
leang-leang. Dengan atap yang bila dilihat dari arah muka dan belakang tampak seperti

bentuk segitiga, yang merupakan pertemuan keduasisi atap empat persegi panjang.

Pada pertemuan kedua belah atap bagian ujung merupakan titik pertemuan yang

membentuk sudut puncak bagian muka dan belakang, dan biasanya dipasang gelang-

gelang yang terbuat dari bamboo membentuk setengah lingkaran atau lurus menyerupai

tanduk lengkung atau tanduk lurus. Bagian yang seperti tanduk ini disebut “cagak

gunting atau capit hurang”. Bahan ataap rumah pada umumnya menggunakan bahan daun

kelapa, daun tepus, dan ijuk. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu bilik. Corak

anyaman bilik adalah corak sasag dan tidak dicat putih seperti kebanyakan rumah di

Kampung Naga. Pintu Bumi Ageung juga terbuat dari bilik yang berbentuk persegi

panjang dengan ukuran kira-kira 1,75 m x 0,75.

Bumi Ageung merupakan rumah yang dianggap suci dan keramat, sesuai dengan

asal katanya Bumi berarti rumah, dan Ageung berarti agung atau suci dan besar.

Bangunan ini dikeramatkan sebagai bangunan suci karena konon dahulunya Bumi

Ageung dipakai sebagai surau atau langgar oleh leluhur Kampung naga.Tidak sembarang

orang boleh masuk ke halaman dan ke dalam rumah. Hanya Patunggon (orang yang

diangkat kuncen untuk menjaga Bumi Ageung) yang boleh masuk untuk menjaga dan

memelihara Bumi Ageung. Orang hanya diperbolehkan masuk ke halaman rumah

tersebut pada hari-hari tertentu saja dengan diantar patunggon atas seijin kuncen

Kampung Naga. Karena dianggap suci dan keramat ini, pengunjung atau wisatawan

tidak boleh mengambil gambar bangunan ini dari jarak dekat. Para wisatawan yang ingin

memotret atau merekam Bumi Ageung ini, hanya bisa mengambil gambar dari jarak

maksimal 15 meter dari bangunan tersebut. Ada titik-titik tertentu yang menjadi batas

7
untuk memotret atau merekam Bumi Ageung dan tidak ada seorang pun yang berani

melanggar.

Kesucian Bumi Ageung ini juga tergambarkan dari enggannya penduduk

bercerita tentang bangunan ini, kendati mereka mengetahuinya. Bila ada wisatawan yang

ingin mengetahui sejarah dan kondisi Bumi Ageung, yang boleh bercerita atau berbicara

ialah kuncen atau sesepuh Kampung Naga. Bahkan seorang ketua RT seperti Mang

Risman pun tidak mau bercerita tentang Bumi Ageung ini.

Bumi Ageung digunakan untuk menyimpan benda-benda keramat seperti keris,

tombak, golok dan barang-barang berharga. Ketika terjadi pemberontakan DI/TII pada

tahun 1956, kawasan Kampung Naga dipakai sebagai tempat pertahanan dan akhirnya

dibakar, termasuk Bumi Ageung dan seisinya.

Bumi Ageung yang ada sekarang ini merupakan hasil “renovasi” warga pada

tahun 1987, dan fungsinya pun sedikit berubah. Menurut sesepuh Kampung Naga

Suharyo, Kini Bumi Ageung menjadi sealing menjadi tempat menyimpan benda-benda

leluhur yang masih tersisa, bangunan ini juga berfungsi sebagai tempat menyimpan

perlengkapan adat seperti sajen, suguhan, bahan mentah, beras, lauk dan juga harta benda

berharga.

Selain itu Bumi Ageung juga berfungsi sebagai tempat pemberangkatan

pemimpin-pemimpin adat Kampung Naga pada pelaksanaan upacara-upacara adat, yang

dalam satu tahun dilaksanakan 6 kali upacara adat.

Bumi Ageung senantiasa dipelihara kelestariannya oleh masyarakat setempat,

dihormati, dan dianggap memiliki nilai sakral, juga memiliki fungsi-gungsi yang melekat

pada adapt dan tradisi masyarakat setempat. Tidak seperti masjid dan leuit yang hanya

8
dibersikan sesekali saja, Bumi Ageung mendapat pemeliharaan yang intensif. Perawatan

Bumi Ageung beserta isinya dilakukan Patunggon, yang memang berhak keluar masuk

halaman Bumi Ageung. Dengan begitu, kesucian Bumi Ageung tetap terjaga.

You might also like