You are on page 1of 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.

1 Obesitas Definisi Obesitas Obesitas (kegemukan) merupakan kondisi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu berlebih dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi (energy expenditure) (Sediaoetomo, 2000). Kelebihan energi di dlam tubuh disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Pada keadaan normal, jaringan lemak ditimbun di beberapa tempat tertentu, di antaranya di dalam jaringan subkutan dan di dalam jaringan tirai usus( omentum) (Kusumawardhani, 2006) Seorang baru disebut menderita obesitas, bila berat badannya pada laki-laki melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari berat badan ideal menurut umurnya. Pada orang yang menderita obesitas, organ-organ tubuh dipaksa harus bekerja lebih berat, karena harus membawa kelebihan berat badan yang tidak memberikan manfaat langsung. Karena itu mereka merasa lebih cepat gerah (merasa panas) dan lebih cepat berkeringat untuk menghilangkan panas badan tersebut (Sediaoetomo, 2000) Ada beberapa penyakit yang meningkat prevalensinya pada orang yang menderita obesitas, seperti penyakit-penyakit kardiovaskuler termasuk hipertensi, diabetes millitus, osteoartritis dan beberapa lainnya. Morbiditas dan mortalitas penyakit-penyakit lainnya meningkat, sedangkan jangka hidup (life span) dilaporkan memendek (sediaoetomo, 2000) 2.1.2 Perbedaa Obesitas (kegemukan) dan Overweight (kelebihan berat badan) Obesitas (kegemukan) adalah berat badan lebih dari 20% diatas berat badan ideal dan dapat membahayakan kesehatan. Overweight (kelebihan berat badan) adalah berat badan 10-20% diatas berat badan ideal (sediaoetomo, 2000)

1.

2.1.3 Klasifikasi Obesitas Menurut gejala klinisnya, obesitas dibagi menjadi : A. Obesitas sederhana (simply obesity) Terdapat gejala kegemukan saja tanpa disertai kelainan hormonal / mental / fisik lainnya, obesitas ini terjadi karena faktor nutrisi. B. Bentuk khusus obesitas - Kelainan endokrin / hormonal Tersering adalah sindrom Chusing, pada anak yang sensitif terhadap pengobatan hormon steroid. - Kelainan somatodismorfik Sindrom Prader-willi, sindrom Summit dan Carpenter, sindrom Laurence Moon Bield, dan sindrom Cohen. Obesitas pada kelainan ini hampir selalu disertai mental retardasi dan kelainan ortopedi. - Kelainan hipotalamus

2.

Kelainan pada hipotalamus yang mempengaruhi nafsu makan dan berakibat terjadi obesitas, sebagai akibat dari kraniofaringioma, leukimia serebral, trauma kepala, dan lain-lain (soetjiningsih, 1998) Menurut peningkatan berat badan, obesitas dibagi menjadi : a. Obesitas ringan Yaitu peningkatan berat badan antara 20-29% dari berat badan ideal. b. Obesitas sedang Yaitu peningkatan berat badan antara 30-40% dari berat badan ideal. c. Obesitas berat Yaitu peningkatan berat badan lebih dari 40% dari berat badan ideal (soetjiningsih, 1998) 2.1.4 Metode untuk Menilai Berat Badan Banyak definisi untuk menyatakan berat badan ideal, kelebihan berat badan dan kegemukan. Standar atau baku untuk menentukannya ternyata banyak ragamnya antara lain: 1. Standar Brocca Brocca membuat definisi berat badan ideal sebagai berikut: BB = ( TB-100 ) - 10% ( TB-100 ) TB = Tinggi Badan Perhitungan Brocca sebenarnya lebih cocok diterapkan untuk remaja dan usia dewasa muda. Bila diterapkan pada orang-orang yang lebih tua kurang sesuai karena banyak faktor lain yang perlu diperhatikan selain tinggi badan dan berat badan saja. 2. Formula Berat Badan Selama masa pra dan sekolah berat badan anak naik setiap tahunnya. Peningkatan 1 2 Kg setiap tahunnya dapat dengan rumus Formula Berat Badan yaitu: BB = 8 + 2n Kg Diaman n = umur dalam tahun Berat badan usia 1 tahun = 3 x berat badan lahir Berat badan usia 2 tahun = 4 x berat badan lahir Berat badan usia 6 tahun = 2 x berat badan usia 1 tahun 3. Baku Havard Baku Havard merupakan standar yang telah dibuat berdasarkan perhitunganperhitungan teliti sehingga diperoleh hasil serangkaian angka-angka berat baan kategori kurus sehat, ideal maupun gemuk sehat dengan selang angka tertentu. Seseorang yang ingin melihat berat badan idealnya tinggal mencocokkan dengan baku / standar yang ada. 4. Body Massa Index (BMI) Body Massa Index (BMI) merupakan penentuan berat badan sehat yang sekarang banyak juga dipakai dan berlaku untuk orang dewasa yang berumur diatas 18 tahun. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

BMI

Berat badan (Kg) Tinggi Badan (m2)

: Perempuan = 19-24 Laki-Laki = 20-25 Dari perhitungan pemakaian BMI ini, seseorang yang mempunyai BMI antara 2530 disebut kelebihan berat badan / overweight dan BMI yang lebih besar dari 30 disebut kegemukan / obesitas (Wirakusumah, 1994). Sedangkan menurut kriteria WHO (1999), obesitas di kategorikan sebagai berikut : KATEGORI Underweight Normal Overweight Obese I Obese II Obese III 2.1.5 BMI (Kg/m2) <18,5 18,5 - 24,9 25 - 29,9 30 34,5 35 39,9 40 (Arisman, 2004)

BMI ideal

Penyebab Obesitas Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas. Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor : 1. Faktor Genetik Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang hanya bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang (Anonymous, 2007) 2. Faktor Lingkungan Gen merupakan faktor terpenting dalam berbagai kasusu obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku / pola gaya hidup ( misal apa yang dimakan dan berapa kali seseorang itu makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat mengubah pola makan aktivitasnya (Anonymous, 2007) 3. Faktor Psikis Apa yang ada dalam pikiran seseorang dapat mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang memeberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa yang tidak nyaman dalam pergaulan sosial (Anonymous, 2007). Ada dua pola makan aabnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dengan jumlah yang sangat banyak (binge) dan makan dimalam hari( sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang

makan dengan jumlah sangat banyak, bedanya dengan binge hal ini tidak diikuti dengan mueemuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Anonymous, 2007) 4. Faktor perkembangan Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak didalam setiap sel (Anonymous, 2007) 5. Faktor Fisik Kurangnya aktifitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari menigkatnya angka kejadian obesitas ditengah masyarakat yang makmur. Seseorang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan kaya kalori serta tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas (Anonymous, 2007) 2.1.6 Patogenesis 2.1.6.1 Menurut patogenesisnya obesitas dapat dibagi menjadi dua golongan : a. Regulatory obesity Pada regulatory obesity gangguan primernya ada pada pusat yang mengatur masukan makanan, (central mechanism regulating food intake). b. Obesitas metabolik Pada obesitas metabolik terdapat kelainan metabolisme lemak dan karbohidrat ( Pudjiaji, 1997) 2.1.6.2 Patogenesis menurut sel lemak Terjadinya obesitas menurut sel lemak, adalah sebagai berikut : 1. jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi/pembesaran 2. jumlah sel lemak menigkat/hiperplasi dan juga terjadi hipertrofi Penambahan dan pembesaran jumlah sel lemak paling sevapt pada masa kanakkanak dan mencapai puncaknya pada masa menigkat dewasa. Setelah masa dewasa tidak akan terjadi penambahan jumlah sel, tetapi hanya pembesaran sel. Obesitas yang terjadi pada masa kanak selain hiperplasi dan juga hipertrofi sel lemak. Sedangkan obesitas yang terjadi setelah masa dewasa pada umumnya hanya terjadi hipertrofi sel lemak. Obesitas pada anak terjadi kalau intake kalori berlebihan, terutama pada tahun pertama kehidupan. Rangsangan untuk menigkatkan jumlah sel terus berlanjut sampai dewasa, setelah itu hanya terjadi pembesaran sel saja. Sehingga kalau terjadi penurunan berat badan setelah dewasa, bukan karena jumlah selnya berkurang tetapi besar selnya yang berkurang. Disamping itu, pada penderita obesitas juga menjadi resisten terhadap hormone insulin, sehingga kadar insulin didalam peredaran darah akan meningkat. Insulin berfungsi menurunkan lipolisis dan meningkatkan pembentukan jaringan lemak (Soetjiningsih, 1998)

2.1.7

Komplikasi Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang mengerikan. Obesitas secara langsung berbahaya bagi kesehatan seseorang. Obesitas meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun seperti : Diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa) Tekanan darah tinggi (hipertensi) Stroke Serangan jantung (infark miokardium) Gagal jantung Kanker (jenis kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker usu besar) Batu kandung empedu dan batu kandung kemih Gout dan artritis gout Osteoartritis Tidur apneu (kegagalan untuk bernafas dengan normal ketika sedang tidur, menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah) Sindroma Pickwickian ( obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk) (Sugondo, 2006) 2.1.8 Terapi 2.1.8.1 Non Farmakologis Modifikasi gaya hidup yaitu : 1. diet 2. aktifitas fisik aerobik 3. kombinasi aktivitas fisik dan diet 4. terapi perilaku (Rini, 2007). 2.1.8.2 Farmakologis Tiga mekanisme dapat digunakan untuk mengklasifikasikan obat-obatan untuk terapi obesitas adalah terapi yang mengurangi asupan makan, yang mengganggu metabolisme dengan cara mempengaruhi proses pra atau pasca absorbsi. Terapi yang meningkatkan pengeluaran energi atau termogenesis. Obat yang tersedia saat ini adalah : 1. Orlistat ; bekerja menghambat lipase pankreas ( enzim yang dihasilkan kelenjar ludah perut) dan akan menyebabkan penurunan penyerapan lemak sampai 30%. 2. Efedrin dan kafein ; bekerja meningkatkan pengeluaran energi, akan meningkatkan konsumsi oksigen dan kafein menghasilkan penurunan berat badan lebih besar dibanding kelompok plasebo. Diperkirakan 25-40% penurunan berat badan oleh karena termogenesis dan 60-75% karena pengurangan asupan makanan. Efek samping utama adalah peningkatan nadi dan perasaan berdebar-debar yang terjadi paa sejumlah penderita. 3. Sibutramin ; bekerja menurunkan energy intake dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan. Pada penelitian ternyata terbukti sibutramin menurunkan saupan makanan dengan cara mempercepat timbulnya rasa kenyang dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan (Merdikoputro, 2004)

2.2 Infark Miokard Akut 2.2.1 Definisi dan Kriteria Infark Miokard Akut 2.2.1.1 Definisi Infark Miokard Akut Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokard aliran darah ke otot jantung terganggu (Harun, 2004). 2.2.1.2 Kriteria Infark Miokard Akut Kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis Infark Miokard Akut adalah sebagai berikut: 1. adanya peningkatan dan atau penurunan yang khas dari petanda biokimia nekrosis miokard jantung, paling sedikit terdapat satu dari kriteria di bawah ini : a) Gejala sistemik b) Gelombang Q patologis pada Elektro Kardio Grafi (EKG) c) Perubahan EKG yang menunjukkan adanya iskemia (depresi atau elevasi segmen ST) d) Gambaran yang menunjukkan adanya kematian miokard yang baru terjadi atau adanya gerakan daerah dinding jantung yang abnormal. 2. detemukan adanya patologi Infark Miokard Akut (Antman, 2007). 2.2.2 Epidemiologi Infark Miokard Akut Insiden sesungguhnya dari IMA tidak diketahui namun sekitar 150.000 kematian akibat penyakit jantung koroner terjadi di Inggris 1999 (Gray, 2005). Insiden dan angka mortalitas infark miokar telah mengalami penurunan. Bukan hanya angka kematian yang berhasil ditekan dengan menggunakan terapi yang lebih baik yang telah dikembangkan, tetapi insiden terjadinya infark miokard secara terus-menerus mengalami penurunan yang nyata sejak tahun 1970. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya usaha pencegahan terhadap penyakit jantung, termasuk juga pengobatan hipertensi, menghindari rokok, penanganan terhadap hiperkolesterolemia, perbaikan diet dan olah raga, dan penggunaan aspirin sebagai profilaktik. Penurunan ini mungkin juga perkembangan di Amerika terjadi perkembangan dalam pembedahan dan revaskularisasi koroner perkutan, yang mana pengobatan angina lebih cecnderung menggunakan pembedahan bypass atau pemasangan stent,daripada dengan menggunakan penanganan medis. Meskipun revaskularisasi koroner tidak memiliki efek yang menonjol terhadap pencegahan infark miokard, intervensi awal pada penyakit aterosklerosis koroner dapat merubah keadaan di masa depan. Efek yang menonjol dalam mengurangi insiden infark miokard terlihat pada hasil penggunaan HMGCoA reductase inhibitors, yang telah menunjukkan konsep bahwa infark miokard akut suatu hari nanti akan punah. Secara jelas telah diketahui, bahwa usaha yang paling penting terhadap infark miokard adalah pencegahan, karena ketika terjadi rupture dan pelepasan plak, akan jauh lebih sulit untuk di atasi (Topol, 2007). Meskipun insidennya menurun, infark miokard akut tetap merupanakn peyebab kematian yang utama pada masyarakat barat dan diperkirakan pada tahun 2020 kasus ini akn menjadi di seluruh dunia. Dengan banyaknya kemajuan yang

begitu cepat yang telah terjadi pada bidang ini, bencana besar dan serius sebagai akibat infark miokar telah dialihkan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun terapi reperfusi merupaka suatu yang sangat penting dalam menurunkan angka mortalitas, kebanyakan pasien infark miokard tidak memenuhi syarat unutuk mendapatkan terapi ini dan kenyataan yang dihadapi dirumah sakit angka kematiannya sebesar 10 sampai 20%. Dengan adanya peningkatanproporsi usia tua di dalam populasi kita. Yang memiliki insiden kematian yang tinggi merkipun dengan terapi reperfusi, infark miokar tetap merupakan suatu hal yang gawat didalam dunia pengobatan (Topol, 2007). 2.2.3 Gejala Klinis Infark Miokard Akut Manifestasi awal yang biasa terjadi pada infark miokard akut meliputi nyeri dada substernal ddisertai dipsnea, diaphoresis, dan nausea. Rasa nyeri biasanya digambarkan dengan perasaan seperti terhimpit, tertekan, sesak, terjepit, atau perasaan yang berat. Perasaan itu bisa menjalar dengan rasa nyeri pada salah satu atau kedua bahu dan tangan atau keleher, rahang, atau area interskapular. Hanya sebagian pasien yang mengalami tanda-tanda tersebut. Meskipun 80% pasien IMA mengalami nyeri dada pada waktu pemeriksaan awal, hanya 20% yang menggambarkan rasa sakitnnya seperti terhimpit sesak, atau terjepit. Rasa nyeri kadang juga digambarkan dengan tidak khas, seperti rasa yang tajam, atau menusuk atau rasa nyerinya juga dapat dirasakan pada daerah yang tidak khas seperti di lambung atau dibelakang leher (Nuovo, 2005) Penggambaran rasa sakit pada IMA dapat berbeda karena perbedaan penafsiran dari tiap individu, perbedaan dari kemampuan berbicara atau penyampaian keluhan, atau seiring dengan perkembangan penyakir tersebut. Rasa tidak nyaman di dada biasanya terjadi dibagian tengah dada dan dapat menjalar ke tangan kiri atau leher (Jeffe, 2002). Secara umum, pasien dengan nyeri iskemik di dada cenderung tenang, tetapi pasien dengan infark miokard akan menjadi sangat gelisah, secara alamiah, rasa sakit di dada dapat mendorong pasien untuk meletakkan tangannya di atas sternum (Levines sign). Tanda dan gejala klinik ini lebih jelas ditemukan pada pasien lakilaki, dan pada wanita selalu memiliki tanda dan gejala yang lebihi atipikal (Jaffe, 2002). Nyeri pada IMA dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-debar, atau sinkope. Kelainan pada pemeriksaan jasmani tidak ada yang khas dan dapt normal. Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal, irama gallop. Adanya krepitasi basal yang merupakan tanda bendungan paru-paru. Takikardia, kulit yang pucat, dingin, dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat, kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba didinding dada pada IMA inverior (Harun, 2004). Pada fase awal infark miokar, tekanan vena juglaris biasanya normal atau sedikit meningkat, dan dapat juga meningkat sekali pada infark ventrikel kanan. Bising sistolik yang kasar yang disebabkan oleh ruptur septum interventrikuler terdengar di linea sternalis kiri, dan bila di apeks disebabkan oleh ruptur muskulus

papilaris. Gesek perikard yang transien timbul pada 20% pasien, biasanya pada hari kedua atau ketiga (Lily dkk, 2001). 2.2.4 Diagnosa Infark Miokard Akut Pada kebanyakan kasus, diagnosa didasarkan atas karakter, lokasi dan lamanya sakit dada. Sakit dada yang elebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan, serta tidak hilang dalam nitrat biasanya dipakai untuk membedakannya dengan angina pektoris (Lily dkk, 2001) Di dalam praktek, diagnosis IMA di buat berdasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik (untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada yang lain), elektrokardiografi (EKG), dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya serum marker IMA (Grauer, 1998). 2.2.4.1 Riwayat Klinis 2.2.4.1.1 Nyeri Dada Mayoritas pasien (>80%) datang dengan nyeri dada. Gejala khas dan dapat dibandingkan dengan serangan memanjang angina berat, nyeri dada pada infark miokard biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri atau rasa berat menekan dan bisa disertai keringat dingin atau rasa takut. IMA terjadi setelah aktivitas berat atau emosi ekstrem, jarang pada puncak aktivitas. Hingga 50% pasien terbangun dari tidur karena nyeri dada dan sekitar sepertiga pasien melanjutkan aktivitasnya meskipun mengalami nyeri dada. Saat ditanyakan, pasien mengakui adanya gejala tidak jelas beberapa hari atau minggu sebelum kejadian termasuk malaise, lelah, atau nyeri dada tak spesifik (Gray dkk, 2005). 2.2.4.1.2 Sesak Napas Sesak nafas dapat disebabkan oleh penigkatan mendadak tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, dan kadang terjadi sebagai manifestasi satu-satunya infark miokard. Ansietas dapat menyebabkan hiperventilitasi. Pada infark tanpa gejala, sesak napas lanjut merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri bermakna (Gray dkk, 2005). 2.2.4.1.3 Gejala Gastrointestinal Peningkatan vagal menyebabkan mual dan muntah dan dikatakan lebih sering terjadi pada infark inferior. Stimulasi diafragmatik pada infark inferior juga dapat menyebabkan cekungan (Gray dkk, 2005). 2.2.4.1.4 Gejala Lain Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misal stroke, iskemia ekstremitas) (Gray dkk, 2005). 2.2.4.2 Pemeriksaan Fisik 2.2.4.2.1 Tampilan Umun Pemeriksaan umum pada penderita IMA mungkin sangat beragam, dari keadaan yang tidak normal, dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif yang parah, sampai pada keadaan yang terlihat sangat normal (Jaffe, 2002). Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah karena aktivitas berebih simpatis. Mungkin terdapat gangguan pernapasan yang jelas dengan takipnu dan sesak napas. Demam derajat sedang dengan suhu kurang dari 38oC timbul

2.2.4.2.2

2.2.4.2.3

12-24 jam setelah infark dan mungkin berguna untuk diagnosis jika pemeriksaan enzim jantung belum tersedia (Gray dkk, 2005). Nadi dan Tekanan Darah Tekanan darah pada umumnya meningkat dikarenakan reaksi tubuh terhadap adanya rasa nyeri (Topol, 2007), selain itu kenaikan tekanan darah yang moderet disebabkan oleh pelepasan katekolamin. Hipotensi timbul sebagai akibat aktivitas berlebih vagus, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau dapat merupakan tanda syok kardiogenik (Gray dkk, 2005). Denyut nadi biasanya reguler, meskipun ekstrasistol ventrikel mungkin muncul. Adanya bradikardi atau takikardi sangat berguna dalam memahami lokasi terjadinya infark, efek pada sistem konduksi jantung, aktifitas vagus, dan tingkat resiko terjadinya kerusakan pada miokard (Topol, 2007). Sinus rakikardia (100-120/menit) terjadi pada sepertiga pasien; dengan analgesik adekuat, denyut nadi biasanya melambat kecuali bila terdapat syok kardiogenik yang mengancam (Gray dkk, 2005). Pemeriksaan Jantung Pada pemeriksaan umum akan diketahui apakah ada peningkatan tekanan vena jugularis, karakter dan lokasi denyut apek jantung, pergeseran (splitting) suara jantung S2, adanya suara jantung S3 dan S4, murmur regurgitasi mitral. Pemeriksaan denyut nadi perifer dan ekstremitas adalah suatu yang penting untuk dilakukan. Kumpulan informasi ini dapat menjadi perkiraan ukuran luas infark miokard. Jika terdapat suara jantungS3 serta terdapat suara rales pada separuh lapngan dada posterior (Killip kelas II), mungkin terdapat infark miokar yang luas pada dinding anterior (topol, 2007).

Palpitasi dapat menunjukkan area dengan diskinesia, terutama pada pasien yang mengalami infark anterior luas berlanjut (Gray dkk, 2005). Diskinesia dapat dipalpitasi pada pasien infark miokard yang luas. Pada umumnya, suara jantung S4 ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Diskinesia dapat dipalpasi pada pasien dengan infark yang luas (Jaffe, 2002) 2.2.4.2.4 Pemeriksaan Paru Ronki akhir pernapasan dapat terdengar, bahkan bila tidak terlihat edema paru pada radiografi. Edema paru yang jelas didapatkan sebagai komplikasi infark yang luas, biasanya anterior (Gray dkk, 2005). 2.2.4.3 Pemeriksaan Laboratorium Kebutuhan terhadap diagnosis infark miokar yang cepat dan dapat dipercaya, merupakan hal yang sangat penting. Pada awalnya, usaha-usaha ini difokuskan pada pemeriksaan klinis dan EKG, tetapi seiring dengan waktu dapat diketahui bahwa dengan menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan ini tidak selalu dapat mendiagnosis. Oleh karena itu, pada zaman modern ini, dalam mendiagnosis lebih menitik beratkan terhadap pemeriksaan petanda serum jantung. Saat ini pemeriksaan rutin terhadap petanda serum jantung diperlukan dalam membuat diagnosa infark miokard (Shapiro, 2007). 2.2.4.3.1 Enzim Jantung

Setelah kematian jaringan miokard, konstituen sitoplasma sel miokard dilepaskan kedalam sirkulasi. Kreatin fosfokinae (creatine phosphokinase/CPK) dapat diseteksi 6-8 jam setelah infar miokard dan memuncak dalam 24 jam serta kembali menjadi normal setelah 24 jam selanjutnya. Isoenzim (CPK-MB) spesifik untuk otot jantung, namun juga dapat dilepaskan pada kardiomiositis, trauma jantung, dan setelah syok yang melawan aliran langsung Idirect current/DC). Aspartat amino transferase(ATT), suatu enzim non spesifik umumnya diperiksa sebagai bagian skrining biokimiawi, dapat dideteksi dalam 12 jam, memuncak pada 36 jam, dan kembali kenormal setelah 4 hari. Kongesti hati, penyakit hati primer, dan emboli paru dapat menyebabkan peningkatan AAT. Seperti CPK, AAT juga ditemukan pada otot skelet. Penigkatan enzim nonspesifik laktat dehidrogenase (LDH) terjadi pada tahap lanjut infark miokard : penigkatan kadar dapat dideteksi dalam 24 jam, memuncak dalam 3-6 hari dengan penigkatan yang tetap dapat dideteksi selama 2 minggu. Isoenzimnya LDH lebih spesifik namun penggunaan klinisnya telah dilampaui oleh pengukuran troponin. Pengukuran serial enzim jantung diukur tiap hari selama 3 hari pertama : penigkatan bermakna didefinisikan sebagai dua kali batas tertinggi nilai laboratorium normal. Kurva waktu aktivitas pada berbagai enzim diperlihatkan dalam gambar berikut (Gray dkk, 2005) 2.2.4.3.2 Troponin Jantung Cardiac troponin (cTn) merupakan suatu kompleks yang terdiri dari 3 sub unit (cTnC yang mengikat kalsium, cTn1 yang menghambat interaksi aktinmiosin, cTnT yang mengikat tropomiosin) yang mana berinteraksi dengan filament aktin dan memerankan pengaturan kontraksi jantung yang tergantung kalsium. Ketika sebagian besar cTn berada di dalam apparatus kantraktil miokard. Ada sebagian kecil di dalam suatu tempat yang diramaikan cytosolic pool (6% untuk cTnT dan 3% untuk cTn1). Ada sejumlah kecil cytosolic pool yang berisi cTn yang tidak terikat, inilah molekul pertama yang dapat terdeteksi di dalam aliran darah setelah terjadinya kerusakan miokard (Shopiro, 2007). Pada pemeriksaan cTn ini walaupun kemungkinan besar tidak terbukti dan kadang kontroversional, sampai harus terbukti adanya integritas membran sel nisa dilewati keluar oleh cTn. Kemudian sebagian kontraktil apparatus juga terlibat dan sebagian cTn yang terikat pada myofibril masuk ke dalam interstisium dan selanjutnya kedalam sirkulasi. cTn menigkat 2-3 jam setelah onset infark miokard dan akan menetap sampai 6 jam. Kadar troponin pada umumnya mencapai puncak pada 24 jam dan dapat terus meningkat dalam waktu 1-2 minggu. cTnT terus meningkat sedikit lebih lama dari cTn1 (Shapiro, 2007). Karena lebih sensitif dan spesifik terhadap jantung, cTn saat ini lebih dipilih intuk mendeteksi kerusakan pada jantung, daripada CK-MB. Jika seseorang cermat dalam melakukan pemeriksaan troponin, penggunaan CK-MB mungkin tidak dibutuhkan. Jenis pemeriksaan yang lebih baru bahkan sangat sensitif dan dapat mendeteksi adanya kerusakan miokard dalam hitungan menit. Penigkatan sensitifitas ini sesuai dengan besarnya bagian yang meningkat rasio pelepasan

2.2.4.3.3

2.2.4.3.4

(jumlah petanda miokardium yang ada disirkulasi) dibandingkan dengan CKMB dan waktunya yang memanjang sedangkan cTn tetap meningkat (Shapiro, 2007). cTn sangat spesifik terhadap jantung karena troponin yang terukur, sangat spesifik terhadap jaringan miokard yang mengandung gen-gen unik yang mengkode troponin I dan T. Meskipun beberapa troponin juga terdapat pada otot skeletal, termasuk juga isoform cTnT yang terdapat pada janin. Pada pemerikdsaan yang lebih baru menggunakan antibodi yang sangat spesifik dan ikatannya selektif hanya pada troponin yang dibentuk oleh jantung 9Shapiro, 2007). Tes Darah Lain Perubahan nonspesifik pada tes darah rutin meliputi peningkatan jumlah sel darah putih setelah 48 jam, khasnya 10-15.000, terutama sel-sel polimorfik, dan penigkatan laju endah darah (LED) serta protein reaktif-C (CRP) yang memuncak dalam 4 hari dengan puncak kedua sebagai gambaran sindrom Dressler. Hiperglikemi ringan sebagai akibat dari intoleransi karbohidrat daoat berlangsung selama beberapa minggu. Pelepasan katekolamin, tirah baring, dan perubahan diet mempengaruhi perkiraan kadar lipid, sehingga harus ditunda selama 4-6 minggu (Gray dkk, 2005). Elektrokardiografi (EKG) Gambaran EKG yang abnormal pada IMA selalu transien dan berevolusi, oleh karena itu diagnosa EKG dari infark tergantung pada observasi saat-saat perubahan dengan waktu (rekaman serial) (Lily dkk, 2001). Kombinasi riwayat penyakit yang khas dan penigkatan kadar enzim jantung lebih dapat diandalka daripada EKG dalam mendiagnosis IMA. EKG memiliki tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%; maka EKG normal tidak menyingkirkan diagnosis infark. EKG serial bernilai dalam dokumentasi evolusi gangguan elektrik (Gray dkk, 2005) Gambaran yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T. Walaupun mekanisme pasti dari perubahan EKG ini belum diketahui, diduga perubahan gelombang Q disebabkan oleh jaringan yang mati, kelainan segmen ST karena injuri otot dan kelainan gelombang T karena iskemik (Lily dkk, 2001) Menurut teori klasik EKG, tiga petanda yang bisa digunakan untuk mendiagnosa IMA adalah : (1) inversi d=gelombang T, (2) elevasi segmen ST, dan (3) gelombang Q yang abnormal. Pada paradigma klasik, inversi gelombang T mencerminkan adanya iskemik pada miokard, perubahan pada segmen ST menggambarkan terjadinya kerusakan pada miokard dan gelombang q patologis menunjukkan terjadinya nekrosis. Disebut gelombang Q yang menunjukkan infark apabila durasinya 40 milidetik (0,04 detik) atau lebih. Perubahan ini dapat terlihat pada sandapan yang dekat dengan segmen yang iskemik dan disebut perubahan indicativeI, sedangkan perubahan reciprocal (Abedin, 2008) Berdasarkan gelombang Q-patologis dan elevasi ST pada sandapan EKG, IMA dapat dibedakan menjadi :

Lokasi infark Antero-septal Anterior Lateral Anterior-ekstensif High-lateral Posterior Inferior Right ventrikel

Gelombang Q / elevasi ST (sandapan) V1 dan V2 V3 dan V4 V5 dan V6 I, Avl, V1-V6 I, aVL V5 dan V6 V7-V9 (V1 V2) II, III dan Avf V2R- V4R

A. koroner LAD LAD LCX LAD, LCX LCX LCX PL PDA RCA

*Gelombang R yang tinggi dan depresi segmen ST di V1-V2 sebagai mirror image dari perubahan sandapan V7-V9. LAD(left anterior descending artery); LCX(Left circumflex); RCA(Right coronary artery); PL (Posterior left ventricular artery); PDA(posterior decending artery) (Karim, 2007) 2.2.5 Komplikasi Infark Miokard Akut Komplikasi yang dapat terjadi pada infark miokard antara lain: (a) Gagal jantung ventrikel kanan dan ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan kematian pada pasien infark miokard, yang dirawat dirumah sakit. (b) Aneurisma ventrikel kiri, (c) Emboli sistemik, (d) Perluasan infark, (e) Iskemia, (f) Ruptur miokard (dinding bebas, septum ventrikel, dan muskulus papilaris), (g) Efusi perikardium, dan (h) Perikarditis. Selain perluasan infark dan hemorhagic, terapi reperfusi dapat menurunkan angka komplikasi (Topol, 2007) Komplikasi pada infark miokard, sering menyebabkan kematian pada pasien. Syok kardiogenik dan gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering menyebabkan kematian pada pasien yang dirawat dirumah sakit. Sekitar 75% pasien IMA, mengalami aritmia selama periode infark (Murphy, 2007) 2.2.5.1 Syok Kardiogenik Syok kardiogenik merupakan hipotensi yang menetap, secara konvensional didefinisikan sebagai tekanan <80 mmHg yang berlangsung lebih dari 30 menit dengan tidak adanya gejala hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan hipotensi karena tekanan pengisisan end-diastolik ventrikel kiri (LVEDP) tidak adekuat, biasanya di klinik hal ini diketahui dengan adanya pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) < 18 mmHg. Indek jantung saat terjadi syok kardiogenik biasanya kurang daro 2,0 L/menit/m2 (Murphy, 2007) Yang paling banyak menyebabkan syok kardiogenik meliputi: (1) Infark ventrikel kiri yang luas (biasanya > 40% luas ventrikel kiri), ini dapat ditemukan pada sekitar 80% pasien syok, (2) Infark ventrikel kanan terdapat pada 10% pasien syok, dan (3) komplikasi mekanik infark miokard (Ventrikel septal defect, regurgitasi mitral akut, temponade) dialami oleh 10% pasien syok. Syok kardiogenik juga berpengaruh terhadap perfusi jaringan yang masih hidupdi sekitar daerah infark, ini artinya akan lebih banyak terjadi nekrosis iskemik, dikarenakan hipotensi dan perfusi yang rendah (Murphy, 2007)

Pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokard akut, adanya disfungsi miokardium yang cukup luas (sekitar 40% dinding ventrikel kiri mengalami infark) dapat menghambat fungsi jantung dalam memompa darah. Pada awalnya, terjadi obstruksi pada arteri koronaria, biasanya pada awal infark terjadi obsturksi pada cabang deskenden anterior arteri koronaria kiri, tetapi juga dapat terjadi kerusakan miokard yang bersifat kumulatif. Obtruksi pada pembuluh darah akan menurunkan aliran oksigen, sehingga menyebabkan miokardium menjadi iskemik, dan pada akhirnya mengurangi kemampuan kontraktilitas miokar dan memperburuk fungsi ventrikel kiri. Sementara itu, penurunan kardiak output dan tekanan darah menyebabkan penurunan perfusi koroner, menghasilkan iskemik yang lebih lanjut dan fungsi ventrikel kiri yang semakin memburuk. Proses iskemik ini menyebabkan disfungsi miokard dan akan menyebabkan proses iskemik lebih parah, sehingga proses ini disebut sebagai lingkaran setan (Yimm, 2002) 2.2.5.2 Gagal Jantung Pada umumnya terdapat urgensi yang lebih besar didalam perawatan pasien yang mengalami gagal jantung kronik selama fase awal IMA, karena pada pasienpasien seperti ini sering kali memiliki penyakit pembuluh darah yang lainnya dan dapat menigkatkan resiko terjadinya infark yang berulang serta perluasan ukuran infark. Kecurigaan yang tinggi dan pemantauan secara ketat merupakan kunci untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi gagal jantung pada penderita IMA. Elektrokardiografi merupakan teknik yang telah dipilih dalam mengevaluasi pasien yang mengalami gangguan fungsi katub dan miokard. Killip dan Kimball (1967) telah menggambarkan tentang kegagalan ventrikel kiri yang tejadi pada pasien yang mengalami IMA. Mereka menggolongkannya secara klinis untuk menilai prognosis pada pasien yang tidak terdapat bukti mengalami gagal jantung sampai pada pasien yang mengalami syok kardiogenik. Pada pasien yang mengalami gagal jantung kongestif ringan, ditandai dengan adanya rales yang terdapat minimal 50% lapangan paru atau adanya S3 gallop, angka kematian di rumah sakit sekitar 17% . pasien dengan edema paru yang di rawat di rumah sakit memiliki angka kematian 38%, dan mereka sampai mengalami syok kardiogenik memiliki angka kematian dirumah sakit lebih dari 75% (Jaffe, 2002) 2.2.5.3 Aritmia 2.2.5.3.1 Aritmia Supraventrikular Pasca Infark Miokard 2.2.5.3.1.1 Sinus Bradikardi Sinus bradikarti merupakan jenis aritmia yang paling sering terjadi pada jam-jam pertama setelah infark miokard dan angka kejadian sampai 40% pada infark inferior dan posterior. Bradikardi mungkin berhubungan dengan ketidak seimbangan sistem autonom atau iskemik sinus dan atrial node (atau keduanya). Bradikardi berat mungkin dapat menyebabkan terjadinya ventrikular ektopik. Jenis aritmia ini biasanya mengalami resolusi yang spontan, dan pengobatan dilakukan secara hati-hati untuk gejala aritmia hemodinamik dan hal itu berhubungan dengan bradikardia yang terjadi karena aritmia ventrikel. Atropin selalu elektif untuk pengobatan gejala bradikardi, tetapi dapat mengakibatkan transien rebound takikardi (Murphy, 2007) 2.2.5.3.1.2 Sinus Takikardi

2.2.5.3.1.3

2.2.5.3.1.4

2.2.5.3.2 2.2.5.3.2.1

2.2.5.3.2.2

Sinus takikardi mungkin terjadi sepertiga pasien pada periode sekitar infark anterior. Pada iskemik ventrikel kiri mungkin stroke volume akan relatif konstan, jadi penambahan cardiak output pada dasarnya bergabung pada peningkatan heart rate. Sinus takikardi mungkin juga terjadi dikarenakan stimulasi simpatik dari pelepasan katekolamin baik lokal maupun pad asirkulasi, anemia, hipo atau hipervolemia, hipoksia, perikarditis, obat inotropik, nyeri, atau perasaan takut. Penanganannya yaitu dengan mengoptimalkan oksigenasi dan hemodinak=mik, memperbaiki anemia, elektrolit dan asam basa yang abnormal, penanganan nyeri, dan obat anxiolityc, dan merupakan indikator prognosis yang jelek (Murphy, 2007). Kontraksi Atrium Premature Kontraksi atrium premature dialami oleh setengah dari jumlah pasien yang mengalami infark miokard. Peristiwa ini mungkin dikarenakan adanya iskemik pada atrial atau sinus node, infark pada atrium, perikarditis, kecemasan, atau rasa nyeri. Kombinasi dari asistol atrium dan detak ventrikel yang cepat, jelas akan menyebabkan cardiac output menurun dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Harus ada usaha untuk mengembalikan ritme sinus, jika tidak berhasil, kontrol detak jantung harus dilakukan secara agresif untuk meminimalisir kebutuhan oksigen miokard. Kontraksi atrium prematur tidak memiliki nilai prognosa yang bermakna setelah infark miokard (Murphy, 2007). Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrium terjadi pada sekitar 10% sampai 20% pasien yang mengalami infark miokard dan biasanya bersifat sementara. Ini mungkin disebabkan karena iskemik pada sinus atau atrial node, infark ventrikel kanan, perikarditis, gagal jantung, atau peningkatan tekanan atrium. Ini biasanya terjadi pada pasien yang tua dan lebih sering pada pasien yang memmiliki riwayat hipertensi, regurgitasi mitral, dan pelebaran atrium kiri. Atrial fibrilasi pada periode infark berhubungan dengan tingginya angka kematian pada infark miokard (Murphy, 2007). Aritmia Ventrikel Pasca Infark Miokard Fibrilasi Ventrikel Banyak yang telah melaporkan bahwa komplikasi fibrilasi ventrikel pada infark miokard adalah sekitar 5% pasien yang dipantau irama jantungnya dan lebih dari setengahnya terjadi tanpa didahului oleh peringatan aritmia. Angka kejadian fibrilasi ventrikel yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi karena telah diperkirakan, bahwa setengah dari jumlah semua pasien penyakit koroner yang meninggal karena kematian jantung mendadak, mengalami fibrilasi ventrikel. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi vemtrikel meliputi, kebiasaan merokok, bundle branch block (BBB) kiri, dan hipokalemia. Pasien dengan miokard infark anterior dan fibrilasi ventrikel memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada fibrilasi ventrikel yang berhubungan dengan infark miokard inferior. (Murphy, 2007) Takikardi Ventrikel Takikardi ventrikel terjadi pada 10% sampai 40% kasus infark miokard. Takikardi ventrikel yang masih awal (24 jam pertama) biasanya bersifat sementara dan tidak berbahaya. Pada fase yang lebih lanjut, takikardi ventrikel

berhubungan dengan adanya infark transmural, disfungsi ventrikel kiri, gangguan hemodinamik, dan penigkatan mortalitas, baik selama perawatan di rumah sakit dan jangka panjangnya. Peenanganan pada takikardi ventrikel yang berlangsung terus-menerus, dengan menggunakan kardioversi, jika detak jantung lambat dan keadaan hemodinamik dapat ditolerir, kardiovesi dilakukan dengan obat. Jika terjadi takikardiventrikel cepat (>150 detak per menit) atau takikardi yang dibarengi dengan gangguan hemodinamik harus segera ditangani dengan kardioversi (Murphy, 2007) 2.2.5.3.2.3 Accelerated idioventrikular rhythm Accelerated idioventricular rhythm (AIVR) adalah irama jantung ektopik ventrikel yang terdiri dari tiga atau lebih denyut ventrikel dan terjadi secara berturut-turut dengan denyut yang lebih cepat dari denyut normal yaitu dengan kecepatan denyut ventrikel antara 30-40 kali per menit, tetapi lebih lambat daripada takikardi ventrikel. AIVR telah dilaporkan terdapat pada 10% sampai 40% kasus infark miokard. Angka kejadiannya sama dengan infark inferior dan anteior, namun tidak berhubungan dengan ukuran infark. Adanya AIVR selama periode infark tidak berhubungan dengan penigkatan angka mortalitas atau angka kejadian fibrilasi ventrikel. AIVR juga dapt ditemukan pada kasus keracunan digitalis, miokarditis, dan pemakaian kokain. Gejala yang timbul mungkin berhubungan dengan hilangnya sinkronasisasi atrioventrikular atau irama ventrikular yang lambat (atau keduanya)(Murphy, 2007). 2.2.5.3.2.4 Premature ventrikular complexes Premature ventricular complexes (PVCs) biasanya terjadi pada waktu terjadi infark miokar. Maknanya dalam memprediksi takikaardi dan fibrilasi ventrikel tidak jelas. Penanganan PVC selam periode infark belum dapat memperlihatkan secara pasti untuk menurunkan angka kejadian aritmia ventrikel maligna atau untuk menurunkan mortalitas (Murphy, 2007) 2.2.5.4 Bundle Branch Blok (BBB) Bundle Branch Block (BBB) telah dilaporkan terdapat pada 15% kasus infark miokard dan berhubungan dengan terjadinya blok jantung komplit, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, aritmia ventrikel, dan kematian mendadak. Paling banyak ditemukan BBB kanan, yang tidak disertai dengan BBB kiri dan perubahan BBB. Ini mungkin dihubungkan dengan unkuran anatomi bundle kanan yang berlainan dibandingkan dengan bundle kiri dengan bentuk kipas yang luas. Hubungan antara infark yang berkaitan arteri, dengan adanya BBB sangat kuat, dengan insiden BBB tertinggi (lebih dari setengah) terjadi di infark yang melibatkan arteri koroner deskenden anterior kiri. Blok infra-his yang progresif mengindikasikan faktor resiko yang berarti, terhadap terjadinya blok jantung komplit yang mendadak dan asistol, dan pada pasien yang memperlihatkan keadaan yang progresif harus dipasang pacu jantung sementara. BBB yang menetap, menjadikan kenaikan angka mortalitas yang meningkat secara bermakna, karena sejumlah besar miokar yang diinerfasi oleh bundle branches terlihat. Terapi trombolitik dan reperfusi lebih awal memperlihatkan penurunan insiden BBB, selama periode infark (Murphy, 2007). 2.2.6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis Infark Miokard Akut

Pada 25% episode IMA, kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan 15-30%. Resiko kematian tergantung banyak faktor, termasuk usia penderita, riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya, adanya penyakit lain-lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik dengan meningkatnya umur. Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun, dan 20% pada usia lanjut (Lily dkk, 2001) Mortalitas dini 30 hari dan lanjut setelah infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas perubahan EKG. Infark inferior terbatas memiliki tingkat mortilitas 30 hari dan 12 bulan masing-masing sebesar 4,5% dan 6,7%, sementara infark anterior dengan elevasi segmen ST luas dan blok cabang serabut memiliki mortalitas masing-masing 19,6% dan 25,6%. Informasi tambahan bisa didapatkan dari klasifikasi menurut kelas hemodinamik (Killip) : Mayoritas pasien (85%) tidak memiliki bukti gagal jantung (Killip I); S3 dan ronki bibasal tercakup dalam Killip II(10%); Edema paru jelas (Killip II) dan syok kardioh=genik (Killip IV) semuanya hanya mencakup 5% pasien. Determinan utam prognosis setelah infark miokard adalah usia, TD sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan kelas Killip. (Gray dkk, 2005).

You might also like